Aku membuka mataku perlahan, dan begitu melihat jarum infus ditanganku, aku langsung sadar sedang berada dimana.
"Kau sudah sadar? Kau baik-baik saja kan? Apa ada yang terasa sakit? Ya Tuhan, kau membuatku khawatir.." pertanyaan Raga yang beruntun ditambah nada cemas pada suaranya membuatku tidak enak hati.
"Kenapa ke Rumah Sakit segala sih?" keluhku parau.
"Kau pingsan! Dan aku sangat panik!" Raga menggenggam tanganku. Aku melihat wajah Raga yang sungguh-sungguh tampak khawatir.
Aku mencoba bangun dan duduk bersandar. Raga membantuku. Kepalaku masih terasa pening, tapi aku mulai mendapatkan tenagaku kembali.
"Maaf selalu merepotkanmu.." bisikku sambil menunduk.
"Untukmu aku nggak pernah merasa repot. Aku telpon Mama kamu ya, takut beliau khawatir kalau jam segini kamu belum pulang." Raga mengambil ponselnya dari saku celana. Aku melirik jam tangan yang dipakai Raga, sudah jam 6 sore.
"Nggak usah Ga, aku mau pulang sekarang kok, aku udah nggak apa-apa.." aku mencabut jarum infus ditanganku sambil meringis, kugigit bibirku menahan rasa sakitnya.
"Eh.. Apa-apaan kamu! Dokter belum mengijinkan kamu pulang!" Raga panik melihat apa yang aku lakukan. Dia urung menelpon Mamaku.
"Aku harus menemui Orion!" aku turun dari ranjangku
"Biar aku yang jemput Orion, aku yang akan bawa dia kesini!" Raga berteriak sambil merengkuh tubuhku agar aku kembali ke tempat tidur.
"Aku akan menjemputnya sendiri!" aku bersikeras ingin pergi.
"Layung! Dokter bilang kau butuh banyak istirahat, dokter bilang kau kelelahan!" Raga sampai harus memeluk tubuhku untuk menghentikan aku.
"Lepas Ga, aku harus bertemu dengan Orion.." aku mendorong bahunya, tapi kemudian pasrah dan membiarkannya memelukku, aku tak punya kekuatan untuk meronta.
"Aku tau, kau tenanglah dulu.." bisiknya ditelingaku.
Aku memejamkan mataku, pelukan Raga terasa hangat. Air mataku menetes perlahan dan membasahi bajunya.
"Kau yakin kuat untuk pergi sekarang?" Raga menguraikan pelukannya lalu menatap wajahku dalam.
Aku mengangguk.
"Aku akan mengantarmu ke rumah Orion, dan jangan melawanku!" Raga menepuk pipiku pelan.
Aku mengangguk lagi. Raga baik sekali, aku sudah menolaknya tapi dia tetap baik padaku.
#####
Kami sampai didepan rumah Orion jam 7 malam. Aku sudah meminta Raga untuk pulang tapi dia bersikeras akan menungguku.
"Setelah aku tau kau bisa bertemu dengan Orion, aku baru akan pulang!"
Aku menarik napas panjang lalu bergegas turun dari Mobil Raga.
Dengan jantung yang berdebar tidak karuan aku menekan bel. Aku berharap Orion ada dirumah.
Bi Sumi datang tergopoh-gopoh membuka pintu pagar. Aku pun memberi isyarat pada Raga untuk pulang karena aku yakin Orion sudah datang. Raga mengangguk dan melempar senyumnya.
"Orion udah pulang kan Bi?" tanyaku dengan penuh harap.
"Maaf Mas Layung, Mas Orion belum pulang.." Bi Sumi menjawab dengan nada penuh penyesalan.
Tubuhku langsung terasa lemas.
Ya Tuhan.. Orion, aku mohon jangan membunuhku dengan cara seperti ini.. Jeritku dalam hati.
"Perginya kok lama ya Bi, hari ini aja dia udah bolos kuliah.."
"Iya Mas, Bibi juga nggak ngerti.." Bi Sumi menunduk tidak berani menatapku.
Aku mengambil pulpen dan selembar kertas dari dalam ranselku. Aku menuliskan nomor handphoneku dan memberikannya pada Bi Sumi.
"Bibi tolong aku ya, cepat hubungi aku ke nomor ini begitu Orion datang, tengah malam sekalipun. Bisa kan Bi?" tak ada cara lain, hanya ini yang bisa aku pikirkan.
Bi Sumi mengangguk.
Dengan langkah gontai aku pamit dan beranjak pergi. Nafasku hanya separuh sekarang, Orion membawanya terlalu banyak.
Tapi baru beberapa langkah berjalan, Bi Sumi memanggilku kembali.
Aku membalikkan badanku, dan melihat Bi Sumi berdiri dengan menunduk dalam.
"Ada apa Bi?" keningku berkerut.
"Mmm.. Anu Mas.. Sebenernya.." Bi Sumi tidak melanjutkan kalimatnya. Dia malah berdiri gelisah sambil meremas ujung bajunya.
"Iya, sebenernya kenapa?" tanyaku sabar. Aku tau ada yang ingin Bi Sumi sampaikan.
"Sebenernya.. Dari kemarin, Mas Orion itu.. Nggak pergi kemana-mana.." kalimat Bi Sumi membuatku terkejut.
"Apa? Jadi Orion ada dirumah?" seruku tertahan.
"Iya Mas. ." Bi Sumi mengangguk takut.
"Kenapa Bibi bohong?" tanyaku kecewa. Kepalaku lagi-lagi berdenyut.
"Maaf Mas, abisnya Mas Orion suruh Bibi bilang begitu kalau ada yang datang dan nyari dia, siapapun itu termasuk Mas Layung. Tapi sekarang Bibi khawatir sekali, udah dua hari ini Mas Orion nggak mau makan, dia ngurung diri terus di kamar, Bibi takut Mas Orion sakit.." penjelasan Bi Sumi membuat kepalaku semakin berdenyut.
"Kalau gitu Bibi siapin makan ya, nanti aku yang bawa naik.." putusku sambil merangkul bahu Bi Sumi masuk kedalam rumah.
Orion.
Jangan sakit Sayang!
#####
Aku menaiki tangga menuju kamar Orion. Ditanganku membawa nampan berisi makan malam untuknya.
Seperti yang Bi Sumi bilang, kamarnya tidak terkunci. Aku masuk tanpa berkata apapun.
Kamar Orion tampak remang karena cahaya hanya berasal dari sebelah lampu tidurnya.
Aku berdiri dengan tubuh membeku. Diam. Kesepuluh jariku memegang kuat nampan berisi sepiring nasi dan lauknya. Hanya kedua mataku yang kubiarkan lekat menatap seseorang yang terbaring diranjangnya. Seseorang yang teramat sangat ingin aku peluk.
Ada badai didadaku yang tidak juga mereda. Dan tanpa kusadari langkahku berjalan mendekatinya.
Ini aku Orion.
Kutatap Orion yang terpejam. Wajah itu.. Wajah yang dua hari ini sangat aku rindukan setengah mati.
Kuletakkan nampan yang kupegang diatas meja disamping tempat tidur Orion.
Mendengar suara didekatnya, Orion bergerak dalam tidurnya, dan langsung menyadari keberadaanku dikamarnya. Dia mendongak dan terpana seketika. Sepasang matanya menatap terbelalak. Aku hanya menikmatinya beberapa detik saja, karena setelah itu Orion kembali membalikkan tubuhnya membelakangiku.
"Ada apa kesini?" tanya Orion tanpa melihatku. Dadaku terasa sesak mendengarnya.
"Kau bertanya ada apa? Setelah menghindariku dua hari ini kau masih bertanya ada apa?"
"Udah malam Layung, aku mau tidur.." suara Orion terdengar parau.
"Bi Sumi bilang dari kemarin kau belum makan, makanlah dulu, setelah itu aku akan pulang.." menatap Orion yang memunggungiku rasanya seperti ditusuk sembilu.
"Iya, aku akan makan. Pergilah.." kalimat Orion barusan menyempurnakan sesak didadaku.
Tapi aku bertahan dengan sisa kekuatanku.
"Kau kenapa Orion? Kau menghindariku! Apa kau marah karena menungguku terlalu lama kemarin? Bilang sama aku, kau nggak pernah seperti ini sebelumnya! Ada apa?" aku melirih pilu.
Orion bangun dari tidurnya, duduk bersandar di tumpukan bantalnya lalu menatapku. Pandangan matanya sulit aku artikan. Aku melihat kerinduan dimatanya, aku juga melihat kekecewaan disana.
"Aku.. Aku hanya ingin memberi jarak biar aku nggak terlalu sakit.." Orion menundukkan wajahnya.
"Jarak apa? Jarak untuk siapa? Aku mohon jangan seperti ini Ri, aku nggak bisa kalau kau membentangkan jarak sejauh ini!" aku mulai lepas kendali.
"Kau pikir aku bisa?!" Orion balas berteriak. Aku menatap wajah Orion, bahkan dalam remang cahayapun aku bisa melihat jelas matanya terluka.
Aku akan mengakhirinya. Luka ini dan juga lukanya.
"Jangan pernah memberi jarak apapun padaku meski hanya satu inch, karena aku mencintaimu Orion, aku sangat mencintaimu.." dengan pelan tapi penuh keyakinan, aku mengucapkan kalimat itu. Akhirnya..
Mata Orion membulat, satu tangannya menekap mulutnya. Aku melihat jarinya gemetar.
"Selama ini aku dengan sangat bodoh menahan perasaanku, hanya karena aku nggak mau kau menjauh kalau tau perasaanku yang sesungguhnya, tapi kemarin aku baru sadar kalau kau juga punya perasaan yang sama denganku, aku bisa merasakannya.." aku melanjutkan kalimatku. Sesak didadaku meluruh berganti debar yang menenangkan.
Diam. Orion tak mengeluarkan suara sepatah katapun. Aku hanya melihat bahunya terguncang. Orion menangis.
"Mimpi ini indah sekali, jangan biarkan aku terbangun Tuhan.. Aku mohon.." Orion menutup wajahnya dengan kedua tangan, dia terisak.
Jadi dia pikir ini hanya mimpi?
Aku beranjak mendekatinya. Kuraih tubuhnya dan kudekap dalam pelukanku.
"Ini bukan mimpi Sayang, ini bukan mimpi.." bisikku ditelinga Orion.
Orion membalas pelukan lebih erat. Masih dengan isaknya yang membasahi dadaku dia berkata..
"Aku juga mencintaimu Layung. Aku sangat mencintai kamu.."
Orion, si Separuh Nafas itu akhirnya menyempurnakan bahagiaku dengan kalimat cintanya.
"Maafkan aku telah membuatmu menunggu begitu lama.." aku menyusupkan jemariku ke leher Orion. Tapi dengan cepat kuuraikan kembali pelukanku begitu menyadari tubuh Orion sangat panas.
"Kau demam!" seruku cemas. Kutatap wajah Orion, kudekap kedua pipinya dengan tanganku. Mata Orion terbelalak.
"Layung, kau mimisan!" Orion juga berteriak cemas.
Aku mengusap hidungku, cairan pekat itu menetes dijariku.
"Ayo kita ke Rumah Sakit, badanmu panas sekali.."
"Bukan aku yang harus ke Rumah Sakit, tapi kamu!" Orion turun dari tempat tidur dengan panik. Tubuhnya terhuyung dan nyaris jatuh kalau tidak aku pegangi.
"Oke, kita berdua!" aku menghentikan perdebatan ini.
"Tapi mobilku nggak ada, aku titipkan dirumah Mang Jaya.." Orion menyebut nama tukang kebunnya.
"Niat banget ya kamu menghindari aku. Kita naik taxi aja, kamu kuat kan jalan sampai ke depan? Atau mau aku gendong?" tawarku sambil membantu Orion memakai jaketnya.
"Nggak usah digendong, cium aku aja biar aku kuat.." kalimat Orion membuatku terhenyak. Aku berhenti memasangkan kancing di jaket Orion.
Aku menatap wajah Orion yang sedang mendongak ke arah wajahku. Matanya yang bulat menatapku sayu. Aku menelan ludah melihat bibir Orion yang bertambah merah karena pengaruh demam. Garis bibirnya yang melengkung indah seperti menggodaku untuk melumatnya.
Jantungku mulai bertingkah. Selalu seperti ini setiap berdekatan dengannya. Apalagi ketika kulihat Orion membuka bibirnya sambil terus menatapku.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Orion dan perlahan merunduk. Hanya sedikit lagi bibir kami akan bersentuhan, tiba-tiba aku teringat mimpiku waktu itu.
Mimpi mengerikan itu.
Aku menegakkan kembali wajahku. Orion terlihat kecewa.
"Gendong aja!" putusku kemudian lalu dengan cepat merengkuh tubuh Orion kedalam gendonganku.
"Layung! Nyebelin!” Orion memukul pelan dadaku.
"Jangan bergerak, berat tau nggak!" aku menuruni tangga dengan lutut yang gemetar. Tubuhku mulai lemas, tapi aku bertahan, aku tidak akan membiarkan tubuh Orion jatuh.
Aku dan Orion keluar diantar oleh pandangan cemas dari Bi Sumi yang membukakan pintu pagar.
Dan aku terkejut melihat mobil Raga masih disana!
Melihat aku keluar dengan Orion dalam gendonganku, Raga langsung turun dari mobilnya, dan tanpa banyak bicara membukakan pintu mobil dan membantuku membaringkan Orion di jok belakang.
Aku duduk didepan, menyandarkan tubuhku yang nyaris tak bertenaga. Darah masih menetes dari hidungku. Raga menyodorkan tissue.
"Kau belum pulang.." kataku lirih pada Raga yang menyetir dengan tenang.
"Kekuatan cinta.." sahut Raga pelan, membuatku menoleh. Dan aku melihat Raga melirikku sambil tersenyum samar.
Aku tersenyum, lalu tiba-tiba semuanya terasa gelap.
#####
Aku membuka mataku yang terasa berat, melihat ke atas langit kamar dan sekeliling yang didominasi warna putih, aku mulai terbiasa dengan atmosfernya. Ini ruang perawatan di Rumah Sakit. Aku baru ingat kalau aku dan Orion pergi ke Rumah Sakit bersama Raga.
Aku bangun dan mencoba duduk, ketika melihat ke samping kiri aku melihat lelaki terkasih itu terbaring diranjang disebelahku, jarum infus juga menancap dilengan kirinya. Matanya terpejam. Aku menatap wajahnya lekat.
Seperti terasa kalau seseorang sedang menatap wajahnya sedemikian rupa, Orion terbangun, dan langsung tersenyum begitu melihatku.
“Layung..” bisiknya lembut.
“Iya, aku disini. Apa kau baik-baik saja?” tanyaku masih dengan rasa khawatir yang mendalam.
“Aku membaik..” jawaban Orion sedikit melegakanku.
“Jangan sakit..”
“Aku senang bisa sakit sama-sama kamu..” Orion ikutan duduk, kami duduk berhadapan.
Aku tersenyum.
“Tapi aku lebih senang kalau kita sama-sama sehat.." Kutatap wajahnya yang pucat.
Orion mengangguk.
“Raga mana?” tanyaku ketika menyadari aku belum mengucapkan terima kasih padanya.
“Raga pulang, dia bilang harus berangkat ke Jogjakarta malam ini juga, dia menitipkan salam untukmu, kamu jangan khawatir, aku udah bilang terima kasih sama dia..” Orion tersenyum seperti bisa membaca pikiranku.
“Iya, terima kasih Sayang..” ada semburat merah jambu dipipinya yang pucat ketika mendengarku memanggilnya sayang.
“Apa kau lapar? Ada Bi Sumi sama Mang Jaya diluar, mereka bisa belikan makanan.”
Aku menggeleng, “Melihatmu saja laparku sudah hilang..” kataku sambil menahan tawa. Orion mengerucutkan bibirnya dengan lucu.
“Raga baik ya, tapi aku masih kesal sama dia!” Orion merengut.
“Kenapa?” aku tersenyum melihat Orion seperti masih cemburu pada Raga.
“Sebelum pulang dia sempat-sempatnya bilang begini..
“Aku terima Layung memilihmu, tapi di kehidupan kedua nanti, Layung setuju kalau aku yang akan menjaganya. Huh, menyebalkan! Memangnya kamu mau jadi apa dikehidupan kedua nanti?” tanya Orion lucu.
“Pohon..” aku menahan senyum.
“Dia?” cecarnya masih dengan nada kesal.
“Entahlah aku lupa, udah ya, jangan cemburu lagi, bahkan dikehidupan kedua nanti aku mau jadi pohon yang jatuh cinta sama kamu..”
Orion tersenyum.
Kulihat jam di dinding kamar, hampir jam dua belas malam.
“Ayo tidur lagi, biar besok kita bisa cepat pulih..” ajakku sambil kembali membaringkan tubuhku.
“Layung, aku tidur disamping kamu ya..” aku menoleh dan menatapnya takjub, Orion balas menatap dengan wajah penuh harap. Bocah ini, hobi sekali membuat jantungku loncat kesana kemari.
“Kamu kan udah disamping aku..” aku tertawa kecil.
“Aku mau disitu..” Orion menunjuk tempat tidurku.
“Sempit Sayang, nanti kau jatuh..”
“Nggak apa-apa, aku nanti pegangan tangan kamu kuat-kuat, boleh ya?” permintaan dengan wajah menggemaskan itu, bagaimana mungkin bisa aku tolak.
Aku tersenyum, menyerah.
“Come..”
Dan mahluk terkasih itu pun tertawa.
Aku membantunya memindahkan tiang infus, agak kesulitan awalnya untuk mendapatkan posisi tidur yang nyaman, sampai akhirnya aku memanggil perawat untuk memindahkan jarum infusku ke lengan kanan.
Jadi disinilah dia sekarang, duduk diranjang yang sama dan bersandar dibahuku sambil menunjukkan galery album di ponselnya. Ajakanku untuk tidur diabaikannya, dia malah memperlihatkan padaku foto-foto kami dari sejak awal berkenalan sampai foto-fotoku yang dia ambil tanpa sepengetahuanku.
“Jadi.. sejak kapan kau mulai menyukaiku?” tanyaku sambil tersenyum menggodanya.
“Sejak pertama kali kita bertemu..” Orion menggenggam tanganku lalu balik bertanya sambil menatapku..
“Lalu sampai kapan kau akan mencintaiku?”
Aku balas menatapnya.
“Sampai pelangi tak lagi memiliki warna merahnya ketika melintang di kaki langit..”
Orion tersenyum.
"Layung.. Aku mau tanya satu hal, Dude pernah bilang tentang kapten basketmu, katanya ada gosip dia suka sama kamu, itu benar nggak sih?" Orion meraih jemariku dan mengetuk-ngetuk dengan ujung telunjuknya. Dia sedang menunjukkan rasa kesal atau cemburunya. Aku hanya bisa tersenyum.
"Aku nggak tau, dia belum menyatakannya padaku.." aku menggoda Orion dengan kalimatku.
"Ih, memangnya kalau dia menyatakan perasaannya, kau akan terima?" Orion terpancing, aku tertawa dalam hati.
"Yaa tergantung, kalau kau menolakku, apa boleh buat, aku terpaksa menerimanya.." aku tertawa tapi kemudian meringis kesakitan, Orion mencubit tanganku.
"Kau menyebalkan!" Orion merengut.
"Kau harus tau, waktu mendengar itu dari Dude, aku sedih, takut dan marah, sesak, perasaanku nggak karuan, aku sampai nangis di toilet biar sesakku reda, tapi malah semakin sesak, aku jadi malas masuk kelas lagi dan kabur ke time zone.." lanjutan kalimat Orion membuatku teringat saat itu, saat melihatnya menangis di toilet campus. Jadi itu alasannya..
"Iya aku tau, tapi jangan takutkan hal seperti itu lagi, aku sudah denganmu sekarang.." aku memeluk Orion dengan satu tanganku dan mengecup lembut bahunya.
"Kau sudah memilihku, jadi jangan pernah pergi atau meninggalkan aku lagi, aku bisa mati nanti.." Orion menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku mengangguk, mengeratkan pelukanku dibahunya.
Aku dan Orion saling mencintai, semua pengakuan kami malam ini begitu berarti.
Aku menarik napas panjang, malam ini aku ingin mengakui satu hal lagi padanya, tentang satu mata rantai yang terputus itu dan akhirnya aku temukan.
“Ri, tentang Heavensnow yang aku ceritakan padamu saat itu, ada yang tertinggal..”
“Apa?”
“Apa kau masih ingat ketika kau mau pergi tapi seseorang menghalangimu dengan membuat semua ban mobilmu kempes? Juga pesan yang memintamu untuk jangan pergi, itu aku..”
“Aku tau..” jawaban Orion membuatku terkejut.
“Benarkah?”
“Ya, aku mengenal tulisanmu. Dan ketika aku menggantikan Mamamu untuk menjagamu di Rumah Sakit, dihari kau sadar dari koma, aku melihat tanganmu penuh dengan bercak warna hitam yang berasal dari spidolku, dari situ aku tau kau memang datang untuk menjagaku..” Orion menggenggam tanganku erat.
“Tapi karena keegoisanku itu kau jadi harus meninggalkan surga Orion, harusnya kau sudah tenang dan bahagia tinggal di surga, tapi aku egois, aku nggak mau hidup di dunia sementara kau nggak ada, aku minta maaf untuk itu..”
“Kenapa harus minta maaf, disini aku mendapatkan lagi surga itu darimu, bahkan mungkin lebih indah karena disini ada kamu bersamaku, surgaku itu kamu Layung..”
Aku tersenyum, terasa lega sekarang karena sudah mengakui hal penting itu. Aku memeluknya erat.
“Ayo tidur, demammu belum turun..” ajakku lagi setelah menyentuh keningnya dan masih terasa panas.
“Satu pertanyaan lagi!” Orion membuatku urung merebahkan tubuhku.
“Baiklah, tapi setelah itu tidur yaa..” aku mulai khawatir dengan kondisinya.
Orion mengangguk.
“Waktu dikamarku, aku memintamu untuk menciumku, aku liat kau juga sepertinya mau, tapi kenapa lalu nggak jadi?” Orion merengut.
Tawaku nyaris meledak mendengarnya. Orion masih penasaran dengan ciumanku rupanya, hahahah.. tapi aku tidak mungkin bilang padanya kalau saat itu tiba-tiba aku teringat mimpiku kan?
“Karena aku.. ingin menciummu disini, sekarang..” bisikku sambil mengecup lembut bibir Orion, dan dia membalas tanpa ragu. Lidah kami bertautan, rasanya hangat, dan manis.
Ciumannya seperti sihir, yang ketika bibirnya menyentuhku, seluruh tubuhku menyatakan cinta padanya.
Apa kalian tau apa yang aku inginkan saat bibir kami menyatu?
Aku ingin sekali menghentikan waktu, aku ingin menciumnya selama mungkin, untuk membayar semua hari melelahkan yang kulewati tanpa mengetahui bahwa perasaan kami sama.
Orionku..
Ya, dia..
Malaikat yang aku culik dari surga itu, telah memberikan ciuman pertamanya padaku.
Ini adalah ciuman pertama kami, bau obat dan bukan ditepi pantai seperti yang pernah aku bayangkan. Tapi ini terasa sangat menyenangkan, jangan tanya bagaimana liarnya jantungku berdetak, karena mungkin degupnya terdengar sampai ke kamar mayat.
#####
Siang ini aku dan Orion mendapat kunjungan dari teman-teman kami. Godaan dari mereka semakin menjadi ketika melihat aku dan Orion dirawat dalam kamar yang sama, tentu saja saat mereka datang Orion sudah kembali ke tempat tidurnya lagi. Aku tersenyum mengingat pagi tadi ketika perawat datang untuk memeriksa tekanan darah kami, Orion masih terlelap dalam pelukanku. Perawat itu terlihat sedikit shock, dan wajahnya meraaah. Tapi kali ini aku tidak perduli. Aku sangat menikmati perasaan ini, aku tidak perduli dengan apa yang orang pikirkan. Begitupun Orion, dengan santainya dia malah memanggilku Bebeb didepan teman-teman yang langsung bersorak minta pajak jadian. Entahlah, apa sebenarnya yang ada dibenak mereka tentang hubungan yang seperti ini. Mungkin untuk mereka hanya lelucon, tapi bagiku dan Orion, cinta kami adalah sebuah kisah, dan kami akan menjaganya sampai berakhir indah.
End.
Ini hanya cerita fantasi. Sekedar untuk menghibur diri sendiri. Bahwa cinta sejati itu ada untuk kita miliki. Mungkin saat ini masih berada dibelahan dunia yang lain, atau masih berada diatas langit, tapi yakinlah, suatu hari cinta sejati akan menghampiri..
Just wait and see
0 komentar:
Posting Komentar