JEALOUS Part 5


By: Kim Hye So
Lelaki itu kaget. Untuk pertama kalinya ia tahu rumah Lana. Pria pendiam yang dicintainya sejak setahun lalu, dengan hubungan mereka yang pasang surut itu, ternyata memiliki sebuah rumah mentereng berlantai tiga dengan garasi mobil yang luas. Rumah dengan pilar-pilar besar bergaya romawi kuno itu sungguh artistik dan mewah.
Lelaki itu malah terperangah karena tak menduga sama sekali bahwa keluarga kekasihnya akan sekaya itu. Galih benar, dirinya terlalu sombong. Ia terlalu berbangga dengan kekayaan keluarganya.
Padahal dibanding dengan Lana, kekayaan keluarganya tak ada artinya sama sekali dan ia telah memperlakukan Lana bagai orang kampung. Yang benar saja! Ia sungguh tak menduga. Ia sendiri yang bergaya norak dan kampungan.
Keluarganya bahkan tidak punya satpam yang menjaga rumah. Namun rumah Lana dijaga tiga orang satpam siang hari. Entah kalau malam hari, tentu lebih ketat.
Tiba-tiba Seger merasa perbuatannya adalah konyol. Benar kata adiknya, banyak yang tidak suka kalau ia memperlakukan Lana seperti orang kampung. Padahal Lana itu salah satu bintang kampus yang menjadi incaran para gadis dan juga pria(gay tentu saja). Bahkan Imam pun yang dulu memusuhi Lana, membela dan memarahi adiknya.
Tingkah lakunya dan Rama memang sudah keterlaluan. Ia kena batunya sekarang. Bahkan ia yang menganggap Galih hanyalah lelaki miskin biasa, keliru besar. Ternyata tangannya hampir patah. Galih sangat dihormati di kampus. Siapapun yang mendengar perkelahian dirinya dengan Galih pasti akan meyalahkan Seger. Tak ada yang menyalahkan Galih.
"Maaf tuan mau ketemu siapa?" seorang satpam menemuinya
"Apakah Lana nya ada?"
"Anda siapa?"
"Saya teman kuliahnya."
"Teman? Saya tidak pernah melihat Anda datang ke rumah ini?"
"Ini baru pertama kali saya kesini. Kalau di kampus setiap hari ketemu."
"Nama Anda?"
"Seger Wahyudi."
"Baiklah, sebentar, biar saya hubungi Mas Lana dulu." satpam kembali ke gardunya. Tak seberapa lama satpam itu kembali.
"Silahkan tunggu di teras! Mas Lana sedang ganti pakaian."
"Boleh saya bawa masuk mobil saya?"
"Silahkan!"
Seger masuk. Dan ia melihat sendiri halaman yang luas, dengan rerumputan yang menghijau di taman depan.
Mobil berhenti di teras rumah, di antara dua pilar raksasa sebagai gapura masuk ke dalam rumah. Sungguh aneh, mengapa dirinya begitu sombong dan sering memarahi Lana.
Ia duduk di teras. Ya, hanya di teras Lana menemuinya. Sikap Lana mungkin sudah berubah kepadanya, seperti kata Rama yang sempat bertengkar dengannya. Gila! Rama makin memperkeruh suasana saja.
Langkah Lana terasa mendebarkan Seger. Apakah hubungan mereka bisa diperbaiki? Sementara Galih memintanya menjauhi Lana. Sebenarnya Seger masih mencintai Lana. Kelakuannya yang butuh diubah, bukan menjauhi Lana. Tapi Seger tak menyangka jika rupanya Galih sama sepertinya, Lana maupun Imam.
Lana memakai kaos yang agak besar dengan celana pendek ketat.
"Lana...!"
"Duduklah Mas! Mas Seger tak perlu mendekatiku. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi."
"Maafkan aku..." Lana tersenyum tipis. Ada perasaan getir yang menyelimuti hatinya.
"Ku pikir Mas adalah lelaki yang bisa ku cintai, tapi mas malah melukai perasaanku beberapa kali. Aku salah memilih teman dekat rupanya.."
"Aku mengaku salah!"
"Sudahlah! Sudah berakhir! Kita masih menjadi teman satu kampus, tapi diantara kita sudah tidak ada benang cinta itu. Oh ya, ku dengar Mas Seger memukul Mas Galih?"
"Aku tidak tahu, aku emosi..."
"Sebuah kesalahan yang besar yang tak mungkin termaafkan. Sikap seperti ndoro yang sombong tidak pantas Mas terapkan di kampus kita."
"Ya, aku menyadarinya..."
"Mas tidak tahu siapa Mas Galih. Jika Mas tahu, Mas tak akan berani kurang ajar padanya. Mas pasti tidak pernah mengikuti kegiatan mahasiswa di kampus. Jika saja Mas ikut salah satunya, Mas akan tahu siapa Mas Galih!"
"Ya, aku tahu sekarang..."
"Untung dia pemaaf, kalau pendendam bisa remuk seluruh tubuh Mas Seger."
"Aku mengaku salah Na,"
"Ya sudah, aku memaafkan." kata Lana sambil tersenyum sabar. Sikapnya kalem, seperti tak pernah terjadi apapun.
"Bagaimana dengan hubungan kita?"
"Kalau yang itu, sudah berakhir. Mas sudah tiga kali mengajak berpisah dan memarahi aku tanpa aku melakukan kesalahan sedikitpun. Mas tahu, justru kalau aku tidak mengajak Mas Galih berbelanja kemarin, aku sudah tergelincir. Dia yang menyelamatkan aku saat di escalator. Dan Mas malah menuduh yang tidak-tidak. Sementara Mas bilang tak ada waktu, ternyata Mas hanya berbelanja saja bersama adik Mas, yang tujuannya sama denganku."
"Maafkan aku..."
"Aku bukan pendendam. Aku sudah memaafkan. Tapi aku tak tertarik untuk melanjutkan hubungan kita. Mas bukan lelaki yang kudamba lagi. Sifat buruk Mas sudah kelihatan dan aku tidak suka itu."
"Jadi..."
"Lebih baik Mas pulang, sebab, aku bisa mengusir Mas dengan memanggil dua satpam kesini untuk menyeret Mas keluar."
"Mas datang untuk memperbaiki hubungan kita sayang..." pandangan Seger menjadi lebih sayu. Lana hanya tersenyum. Ia tampak sabar, meski senyumnya pahit.
"Itu baik, tanpa itu, kita tak akan saling mengenal bukan?"
"Mas datang untuk meminta maaf."
"Aku sudah memaafkan Mas. Tapi sayangnya Mas masih sempit memandang suatu pergaulan, aku memakluminya. Mas sombong dan angkuh, aku juga memaklumi. Tak ada masalah lagi kan?"
"Bagaimana dengan cinta kita dek?"
"Sudah tidak ada Mas, aku sudah membuangnya jauh-jauh. Buat apa cinta, kalau hanya membuat kita tersakiti dan teraniaya. Bukankah lebih baik kita tak usah bercinta? Aku bukan pria lemah, tetapi aku hanya mencoba bersabar menghadapimu Mas. Namun aku ini manusia biasa, bukan dewa, kesabaran itu ada batasnya. Bagaimana? Puas dengan semua jawaban?"
"Kamu serius?"
"Iya..."
"Bagaimana hubungan kita?"
"Mas sudah mengakhirinya tiga kali. Sebuah tali kasih yang suduh terputus tiga kali, bukankah yang tersisa hanya luka?"
"Mas datang untuk menyambungnya,"
"Yang ini tidak bisa Mas. Kecuali sebagai teman di kampus, aku sudah tidak tertarik untuk berjalan dengan lelaki sesombong Mas. Main marah, main pukul enggak tahunya Mas tidak sebanding dengan orang yang Mas marahi dan tidak sebanding dengan lelaki yang Mas pukul. Akhirnya Mas kan yang minta ampun. Aku tidak suka lelaki pecundang."
"Carilah pria lain! Atau wanita lain! Bukankah Mas seorang bisex?"
"Bagaimana dengan kamu?"
"Sudah. Aku sudah cukup menemui Mas untuk membereskan persoalan kita. Ingat! Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa. Jangan biarkan adik Mas liar memaki orang sesukanya! Suatu hari, aku bisa tunjukkan padanya kalau aku bisa menghajarnya. Percayalah, dan suatu hari, aku juga bisa menunjukkan pada Mas, kalau aku bisa menyeret Mas ke meja hijau, kalau Mas membuatku sakit hati lagi. Dengarkan! Kita sudah tidak ada hubungan apapun. Dan jika Mas datang lagi ke sini, aku akan memerintahkan satpam untuk mengusir Mas..."
"Lana...?"
"Sudah! Waktuku sudah habis buat Mas. Segera saja Mas tinggalkan tempat ini. Sebab begitu masuk, aku akan perintahkan satpam lewat telephone untuk menyeret Mas keluar. Tapi bukankah akan jadi lebih baik jika Mas keluar sendiri?"
Tanpa emosi, namun ucapan Lana begitu serius. Sehingga Seger harus merenungkan lebih dalam lagi.
Penyesalan memang datangnya selalu terlambat. Namun Seger menyesalpun tetap harus segera pulang. Hubungan mereka telah berakhir tanpa emosi. Namun suasana yang tercipta sangatlah ironis. Lelaki itu harus segera meninggalkan rumah sang mantan kekasih seperti seorang lelaki yang terusir.
Memang itulah yang terjadi. Ia segera melangkah turun ke teras, begitu pintu tertutup tanpa suara. Namun terkunci dari dalam. Seger jadi jengkel sendiri. Ketika ia melihat kaleng kosong tak jauh dari mobilnya, ia menendang dengan keras.
"Ada apa Mas?" dua satpam sudah berdiri tak jauh darinya.
"Tidak ada apa-apa pak." Seger tak mau cari ribut di rumah orang. Ia segera naik ke dalam mobilnya dan meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang terhempas. Salahnya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar