Padang Bulan, 23 Desember 2003
Sebenarnya aku ingin pulang merayakan natal bersama keluargaku di Kisaran seperti Teuku yang tega meninggalkanku untuk merayakan lebaran dengan keluarganya di Banda Aceh. Aku benci bila ingat bagaimana dia membuatku kehabisan akal untuk menghalangi kepulangannya di penghujung Bulan Puasa lalu, saat itu dia sedang memasukkan baju-baju ke ranselnya.
“Aku bisa nangis penuh satu bak mandi bila gak nyium tangan abah dan ummiku setelah Shalat Ied…” jawabnya ketika aku memintanya untuk tidak pulang.
“Iya, aku ngerti… tapi liburnya kan cuma sebentar, cape loh bolak-balik. Banda Aceh tuh jauh…”
Dia melotot, “Kamu sanggup liat aku di sini kayak duda ditinggal mati istri, bengong sambil nangis di hari raya? Kamu gak kasihan?”
“Trus kalau kamu pulang, aku di sini sama siapa?”
“Sendirian,” cetusnya enteng.
Aku manyun, ingin saja aku mengeluarkan semua baju yang sudah dimasukkannya dalam ransel. Tapi aku langsung luluh saat dia menutup obrolan sambil menatap sayu padaku.
“Ummi kangen aku, Gar… ingat, dia bahkan berat ngelepas aku kuliah jauh kemari. Meski belum lama di sini, aku juga sudah merasa kangen rumah…”
Dan sekarang, saat tiba waktuku, dia malah berhasil membuatku luluh untuk membatalkan rencanaku pulang ke Kisaran. Sungguh tak adil.
“Gak sampai tiga hari kok, tanggal dua enam aku udah ada di sini lagi. Mama juga sudah kukabari kalau aku berangkat sore ini.”
Teuku duduk bersila di atas ranjangku, diam menunduk sambil memilin-milin rumbai sarung gulingku dalam pangkuannya. Aku menatap sekilas lalu meneruskan memilih baju dari lemari yang akan kubawa pulang nanti.
Teuku masih diam selama aku sibuk, masih menunduk hingga aku selesai memasukkan beberapa pasang baju dalam ransel. Sejak masuk kamarku belasan menit lalu, dia baru mengucap satu kalimat saja, “Jangan pulang dong, Gar…” setelah itu dia diam di atas ranjang.
“Beneran, tanggal dua enam aku akan balik. Ultahmu kan?” kutatap dia yang masih tidak bereaksi. “Aku janji bakal ngucapin selamat ulang tahun buatmu langsung dari mulutku, face to face…” kuturunkan ransel ke lantai lalu duduk di sampingnya.
Teuku tak merespon, sebaliknya dia semakin beringas membuat kusut sarung gulingku. Saat sedang begini, dia sungguh terlihat bagai anak SMP seperti yang kukira pertama kali dulu.
“Kamu khawatir aku gak balik pas tanggal dua enam ya?”
Teuku kian menunduk.
“Kamu khawatir nanti gak ada kawan buat ngerayain ultahmu, kan? Kamu khawatir aku keasyikan di rumah dan mutusin gak balik hingga lewat tahun baru, iya?”
Tiba-tiba saja aku mendengar bunyi serut ingus.
HAH? Apa ini? Aku menunduk mencoba menjenguk ke wajahnya, rambut kriwilnya menghalangiku. Kutahan diriku agar tidak tertawa, Teuku sedang berair mata. “Aku gak pernah ingkar janji, dini hari tanggal dua enam nanti aku udah ada di sini lagi. Pasti…”
Teuku mengucek matanya. Bunyi ingus diserut terdengar lagi. Dia menunduk kian dalam.
“Hhhh…”
Aku mendesah panjang. Kurogoh hape dari saku celana, semoga aku tidak diceramahi panjang lebar layaknya khutbah misa karena plin-plan begini. Kutekan tombol panggil di hapeku…
“Ma… Edgar gak jadi balik, ya… natalan di sini aja sama temen. Salam buat Papa, Edgar minta dikirimi paket Natal…”
Mamaku memang merepet panjang seperti yang kuduga, tapi tak sempat kudengar habis. Hapeku lebih dulu terbanting ke kasur ketika Teuku berteriak girang sambil menubrukku.
“YESSS…! BERHASIIILLL…!!!”
Aku nyaris terjengkang jika saja tidak sempat memegang besi ranjang. “Sialan…!” cetusku geram.
Teuku melepaskan pinggangku lalu nyengir sambil membersihkan sisa-sisa tangis di kedua mata dan hidungnya. “Makasih… aku akan jadi batu kalau kamu beneran pulang…” ucapnya lirih, lalu menunjuk dadaku, “Dan minta maaf untuk itu…”
Aku reflek menunduk ke dadaku, noda putih bening kental tampak lengket di kemeja putih yang baru saja kukenakan, tepat di tengah-tengah dada. Ingus Teuku. Rasanya asap menyembur kencang dari kedua kuping dan tanduk mencuat runcing dari kepalaku saat ini.
“SINI KAMU BOCAAAH…!!!”
Detik berikutnya kami bergumul di ranjang diselingi suara Teuku yang memekik-mekik. Entah kerena kegelian saat pinggangnya kugelitik tanpa jeda, entah karena kesakitan sebab rambut kriwilnya kutarik-tarik tanpa henti.
***
Padang Bulan, 24 Desember 2003
Teuku langsung berbinar ketika aku membuka kardus besar yang baru saja diantar mobil travel dari Kisaran, paket natal dari mamaku. Isinya pernak-pernik natal, kue-kue dalam toples bening, topi Santa ukuran kepalaku dan dua kado yang terbungkus rapi masing-masing bertuliskan ‘MAMA’ dan ‘PAPA’ di sampulnya.
“Wah… dapat kado…!” serunya begitu aku mengeluarkan dua kado itu dari kardus.
“Iya, kado natalku. Baru boleh dibuka besok.”
Teuku langsung manyun, tapi tak lama. “Wah, ada cemara juga!” serunya lagi.
“Itu pohon natalku. Biar aku tetap ngerasain aura natal meski gak di rumah.” Kukeluarkan cemara plastik yang tingginya tak mungkin lebih dari setengah meter itu dari kardus, langsung kuletakkan di sudut kamar.
“Aku bantu ya…” Teuku menghampiriku dengan kresek berisi pernak-pernik hiasan pohon natal yang diambilnya dari dalam kardus.
“Asal jangan dibikin jelek aja,” kelakarku.
Rasanya aku tak pernah sebahagia ini ketika mempersiapkan banyak pohon natal di rumahku sebelumnya. Kali ini aku merasa benar-benar sedang mempersiapkannya. Aku dan Teuku menggantung bola-bola mengkilat warna-warni, kaus kaki mini, merekatkan bintang di pucuk cemara, melilitkan pita bercahaya dan lampu-lampu kecil ke seluruh bagian pohon. Aku merasa begitu hidup ketika melakukannya bersama Teuku.
“Kadonya diletakkan di bawah pohon, kan?” Teuku mengambil kado dari atas meja belajarku dan meletakkannya di lantai di bawah pohon, pot cemara tertutup dengan dua kotak dari mama-papaku itu.
Aku tersenyum.
“Cantik ya…”
“Hemm…”
“Merry christmas, Gar…” ujarnya.
“Masih besok…”
Dia mendecak, “Kue-kue ini juga gak boleh dimakan sebelum besok ya?” sekarang toples-toples berisi kue kering bikinan mamaku jadi sasaran perhatiannya.
“Jangan dihabiskan…”
Dia menyengir seperti kebiasaannya, kemudian mulai mempreteli toples itu satu persatu sambil mengecap-ecap. Hatiku berdesir melihat betapa imutnya dia, aku semakin sayang pada mahasiswa belia satu ini.
***
“Di Jalan Pemuda katanya ada gereja besar, besok kamu natalannya ke sana saja…” demikian dia berujar ketika aku membicarakan pengalaman natalku selama di Kisaran setelah kami mengosongkan setengah dari isi masing-masing toples kue.
“Iya, aku tau… itu Gereja Katedral Medan, sudah ada sebelum merdeka…”
Dia bengong. “Benarkah? Dari dulu udah ada dan bagus gitu?”
“Ya enggak dari dulu bagusnya, maksudku gereja itu sudah berdiri sejak sebelum merdeka, gitu. Konon, pada saat pertama dibangun, atapnya masih ijuk dan daun rumbia…”
Teuku mendengarkan ceritaku penuh minat, entah karena dia memang suka mengikuti sejarah atau karena dia memang menyukai ceritaku. Atau bisa jadi karena dia juga suka mendengar suaraku seperti aku yang suka mendengar logatnya.
***
Kota Medan, 25 Desember 2003
Aku keluar dari Gereja Katedral Medan setelah mengikuti Misa. Teuku tersenyum begitu aku berjalan menujunya. Kemarin dia benar-benar bersikeras menyarankanku untuk mengikuti misa di gereja paling tua di Sumut ini. Jemaatnya ramai sekali.
Aku sudah melarangnya untuk ikut, tapi dia tetap memaksa ingin mengantarku. Jadi, selama aku mengikuti Misa, Teuku setia menunggu di tempat makan tidak jauh dari gereja. Begitu tiba di tempatnya, alisku bertaut melihat tujuh buah gelas kosong bertebaran di atas meja.
“Tiga kali ke kamar mandi…” dia berucap sambil menunjukkan tiga jarinya begitu aku melongo sambil menatap tak percaya pada gelas-gelas di depannya. “Aku minum tiga macam jus, dua gelas es teh manis dan dua macam kopi…” lanjutnya, “Meja kasirnya ada di sana…” kali ini sambil menunjuk meja di dekat pintu keluar yang dijaga seorang wanita paruh baya.
Aku geram setengah mampus. Dia yang mengosongkan gelas, aku yang harus bayar. Bagaimana dia bisa tahan minum sebanyak itu? “Banyak bener…” lirihku.
“Masih untung aku gak ngosongin tujuh buah piring, sana bayarin!”
Aku menuju meja kasir sambil menggerutu dan bibir mengerucut.
***
***
Padang Bulan, 26 Desember 2003
“HAPPY BIRTHDAY, MUNGIIIIILLL…!!!”
Aku menerobos ke kamarnya tepat tengah malam dengan kue tart murahan di tangan kanan dan kado kecil berbungkus kertas perda di tangan kiri.
“HAH…?!?”
Aku menyalakan lampu kamarnya, kutemukan dia terduduk bengong di atas ranjang dengan rambut kusut dan tampang mengantuk. Selimut tebalnya bergulung-gulung di pinggang. Mulutnya tetap menganga ketika dia mengucek mata dengan kedua tangan. Aku berhasil mengacaukan jam tidurnya.
“Kenapa harus tengah malam begini sih, Gar? Ganggu tau… besok pagi kan bisa ngucapin selamatnya. Orang rumahku aja belum ada yang nelpon, eh kamu malah aktif sendiri…” dia menguap, lalu mengeluarkan diri dari selimut, sekarang duduk menjuntai di tepi ranjang.
“Wew, harusnya kamu seneng dong ada yang ngucapin tepat waktu. Hari ultah itu baru kerasa sakralnya ya begitu masuk permulaan hari, kayak sekarang.” Aku melangkah mendekati ranjangnya. “Orang-orang yang menyayangiku selalu ngucapin selamat saat masuk tanggal lahirku tepat tengah malam.” Kulabuhkan bokongku di pinggir ranjangnya.
“Ummiku bilang, tanggal lahir itu bukan untuk dirayakan, tapi untuk direnungi…”
“Siapa yang mau merayakan?”
“Lah, itu apa?” dia menunjuk kue tart-ku.
“Ini kue, buat kita makan…” jawabku, “Perayaan itu kan hura-hura, hingar-bingar, ini kan cuma kue saja.”
Dia manggut-manggut, “Dulu kami pernah memperingati hari lahirku dengan bikin syukuran di rumah, undangannya anak-anak panti asuhan…”
Aku diam, tidak merespon kalimatnya. Kunyalakan lilin angka 16 di atas kue. Aku tersenyum lalu mulai bernyayi sendiri.
“Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday happy birthday, happy birthday Mungil…”
Dia terpegun, “Bilang apa barusan?”
“Nyanyi happy birthday, kan? Apa lain?”
“Gak, gak… yang terakhir, nyebut apa?” dia antusias, bahkan beringsut lebih dekat padaku.
“Mungil…” jawabku enteng. Apa dia tidak sadar kalau saat masuk tadi aku juga meneriakkannya dengan panggilan demikian? Mungkin tadi kupingnya belum terjaga sepenuhnya.
Alisnya bertaut. “Maksudnya?”
“Maksudnya ya mungil, kecil, kate, imut, mini, gak gede…”
“Kamu manggil aku gitu sekarang?” dia membelalak, “Kok kesannya kayak aku ini cewek kelas enam SD ya?”
Aku terbahak, “Usia baru, nama panggilan yang baru, oke Ngil…” aku mendekatkan kue, “Ayo tiup lilinnya.”
Dia terlihat mikir-mikir, lalu menyeringai jahil, “Aku juga mau berhenti manggil kamu Edgar, mulai sekarang kamu adalah,” jeda sesaat yang menimbulkan lipatan di keningku. “Jayen… G-I-A-N-T, Jayen.” Dia meniup lilin. “Makasih, Jayen…”
Giliranku yang membelalak. “Apa aku mirip Takeshi yang jadi Jayen di Doraemon?”
Dia menggeleng, “Boleh aku makan kuenya?”
“Trus kenapa manggil aku gitu?” kujauhkan piring kue dari jangkauannya.
Dia mengerucutkan bibir, “Julius Edgar Siagian… di ujung namamu kan ada G-I-A-N-nya, aku cuma nambah huruf T aja. Kalau udah ditambah huruf T kan jadi lain lafalnya, tapi itu masih ada unsur namamu kok.”
“Kamu sedang berusaha membegokanku, ya?” kutatap dia tanpa berkedip.
Teuku menggeleng lagi, “Boleh aku makan kuenya?” untuk kedua kalinya dia bertanya dengan nada lebih memelas.
Aku mendesah, ah sudahlah. Terserah dia memanggilku apa. Kusodorkan piring, “Semoga panjang umur ya, Mungil…”
“Amiiin…” dia menggenggam sendok dan membelah-belah kue kecil itu. “Ayo makan…”
“Nanti dulu, kadoku belum kamu buka…” aku mengulurkan tangan kiriku.
Dia batal menyuap kue ke mulut, menatap kotak kecil yang kuangsurkan buatnya. “Itu kado? Kecil amat, bungkusnya pun jelek…”
Rasanya aku ingin menimpukkan piring di tangan kananku ke mukanya yang tidak lebih besar itu. Tapi aku tak mungkin tega, alih-alih aku malah tertawa. “Siapa suruh lahir tanggal tua begini? Coba kamu lahirnya pas tanggal muda, kiriman dari rumah baru datang, pasti kotaknya gak segini…”
Dia tersenyum, “Bercanda…”
“Jangan liat dari besar kecilnya…”
“Tapi lihatlah dari keikhlasan orang yang memberi,” Teuku menyambung kalimatku, “Itu adalah cara ngeles orang pelit kebanyakan.”
Aku tertawa lagi, “Gak kok, aku beneran ikhlas, dan memang cuma sanggup kasih segini.”
Teuku mengambil kotak dari tanganku, “Makasih ya, Jayen…”
“You’re welcome, Mungil…”
Kotak itu langsung rusak begitu berada di tangan Teuku, dia membukanya dengan style preman pasar nagih iuran keamanan. Semoga saja dia tidak jantungan ketika melihat isinya.
“BOLA…!” dia membeliak, “Tenis?” kali ini sambil menunjukkan bola itu tepat di depan hidungku.
“Bisbol,” sahutku pendek.
Bahunya turun, “Rugi bangun tengah-tengah malam buta begini…”
Aku menarik rambut kriwilnya, “Gak tau terimakasih banget… aku ikhlas tau!”
“Bercanda…” dia menimbang-nimbang bola hijau itu di tangannya, “Siapa tahu ke depan nanti aku bisa jadi pemain tenis kayak Roger Federer… makasih ya…”
“Udah berapa kali makasihnya?” aku menimpuknya dengan kotak bekas kado, “Itu bola bisbol, ultahmu kali depan aku beliin sarung tangannya, terus ultah sekali lagi aku kasih pemukul. Komplit selama tiga tahun.” Iseng kutarik lagi rambutnya lalu mendahului menyerbu isi piring.
“Sakit tau!” dia menggapai kepalaku, maksudnya ingin balas menjambak. Namun karena badannya lebih pendek dia kesusahan melaksanakan niat.
Teuku naik ke ranjang dan menumpahkan kekesalan dengan berusaha menumbangkanku. Aku tersedak kue yang belum selesai kukunyah. Di saat aku terus batuk-batuk, Teuku justru tertawa-tawa sambil menyerang kepalaku tanpa ampun. Piring kue jatuh ke kasur dan menumpahkan isinya di atas seprei, tapi sepertinya dia tak peduli.
“Ngil…” aku batuk-batuk, “Stop, aku kesedak…” masih batuk-batuk.
“Mampus…” dia tak menggubris.
Aku menelungkup di ranjang sambil terus menyalak sementara Teuku duduk di pinggangku sambil ngakak besar.
“WOIII…!!! BERISIIIKKK…!!!”
Ada yang berteriak dari kamar sebelah, aku dan Teuku langsung terdiam.
Bersambung~
0 komentar:
Posting Komentar