Note: terinspirasi lagu Monster Eminem ft. Rihanna dan film Disney `Tangled: Story Tale of Rapunzel'
***
"Kita bertemu lagi"
Suara berat yang serak itu, membelalakan mata Julian dan Kiel melihat sosok tegap Jimmie yang berdiri di ambang pintu kamar, menatap mereka dingin. Sorot mata yang penuh dendam.
Mendadak rasa takut itu menghantui Kiel. Sementara Julian tak mengerti kenapa mantan atasannya itu bisa berada di Varosha. Dengan cepat ia menarik tangan Kiel yang berdiri mematung, menyembunyikan pemuda cantik itu ke balik punggungnya.
"Seharusnya aku mendengar desas-desus di antara prajurit jika kau sering datang ke selnya untuk mengobrol" kata Jimmie, sorot matanya menyiratkan luka menatap Julian. Bergerak maju dan membuat pria tampan itu melangkah mundur dengan satu tangan ke belakang seperti melindungi Kiel akan serangan yang mungkin terjadi.
"Seharusnya aku tahu kalau hal ini akan terjadi" Jimmie terus melangkah maju.
"Ada berapa yang datang kesini?" tanya Julian tak kakah angkuh "Hanya aku, mereka yakin kalau kau sudah mati, jadi untuk apa harus repot-repot"
"Lalu anda?" Julian menatap waspada.
Langkah kaki Jimmie berhenti tepat saat ia menggiring mantan Jendralnya itu ke ruang depan. Dan pria tampan itu dapat merasakan jika Kiel yang berdiri di belakang punggungnya mulai ketakutan.
"Kau tahu bagaimana rasanya di khianati oleh orang yang kau percaya?" sindir Jimmie, rahangya mengeras. Julian hanya diam.
"Menyedihkan saat kau sangat mempercayai seseorang tapi orang itu mengkhianati mu" jeda. "Apalagi jika orang itu kabur dengan musuhnya sendiri"
"Aku tidak memiliki niat untuk mengkhianati anda"
"Lalu apa? Kau suka pada anak itu?"
Julian tak menjawab, yang ada di kepalanya saat ini hanya bagaimana caranya melindungi Kiel jika Jimmie mulai menunjukkan tanda-tanda tak baik.
Ah, bukannya saat ini tindak-tanduknya sudah `tidak baik?
"Aku tahu kau pasti datang kesini, aku datang untuk menjalankan tugasku" kata Jimmie memasukkan tangan kanannya ke saku.
"Menangkap ku?"
"Salah satunya, aku juga harus melakukan prosedur untuk musuh kita"
Kiel menundukkan kepalanya, beban itu kembali menghantuinya. Tidak baik memang, dirinya sudah terlalu nyaman dan seolah `lupa' jika dirinya adalah Monster yang tak di inginkan.
Krek
Suara kecil itu seketika membuat Kiel mengangkat wajahnya, matanya membelalak kaget melihat mulut pistol mengarah pada Julian. Pria bertubuh kekar itu menatap tanpa ekspresi, sama seperti Julian saat ini.
Klik
"Tidak!"
DOR!!
Tubuh ringkih semampai itu berguncang saat timah panas menembus ke dalam kulitnya, tepat saat ia keluar dari belakang punggung Julian.
"Kiel!!" suara berat itu tercekat. Matanya membelalak dan refleks menangkat tubuh Kiel yang limbung kearahnya.
Pemuda cantik itu merintih kesakitan, wajahnya memucat, sementara luka tembak di perutnya terus mengeluarkan darah. Julian menekan luka itu dengan tangannya, menyangga kepala Kiel di pahanya.
"Apa yang kau lakukan?!" tanyanya murka, wajahnya kini memerah karena amarah. Jimme dengan santai mengokang pistolnya kembali dan mengarahkannya pada Julian.
Klik
Tidak ada peluru yang keluar, Jimmie menaikkan satu alisnya dan membuka tempat peluru pistolnya.
"Kau beruntung, peluru ku habis" ucapnya tenang.
"Syukurlah..." Kiel mendesis lirih, jelas sekali ia menahan sakit.
Dengan kesadaran penuh, ia dapat melihat wajah takut Julian di antara dinginny wajah tampan itu, dengan mata yang berkaca-kaca, dan ini pertama kalinya dirinya melihat reaksi seperti ini dari pria itu.
"Jangan khawatir...aku baik.." ucapnya lirih.
"Ada peluru di perut mu! Kamu masih bisa berkata baik!?" kentara sekali jika Julian di liputi ketakutan saat ini. Kiel berusaha tersenyum.
"Asal peluru..nya di keluarkan...lukanya akan...cepat pulih" ujarnya terbata. Wajah cantik yang pucat itu semakin mirip dengan boneka.
"Ada apa disini?!" suara Richard menyeruak, bersama kehadiran banyak orang yang kini melihat kaget akan apa yang sudah terjadi di dalam rumah itu.
Beberapa orang disana menutup mulut kaget melihat Kiel yang terbaring di lantai dengan luka lubang di bagian perutnya. Tapi dari sekian orang penduduk Desa yang ada disana, tampak sepasang mata berwarna cokelat gelap menatap lekat pada sosok cantik bagai boneka klasik itu.
"Karena kalian berkumpul disini, sekalian saja ku tunjukkan sesuatu" ucap Jimmie, menyimpan kembali pistolnya ke saku celana belakang dan tanpa iba sedikit pun menarik rambut perak Kiel yang terkepang, membuat si Aquamarine itu memekik sakit karena di seret paksa mendekatnya.
Julian memanas melihat perlakuan itu, tapi saat ia akan bergerak Richard menahan pundaknya. Pria berjenggot itu menggeleng pelan saat Julian menatap, ia tidak ingin pria muda itu bertindak gegabah dan memperkeruh suasana.
"Aah..." Kiel merintih dengan kepala setengah terangkat, tangannya yang lain memegangi kepalanya.
"Lihat baik-baik, anak ini tidak seperti yang kalian lihat. Anak ini buronan kami, pernah dengar tentang Monster rambut perak?" Jimmie menatap satu persatu wajah yang menatap tegang padanya.
"Anak ini adalah monster yang di maksut. Kalian tidak akan percaya karena wujudnya `kan? Dan bukankah itu alibi yang sangat cantik? Tidak akan ada orang yang mencurigainya" Jimmie semakin erat menarik rambut Kiel.
"Kiel tidak akan menyerang seseorang jika tidak ada yang memulainya" kata Julian, tak terima dengan penjelasan Jimmie. "Dia hanya melukai orang yang sudah melukainya" imbuhnya tegas.
"Dan dia sudah membunuh banyak orang, apapun alasannya" Jimmie bersikeras.
Ketegangan yang melingkupi ruang depan di rumah itu di warnai kasak-kusuk para warga yang kini menatap Julian tak percaya.
"Lihat ini" ucap Jimmie, melepaskan rambut perak Kiel dan merobek shirt putih yang di kenakan pemuda cantik itu.
Dengan tanpa kesulitan Jimmie berhasil merobeknya dan membelalakan semua mata yang terkaget melihat jika sosok cantik itu tak memiliki buah dada yang sewajarnya kaum wanita miliki. Membuat shock seorang pemuda tinggi berkulit langsat yang memiliki sepasang mata berwarna cokelat.
"Dia laki-laki?" tanya Richard menatap Julian tak percaya, pria tampan itu hanya bisa mengangguk samar.
Amarah yang sempat menguasainya kini mulai padam saat melihat kesedihan di mata biru Kiel yang kini menatapnya.
"Apa kalian akan diam saja? Ketenangan Desa ini telah di rusak oleh dua orang tak bermoral" kata Jimmie, membuat para warga yang berkerumun disana sibuk berkasak-kusuk.
"Ku anggap kita impas, kau sudah menghancurkan kepercayaan kami padamu" ujarnya, sekilas menoleh pada Kiel yang terbaring pasrah di sisi kanannya.
Pria bertubuh kekar itu melangkahkan kakinya melewati para warga yang berkerumun, melenggang pergi dari rumah sederhana itu.
Juian menghambur dan berhati-hati mengangkat tubuh ringkih itu.
"Akan ku temui kalian setelah merawat lukanya" kata Julian tak sedikit pun menengok.
Kiel yang kini berada di gendongan pria tampan itu menatap Richard yang memperhatikan mereka masuk dengan tatapan sendu. Membuat pria berjenggot itu harus menahan nafas karena rasa iba.
Entah bagaimana penduduk Desa menyikapi hal ini, yang jelas hal itu cukup membebani Kiel yang membuat Julian berada di posisi tidak menguntungkan.
***
Suara tiupan angin di luar membuat suasana semaking hening, diantara ketenangan salah satu kamar di rumah itu kecemasan Julian belum juga berakhir.
Pria tampan itu tak bosan duduk di kursi kayu di samping tempat tidur, menggenggam tangan Kiel di sisi tubuhnya dan dengan tatapan sendu memperhatikan wajah cantik itu yang kini tak lagi pucat.
Nafasnya naik-turun dengan teratur, dan itu tandanya Kiel telah baik-baik saja setelah beberapa jam yang lalu ia mengeluarkan peluru di perut si cantik itu dengan permintaan Kiel sendiri. Dan setelah peluru itu berhasil di keluarkan, Kiel tertidur sampai detik ini.
Padahal hari telah berganti malam, dan Julian tak sedikit pun merasa lelah menunggu pemuda cantik itu membuka matanya. Meski saat ini banyak hal yang berkecamuk di kepalanya, yang salah satunya adalah penduduk Desa yang tiba-tiba mendatangi rumahnya saat kejadian berlangsung.
Julian dapat menebak jika Richard lah yang mengabarkan pada warga jika dirinya datang, karena itu mereka bermaksut datang ke rumahnya dan mendengar suara tembakan. Dan semuanya sudah terjadi, tidak ada yang harus di sesali bukan?
Julian mengelus kepala Kiel pelan, merasakan rambut peraknya yang terurai lembut di tangannya. Namun ketengan itu terusik ketika ia mendengar suara pintu yang di ketuk dan suara Richard kemudian.
Ia pun bangkit dari kursinya dan keluar kamar menuju ruang depan, bagaimana pun juga dirinya harus menemui pria itu dan para warga yang mungkin menunggu penjelasan darinya.
"Silahkan masuk" ucapnya setelah membuka pintu, ada sekitar 6 orang warga yang datang dan semuanya adalah tetua di Desa ini.
"Kami semua cukup kaget saat tahu jika anak itu laki-laki" Richard memulai.
"Memang hal yang sulit di toleransi dan cukup rumit" Jack menambahi. Julian menatap wajah-wajah disana, berusaha menangkap berita buruk yang mungkin akan di dengarnya.
"Kami akan pergi jika Kiel sudah membaik" ujarnya mantap. Richard menatap kelima warga disana, seperti sedang mencari kesepakatan di sorot mata masing-masing.
"Kami berhutang banyak padamu nak, berkat kau dan para prajurit mu kami semua disini bisa hidup layak. Terlebih kau tidak hanya membangun pembangkit listrik disini, kau juga mengajari kami bercocok tanam dan lainnya" kata Ronald panjang lebar.
"Aku melakukan semua itu bukan untuk mengharapkan balas budi" ucap Julian.
"Penduduk Desa hanya ingin membalas kebaikan mu walau semua ini terasa aneh untuk kami semua, tapi tidak ada alasan untuk berbuat baik bukan?"
Julian menatap tiga orang pria dan tiga wanita disana dengan bingung.
"Kami percaya kau datang kemari untuk hidup tenang seperti kami, dan kami juga percaya kalian orang baik" lanjut Maria. Wanita paruh baya yang memiliki kulit cokelat dan cukup akrab dengan Julian dulu.
"Tinggallah disini, asal kalian berjanji tidak akan ada hal mengejutkan lagi" Carrol menambahkan, tersenyum tipis pada Julian yang kini menatap tak percaya.
Meski tak tampak jelas di wajah angkuhnya yang tampan, namun dapat di pastikan jika pria tampan bermata abu-abu itu sedang tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Penduduk Desa telah sepakat, jadilah bagian dari Varosha" Maria tersenyum.
Serasa bebannya lenyap tertiup angin, Julian masih terdiam mencerna semua ini. Meski begitu ia dapat lega luar biasa melihat ekspresi ramah mereka.
BERASAMBUNG~
0 komentar:
Posting Komentar