Note: terinspirasi lagu Monster Eminem ft. Rihanna dan film Disney `Tangled: Story Tale of Rapunzel'
***
Malam tiba begitu cepat, menyeruakan suara malam yang mencekam. Suara gesekan ilalang dan pepohonan bercampur dengan bisikan angin serta merdunya suara Burung Hantu. Menjadi alunan musik yang tak terbayangkan, layaknya pertunjukan orchestra yang menakjubkan.
Suara-suara hewan malam itu memberitahu sosok sang Monster akan malam yang telah larut. Si Aquamarine itu kini dapat sedikit tenang, ia tak perlu bingung dimana harus bersembunyi karena tidak akan ada satu orang pun yang berani menerobos hutan saat malam. Sekalipun itu para prajurit Cyprus.
Entah bisa di katakan beruntung atau tidak. Setelah sekuat tenaga membawa Julian yang bertubuh lebih besar darinya, dengan menyeret pria itu, Kiel menemukan sebuah gubuk reot yang hampir roboh. Pemuda cantik itu memutuskan untuk beristirahat disana dan merawat luka Julian yang mengeluarkan cukup banyak darah.
Dan beginilah dirinya sekararang, duduk bersimpuh di dekat Julian yang di baringkan di tanah, sementara ia merawat luka tusuk di perut pria itu dengan telaten dan lembut. Wajahnya yang cantik tak sedikit pun menampakkan lelah meski sudah berjam-jam ia menggunakan rambut perak ajaibnya untuk merawat luka Julian.
Sorot mata birunya itu terasa lembut saat menatap wajah tampan Julian yang kini tak terlalu pucat seperti saat pertama ia membaringkan tubuh jangkung itu. Jarinya yang lentik iseng menyentuh hidung mancung sang Jendral, tampak rasa ingin tahu di tatapan itu, kemudian bergeser menelisik dada bidang Julian serta perutnya yang six pack.
Sepertinya si porselen itu bingung melihat perut kotak-kotak Julian yang terbentuk berkat latihan fisik yang setiap hari di lakukannya.
Bagaimana caranya perut seseorang bisa seperti itu?
Sedetik kemudian Kiel kembali fokus pada luka di bagian kiri perut itu, mengusapnya lembut. Meski belum sempurna menutup, setidaknya darahnya telah berhenti mengalir. Cukup melegakan, ia merapikan rambutnya ke depan, dan menyisirnya dengan jari.
Memang benar apa kata orang tentang rambut ajaibnya. Surai keperakan itu sama sekali tak terlihat kotor ataupun menggumpal karena tidak di terawat. Terlebih tak ada sedikit pun bercak darah setelah menggunakannya untuk luka tusuk Julian.
"Aagh..." rintihan lirih keluar dari bibir pucat sang Jendral, refleks mengalihkan perhatian Kiel dan kini menatap pria itu.
"Berbaring lah dulu, luka di perutmu belum menutup sempurna" ucapnya, menahan dada Julian saat pria itu hendak mengangkat tubuhnya.
Pria tampan itu menurut saja, tak lepas menatap wajah mulus Kiel yang menatapnya polos. Bukannya merasa sakit karena luka tusuk di perutnya, ia justru senang dapat melihat pemuda cantik itu baik-baik saja.
"Apa kamu terluka?" tanyanya terdengar lemas, Kiel menggeleng kecil.
"Maaf aku sudah menusuk mu" Kiel terlihat menyesal.
"Kalau tidak begitu tidak akan ada jalan untuk kabur `kan?" Julian mengusap pipi halus Kiel pelan dengan telunjuknya.
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanyanya bingung. Julian menarik nafas pelan.
"Aku hanya ingin kamu selamat" jawabnya kalem.
"Tidak ada orang yang sebaik ini padaku sebelumnya" kata Kiel. "Kamu orang yang terlalu baik Tuan" lanjutnya tulus.
"Julian, namaku Julian, jangan memanggil ku Tuan"
"Boleh aku bertanya Julian?"
"Hn?"
"Kenapa kamu peduli padaku? Aku musuh mu"
Julian menatap ke dalam mata Aquamarine itu, rasa damai itu selalu muncul saat melihatnya.
"...entahlah, aku hanya tidak mau melihatmu lebih terluka lagi. Tidakkah kamu lelah?" Julian menatap lembut. Kiel menggigit bibir bawahnya kecil.
"Aku bisa membawamu pergi jauh, jauh dari orang-orang yang akan mengganggu mu"
"Aku terbiasa seperti ini, aku tidak pernah berpikir untuk merepotkan orang lain" kata Kiel polos, lalu melilitkan ujung rambutnya ke tangan kanannya.
"Kenapa kamu merawat luka ku?" tanya Julian, tak lepas memperhatikan wajah Kiel yang sedang serius saat meletakkan tangannya yang di lilit rambut ke atas lukanya.
"Kamu orang baik, aku tidak mau orang yang baik padaku terluka karena aku" ucapnya, sejenak menatap Julian dan kembali fokus pada luka pria itu.
Hening kemudian. Julian tak begitu memikirkannya dan lebih memilih untuk memperhatikan pemuda cantik yang sedang menyembuhkan lukanya dengan keajaiban rambut peraknya.
Hingga pria itu memutuskan untuk memejamkan mata serta menarik nafas dalam-dalam, merasakan sentuhan lembut tangan Kiel di kulit perutnya.
"Terima kasih, aku belum pernah merasa senyaman ini sebelumnya" ucap Kiel, Julian pun membuka matanya.
"Kamu mau tetap bersama ku?" tanyanya, pemuda cantik itu mengangguk polos.
"Apa aku tidak merepotkan?" sorot matanya tampak serius.
"Sedikit pun aku tidak pernah merasakan itu" Julian menggenggam tangan kiri Kiel yang berada di dekatnya.
Mereka saling bertatapan dalam diam, menciptakan perasaan yang meletup-letup dan kenyamanan yang menyenangkan. Terlebih saat kedua belah bibir mereka saling bertaut, tanpa tahu siapa yang memulai. Mengalir begitu saja.
***
Matahari sepertinya tak sabar untuk segera menempati singgasana agungnya. Sinarnya masih terasa hangat di antara celah pepohonan tinggi, memberi sentuhan tersendiri bagi penghuni hutan. Hewan-hewan malam kini telah di gantikan oleh para hewan yang bergerak aktif sampai matahari tenggelam.
Meski udara lembab yang tak juga memudar, Julian dan Kiel telah meninggalkan gubuk reyot tempat semalam mereka istirahat. And lucky them, selain luka tusuk sang Jendral yang telah hilang, pria tampan itu menemukan beberapa pakaian bekas di dalam gubuk. Memang agak lusuh, tapi setidaknya mereka membutuhkan itu untuk `meninggalkan jejak', lagipula tidak mungkin dirinya memakai seragam abu-abunya itu. Dan menariknya, ia sengaja menyuruh Kiel untuk memakai pakaian wanita, yah dengan sosoknya itu tak akan ada satu orang pun yang meragukan `kewanitaannya'.
Sudah sekitar 2 jam lamanya, Julian dan Kiel membelah lebatnya hutan, sesekali berhenti sejenak saat menemukan buah atau jamur yang bisa mereka konsumsi. Sampai akhirnya mereka menemukan aliran sungai kecil dengan air yang jernih, kedua orang itu memutuskan untuk beristirahat sejenak.
"Sekitar 30 menit lagi kita akan sampai di perbatasan" Julian duduk di sebuah batu seraya menatap sekitar. Kiel yang tengah membasuh wajahnya pun menengok.
"Kamu tidak mencuci muka? Airnya segar" ucapnya sambil mengusap wajahnya yang basah. Julian yang tak sengaja melihat tanaman Addleways di samping kirinya, memetik bunga itu lalu bangkit mendekati Kiel.
"Ikat rambut mu, suapaya lebih mudah" katanya, meraih rambut perak Kiel yang tergerai lalu mengikatnya dan mengarahkannya ke depan.
"Terima kasih" Kiel terlihat senang mengamati bunga yang kini mengikat rambutnya. Melihatnya Julian ikut senang, padahal hanya hal kecil, tapi dapat membuat si porselen itu senang. Like a child.
Sedetik kemudian pria tampan itu sadar jika ia melupakan sesuatu. Ia merogoh saku celana lusuhnya dan mengeluarkan kalung berliontin batu mulia berwarna biru cerah.
"Ini ku kembalikan padamu" ucapnya, Kiel mengangkat wajahnya, dan senyum mengembang di bibir ranumnya.
Pemuda cantik itu tampak senang saat mengamati kalungnya yang bahkan tak pernah terlintas di benaknya akan melihat kalung cantik itu. Julian mengambilnya dan membantu memakaikannya ke leher Kiel.
"Terima kasih~" ucapnya senang, Julian hanya mengusap pelan kepala Kiel.
"Kita lanjutkan perjalanan" ujarnya, tak lupa membasuh wajahnya terlebih dahulu.
Setelah itu mereka pun kembali melanjutkan perjalan, sebelum matahari semakin tinggi. Selama itulah Kiel menunjukkan sifat aslinya yang masih polos, ia selalu berkata apa adanya, bahkan nyaris membuat Julian tertawa karena terlalu jujur.
Bukankah memang ia hanya seorang remaja yang akan dewasa?
Julian dan Kiel masih harus menempuh bukit begitu keluar dari hutan. Sinar hangat sang mentari membuat si porselen itu berhenti melangkah dengan kepala menengadah.
"Kenapa berhenti?" tanya Julian, sadar jika pemuda itu tak di sebelahnya. Kiel yang tengah menutup matanya pun menatap pria itu.
"Rasanya hangat, aku belum pernah merasakannya beberapa bulan ini" jawabnya polos.
"...mataharinya tidak akan kemana-kemana, ayo kita harus cepat" kata Julian, di jawab anggukan oleh Kiel.
Tak membutuhkan waktu lama untuk mendaki bukit dan melihat jalan setapak yang hanya cukup di lalui satu gerobak kuda besar. Untungnya tepat saat mereka turun dari bukit, sebuah gerobak pengangkut padi berjalan santai.
"Bukankah harus membayar kalau kita naik itu?" tanya Kiel menatap bingung Julian yang sedang mengangkat 1 tangannya memberi kode pada pemilik gerobak agar berhenti.
"Tenang saja, ada sedikit uang di saku celana ku kemarin" jawab Julian ketika gerobak padi itu semakin dekat.
Pria tengah baya yang mengemudikan gerobak itu pun menghentikan laju kudanya tepat di depan Julian dan Kiel.
"Apa kami boleh menumpang Pak?" tanya Julian, pria berkumis itu menatap tajam.
"Darimana asal kalian?" tanyanya baik.
"Kami dari Zara" Julian berbohong.
"Akhir-akhir ini banyak penjahat berkeliaran" pria itu memastikan jika yang menghadangnya bukan pelaku kriminal.
"Desa tempat kami tinggal sedang memanas, disana tidak aman" kata Julian, berdusta lagi. Sementara Kiel kini menatap bingung pria itu.
"Kemana tujuan kalian?" tanya pria itu.
"Kami akan ke Frazer, ke salah satu Desa disana"
"Apa kalian suami-istri?" kini pria berkumis itu memperhatikan Kiel dari atas ke bawah.
Julian menoleh pada pemuda cantik itu, lalu meraih pinggul ramping Kiel dan memeluknya. Si cantik itu pun otomatis menoleh dan menatap bingung.
"Ya, kami pengantin baru" jawabnya cepat. Sosok tinggi tegapnya serasi dengan figure cantik Kiel yang tingginya hanya sebahunya.
Sejenak Kiel melirik tangan besar Julian yang berada di pinggangnya. Rasanya hangat saat tubuh mereka bersentuhan.
"...cepat naik, tapi aku berhenti di Freya" ujar pria itu akhirnya.
"Terima kasih Pak" ucap Julian lega.
Ia membantu Kiel naik ke atas gerobak lalu dirinya naik kemudian. Mereka duduk di atas gundukan padi menghadap jalan saat gerobak itu berjalan perlahan.
"Suami istri itu sebutan untuk orang yang sudah menikah `kan?" tanya Kiel, menatap Julian bingung, pria itu mengangguk.
"Tapi `kan kita tidak menikah, kamu berbohong pada Tuan itu" ekspresi wajahnya terlihat lucu. Bibir seksi Julian tertarik samar memperhatikan Kiel.
"Berbohong demi keselamatan, tidak ada salahnya" ia membela diri.
"Tapi tetap saja tidak baik"
Julian mengusap kepala Kiel pelan. "Maaf, aku tidak ada cara lain" ucapnya lembut. Kiel hanya mengangguk kecil.
Pria tampan itu melemparkan pandangannya ke depan, menikmati pemandangan bukit-bukit yang hijau serta birunya langit, sama seperti Kiel. Dan diam-diam menggenggam tangan si cantik itu di antara tubuh mereka.
BERSAMBUNG~
0 komentar:
Posting Komentar