Monster Part 4


By: Otsu Kanzasky

Note: terinspirasi dari lagu Monster Eminem ft. Rihanna and film Disney `Tangled: Story Tale of Rapunzel'
***
Suara lolongan angin yang berhembus memberi kesan hening yang tak ada habisnya, dan meski musim telah berganti, tetap saja tidak ada kata `hangat&' di dalam badan kemiliteran Cyprus saat ini. Terlebih jika sang Monster telah berada di tangan mereka, sampai waktu eksekusi tiba, para prajurit pemberani disana belum bisa tenang sepenuhnya.
Suara Burung Hantu di luar sana, terasa sedikit mencekam, sementara sang rembulan tampak sangat indah dengan bentuk sabitnya. Seperti sebuah mata yang tengah mengintip, mata yang mengawasi kegiatan seorang Jendral muda yang sedang berkutat dengan berkas laporan yang harus segera di selesaikannya.
Julian menutup buku laporannya dan menyandarkan punggungnya rileks ke sandaran kursi. Kini sorot mata tajamnya tertuju pada kotak musik merah maroon yang tepat berada di depannya. Ia pun membuka kotak itu dan segera alunan melodi lembut mengurai keheningan kamar tersebut.
Suara kotak musiknya memang tak terlalu keras, mengingat usia benda itu yang sudah bertahun-tahun di tinggalkan. Entah apa yang tengah di pikirkannya, sorot mata Julian tampak menerawang tak lepas mengunci kotak itu dari pandangannya.
Namun malam akan semakin larut jika ia tidak segera menuntaskan tugasnya. Pria bertubuh tegap itu pun bangkit berdiri, mengambil jacket seragamnya yang di gantung di lemari dan memakainya, tak lupa ia menutup kotak musik itu kembali lalu keluar dari kamar membawa laporan.
Suasana diluar asrama Militer tergolong cukup sunyi. Para penghuninya lebih memilih untuk beristirahat atau menghabiskan waktu di kamar masing-masing daripada berkeliaran di luar. Selain tak di perbolehkan, tak menutup kemungkinan mereka di serang hewan buas.
Beberapa prajurit yang bertugas di kantor memberi hormat begitu sang Jendral muda masuk. Ia melenggang menuju Ruang Kerja atasannya untuk menyerahkan laporan kerja selama sepekan. Tanpa ingin berbasa-basi pria tampan itu segera keluar dari Ruang Kerja Jimmie setelah memberikan laporannya.
Suara langkah kakinya membuat keheningan di sepanjang lorong semakin terasa. Tapi saat sampai di bagian depan kantor, dan dirinya baru menyadari jika prajurit yang berjaga di depan tak seperti tadi siang.
"Kemana yang lain?" tanyanya pada prajurit muda yang berdiri tegap di depan pintu. Prajurit bernama Arthur itu pun memberi hormat sejenak.
"Mereka sedang melaksanakan tugas dari anda Pak" jawabnya lugas. Julian mengangkat satu alisnya.
"Tugas dari ku?" tanyanya bingung.
"Benar Pak"
"Saya tidak memerintahkan apapun. Mereka mengatakan apa?"
"Eh, tadi mereka bilang anda memberi perintah untuk mengantarkan makanan pada makhluk itu" Arthur jadi ikut bingung, tak urung ada rasa takut mengetahui jika teman-teman jaganya berbohong.
Raut wajah Julian berubah dingin, memikirkan hal apa yang di lakukan ketiga prajurit di dalam sel sampai harus berbohong dengan mencatut namanya. Dan tanpa mengatakan apapun pria tampan itu melangkah lebar-lebar ke arah sel yang berada di belakang kantor.
Dua prajurit bersenjata lengkap yang berjaga di depan memberi hormat lalu membuka pintu besar yang berat itu. Sedikitnya membuat beberapa tahanan yang melihatnya bertanya-tanya, apa sekiranya yang membuat sang Jendral datang malam-malam.
"Anak-anak itu akan memperkosanya!" teriak seorang tahanan, sukses menghentikan langkah Julian.
Terdengar suara orang terkekeh kemudian. Kini mata tajam Julian tertuju pada seorang pria berwajah sangar yang pada sel bernomor 15. Ia ingat jika pria berbadan besar itu adalah pelaku pembantaian.
"Anak berambut perak yang kalian bawa kemari, siapa yang tidak ingin menikmati tubuhnya?" pria berkumis itu mulai berlagak. Wajah Julian mengeras.
"Bukankah kau juga mengaguminya Jendral?" ada seringai licik di bibir pria itu.
Julian mengepalkan tangannya erat, memutuskan kembali berjalan tanpa memperdulikan ocehan pria itu. Ada amarah yang tersulut, entah benar atau tidak apa yang di katakan pria itu, yang jelas ia panas mendengarnya.
Semakin cepat ia melangkah dan akhirnya melihat sel khusus sang Monster yang pintunya terbuka. Amarahnya semakin menjadi meski belum tentu kata pria tadi benar adanya.
Rahangnya mengeras, tatapannya berubah penuh amarah saat melihat 3 prajurit tampak sibuk oleh suatu hal di dalam sel.
"Apa yang sedang kalian lakukan disini?!" suaranya menggelegar di heningnya sel. 3 pria muda di dalam menengok serempak, dan tampak panik saat melihat atasan mereka.
Julian berjalan masuk dan rasanya amarahnya semakin memuncak melihat Kiel yang kini telanjang bulat dengan kain menyumpal mulutnya.
"K-kami--"
"DIAM!" bentaknya. ketiga prajurit muda itu pun menunduk dalam ketakutan.
"Keluar! Akan saya pastikan hal ini sampai pada Kapten" ujarnya dingin. Prajurit-prajurit itupun buru-buru keluar sebelum sang Jendral semakin marah.
Julian melepas jacketnya dengan segera dan menutupi tubuh bagian bawah Kiel, dengan cepat ia membuka tali yang menyumpal mulut si porselen itu.
"Kenapa kamu diam saja?" tanyanya tajam, Kiel menatapnya datar.
"Mungkin kalau kamu terlambat datang aku sudah melukai mereka, aku beruntung" ujar Kiel tenang, mata Aquamarine'nya bergerak menilisik wajah tampan Julian.
"Beruntung katamu? Kamu tidak keberatan mereka melakukan hal itu padamu?" Julian memicingkan matanya, tak habis pikir akan cara berpikir pemuda itu.
"Sebisa mungkin aku tidak mau melukai orang, tapi mereka tidak berhenti membuat ku sakit" Kiel menatap menerawang langit-langit selnya. Julian tanpa sadar menahan nafas, tak terbayangkan apa yang telah di lakukan orang-orang itu padanya.
"Mereka melakukan hal itu padamu?" tanyanya, dengan suara yang agak pelan. Kiel kembali menatap pria yang berdiri di samping kanannya itu.
"...iya, dan itu membuatku terpaksa melukai mereka"
Julian mengepalkan tangannya erat, amarahnya kembali terbakar, dan ada perasaan yang rumit yang membuat dadanya terasa di iris. Dan ia mengerti akan maksut dari kata `melukai' itu.
"Akan ku pastikan tidak ada satu orangpun yang bisa melukaimu" ucapnya tajam, ia pun beranjak dari sisi Kiel, namun menghentikan kakinya tepat saat akan menutup pintu besi sel.
"Nanti akan ada yang mengantarkan baju untuk mu" ucapnya lalu menutup daun pintu kokoh itu.
Kiel menghela nafas pelan yang samar, lalu bangkit duduk, sedikit menepuk-nepuk lengannya yang kotor karena di baringkan paksa. Tapi saat ia hendak membersihkan bagian yang lain, matanya menangkap sebuah jacket tebal berwarna abu-abu gelap menutupi pinggulnya.
Si porselen itu pun meraih jacket tersebut dan memperhatikannya. Kemudian secara perlahan mencium baunya. Aroma lembut yang khas, rasa nyaman yang membuatnya memejamkan mata menghirupnya.
***
Kesunyian dalam sel yang setia melantunkan lagu penghantar tidur untuk penghuninya. Kiel masih terlelap dengan menekuk tubuhnya, rambutnya yang panjang terurai begitu saja. Wajah polosnya tampak sangat damai, nafasnya teratur, seolah tak ada masalah apapun.
Tapi suara pintu besi yang di buka membuat pemuda berwajah cantik bagai boneka itu harus membuka matanya. Belum sempat ia bisa melihat dengan jelas tiba-tiba pandangannya menjadi gelap dan kepalanya terasa di bungkus oleh sebuah kain.
"Berdiri!" perintah sebuah suara tegas yang memaksa si porselen bangkit berdiri.
Kiel tampak tenang, ia dapat merasakan rantai yang mengikat tangan dan kakinya di lepas lalu di pakaikan rantai sejenis yang lebih pendek. Seseorang mendorong punggungnya kasar, menyuruhnya agar berjalan dengan langkah tertatih karena rantai yang membelenggu.
Kemana dirinya akan di bawa?
"Saya tidak di beritahu tentang hal ini?" protes suara berat yang tiba-tiba muncul, seiringan dengan suara langkah kaki yang cukup ramai.
Suara Julian, Kiel sangat mengenalinya.
"Apa saya harus menanyakan persetujuan anda untuk memindahkan Monster ini?" suara yang lebih dewasa terdengar tenang.
"Saya yang bertanggung jawab atas penangkapannya Pak, setidaknya saya--"
"Kenapa anda kaget Jendral? Bukankah wajar? Dia harus di pindahkan agar tidak terjadi lagi hal yang sama"
"Saya mengerti, tapi tidakkah Vroya terlalu jauh?"
"Setidaknya disana lebih aman, perjalanannya sudah di atur"
Kiel terus melangkah tanpa tahu arah, rantai di tangannya di tarik dari depan untuk membimbing lankahnya, sementara sesekali punggungnya di dorong agar lebih cepat berjalan. Ia mendengar percakapan itu, dan entah kenapa kakinya terasa berat untuk melangkah meninggalkan ruangan sel.
Sinar hangat matahari menyapa kulit wajah dan tubuhnya yang dingin, meski kepalanya di tutup kain hitam ia masih dapat merasakan udara segar yang tak di hirupnya selama sepekan.
"Akan ku pastikan tidak akan ada lagi orang yang melukaimu"
Ikrar Julian kemarin malam kembali terngiang di telinganya. Seketika membuat kakinya berhenti melangkah.
"Cepat jalan!" perintah prajurit di belakangnya galak.
Kiel merenung. Bukankah ikrar sang Jendral tidak akan menjadi nyata jika dirinya tak berada di sekitar pria itu?
"Apa kau tuli?! Kembali berjalan!" punggungnya kembali di dorong dengan kasar.
Si Aquamarine itu menutup mata seraya menggigit bibir bawahnya kecil. Suara teriakan dan perkakuan kasar tak di pedulikannya, kepalanya mendadak berdenyut serta suhu tubuhnya yang tiba-tiba meningkat.
"Ku bilang cep--"
CRANK! BRAK!
Prajurit yang semula berdiri di belakng Kiel kini terlempar ke dinding setelah tiba-tiba Kiel mencekik lehernya lalu melemparkannya ke samping.
"Apa yang kau--"
Si porselen itu mengangkat tangannya yang terantai cepat dan melakukan hal yang sama pada prajurit yang lain. Suara ribut terdengar, seiring nafasnya yang memburu dan suara derap langkah yang kini mengarah padanya.
Si Aquamarine itu merobek penutup kepalanya dengan mudah berkat kuku-kuku jarinya yang kini berubah meruncing. Wajah tegang tampak di wajah para prajurit yang mengarahkan senjata, dan mata biru Kiel kini berubah dingin, membuat para prajurit semakin waspada.
"Lumpuhkan dia!!" komando Jimmie tak kalah cemas. Julian yang melihat hal itu kini di rundung rasa takut yang luar biasa.
Bagaimana jika pemuda itu terbunuh? Dia berada di markas, otomatis lebih banyak prajurit yang akan membantu melumpuhkannya, atau yang lebih menakutkan si porselen itu akan di bunuh.
Kiel dapat memutuskan rantai di tangannya dengan mudah, wajah cantiknya kini tampak lebih dingin dan `buas', membuat sosoknya menjadi benar-benar seperti boneka yang tak tersentuh.
"Jangan membuat ku melakukan hal ini pada kalian" hardiknya tenang, menatap para prajurit yang siap menyerangnya.
"Menyerah lah! Kami tidak akan melukai mu!" kata Jimmie lantang.
"Tidak!" teriak Kiel cepat. Sorot matanya berubah takut, menatap Julian yang sejak tadi menatap kearahanya.
Jelas. Ia tidak mau jika sampai harus melukai orang-orang itu, tapi di satu sisi ia marah akan hal yang dirinya sendiri tak memahaminya.
Dan hal yang tidak di inginkan itupun terjadi. Prajurit Cyprus melakukan serangan dan memaksa Kiel mempertahankan diri dengan kekerasan pula. Si Aquamarine itu bergerak lincah, rambut peraknya sama sekali tidak membatasi ruang geraknya. Ia dapat dengan mudah mengoyak para prajurit yang lengah, darah bercecer, dan semakin membuat keadaan memanas. Kiel dapat menyerang dengan langkah pasti semakin mendekati dinding tinggi yang melingkupi markas itu.
Sosok indah itu pun kini berlumuran darah, namun matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam, tapi ia tak bisa menghentikan gerak tubuhnya begitu saja. Ia bergerak sangat cepat, membuat para prajurit kewalahan dan tak bisa mencegah saat sosok cantik itu melompat keatas dinding pembatas.
"Kejar dia!!" perintah Jimmie menggelegar.
Julian spontan berlari kearah gerbang, berusaha mengejar Kiel yang telah melompat turun ke sisi lain dinding. Perasaannya kini campur aduk, ia tak mau kehilangan pemuda berambut perak itu begitu saja.
"KIEL!!" panggil Julian hingga otot-otot di lehernya tercetak jelas. Si Aquamarine yang berada bermeter-bermeter darinya pun menoleh.
Tak ada kata yang terucap dari mulut keduanya. Wajah bagai boneka itu melunak menatap Julian, yang kini berjalan kearahnya.
"Aku sudah bilang bukan? Tidak akan ku biarkan satu orang pun yang melukaimu" ucap Julian yang telah berdiri berhadapan dengan Kiel. Mereka saling bertatapan penuh arti.
Julian mengusap pelan pipi halus Kiel yang terdapat bercak darah para prajurit. Tiba-tiba ia meraih tangan kanan Kiel dan mengarahkan ke perutnya. Dan pemuda itu menggeleng, mengerti maksut Julian.
"Mereka tidak akan berhenti kalau kamu tidak melukai ku" ujarnya. Kiel tetap menggeleng.
Pria tampan itu merogoh saku celana army'nya, mengeluarkan sebuah pisau lipat yang di ayunkannya pada Kiel, tapi si cantik itu refleks menangkisnya dan menusukkan pisau di tangan Julian ke perut rata pria itu.
"Ugh..." Julian membungkukkan tubuhnya menahan rasa sakit yang luar biasa, Kiel tampak tercekat dengan apa yang baru saja terjadi.
"Lepaskan dia!!" teriak pemimpin para prajurit. Kiel yang kini ketakutan spontan membalikkan tubuh Julian untuk di sandera.
"Jangan mendekat atau ku koyak perutnya" ancaman keluar dari bibir ranum Kiel. Para prajurit terlihat tegang, terlebih sang Jendral memberi isyarat untuk tak menyerang.
Dengan nafas yang berat dan wajah yang mulai pucat ia menurut saja saat tangan Kiel yang melingkar di lehernya menyeretnya mundur. Membiarkan pemuda itu menyeretnya masuk ke dalam hutan belantara hingga tak lagi melihat para prajurit.
BERSAMBUNG~

0 komentar:

Posting Komentar