Seperti burung kertas….
Meski bersayap, namun ia tak dapat terbang
Ia tak bisa mengepakkan sayap lalu melanglang buana
Ia mustahil bergerak mencapai cakrawala luas
Karena bagaimanapun cantik wujud burung kertas,
Ia tetaplah sehelai kertas
Ia diam dan mati…
***
Ulee Lheue, 31 Desember 2012
Aku masih merasa canggung dengan diriku. Meskipun dulu pernah satu kali mengenakan peci dan baju koko yang kekecilan di badanku, tapi tetap saja saat ini rasanya bagai baru pertama kali aku menggunakan dua benda ini.
‘Kalau baju kokonya memang ukuranmu mungkin kamu bisa terlihat kayak muallaff…’
Apa benar aku tampak bagai muallaf? Senyum menyeruak di wajahku saat mengingatnya.
Kuperhatikan lagi keadaan diriku sebelum turun dari taksi yang mengantarku dari Hotel Medan di kawasan Peunayong menuju kemari. Baju koko-ku warna hitam, aku baru membelinya beberapa jam lalu, begitu masuk dalam toko pakaian muslim yang ada di Pasar Aceh Shoping Centre, aku langsung tertarik dengan baju ini. Bukan karena coraknya yang bagus berbordir sulam emas di dada hingga ke leher, dan juga di ujung lengannya, tapi lebih karena warnanya yang hitam pekat.
Aku menyentuh kepalaku, peci rajut ini juga berwarna hitam. Masih kuingat Bapak yang punya toko berkata ketika aku bertanya apakah ada warna hitam yang sama untuk tutup kepalaku, ‘Saya tidak akan menawarkan peci warna lain jika Anak memilih koko yang itu…’ begitu jawabnya, dan aku tidak menawar ketika mengeluarkan dompet untuk menjadikan dua benda ini milikku.
“Mas mau ke pelabuhan dulu baru nanti pulangnya mampir kemari? Saya bersedia menunggu barang setengah jam jika Mas ingin melihat-lihat pelabuhan…” Sopir taksi, pria lingkungan 40-an yang terlihat simpatik membuyarkan lamunanku, dia memanggilku ‘Mas’ mungkin dia mengira aku Orang Jawa. Bahasa Indonesianya lancar tanpa logat, tapi aku yakin dia adalah pribumi, wajahnya menunjukkan demikian. “Lagi pula, di sini masih terlalu sepi, biasanya agak sore nanti ramai pengunjung…” lanjutnya.
Aku tersenyum, menyadari bahwa aku sudah membuang-buang jam kerjanya dengan tidak segera turun sejak lebih lima menit lalu taksinya berhenti. Meski tampaknya dia sama sekali tak keberatan aku berlama-lama, bahkan bersedia menunggu jika aku ingin melihat-lihat pelabuhan lalu mengantarku kembali kemari, tapi tetap saja aku tak boleh memanfaatkan sifat baiknya, pasti di hotel sana ada orang yang ingin menggunakan jasanya.
Aku mengambil toples kaca bawaanku yang kutaruh di jok di sampingku “Tadi Bapak sudah membawa saya keliling Lampulo, sudah lebih dari cukup kok. Tak mengapa, Pak… saya turun sekarang saja. Saya memang berencana berlama-lama di sini…”
Bapak itu mengangguk ramah.
Aku membuka pintu.
“Baik-baik, Mas…” serunya setelah aku menutup pintu taksi.
Aku membalas dengan mengangkat tangan kananku sambil mengangguk.
“Apa harus saya jemput lagi nanti?” kepalanya melongok dari pintu.
Aku diam sejenak lalu menggeleng, “Saya tidak yakin akan selesai di sini tepat jam berapa…”
Dia mengangguk-angguk mengerti. Setelah melambai padaku dan mebunyikan horn satu kali, taksinya bergerak maju.
Aku menghela napas, memegang toples kaca di tanganku kuat-kuat seakan takut benda itu akan meluncur jatuh dan pecah menghamburkan isinya. Setelah delapan tahun, setelah mengumpulkan kekuatan dan memantapkan hati, baru kini aku mampu kemari. Aku harus melangkah sebelum pijakanku goyah.
Kupandangi pintu gerbang hijau sangat besar berjarak satu meter di depanku, tingginya membuatku mendongak. Gerbang besar ini dibangun dengan lima pintu besi dalam satu rangkaian, ada tulisan di tiap pintu yang sepertinya bersambung antara satu dan lainnya. Pintu yang cantik. Kembali aku mengisi paru-paru dengan udara beraroma garam hingga dadaku mengembang. Aku mengayunkan kaki kananku, mengambil langkah pertama untuk masuk kedalamnya.
Hamparan rumput menghijau menyambutku begitu melewati gerbang besar, tak ada jengkal tanah yang tak hijau di dalam sini, semuanya tertupi rumput yang menghampar rapi hingga ke sudut-sudut. Begitu luas, aku sampai harus memicingkan mata saat memandang tembok yang memagari sekelilingnya.
Kehijauan ini, sama persis seperti yang kulihat berkali-kali dalam lenaku. Aku sudah berada di tempat yang benar. Kutarik napas dalam lagi…
Bagaimana caranya aku bisa tahu? Sudut mana yang harus kupilih sebagai dirimu? Sisi hijau mana yang harus kudatangi untuk melepaskan isi toples-ku?
Lalu aku berjalan ke satu sudut hijau terpilih…
***
Padang Bulan, akhir Agustus 2003
Aku baru saja meletakkan koper berukuran lumayan besar di teras rumah yang akan menjadi kediaman baruku selama menuntut. Pinggangku lumayan pegal, duduk hampir 6 jam dari Kisaran kemari tidaklah nyaman. Selain pinggang dan punggungku yang rasanya kaku, leherku juga tegang. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan sekarang adalah mengguyur badanku dengan air segar lalu merebahkan diri di tempat tidur. Tapi sebelum itu, aku masih harus menaikkan barangku ke lantai dua. Kupandang koper di lantai teras dengan malas, juga ransel yang kuturunkan dari punggungku beberapa menit lalu. Penghuni kos-an ini ternyata kurang solidaritas, tidak ada yang keluar untuk membantu Si Anak Baru memasukkan barangnya. Atau mungkin mereka memang tidak sedang berada di dalam.
Aku menghembuskan napas putus asa. Welcome to the new world, Edgar.
DIN DIINNN
Suara klakson yang amat sangat keras membuatku menoleh ke gerbang, mobil travel baru saja berhenti di sana, mengantar penumpang kah? Atau menjemput penghuni kos yang mau pulang kampung? Aku berdiri memperhatikan.
Supirnya turun dan langsung menuju ke bagasi di belakang, ternyata mobil itu menurunkan penumpang. Aku tak bisa melihat orang yang diturunkan Si Supir, dia tidak keluar dari pintu berseberangan yang terlihat di depanku.
Tak berapa lama, mobil itu bergerak maju setelah Si Supir membunyikan klaksonnya satu kali. Aku masih belum beranjak dari teras, masih terus memperhatikan ke gerbang.
Di depan sana, seorang anak SMP terlihat kerepotan menyeret barang-barangnya. Dia kepayahan sendiri, kopernya lebih besar dari punyaku, hampir dua kali ukuran koperku. Selain itu, masih ada satu tas jinjing berukuran tak kalah besar di tangan kiri ditambah satu ransel segede ranselku yang bertengger berat di belakangnya.
Rasanya aku ingin tertawa melihat anak itu kepayahan. Bodoh, sudah tahu badannya kecil, kenapa maksain nyeret semua barangnya sekaligus? Tunggu, dia menuju kemari, kemungkinan dia penghuni baru juga sepertiku. Apa kos-an ini menerima bocah SMP? Seingatku minggu lalu pemilik kos-an memberitahu kalau yang ngekos di sini adalah mahasiswa semua, tapi kenapa sekarang ada siswa SMP yang menuju kemari?
Suara ribut roda kopernya menggesek kerikil jelas kedengaran. Baru beberapa langkah melewati gerbang, bocah itu berhenti. Ini juga kebodohannya, seharusnya dia meminta supirnya berbelok ke halaman sepertiku tadi, toh gerbang itu cukup luas untuk dimasuki truk besar.
Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke depan. Saat itu, aku masih memperhatikannya. Mata kami bertabrakan, entah apa yang kurasakan, tapi mendadak saja dadaku berdebar. Hal pertama yang berhasil kuidentifikasi dari anak itu adalah, dia punya mata bundar, dari jauh pun aku bisa tahu kalau matanya juga bersinar jernih.
Dia melepaskan gagang koper dan berdiri tegak memandangku, aku juga tidak berniat memindahkan tatapanku darinya. Hal yang tak kuduga, setelah saling menatap hampir satu menit, dia tersenyum ramah sambil mengangkat tangan kanannya.
“First day juga…?”
Logatnya lucu, sedikit cadal. Namun entah kenapa aku menyukainya. Kuberi dia sebuah anggukan.
“Kufikir, aku akan jadi satu-satunya anak baru di sini…”
Aku tersenyum, “Saat tiba sepuluh menit tadi aku juga berfikiran sama sepertimu…” aku berjalan mendekatinya, kuputuskan untuk mengambil alih koper raksasanya. Sesekali berbuat baik tak ada ruginya. Kuabaikan rasa pegalku yang sempat kukeluhkan beberapa menit lalu. “Pindah rumah?” candaku sambil menunjuk koper besarnya.
“Abah dan Ummiku sangat takut anak cowok satu-satunya kesulitan mendapatkan barang-barang di sini, jadi mereka sangat gigih mengisi koper mudik ini untukku…” dia menyengir.
Hal selanjutnya yang berhasil kuidentifikasi dari sosok mungil ini adalah, dia gingsul, tapi entah bagaimana itu membuat senyumnya menarik dalam penglihatanku. Aku sedikit mendapat kejutan, abah-ummi, pasti dia muslim. Selain itu, aku tambah menyukai logatnya.
“Apa mereka juga memberimu daftar?” aku bertanya sambil meraih gagang kopernya.
Dia mengernyit menatapku.
“Daftar hal-hal yang harus dan tidak boleh kamu lakukan di lingkungan baru…”
Dia tertawa, lalu menggeleng cepat.
“Yah, setidaknya ortumu lebih keren. Tahu? Aku punya daftar seperti itu dalam ranselku…” kukedipkan sebelah mataku padanya.
Kali ini dia tertawa lebih lebar. “Apa daftarnya banyak?”
“Nyaris penuh enam lembar kwarto…”
“Waow…!” bibirnya membulat.
“Coba tebak, apa yang menempati urutan pertama dalam daftar Hal Yang Harus Dilakukan…”
“Mandi dua kali sehari?” tebaknya, “Eh, tunggu tunggu… pasti mengganti kaus kaki setiap tiga hari. Iya kan? Ummiku sering ngingatin gitu tuh…”
Aku tertawa lalu menggeleng. “Di urutan pertama yang harus dilakukan adalah, tidak boleh absen berdoa tiap hari minggu…” Dia mengernyit lagi. Aku paham apa yang sedang dipikirkannya. “Aku katolik…” ujarku sebelum dia bertanya.
“Oh…” dia hanya berujar pendek.
Aku bersip-siap memikul kopernya.
“Hey… kamu akan membantu membawa koperku kah?”
Alisku bertaut, menatapnya heran. “Memangnya apa yang kamu pikir akan kulakukan di sini? Menuturkan riwayat hidupku? Of course, aku akan membantumu memasukkan koper mudikmu ini ke dalam sana…”
Kali ini dia benar-benar tertawa, “Terima kasih…”
Aku menggumam lalu mulai memikul ransel besarnya di bahu kananku. Berat, tulang leherku sampai berderak.
“Terlalu berat ya?” sepertinya dia mendengar bunyi tulangku barusan.
“He eh… kamu benar, Abah dan Ummimu sangat gigih mengisi koper ini.” Aku mulai berjalan mendahului. Di belakangku dia mengikuti sambil menjinjing tasnya, masih tetap kepayahan.
Aku meletakkan kopernya di samping koperku, setelah itu kurenggangkan leher dan badanku ke kiri dan kanan. Dia bengong mendengar bunyi tulang-tulangku yang sedang ber-extensi.
“Apa kamu sering ngangkat benda-benda berat?”
“Aku sering mikul karung beras, papaku punya gudang sembako di rumah.” Semoga dia tidak menganggap serius bualanku tentang karung beras barusan. “Lalu, apa yang dilakukan siswa SMP sepertimu di sini? Mandaftar SMA? Bukankah saat ini sudah terlalu telat untuk itu?”
Dia membeliak, “Jadi dari tadi kamu nganggapnya aku masih bocah yang baru tamat SMP?”
Aku mengangguk mantap tanpa dosa. “Kenapa harus nyambung sekolah menengah jauh-jauh hingga kemari, apa di tempatmu ti…”
“Senin besok adalah awal semester gasal pertamaku di Fakultas Hukum!” dia memotong kalimatku secepat lesatan peluru. “Aku sudah melepas seragam SMA-ku dua bulan lalu…”
Mulutku menganga. Anak sekecil ini masuk Fakultas hukum? Sulit dipercaya. Kuperhatikan lagi sosok di depanku lebih lekat. Mulai dari puncak kepalanya hingga ujung sepatunya yang kuperkirakan bernomor 36 atau 37. Sungguh, dia sangat mirip siswa SMP. Wajahnya tampak polos dan lugu meski dengan model rambut ala si kembar Nakula Sadewa, kriwil-kriwil berantakan. Kaos hitam yang dipakainya pastilah berukuran SS atau mungkin sudah dikecilkan ke tukang jahit karena ukuran SS bisa jadi masih terlalu lebar buatnya. Lingkar pinggangnya paling banter pasti 27, atau malah 26. Tingginya? Tak mungkin lebih dari 150 cm, bisa jadi malah kurang dari itu, 140 cm?
“Berapa umurmu?” akhirnya aku mampu bersuara setelah menelan ludah beberapa kali karena tercekat sendiri ketika membandingkan keterangannya dengan fakta hasil observasiku yang berbanding terbalik.
“Dua puluh enam bulan Desember nanti genap enam belas…”
“HAH…?!?” untuk kedua kalinya aku hampir melompat dari tempatku berdiri.
“Aku sempat loncat kelas saat SD, dan masuk akselerasi saat sekolah menengah…”
Aku menganga lagi. Dia lebih dua tahun di bawahku. Aku jadi ingin tahu berapa IQ-nya.
“Apa kita akan mengobrol saja atau bergotong royong memasukkan barang-barang kita… emm… maksudku, mengangkut barang-barangku. Kamu akan membantuku membawanya ke tingkat dua kan?”
Aku berhenti dari ketakjubanku terhadap sosok mungil yang kupastikan akan menjadi temanku di kos ini sebagai sesama anak baru. Kupandang dia, “Hemm… aku tak ingin melihatmu terguling di tangga gara-gara nyeret kontainer ini…” kuputuskan untuk memasukkan kopernya terlebih dahulu.
“Bagus, jadinya kamu gak rugi punya badan gede gitu…” ujarnya santai lalu menuju pintu.
“Apa kita tak perlu ngabarin Ibu Kos dulu kalau kita sudah masuk?” aku melirik rumah induk semangku yang berdiri tak kalah megah di sebelah kanan bangunan kos.
“Nanti saja, kan kunci kamarnya kita sudah punya…” dia berbalik menatapku setelah membuka pintu depan dengan kuncinya. “Apa kamu belum dapat kunci?”
Aku mengangguk, “Aku langsung dapat kunci kamar dan kunci duplikat pintu depan setelah membayar lunas dua minggu lalu.”
“Ya udah, berarti langsung masuk aja…”
Aku menggumam. Kecil-kecil ternyata dia punya mental juga. Aku berjalan mengikutinya masuk ke rumah. Kali ini kopernya kuseret. Kami melintasi satu ruang luas yang hanya berisi satu set sofa dan satu TV. Di lantai bawah hanya ini satu-satunya ruang luas yang bukan kamar. Selain itu, di sini ada 4 kamar, juga 2 kamar mandi berdekatan dengan dapur sempit yang sepertinya jarang digunakan.
“Kamu dapat kamar yang mana?”
“Di atas juga…” jawabku.
“Nanti aku bantu ngangkat ranselmu…”
“Itu wajib,” balasku singkat.
Dia membuka pintu, ternyata kamar kami bersisian. “Kita sedinding…” ujarku.
Dia mengangguk, “Kemana orang-orang ya? Sepi begini…”
Aku mengangkat bahu, kudorong kopernya melewati ambang pintu kamar. “Bisa jadi masih liburan di kampung halaman masing-masing, bisa juga masih berada di kampus…”
“Di kampus? Sudah lewat jam lima begini?” tanyanya sambil melirik jamnya.
Aku merespon dengan kembali mengangkat bahuku. “Gak penting… ayo sekarang bantu ngangkat barangku.”
Dia melihat jamnya lagi, “Emm… aku ingat tadi belum sempat shalat Ashar… waktunya mau abis nih…”
Aku langsung melotot.
Dia menyengir, “Kamu kan udah sering ngangkat karung beras, pasti kopermu yang tidak lebih besar dari punyaku itu adalah perkara kecil, iya kan?”
Ungkapan ‘Orang kecil mungil biasanya banyak akal bulus’ agaknya berlaku untuk bocah satu ini. “Hhh… ya sudah, sembahyang lebih penting dari yang lain, kan…”
Dia tersenyum, “Makasih ya…”
Lelahku terangkat bersama senyum lebar yang menampakkan gingsulnya. Bersamaan dengan senyumnya, aku menyadari bahwa diriku sudah jatuh suka pada makhluk Tuhan ini.
Bersambung~
0 komentar:
Posting Komentar