Aku mengepalkan tanganku menahan sakit ini, tapi seseorang menguraikannya, dibukanya kepalan tanganku lalu digenggamnya dengan kedua tangannya.
Hangat.
Aku melupakan rasa sakitku.
"Aku datang lagi Layung, apa kabarmu hari ini? Lama sekali tidurnya, apa kau tak bosan?"
Suara itu, terdengar samar seperti bisikan daun-daun yang tertiup angin. Tapi aku mengenali suara itu, bahkan ketika hanya berupa bisikan.
Orion.
Aku tak pernah salah mengenalimu, bahkan ketika kedua mataku sedang terpejam.
Tapi, dimana ini? Kenapa Orion ada disini? Apa aku berhasil kembali ke Heavensnow?
"Layung, bangun.. Apa kau tak merindukan aku?"
Bodoh, tentu saja aku sangat merindukanmu.
"Hari ini aku nggak jadi pergi sama anak-anak, aku disini saja temani kamu. Bangun Layung, temani aku berenang, temani aku latihan vocal, jangan curang, selama ini aku kan selalu temani kamu main basket, jadi bangunlah, aku kesepian.."
Apa? Tidak jadi pergi? Berarti..
Kubuka kedua mataku, cahaya menerobos masuk diantara celahnya. Hanya putih yang terlihat. Kukerjapkan mataku perlahan, samar mulai terlihat seseorang yang duduk disamping tempat tidurku, seseorang yang kini sedang mengalirkan hangat digenggaman tanganku. Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku..
Orion.
"Layung, hari ini ada kejadian aneh, seseorang menuliskan pesan untukku biar aku nggak jadi pergi, aku nggak tau siapa, tapi tulisannya seperti tulisanmu, dan entah kenapa aku merasa seseorang itu memang.. Dokteeeeer!!" Orion berteriak histeris sebelum menyelesaikan kalimatnya ketika dia melihatku membuka mata.
Beberapa perawat dan seorang dokter berlari memasuki kamarku.
"Ada apa?" tanya perawat dengan nada panik.
"Layung udah sadar.." Orion menatapku dengan wajah yang terlihat lega, matanya basah.
Dokter memeriksa kondisi terbaruku, menyoroti mataku dengan senter kecil, memeriksa denyut nadi dan jantungku, lalu tersenyum sambil menepuk bahuku pelan.
Aku mendengar Orion menelpon Mamaku. Wajahku menghangat, tak bisa kukendalikan, air mata pun jatuh perlahan.
#####
Masa recovery yang aku jalani termasuk sangat cepat untuk seseorang yang habis mengalami kondisi koma seperti aku. Bagaimana tidak, perawatku adalah orang-orang yang sangat aku cintai. Mereka adalah Mama yang dengan kesabaran luar biasa menjagaku siang dan malam, Papa yang selalu siaga meski disela kantuknya, Kayas yang setiap hari menghiburku dan juga Orion yang tak pernah berhenti menyemangati aku.
Ingatanku tentang Heavensnow dan semua kejadian disana aku anggap sebagai mimpi yang ketika aku bangun tidak lagi dapat kuingat utuh. Hanya beberapa yang masih terekam jelas. Karena ketika memaksa otakku untuk mengingat semuanya kembali, kepalaku berdenyut sakit.
Hari ini Dokter mengijinkan aku pulang, rasanya lega sekali, apalagi Orion menyempatkan diri untuk ikut menjemputku dari Rumah Sakit, dia mengambil jatah bolos kuliahnya.
Bisa kembali lagi kerumah setelah beberapa hari tidur di Rumah Sakit itu rasanya sangat menyenangkan.
Aku langsung merebahkan tubuhku ke tempat tidur, menikmati wangi dari pengharum ruangan kamarku dan juga wangi lembut seseorang yang kini duduk didekatku.
Wanginya seperti sihir, yang ketika aku menghirupnya, seluruh tubuhku menjadikannya sebagai candu.
Orion wangi sekali. Aku memejamkan mata menikmatinya.
"Masih sakit ya?" suara cemas Orion membuatku kembali membuka mata. Kutatap wajahnya yang khawatir.
"Iya.." aku mengangguk.
"Apanya yang sakit Lay, aduh gimana ini.. Kamu sih, belum sehat banget udah minta pulang.." Orion terlihat semakin cemas.
"Sakit banget Ri.." aku meringis sambil memegang dadaku.
"Aah Layung, ayo balik lagi ke Rumah Sakit!" dengan panik direngkuhnya bahuku sampai bangun.
"Rasanya seperti mau mati.." bisikku pelan.
"Apaa?!!" Orion membelalakkan matanya, bulu matanya yang sangat panjang dan lentik untuk ukuran bulu mata lelaki membingkai matanya dan terlihat menggemaskan sekali, aku menikmati wajah paniknya dalam diam.
"Tanteeee..!" tanpa kuduga Orion berteriak memanggil Mamaku dengan wajah cemas luar biasa, gantian aku yang panik, kubekap mulutnya dengan tanganku.
"Nggak bisa diajak bercanda ya.." aku meleletkan lidahku.
"Layung!!" Orion menepak pahaku keras-keras.
"Aduuh.. Sakit tau!" aku meringis sambil mengusap pahaku. Kali ini beneran sakit.
"Biarin! Bercandamu nggak lucu tau nggak?" Orion melotot. Lalu beberapa detik kemudian sibuk menatap ke atas. Aku tertegun. Orion sedang berusaha menahan air matanya yang mulai menggenang agar tak jatuh.
"Maaf.." sesalku sambil meraih tangannya.
"Jangan seperti itu lagi, kamu nggak tau gimana rasanya ketika aku melihat kamu dalam keadaan koma, kamu nggak tau gimana rasanya ketakutan aku, aku takut kamu meninggal.." tangis Orion pecah, ditutupnya mukanya dengan kedua tangan. Aku terdiam, tak melepas pandanganku dari Orion.
Aku tau, aku sangat tau bagaimana rasanya Orion. Aku bahkan merasakan ketakutan yang menggila saat harus menyaksikan kematianmu didepan mataku.
"Iya, aku minta maaf.." aku tak tau harus berkata apa, aku masih takjub dengan reaksinya yang seperti ini.
Tanganku terulur ingin memeluknya, tapi urung begitu terdengar suara Mama memanggil sambil mengetuk pintu kamarku. Orion langsung mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Layung, ada yang mau ketemu kamu Nak.." Mama tersenyum.
"Siapa Ma?" aku turun dari ranjangku. Orion membantu. Wajah sendunya masih tersisa.
Mama tak menjawab, hanya mempersilahkan seseorang masuk ke kamarku.
"Hai.. Apa kabar?" berdiri dihadapanku seorang lelaki sebaya denganku, wajahnya rupawan, matanya separuh Jepang, tubuhnya tinggi dan tegap, ada beberapa bekas luka ditangan kanannya.
"Baik." aku mengangguk dan menerima uluran tangannya.
"Saya Raga.." dia memperkenalkan diri, tangannya hangat dan belum juga melepaskan jabat tangan kami.
"Layung.." aku balas menyebutkan namaku.
Raga.
Aku seperti pernah mendengar namanya. Tapi dimana?
"Raga ini adalah juga korban dalam kecelakaan lalu lintas yang menimpamu Layung, dia juga mengalami kondisi yang sama sepertimu, tapi syukurlah, kalian berdua sudah membaik.." penjelasan Mama membantu ingatanku yang samar.
Dia Raga, malaikat yang turun ke bumi di hari yang sama saat aku pergi menemui Atariz. Dan kami bertemu lagi disini, dengan wajah kami yang sesungguhnya.
"Silahkan.." Orion memberikan kursi pada Raga setelah Mama kembali menemui orang tua Raga diruang tamu.
"Terima kasih." Raga tersenyum sambil duduk dikursi yang diambilkan Orion dari meja belajarku.
"Kenalkan, ini Orion.." aku memperkenalkan Orion pada Raga, mereka bersalaman.
Raga, dia seseorang yang pandai mencairkan suasana. Baru beberapa menit dia disini, tapi seperti sudah lama kenal.
"Alay, aku pulang dulu, nanti kesini lagi sama anak-anak, mungkin sore setelah mereka selesai rapat Himpunan.." Orion berdiri untuk pamit pulang padaku, sebenarnya aku masih ingin dia disini, tapi aku tak bisa mencegahnya, pikirku dia akan datang lagi sore ini, jadi dengan berat hati aku lepaskan.
"Iya, tapi nginap ya, jangan lupa bawain aku martabak depan komplek.." aku meringis waktu Orion menoyor pelan kepalaku.
"Iya, nanti aku bawain sekalian Abangnya.." Orion meleletkan lidahnya sebelum keluar dari kamarku.
"Kalo gitu aku juga pamit pulang, kamu kan masih harus banyak istirahat.." Raga bangun untuk berpamitan.
"Terima kasih sudah datang.." aku tersenyum. Raga menganggukkan kepala lalu menepuk bahuku.
Ketika sudah sampai dipintu, Raga membalikkan badannya lagi, menatapku beberapa detik.
"Boleh kalo kapan-kapan aku datang lagi?" tanyanya sambil masih terus menatapku.
"Sure.." aku mengangguk. Jengah. Raga tersenyum lalu beranjak keluar.
Tinggal aku sendiri di kamar. Aku membaringkan tubuhku ke tempat tidur, kepalaku berdenyut, rasanya agak pening.
Mungkin sebaiknya aku tidur sambil menunggu Orion datang. Pikirku kemudian.
Kupejamkan mata sambil membayangkan wajah seseorang. Dan berharap ketika bangun nanti, wajahnya adalah yang pertama kali kulihat.
#####
Wanginya merampas nyenyak tidurku. Aku membuka mata dan melihat harapanku terkabul, Orion sudah ada didepanku, menatapku sambil tersenyum.
"Apa tidurnya nyenyak?" tanyanya lembut sambil membelai wajahku. Aku terkejut melihat sikap Orion semesra itu padaku, tapi dalam hati tentu saja aku sangat senang.
"Orion.." aku menatap wajahnya yang berada sangat dekat dengan wajahku.
"Kenapa.. Kau tak suka?" Orion balas menatapku, tangannya kini bukan hanya membelai wajahku tapi turun menyusuri leherku dengan ujung jarinya.
Aku menelan ludah, tak tau harus bicara apa, aku sangat menikmati sensasi yang dia hadirkan lewat sentuhannya saat ini.
"Orion.. Aku.. Aku.." terbata aku ingin mengakui kalau aku menyukai sentuhannya padaku, tapi Orion menutup bibirku dengan jarinya.
"Diam saja dan jangan mengatakan apapun.." Orion menatapku lembut, dan aku terdiam. Aku membiarkan jemarinya menari dibibirku, dan tanpa bisa kucegah adrenalinku menggila.
"Orion.." aku mendesah memanggil namanya.
Orion tersenyum, kini tangannya menyusup ke leher belakangku.
Jantungku berdegup liar ketika wajahnya semakin mendekati wajahku. Hembusan napasnya yang hangat menyapu kulit wajahku. Aku memejamkan mata. Aku tau Orion akan menciumku, dan itu juga yang aku inginkan selama ini.
Beberapa detik berlalu, aku masih menunggu. Tapi Orion tak juga menciumku. Aku akhirnya membuka mata. Wajah Orion masih dihadapanku.
"Jangan pejamkan matamu.." bisiknya sambil menatapku dalam. Aku tersenyum, kugigit lembut bibirku, menahan perasaan yang sedari tadi bergejolak dalam hatiku.
Wajah Orion mendekat, bibirnya terbuka, napasnya yang harum menyapu hidungku. Tapi tiba-tiba Orion menyeringai, aku bisa melihat dengan jelas taringnya memanjang, darah menetes dari sela-sela giginya.
"Aaaah..!" teriakku histeris. Refleks aku dorong dadanya agar menjauh dariku.
"Siapa kamu?" tanyaku gemetar, aku bangun dari dudukku, berdiri dan melangkah mundur. Orion masih menyeringai mengerikan, dia melangkah mendekatiku, tubuhku terbentur dinding kamar dan Orion semakin dekat.
Aku ingin sekali berteriak tapi bibirku kelu. Tangan Orion kini melingkar mengurungku diantara dinding dan tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan padaku Layung?" desisnya sambil menatapku tajam.
"Apa?" tanyaku nyaris hanya berupa bisikan.
"Kau seenaknya mempermainkan takdirku! Kau berikan aku surga, lalu kau keluarkan lagi aku dari sana! Apa maumu? Hah?!" Orion berteriak sambil mencengkeram leherku.
"Ak.. Aku.. Aku bukan ingin mempermainkan takdirmu, aku.. Aku hanya ingin bersamamu.." aku mulai kesulitan bernapas.
Orion menatapku dengan matanya yang merah membara, tak kulihat lagi mata besar yang menggemaskan miliknya. Cengkeramannya dileherku semakin kuat.
"Lep.. Pas.. Or.. Rion.." aku memohon dalam eranganku. Tapi Orion tak perduli.
"Sak.. Kit.." untuk terakhir kalinya aku mengerang lalu tubuhku meluruh.
BERSAMBUUUNG!
0 komentar:
Posting Komentar