By: Otsu Kanzasky
Note: terinspirasi dari lagu Monster Eminem Ft. Rihanna dan film Disney `Tangled: Story Tale of Rapunzel'
***
Udara terasa mulai agak hangat memasuki awal Musim Semi, musim penuh warna yang banyak di tunggu-tunggu. Angin yang bertiup sepoi-sepoi menyambut sosok tegap sang Jendral yang baru saja menapakkan kaki dari angkutan sederhana Desa yang berupa gerobak berukuran cukup besar dan di tarik oleh 2 ekor kuda.
"Semoga dapat apa yang anda cari Jendral" kata sang pengendali kuda di depan ramah, saat Julian membayar jasanya.
"Terima kasih" ucapnya ramah. Pria pemilik gerobak itu tersenyum singkat lalu kembali menarik tali pengendali agar kuda-kudanya berjalan.
Suara gemrisik ilalang yang tertiup angin seperti sebuah kata sambutan untuk Julian yang segera membalikkan badannya, menatap jauh pada pemumikan warga di Desa Thyta.
Desa asri yang berada di ujung selatan Thira, berada jauh dari Cyprus dan entah apa yang membuatnya datang ke kampung halaman sang Monster.
Mantap ia melangkahkan kakinya di jalan setapak yang hanya berukuran 5 meter, di sisi kanan-kiri terhampar tanah lapang luas yang di tumbuhi rerumputan pendek, hewan-hewan ternak seperti kuda menyebar di area itu.
Suara burung dari kejauhan membuat Julian berpaling menatap jauh di belakang Desa, pada hutan belantara yang tak terjamah. Pria tampan itu tak heran jika saat ini Desa tampak sepi karena memang masih pada jam beraktifitas.
Tanpa harus bertanya kemana ia melangkah, sang Jendral muda mengambil jalan di sisi kiri, sekitar 30 meter dari jalan utama, ia dapat melihat puing reruntuhan bangunan yang tak terjamah.
Mata tajamnya menelisik ke seluruh tempat, memperhatikan puing-puing yang bagian dari rumah yang dulu pernah berdiri kokoh disini, bertahun-tahun yang lalu. Berdiri diam, itu yang ia lakukan.
Apa yang terjadi pada rumah ini? pikirnya getir. Membayangkan keberingasan macam apa yang di lakukan penduduk Desa pada suami-istri Beudelaire. Namun saat ia memutuskan untuk mengitari area puing-puing
tersebut, matanya merekam sebuah kotak perhiasan bercat merah maroon yang telah usang tak jauh dari tempatnya berdiri.
tersebut, matanya merekam sebuah kotak perhiasan bercat merah maroon yang telah usang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Julian kembali melangkahkan kakinya, memungut kotak tua berukuran sedang itu lalu meniup- debu yang menempel. Sejenak ia memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada orang yang berada di sekitar sana. Dengan rasa ingin tahu yang besar, di bukanya kotak itu dan terdengar alunan melodi lembut dengan hiasan pohon Natal di bagian tengah berputar pelan.
Namun yang lebih menarik perhatiannya adalah sebuah kalung berliontin batu mulia berwarna biru laut berbentuk hati yang ada di dalamnya. Julian mengamati batu Aquamarine itu seraya membalik-balikannya. Dan birunya warna batu itu mengingatkannya pada kepedihan sorot mata Kiel. Di letakkannya kembali kalung tersebut dan menutupnya.
Dan sebuah ukiran halus yang berinisial KB di bagian samping kanan kotak musik itu membuat Julian semakin yakin jika kotak musik yang di pungutnya ini adalah milik Kiel Beudelaire.
***
hujan? Si porselen itu tak pernah tahu kecuali udara lembab yang dingin dalam penjara. Hanya jajaran batu-batu dinding yang hanya dapat di lihatnya, dengan hiasan lumut di beberapa bagian dinding batu.
Tubuh ringkihnya menyapa dinginnya tanah dalam sel, mata Aquamarine'nya hanya menatap kosong pada dinding batu, nafasnya tenang berirama. Kedua tangan dan kakinya mulai tampak memar, beberapa luka lecet menghiasi tangan dan kakinya, sosoknya tak hayal seperti sebuah patung hidup.
Entah apa yang ia pikirkan, wajahnya tetap tenang polos, mata birunya yang indah tetap berkilau jernih. Sama sekali tak mencerminkan sosok Monster yang di takuti. Sungguh memilukan.
Namun di antara kesunyian penjara, Kiel dapat mendengar langkah kaki yang mendekat, dan kini dapat di pastikan oleh matanya saat melihat sepasang mata abu-abu nan tajam. Pemilik mata itu berdiri di depan pintu besi saat seorang prajurit muda masuk mengantar makanan untuknya.
Tatapan matanya seperti terkunci pada sosok pria tinggi berwajah tampan yang di kenalnya, dan entah kenapa ia merasa dapat mempercayai pria berpangkat Jendral itu setelah apa yang pernah mereka lakukan ketika berada di dalam gerbong besi.
Dengan tatapan polos si porselen memperhatikan gerak-gerik sang Jendral yang melangkah masuk setelah prajurit muda pengantar makanan keluar. Dan kini pria itu duduk di depannya dengan menekuk kaki kirinya ke tanah.
Julian mengambil sendok yang ada di piring dan menyodorkannya pada Kiel.
"..terima kasih" ucapnya seraya menerima sendok itu.
Pria itu tak menyahut, ia hanya diam dengan seksama memperhatikan si porselen yang mulai memakan makanannya dengan terarah. Menunjukkan sifat aslinya yang terdidik sangat baik.
"Kenapa Tuan berada disini?" tanya Kiel, suaranya terdengar lembut--selesai menghabiskan makanannya.
"Memastikan sesuatu" jawab Julian, meraih gelas stainlees yang terisi penuh air. Tanpa canggung membantu Kiel minum, dan pemuda itu menurut saja meski tak lepas menatap sang Jendral.
"Aku akan di tanyai lagi?" tanyanya saat Julian
meletakkan gelas yang kosong di atas napan.
meletakkan gelas yang kosong di atas napan.
"Tidak"
"Kenapa Tuan baik padaku?" sorot mata itu terlihat ingin tahu.
"Aku baik?" tanya Julian balik, Kiel mengangguk.
"Hanya Tuan yang datang kemari mengajak ku bicara" perkataan polos itu keluar dari bibir ranumnya yang membuat Julian iba.
Rasa ingin menyentuh muncul tiba-tiba, namun Julian dapat mengendalikan egonya dan hanya menghela nafas samar. Ia pun merogoh saku celana abu-abu army`nya dan menunjukkan sebuah kalung pada Kiel yang ada di telapak tangannya.
"Apa ini milik mu?" tanyanya terdengar lembut. Pupil Kiel melebar melihat kalung berliontin Aquamarine dengan heart cutting itu.
Sorot mata itu goyah, akan kenangan masa lalu yang membuat Kiel merasa lebih hidup.
"Itu milik ku" sengalnya. "Mom memberikannya padaku saat usia ku 7 tahun" tuturnya kemudian.
"Kamu mengingatnya?" Julian tampak kaget. Kiel mengangguk.
"Itu hadiah ulang tahun ku" saat ini Kiel terlihat lebih berekspresi.
Julian menggenggam kalung itu dan membuat Kiel kecewa.
"Aku
memang akan memberikannya padamu, tapi tidak sekarang" ujar Julian, kembali menyimpan kalung itu ke dalam saku.
memang akan memberikannya padamu, tapi tidak sekarang" ujar Julian, kembali menyimpan kalung itu ke dalam saku.
"Kenapa?" Kiel menatap kecewa.
"Mereka akan curiga jika melihatnya. Akan ku berikan saat kamu keluar dari tempat ini"
"Aku tidak akan pernah keluar, aku akan segera di eksekusi"
"Apa kamu rela?"
Kiel tak menjawab, hanya melemparkan tatapan mautnya pada sang Jendral.
"Tidak seharusnya kamu berada disini" ucapnya.
"Kamu ingin aku melarikan diri?" Kiel tampak bingung.
"...entahlah. Ku rasa kami tidak pantas menghakimi mu setelah apa yang penduduk Desa lakukan padamu" Julian menatap ke dalam mata Aquamarine Kiel.
Wajah porselen bagai boneka mahal itu seperti menyihir Julian, darahnya berdesir. Sementara Kiel tak ingin beralih menatap ke dalam mata abu-abu itu, merasakan perasaan nyaman yang asing untuknya.
"Jangan menatap ku seperti itu" kata Julian seraya bangkit. Tak kuat menatap dan di tatap terlalu lama oleh Kiel.
"Kenapa?" tanyanya polos.
"Menurut mu, saat di gerbong itu siapa yang
memulai? Kamu atau aku?" tanya Julian, dan bisa di tebak, Kiel menatap bingung.
memulai? Kamu atau aku?" tanya Julian, dan bisa di tebak, Kiel menatap bingung.
"Kita sama-sama bingung, jangan membuat pertahanan ku goyah, aku hanya berusaha menjalankan tugas ku tanpa melukai mu"
Setelah itu pria tampan itu keluar dan mengunci pintu besi sel. Menghantarkan Kiel kembali ke dalam hening yang dingin. Tapi ada yang berbeda kali ini, si porselen itu tampak kebingungan dengan raut yang lucu.
Bagaimana pun, sifat anak-anaknya yang polos masih melekat padanya. Menjadikannya Monster yang di cari, di takuti, dan sekaligus mendebarkan jantung siapa pun akan sosok indahnya.
Bersambung~
0 komentar:
Posting Komentar