Rama menarik tangan pria itu, sempat membuat Lana tersentak kaget. Ia berhenti, menatap pria semester dua itu, mencoba tersenyum tipis. Tatapan Rama kelihatan tak suka.
Namun Lana berusaha untuk tenang. Membuang segala kemarahan. Tak ada gunanya ia berseteru memperebutkan hal kosong. Pria itu masih terlalu muda untuk bisa memahami perasaanya yang sedang sakit saat itu. Hidup tak selamanya abadi bukan?
"Na! Berhenti sebentar!" perintahnya
"Ada apa?" tanya Lana
"Kenapa kau sakiti kakakku terus menerus? Kenapa kau selalu membuat kakakku marah dan sakit hati?"
"Pertama, aku belum terikat dengannya. Kedua, aku tidak pernah mengkhianati cintanya. Aku dan Kak Galih hanya bersahabat saja. Ketiga, makan saja itu cemburu dan sakit hati, aku bosan bertengkar. Belum jadi suami saja sudah memaki-maki, mungkin kalau sudah jadi malah aku kena pukul. Aku hanya perlu tegaskan padamu, ada hak apa kamu dan kakakmu memarahiku? Apa dengan cinta, ia berhak untuk memarahi seenak dengkulnya sendiri? Sebagai pria muda Ram, kau terlalu naif, dan terlalu tak memahami perasaan orang. Yang tersakiti bukan kakakmu, karena aku tak pernah berkhianat. Tetapi kau dan kakakmu sangat menyakiti perasaanku. Makanya, jika putus memang jalan yang terbaik, itu lebih baik. Belum juga memberi apa-apa sudah seperti majikan! Lagian kau tak ada hak ikut campur urusan orang dewasa. Kau masih terlalu muda untuk memahami harga diri orang!"
"Kau..?"
"Pajang saja kakakmu di etalase! Pasti akan banyak yang antri. Biarkan aku dengan kehidupanku. Cinta itu sudah tidak ada. Kau dan kakakmu sendiri yang sudah mencabik-cabik cinta itu, bukan lelaki lain!"
Lana dengan jengkel meninggalkan pria yang masih semester dua itu.
"Tunggu...!"
"Apa lagi?"
"Jadi kau sudah tak mencintai kakakku lagi?"
"Tanyakan kakakmu, apakah dia masih mencintaiku? Jika iya, dia sudah terlambat. Dia sudah membuat kesalahan besar yang tak termaafkan. Katakan saja padanya, aku bukan pria murahan yang mudah menerima cinta lelaki lain. Walaupun hubungan kami menyimpang, tapi aku dan juga cintaku ada tidak untuk dicaci maki. Kalian sekeluarga punya hak apa untuk marah padaku? Melamar saja juga belum, gaya sudah seperti tuan muda saja kau Ram..!"
"Kurang ajar...!"
"Terserah, aku tidak perduli..."
Dengan tajam Lana menatap pria yang lebih muda darinya satu tahun itu. Ia kemudian meninggalkan Rama.
Hatinnya sakit. Sakit sekali. Namun Lana sadar, bahwa Rama masih terlalu muda untuk memahami perasaannya. Ia kemudian melangkah ke kantin. Sementara dengan mata meluapkan amarah Rama melangkah menghentakkan kakinya.
"Dia benar Rama, butuh kedewasaan untuk memahami perasaan orang lain."
Seorang pria lain tersenyum. Sepertinya ia mendengar pertengkaran itu. Dan tahu persoalan Lana dan Seger.
"Siapa kau?"
"Aku hanya teman saja bagi kakakmu, dan sahabat bagi Lana. Aku tahu persoalan kalian. Sebagai seorang pria kau masih terlalu muda untuk tahu sebuah cinta dan prosesnya. Tidak boleh kita marah begitu saja pada orang lain, hanya karena dia kekasih kakakmu. Yang aku tahu, Seger itu egois. Ia tak pernah memberi apapun, bahkan berkorban untuk Lana. Jika itu yang dinamakan cinta, dia lebih banyak menuntut dan memaki. Justru itu yang membuat Lana menerima kata pisah dari Seger untuk yang ketiga kali. Itu membosankan bagi siapapun! Sadarkah kamu, bahwa kamulah yang sebenarnya merusak hubungan kakakmu. Kamu terlalu meminta perhatian kakakmu, sehingga kakakmu tidak punya banyak waktu untuk Lana. Lalu apa hak Seger untuk marah jika melamarpun belum? Belum juga jadi suami sudah seperti itu!"
"Lana tidak pantas untuk dicintai."
"Ya sudah, dia kan bukan apa-apa kamu. Kalau tidak pantas, ya cari yang lebih pantas. Dengar! Aku tahu Galih. Dia sahabat baikku. Dia sahabat baik Lana. Jadi dia tidak mungkin pacaran di Mall, kecuali hanya menemani Lana belanja. Puas?"
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rama penasaran.
"Katakan pada kakakmu! Aku Imam. Pria pertama yang menjadi korban cinta kakakmu. Aku bukan membela Lana, tapi aku tahu siapa Lana, ia tidak mungkin mengkhianati cinta Seger. Tapi ucapan kalian telah menyakiti Lana. Lanapun bosan pada lelaki yang hanya bisa menuntut tetapi tak pernah memberi pengertian sekalipun. Siapa yang salah? Bukankah kau yang memaksa kakakmu belanja disaat Lana butuh seseorang untuk menemaninya membeli sesuatu yang ia butuhkan? Ketika kakakmu tidak bisa karena mengantarmu, maka Lana masih punya ratusan sahabat yang siap mengantar, apa yang salah?"
"Kau..?" Rama kaget
"Katakan pada kakakmu! Aku Imam yang menyalahkannya. Jika ia memang ingin dicintai oleh seorang pria atau gadis, jangan pernah egois atau menang sendiri! Memang dipikir Lana tak punya perasaan? Dia makan dan minum masih bersama keluarganya, bukan dari kakakmu. Jadi jangan bersikap kasar! Seperti tidak tahu arti cinta saja. Katakan! Aku yang mengatakan kau dan Seger seperti anak kecil!" kata Imam keras.
Imam, pria bertubuh tinggi yang jauh dari Rama itu menatap dengan tajam pria remaja yang baru semester dua dan masih berusia sembilan belas tahun itu.
Rama terhenyak. Emosipun mereda, ketika Imam meninggalkan tempat itu. Benarkah dirinya yang merusak hubungan baik sang kakak dengan Lana? Padahal yang ia tahu kakaknya sangat mencintai Lana.
Sementara itu di kantin kampus Lana menunduk sendirian. Ia hanya mengaduk-ngaduk minumannya. Hatinya begitu sakit. Namun ia berusaha menekan perasaannya.
Tak berapa lama Imam duduk di dekatnya. Menatap Lana yang berwajah murung karena persoalan yang dihadapinya.
"Na! Jangan sedih! Rama memang keterlaluan. Kau tidak salah..."
"Oh Imam, apa maksudmu?"
"Sudahlah! Galih sudah menceritakan semuanya. Galih kasihan sekali padamu karena kau sangat tertekan. Padahal ia tahu, sebenarnya kau tidak salah."
"Semuanya sudah berakhir. Dia telah mengakhiri hubungan tidak biasa ini, dan itu lebih baik bagiku. Semua beban hilang dan menjadi lebih ringan. Tidak mudah untuk mempertahankan cinta tabu ini Imam. Kini aku tahu, mengapa kau lebih memilih menjauh dari Mas Seger..."
"Aku pernah merasakan apa yang kau rasakan. Tadi aku sudah menegur Rama. Biar saja jika dia memang mau melapor pada kakaknya. Aku tidak mau jika kau juga menjadi korban cintanya si Seger! Useless sekali." ucap Imam tersenyum jengah.
"Bukankah cinta memang harus berkorban?"
"Memang, tapi kau tidak harus teraniaya bukan?"
"Biarkan sajalah, bagiku semuanya sudah selesai dan seharusnya Rama bisa menahan diri. Bisa membujuk kakaknya. Aku sudah tidak mau lagi kembali padanya. Aku sudah tak bisa memaafkannya."
"Ckck, dramatis sekali..." komen Imam
"Jika kau ingin kembali padanya, silahkan saja! Aku tak akan cemburu."
"Haduhh, males bingit kelles. Banyak lelaki di kampus ini yang kelihatannya juga gay atau bisex. Bukan hanya Seger saja. Banyak pria yang lebih pantas kita cintai." ungkap Imam gemas. Ia masih terlihat menyimpan rasa sakit akibat masa lalunya dengan Seger.
"Jadi...?"
"Aku mendukungmu jika kau mau menjauh dari Seger. Biar dia tahu, bagaimana harus memahami orang. Jika dia seperti itu terus, kurasa tak akan ada pria atau wanita yang mau menikah dengannya."
"Aku sempat mau sebetulnya. Namun dia sungguh keterlaluan, mengajakku berpisah sampai tiga kali."
"Ya, lelaki macam begitu sungguh tidak tahu diri."
"Aku sebenarnya ingin melupakan dia. Biarlah, kalau memang berpisah ya sudah pisah dengan baik-baik. Dia kan tidak akan rugi."
"Yasudahlah, pokoknya aku dukung jika kau menjauh. Tak ada gunanya mencintai lelaki seperti itu. Kalau sudah rumah tangga, bukan hanya ucapan yang keluar, bisa saja pukulan. Itu lebih mengerikan."
"Aku juga membayangkan hal yang sama."
"Galih pantas untuk dicintai!" kata Imam. Ia menatap Lana dalam. Lana mengangkat sebelah alisnya. Ini seakan-akan memperkuat duagaannya tentang orientasi sex Galih.
"Aku juga tidak tahu. Selama ini aku hanya berusaha bersikap baik dan sopan saja padanya, ya karena dia seniorku. Dan perasaanku biasa saja. Dan sekarang hatiku masih sakit. Mungkin, untuk beberapa waktu lamanya, aku masih belum ingin mengenal cinta terlabih dahulu. Sampai yakin jika memang ada yang pantas untuk ku cintai kembali."
"Jangan sedih Na!"
"Aku hanya menyayangkan, kenapa adiknya harus terlibat."
"Sudahlah! Lupakan saja! Aku sudah menegurnya tadi. Kurasa kehancuran hubungan kalian memang ada pada Rama."
Lana tak berkomentar. Ia meminum jusnya. Sementara Imam menemaninya ngobrol sambil memesan makanan di kantin kampusnya itu.
0 komentar:
Posting Komentar