Monster Part 10


By: Otsu Kanzasky
Note: terinspirasi lagu Monster Eminem ft. Rihanna dan film Disney `Tangled: Story Tale of Rapunzel'
***
Pagi datang menyapa dengan sinarnya yang hangat, otomatis udara pun ikut berubah menghangat. Seperti di bilik kamar kayu yang kecil itu, seperti menjadi alarm tak terucap bagi kulitnya.
Sosok Julian yang masih terlelap di tempat tidur mulai membuka matanya ketika mendengar suara orang bercakap-cakap di luar. Dengan mata menyipit ia menoleh ke samping kanannya, namun tempat di sisinya itu kosong dan membuatnya spontan bangkit duduk. Menatap ke sekitar kamar, lalu mengusap wajahnya dan berdiri.
Julian merapikan rambut dan bajunya sejenak lalu keluar dari kamar. Ia dapat mendengar suara Jennifer dan Kiel dari arah kedai, dan kedua orang itu menoleh serempak saat ia berdiri di ambang pintu yang menghubungkan bangunan kedai dan bilik-bilik kamar.
"Selamat pagi~" sapa Kiel berseri, Jennifer yang berdiri di belakang Kiel sibuk mengepang rambut panjang pemuda itu. Karena mereka berada di dalam counter bar. Julian mengangguk kecil dan melangkahkan kakinya mendekat.
"Pagi" balasnya singkat.
"Tadi Jean mengajari ku membuat kopi, ini untuk mu" kata Kiel sembari mengambil cangkir kopi di dalam meja counter dan meletakkannya di meja bar.
Untuk sejenak Julian hanya menatap Kiel, lalu duduk di salah satu kursi.
"Terima kasih" ucapnya meraih cangkir kopi itu, Kiel mengangguk kecil.
"Uhm, Jean juga mengajari ku membuat pancake, kamu mau coba?" Kiel terlihat bersemangat, matanya berbinar indah.
"Biarkan Julian mandi dulu, dia bahkan belum mencuci muka, ya `kan tampan?" Jennifer menyahut, sekilas menatap Julian yang tengah menyesap kopinya.
"Aku mandi dulu" ia mengangguk pelan setuju.
"Selesai~ ini pertama kalinya aku mengepang rambut sepanjang ini" kata Jennifer selesai mengikat rambut perak Kiel dengan ikat rambut. Di arahkannya kedepan di atas bahu Kiel yang membuatnya tampak anggun meski menggunakan shirt putih bergambar.
"Terima kasih Jean, maaf aku merepotkan mu pagi-pagi" Kiel tampak tak
tak enak hati, wanita yang baru berusia 30 tahun itu hanya tersenyum dan menggoyangkan tangannya.
"Sudah, aku melakukannya dengan senang hati" ujarnya. "Aku ambilkan baju ganti untuk Julian dulu ya" imbuhnya sembari keluar dari dalam counter.
Pria tampan itu pun mengikuti Jennifer kedalam, sementara Kiel menikmati lemonade hangat buatan Jean. Tak lama wanita itu kembali, dan Kiel membantunya membersihkan kedai.
Pukul 06.45 pagi, setelah selesai berberes dan Julian datang dengan pakaian yang berbeda. Mereka pun memulai sarapan sederhana dengan pancake yang bisa di tambahi aneka saus, seperti madu, susu, dan juga selai.
"Sejak kalian datang kemari, ku kira Julian seorang prajurit yang sedang berlibur. Sosok mu mengingatkan aku pada orang-orang Militer yang datang kemari 4 hari yang lalu" Jennifer berceloteh, lalu kembali menyuapkan potongan pancake ke mulutnya.
Kiel memperlambat kunyahannya dan melirik Julian yang duduk di sebelah kirinya tengah menyesap kopi. Perasaan gelisah dan takut itu kembali datang,
bagaimana jika suatu saat nanti Julian meninggalkannya?
"Apa yang membuat mereka datang kemari?" tanya Julian, sikapnya masih biasa saja. Jean mengedikkan bahunya.
"Mereka tidak bicara apapun. Siapa yang peduli? Toh tidak ada yang mengkhawatirkan di Desa ini" jawabnya cuek. Julian telah menghabiskan sarapannya lalu menegak kopinya yang telah menghangat sambil melirik Kiel.
Obrolan ringan menghangatkan suasana pagi itu, namun karena waktu yang terus bergulir dan mau tak mau mereka harus melanjutkan perjalanan. Meski Kiel merasa berat untuk pergi karena betah berada disana dan terlebih dirinya sudah cukup akrab dengan Jean.
"Mampirlah kalau kalian berada di sekitar sini" kata Jennifer, mengantar Julian dan Kiel di depan kedai.
"Pasti. Terima kasih sudah menerima kami dengan baik" ucap Kiel, Jean tersenyum tipis.
"Aku senang bisa mengenal kalian, aku jadi punya teman baru"
"Kami pergi, terima kasih Jean" Julian ikut bersuara.
"Hati-hati di jalan, dan jaga Kiel baik-baik"
"Tidak perlu kau peringatkan"
Jannifer hanya tersenyum. Kiel melambaikan tangannya saat Julian menggandeng tangannya dan mulai melangkah.
"Aku akan bungkam kalau nanti ada keluarga kalian datang mencari!" seru Jean.
Kiel kembali menoleh dan melambaikan tangannya lagi, hingga mereka berjalan semakin jauh.
Kedua orang itu kembali menyusuri jalan, semakin dekat dengan sungai kecil yang menjadi pembatas antara Tierra dan lahan liar. Dan Julian tak berhenti memikirkan alat transportasi apa yang akan mereka gunakan.
"Kita akan naik apa setelah ini?" tanya Kiel, memperhatikan Julian di sampingnya.
"Masih ku pikirkan" jawabnya tenang.
Sepanjang jalan itu, mata mereka di suguhi pemandangan kering yang gersang. Disana-sini tampak lubang bekas pertambangan, namun berjarak sekitar 20 meter di depan, ada sebuah lapangan luas yang di tumbuhi rumput-rumput pendek secara acak. Dan yang menyita perhatian Julian adalah, seekor kuda berwarna hitam gagah tengah mencari makan di pinggir lapangan.
Yah, kuda memang cocok untuk perjalanan mereka kali
ini.
Julian mengajak Kiel untuk mengikutinya menuju lapangan, dimana seorang bocah laki-laki berusia sekitar 8 tahun duduk menghadap si kuda.
"Kuda ini milik mu?" tanya Julian yang sudah berdiri di dekat bocah itu, sang bocah mengangguk.
"Apa kau menyewakan kuda ini?"
Bocah itu diam sesaat seperti sedang berpikir. Kiel yang tampak antusias kini membelai badan kuda itu.
"Ini kuda ku satu-satunya" kata bocah itu menggantung.
"Apa kita akan naik kuda Julian?" tanya Kiel tampak senang.
"Ya, kalau kuda ini di sewakan" jawabnya. Kiel berhenti mengelus kuda itu dan menatap Julian.
"Kau tidak menyewakan kuda ini?" tanya Kiel kecewa.
"Sebenarnya ingin ku sewakan, tapi..." bocah itu terlihat ragu.
"Tapi?" Kiel menunggu.
"...aku takut kuda ku tidak kembali" ujarnya akhirnya. "Kalau kuda ini tidak ada, aku tidak bisa mencari uang untuk biaya berobat Nenek" bocah itu gelisah.
"Nenek mu sakit?" bocah itu hanya mengangguk. "Lalu orang tuamu?"
"Ayah dan Ibu pergi bekerja di kota lain satu tahun yang lalu dan
belum pulang"
"Ayah Ibumu tahu kalau Nenek mu sakit?" bocah itu hanya menggeleng.
Kiel pun beralih menatap Julian, ada rasa iba di sorot mata birunya.
"Uang kita tidak bisa membeli kudanya" kata Julian, mengerti akan apa yang di pikirkan Kiel. Tapi tiba-tiba si Aquamarine itu tersenyum tipis, lalu melepas kalungnya.
"Kenapa kamu lepas?" Julian menaikkan satu alisnya.
"Kita tidak mungkin menyewanya, perjalanan kita jauh, jadi sebaiknya kita beli kudanya dengan kalung ini" kata Kiel antusias. Julian mengernyit tak setuju.
"Tidak, kalung itu berharga untuk mu" tolaknya tegas.
"Kita butuh kudanya `kan? Kalung ini memang berharga untuk ku, tapi cuma ini satu-satunya cara agar kita bisa melanjutkan perjalanan" Kiel bersikeras.
"Tidak Kiel, kalung itu pemberian Ibu mu"
"Kumohon...aku hanya ingin membantunya dan membantu mu. Hanya ini yang bisa ku lakukan" Kiel memelas menatap pria tampan itu.
Julian memijat pelipisnya kecil, menatap bocah laki-laki itu lalu menatap Kiel yang menatapnya memelas. Dirinya
memang tidak punya pilihan lain, tapi kalau harus menukar kalung itu dengan seekor kuda, entah kenapa membuatnya merasa sangat bersalah.
"Aku janji akan mengganti kalung mu" kata Julian akhirnya, mengembangkan senyum Kiel seketika.
"Kalau begitu kalung ini milik mu sekarang, dan kudanya kami ambil" Kiel memberikan kalungnya pada si bocah.
Bocah itu sendiri tampak mengarahkan batu kalung berwarna biru ke atas dan melihat kilaunya yang indah. Sementara Julian membantu Kiel menaiki kuda.
"Kalung itu bisa membeli beberapa ekor kuda dan mengobati Nenek mu" ujar Kiel, saat Julian naik dan duduk di belakangnya.
"Benarkah?" si bocah menatap takjub. Matanya yang bulat bersinar saat melihat kilauan batu Aquamarine tersebut.
"Jangan kau tunjukkan pada sembarang orang dan jaga baik-baik, bawalah ke kota"
"Baik, terima kasih kak!" bocah itu terlihat senang, dan berlari menjauh.
"Kita berangkat?" tanya Julian, memegang tali kendali di antara pinggang Kiel, pemuda manis itu mengangguk.
Dengan lihai, Julian
menggiring kuda yang mereka naiki untuk berjalan. Dan entah kenapa Kiel terlihat sangat bersemangat, karena ini pertama kalinya ia naik kuda.
-
Entah sudah berapa lama mereka melakukan perjalanan menggunakan kuda, yang jelas saat ini Julian dan Kiel telah berada di dalam hutan yang berjarak 50 meter dari perbatasan sungai kecil Desa Tierra. Untungnya masih terdapat jalan setapak kasar yang kemungkinan di buat oleh hewan-hewan di hutan, atau para penjarah yang tidak ada segannya mengeksploitasi hasil hutan.
Sesekali mereka berhenti untuk mengistirahatkan kuda yang mereka tunggangi dan kembali melanjutkan perjalan. Meski medan yang mereka tempuh cukup sulit, tapi setidaknya masih dapat mereka atasi, dan pastinya Julian dapat membaca kondisi sekitar dan arah mana yang harus mereka tempuh.
"Bersandar lah padaku kalau kamu lelah" ucapnya sering kali pada Kiel.
Pria tampan itu sangat memperhatikan kenyamanan Kiel, sudah beberapa kali ia bertanya jika medan yang di tempuh cukup membuat tak nyaman, dan selalu
mendapat jawaban,
"Uhm, aku baik"
Kiel memang bukan anak yang manja, karena jalan hidupnya yang tragis, membentuk pribadinya yang kuat meski `kekuatan' itu tak tampak dari sosoknya yang bagai boneka klasik. Dan entah disadari atau tidak, aura dingin yang dulu menyelimuti wajahnya telah berangsur hilang.
Sesekali bibir mungil merekah itu memprotes tanpa suara ketika nyamuk menggigit kulit tangannya, beberapa kali ia berusaha menepuk sang nyamuk tapi selalu gagal.
"Kita harus berjalan kaki mulai dari sini" kata Julian sambil menahan tali kendali dan langkah kuda pun berhenti.
"Lalu kudanya?" tanya Kiel saat pria tampan itu turun.
"Harus dituntun, ayo" Julian mengulurkan kedua tangannya dan dengan mudah mengangkat tubuh ringkih Kiel.
Perjalanan mereka masih berlanjut, dan sedikit lebih sulit karena tidak adanya jalan setapak, terlebih mereka harus berhati-hati saat melangkah. Sejenak mereka berhenti ketika Julian membaca tanda lumut yang ada di pepohonan, dan memastikan arah yang mereka tempuh benar.
Karena lumut akan tumbuh pada bagian pohon yang tak searah dengan letak matahari.
"Kamu lapar?" tanya Julian, memperhatikan Kiel yang berjalan di sisi kuda yang lain.
"Tidak juga" jawab si Aquamarine itu santai. Tepat saat Julian menatap sekitar, ia melihat segerombol jamur Matsutake putih yang tumbuh subur di bawah sebuah pohon besar.
"Mau makan jamur?" tawarnya menghentikan langkahnya, otomatis kuda hitam itu pun ikut berhenti.
"Boleh" sahut Kiel tertarik.
Julian pun mengikat tali kendali kuda di sebuah pohon kecil, selagi Kiel mencabut segerombol jamur yang di maksut pria tampan itu. Dan cukup mudah mencari patahan ranting yang banyak berserakan di sekitar sana, Julian dapat membuat api dengan cepat menggunakan batu, lalu menusukkan satu per satu jamur pada ranting yang lebih kecil.
Menu makan siang mereka amat sangat sederhana, meski jamur-jamur itu tak memberikan efek kenyang, namun cukup mengganjal perut mereka yang mulai berdemo. Dan setelah menghabiskan jamur panggang itu, Julian dan Kiel
melanjutkan perjalanan mereka yang setengah jalan lagi.
"Seperti yang ku lakukan dulu, hutan sudah menjadi rumah ku selama ini" kenang Kiel, memperhatikan pepohonan tinggi yang mereka lewati. Julian memilih diam mendengarkan.
"Aku tidak tahu kenapa orang-orang kebanyakan tidak menerobos hutan meski ingin menangkap ku" ucapnya lalu menatap Julian.
"Karena mereka tidak mengerti medan di dalam hutan" kata pria tampan itu kalem.
"Tapi sekarang berbeda, aku tidak sendirian di hutan" sejenak Kiel menatap Julian.
Sampai akhirnya jalan setapak kasar kembali menyapa mata mereka, dan itu berarti mereka sudah akan segera dari hutan. Julian membantu Kiel naik, kemudian dirinya naik.
Dengan stabil pria tampan itu mengendalikan kuda, semakin lama kuda berjalan semakin lebar pula jalan setapak yang di lalui, dan terasa sinar matahari siang yang menyapa kulit mereka.
Wajah Kiel tampak senang, lepas dari udara lembab hutan. Dan pemandangan rerumputan hijau menyapa matanya ketika mereka benar-benar telah keluar dari area hutan.
Julian memperlambat laju kuda mereka, selagi Kiel sibuk memandang ke sekitar padang rumput yang terhampar. Tapi semakin dekat mereka pada batas padang rumput itu, Kiel di buat takjub oleh pemandangan cantik di bawah sana.
Mata indahnya melebar, memandang takjub pada sederet rumah khas pedesaan, lalu pada taman bunga yang ada di bukit sebrang, dan perkebunan di arah kiri bukit dimana saat ini dirinya dan Julian berada.
Benar-benar Desa yang terisolasi. Dan Kiel sampai tak bisa berkata melihat pemandangan indah itu.
Varosha adalah Desa yang letaknya di himpit 2 bukit.
"Kita sampai di Varosha" ucap Julian, menatap ke Desa di bawah sana.
"Kita akan menetap disini?" tanya Kiel antusias, menengok ke belakang menatap Julian, pria itu mengangguk.
Sungguh, pemandangan indah yang tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya.
Kiel sangat senang, Julian dapat merasakan itu. Terlebih saat ini mata biru itu tak henti menelanjangi pemandangan yang terhampar di hadapannya.
Pada deretan rumah yang jaraknya agak berjauhan karena masing-masing rumah memiliki pekarangan yang cukup luas, yang di tanami berbagai aneka sayuran atau buah-buahan, lalu pada hamparan padang bunga yang berada di bukit sebrang memanjakan matanya dengan beraneka ragam
jenis bunga. Dan pemandangan hewan-hewan ternak yang di lepaskan begitu saja di bukit yang mereka turuni untuk makan.
"Bagaimana bisa kamu menemukan tempat seperti ini?" tanya Kiel takjub, sekilas menengok pada Julian.
"Dulu aku sempat di tugaskan disini, hanya sedikit prajurit yang ikut" jawabnya, sangat lihai mengatur laju sang kuda yang berjalan menuruni bukit.
"Jadi kamu mengenal penduduk Desa ini?"
"Ya, aku cukup mengerti mereka. Aku memiliki sebuah rumah disini dan kebun sayur"
Kiel menoleh dan menatapnya bingung, dan Julian paham.
"Saat itu aku berpikir untuk tinggal disini saat pensiun, jadi aku membeli sebuah rumah" ujarnya menjelaskan.
"Oh, lalu saat itu apa tugasmu disini?"
"Membuat pembangkit listrik, lihat kincir angin di samping rumah-rumah itu?" Julian menumjuk acak pada kincir angin berwarna putih, Kiel mengangguk. "Sumber listrik di Desa ini berasal dari kincir angin itu, yang terhubung pada generator di tiap-tiap rumah" lanjutnya.
Kiel terkagum tanpa suara, membuatnya semakin
kagum pada pria tampan yang ada di belakangnya itu.
Dan antusiasme Kiel semakin tak terbendung lagi saat kuda yang mereka tunggangi telah turun dari bukit dan menuju Desa. Tepat saat Julian akan menahan tali pengendali kudanya agar berhenti, seorang pria paruh baya berjenggot tipis yang sedang mengurusi kebun strawberry di depan rumahnya mengangkat kepalanya dan terkejut saat melihat sosok Julian di depan Desa.
"Julian!!" panggilnya senang sekalgus kaget. Dengan segera ia meletakkan keranjang kecil yang terbuat dari rotan ke tanah.
Julian yang baru saja menurunkan Kiel pun menoleh, melihat Richard berlari kecil ke arahnya.
"Selamat siang" sapa Julian sopan, pria paruh baya itu tersenyum lebar dan memeluk Julian seperti anaknya sendiri. Kiel yang melihat itu hanya tersenyum ikut senang.
"Akhirnya kau datang juga, jadi apa kau sudah pensiun?" Richard melepas pelukannya.
"..ku rasa belum, tapi aku datang kemari untuk menetap" kata Julian, membuat Richard mengerutkan keningnya samar. Dan kini perhatiannya
tertuju pada sosok Kiel yang berdiri di samping Julian yang menatapnya polos.
"Apa dia alasanmu datang kemari?" Richard berbisik, Julian mengangguk singkat. "Anak yang cantik, kau pintar memilih pasangan" pujinya menggoda.
"Kenalkan ini Kiel, dan ini Richard" kata Julian memperkenalkan. Kiel berjabat tangan dengan pria itu.
"Salam kenal, mohon bantuannya" ucap Kiel sopan dan menyudahi jabatannya.
"Semoga kamu betah disini nak, selamat datang di Varosha" Richard tersenyum senang.
"Kemana penduduk Desa yang lain?" tanya Kiel memperhatikan sekeliling yang cukup sepi.
"Ini jam bekerja, para pria berada di kebun, dan para wanita sibuk sendiri-sendiri"
"Baiklah biar aku yang mengurus kudanya, kalian beristirahat lah, akan ku ambilkan kunci rumahnya dulu" sambung Richard cepat dan beranjak dari hadapan Julian dan Kiel.
Tak lama mereka menunggu, Richard kembali dan menyerahkan kunci rumah Julian. Ia hanya senyum-senyum sendiri saat `pasangan' itu berjalan meninggalkannya bersama si kuda hitam.
Julian membawa
Kiel ke sebuah rumah beratap merah gelap, bangunanya sederhana dengan cat berwarna biru laut. Rumah itu tak terlalu besar namun terlihat cukup nyaman, terlebih halamannya di tumbuhi buah strawberry dan pohon apel.
"Ayo masuk" ajak Julian karena Kiel sibuk memperhatikan sekitar.
Pemuda cantik itu pun masuk, memperhatikan tiap sudut ruang depan yang telah di isi perabotan, satu set kursi kayu dan vas bunga yang ada di atas meja. Julian sendiri mengikut di belakang, membiarkan Kiel menjelajahi tiap ruangan di rumah itu.
Namun suara pintu kamar di buka yang ada di dekat mereka, membuat Julian dan Kiel menoleh serempak.
"Kita bertemu lagi" ujar sosok pria yang keluar dari kamar tersebut.
Baik Julian dan Kiel menatap shock pada pria bertubuh tegap itu. Sorot matanya yang dingin, dapat membuat Kiel mematung dengan perasaan takut yang amat sangat.
BERSAMBUNG~ 

0 komentar:

Posting Komentar