Burung Kertas Part 4



By : Nayaka Al Gibran
Kota Medan, tahun baru 2004
Aku membawa Teuku melihat pesta kembang api di alun-alun kota Medan. Kami sudah terlunta-lunta sejak pukul sembilan malam. Teuku berkali-kali mengeluh kakinya pegal dan mengajakku duduk dimana saja. Kalau tidak ingat bakal mengundang perhatian, ingin saja aku mendukungnya di punggungku, dia tidak lebih berat dari kopernya yang pernah kupikul dulu.
“Jayen… kakiku rasanya mau tanggal. Nyesal deh aku ikut ajakanmu…”
“Tepat tengah malam saat kembang apinya sudah memenuhi langit Medan, rasa sesalmu bakal terinjak-injak hancur tak bersisa,” cetusku sambil menyodorkan kaleng soft drink buatnya. “Lagipula, ini kan pesta setahun sekali, masa kamu mau ngurung diri di kamar kos dengan film-film gak jelas di laptopmu itu.”
“Film-ku jelas tau, memangnya laptopmu, isinya bokep semua.” Dia menenggak isi kaleng dengan rakus, “Alamat harus cari kamar kecil lagi nih…”
Aku tertawa, lalu merespon ucapannya. “Memangnya kamu pernah lihat kalau laptopku penuh bokep?”
“Ya tahu aja, cowok kayak kamu tuh pasti doyan ngoleksi yang kayak-kayak gitu.”
“Cowok kayak aku? Memangnya aku cowok yang bagaimana?” kejarku.
Teuku fokus memandangku sekarang. Aku seperti mengalami de javu, debar seperti ini pernah kualami ketika kami bertatapan untuk pertama kalinya di halaman rumah kos. Kini aku bahkan dapat melihat jelas matanya yang bersinar secerah Venus, bintang timur.
Teuku terdiam lama. Mata kami masih bersitatap, tak ada yang mengedip hingga dia kalah lebih dulu. Teuku berhenti memandangku dan menolehkan kepalanya lurus ke depan. Aku melakukan hal yang sama kemudian.
“Kamu cowok baik…”
Itu ucap lirih yang keluar dari bibir Teuku setelah kami lama membisu. Aku tidak meresponnya, diam hingga dia kembali bersuara yang lebih berupa bisikan.
“Kamu adalah lelaki baik yang pernah jadi sahabatku…”
Aku tersenyum simpul. “Itu penilaian subjektifmu untukku kan? Kamu bilang gitu karena orangnya adalah aku.”
Dia menggeleng, “Itu penilaian objektif, bukan karena orangnya kamu, tapi karena kamu memang baik…”
TET TERERET TET TEEET
Suara terompet mulai bersahut-sahutan. Petasan juga mulai meledak dimana-mana.
“Budek kupingku lama-lama di sini…” keluhnya.
“Sesaat lagi, jangan budek dulu…!”
Aku segera bangun dan menarik tangan Teuku begitu orang-orang mulai menghitung mundur dari sepuluh. “Ayo, sudah saatnya…”
“… ENAM… LIMA… EMPAT… TIGA… DUA… SATUUU…!!!”
Dan kembang api seketika itu juga bertaburan menutup langit. Di sampingku, entah mendapat energi dari mana, Teuku berseru riuh sambil mendongak langit. Dia tertawa gembira, berganyut di bahuku dan sesekali melompat.
“Aku belum pernah lihat yang kayak gini… Aku belum pernah lihat yang kayak gini!” serunya berulang-ulang.
Aku tak akan melupakan ekspresinya. Melihat Teuku seceria sekarang, rasanya bagai seisi dunia baru saja diletakkan dalam tanganku.
Kami kelabakan mencari transport untuk pulang ke kos. Teuku sudah meringis-ringis menjelepok di atas trotoar sambil sesekali memegang lututnya. Rasa lelah yang tadi sempat dilupakannya ketika kembang api meledak kini muncul lagi, berkali-kali lipat lebih parah katanya.
“Semua becak gak ada yang terlihat kosong, Ngil… sabar bentar lagi deh,” bujukku. “Omong-omong, happy new year ya, Mungil…”
Dia membalas ucapanku dengan gumam pelan, masih sambil memijit lututnya.
“Gak balas ngucapin?”
“Se-la-mat ta-hun ba-ru, Ja-yen…” balasnya dengan nada menjengkelkan. Lalu, “BECAAAAAAKKK…!!!” dia berteriak keras.
Aku melihat sebuah becak mendekati kami.
“Akhirnya…”
Sepanjang perjalanan dari kota ke Padang Bulan, Teuku menyandarkan kepalanya ke pundakku. Sepertinya dia sama sekali tidak terganggu dengan keadaanku yang pasti bau keringat. Tangannya juga mengait pinggir saku jaketku. Entah dia beneran tertidur atau tidak, aku tak peduli.
***
Lampulo, akhir Februari 2004
Aku masih tidak percaya dengan keputusanku sendiri. Dulu aku hanya berkelakar kalau ingin melihat rumah Teuku, siapa yang mengira ternyata aku benar-benar bisa berada di tempatnya. Aku berhasil meyakinkan mamaku agar memberi izin menghabiskan seminggu liburan akhir semesterku di tempat Teuku. Awalnya mamaku bersikeras melarang, beliau khawatir mengingat kondisi di Aceh yang sedang dilanda konflik, berpergian ke sana dipandang terlalu beresiko. Tapi ketika Teuku mengatakan ‘Kita akan baik-baik saja’ itu sudah lebih dari cukup untuk meyakinkanku bahwa Tuhanku dan Tuhannya akan menjaga kami. Lagipula, ini aku bersama Teuku, dia sudah pernah pulang pergi sebelumnya.
‘Natal kamu gak pulang, tahun baru juga gak pulang, sekarang libur semester juga gak pulang… Mama khawatir…’
Mamaku akhirnya luluh setelah kuyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja, dan pasti akan pulang saat libur tahunan nanti yang biasanya lebih lama.
Jadi, di sinilah aku sekarang, di daerah bernama Lampulo yang letaknya tak begitu jauh dari pantai. Kami tiba lewat pukul sepuluh malam, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 13 jam dari Medan ke Banda Aceh dalam mobil travel yang sumpek dan membuat sakit seluruh badan. Aku berdiri canggung melihat Teuku dipeluk dan dicium keluarganya di beranda rumah.
Kesan pertama yang kutangkap, mereka adalah keluarga yang solid. Abah dan umminya menyambutku hangat, adik perempuannya yang paling kecil –dibungkus piyama Hello Kitty- menyalami dan mencium tanganku, sepertinya dia baru terbangun atau bisa jadi menolak untuk tidur sebelum kakak laki-lakinya pulang, bocah TK itu terkantuk-kantuk memegang guling kecilnya. Sedang adik perempuannya yang lebih besar menunduk malu-malu ketika bersalaman denganku, kuperkirakan dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
“Mari masuk, Nak Edgar. Langsung istirahat saja, lelah pastinya seharian di mobil,” ujar abahnya sambil mempentangkan pintu lebih lebar.
“Iya, Om…”
Jujur, aku sedikit segan dengan abahnya Teuku, aura kharismatik beliau membuatku tak berani menatap wajahnya terang-terangan. Lain dengan umminya, aku langsung merasa nyaman.
“Yuk, Gar…” ternyata di sini Teuku memutuskan untuk memanggil namaku seperti biasanya.
Aku tersenyum sambil mengangguk.
***
Hari pertama di rumah Teuku, aku baru bangun pukul sepuluh pagi. Sangat telat, bahkan adiknya yang paling kecil sudah kembali dari Taman Kanak-kanak. Kutemukan Teuku sedang berkutat di sinky, mencuci piring.
“Aku gak bangunin kamu, kasihan. Gak apa ya kamu sarapannya telat.”
Aku menguap sambil duduk di kursi meja makan.
“Eh, mau langsung makan? apa gak mandi dulu…”
“He eh, mandi dulu…”
Adiknya yang paling kecil masuk ke dapur, berdiri memperhatikanku yang masih kusut hanya bercelana pendek.
“Halo…” sapaku sambil menunduk. Kuberanikan diri menyentuh rambutnya yang sama persis seperti rambut Teuku.
“Jangan harap dia mau menjawab, dua adikku diam banget kalau ketemu orang baru.” Teuku selesai mencuci, “Tuwah, kita tunggu Ummi aja sambil nonton tivi, yuk!” Teuku menggandeng tangan adiknya. “Kamu mandi sana, jangan sampai sarapanmu jamak sama jam makan siang.”
“Namanya unik ya, Tuwah?” tak kurespon kalimat Teuku yang menyuruhku mandi, sebaliknya mengomentari nama adik kecilnya itu.
“Cut Nyak Meutuwah, namanya…” jawab Teuku.
“Bagusnya. Yang satu lagi?”
“Cut Nyak Taria, dia baru kelas satu SMP.”
Aku manggut-manggut, “Memangnya ummimu kemana?”
“Belanja bahan dapur. Udah sana mandi, makin siang nih.”
***
Yang tak bisa kulupakan saat di rumah Teuku adalah ketika sampai hari Jumat. Saat Teuku dan abahnya sudah rapi dengan pakaian muslim mereka sedang aku duduk tenang di sofa ruang tamu sambil membolak-balik majalah, Tuwah berucap dengan suara yang cukup jelas terdengar dari arah dapur setelah sebelumnya asik mondar-mandir mengecek keberadaanku tanpa menegur sepatah kata pun.
“Ummi, Abang Edgar itu engga ke mesjid ya?” ternyata dari tadi dia heran mengapa aku duduk tenang-tenang saja sedangkan kakak dan abahnya sudah hendak pergi. Ketika rasa herannya sudah tak tertahan minta diluruskan, dia mendapatkan umminya untuk bertanya.
Lirih kudengar umminya menjawab di sela bunyi pisau yang beradu dengan talenan, sepertinya beliau sedang memotong sayur. “Pergi, Nak… tapi Abang Edgar perginya baru hari minggu lusa…”
Aku tersenyum simpul mendengar jawaban lirih itu. Malamnya ketika aku bercerita pada Teuku saat menjelang tidur, dia tertawa sampai ranjang bergoyang.
“Adikku memang gitu, suka penasaran. Biasa kan, usia anak segitu rasa ingin tahunya sedang pesat…”
Aku mengangguk, “Yang mendamaikanku tuh jawaban Ummi… Memangnya di sini ada gereja, ya?”
“Gereja Methodist sih ada, kamu mau ke sana hari minggu ini? Kalau mau biar aku antar.”
Aku berfikir sejenak. “Gak usah aja, hari minggu ini kita muter-muter lagi, sorenya kan udah harus balik.”
“Ya sudah…”
***
Hari minggu dari pagi hingga siang, untuk kesekian kalinya sejak tiba enam hari lalu, aku dibawa Teuku menjelajah Kota Banda Aceh dan daerah pinggirannya. Meski sudah pernah beberapa kali, rasanya masih tetap aneh mendapati diriku duduk di boncengan Teuku di atas motor bebeknya. Rasanya seperti aku diboncengi adikku, itu karena dia begitu imut sedang aku tampak begitu menjulang di belakangnya.
“Kamu turisnya, aku tour guide-nya. Jadi diam sajalah!” Teuku selalu bilang begitu tiap kali aku menawarkan untuk menyetir dan dia yang memberi instruksi di tiap persimpangan, tapi dia tak mau.
Terakhir, saat menjelang siang setelah dua kali isi bensin, kami melihat-lihat pelabuhan kapal air di Ulee Lheue.
“Kalau mau ke Sabang ya lewat pelabuhan ini perginya.”
“Yah, aku malah gak ingat Sabang… duh, kamu telat nyinggungnya. Padahal kita sempat untuk pergi. Itu pulau paling brand di Aceh, kan?”
Teuku tertawa, “Nanti kapan-kapan deh, aku juga sama sekali gak ingat tuh kemarin-kemarin.”
“Ngeles aja, takut aku minta dibayarin, ya?”
“Itu juga salah satu hal yang menjadi pertimbanganku…”
“Dasar pelit!”
Teuku hanya ngakak besar sambil terus mengemudi pulang.
***
LALU bulan-bulan berganti. Kami menjalani rutinitas perkuliahan semester dua tak jauh beda dari semester satu. Seiring waktu pula, aku semakin menyadari satu rasa yang mulai berakar dan mengembang dalam hatiku. Itu adalah perasaan tak ingin kehilangan. Itu adalah perasaan tak ingin jauh. Itu adalah perasaan tak ingin berpisah. Belakangan aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak salah memutuskan, aku tidak salah memutuskan bahwa nama perasaan itu adalah cinta. Ya, dari hanya jatuh suka, dari hanya jatuh sayang, kini aku sudah jatuh cinta pada Teuku Phonna Darussalam. Aku sama sekali tak disaput ragu, sama sekali tak dibuat tertekan dengan aturan alam dan kodrati yang tidak membenarkan objek tujuan perasaanku, aku sama sekali tidak takut dan bimbang. Aku meyakini dengan keteguhan hati yang bukan olah-olah. Salah atau benar menjadi hal yang tak penting lagi.
Yang aku pegang, aku mencinta Teuku, lelaki mungilku. Itu saja.
Ketika hatiku kian mantap, aku mulai menunggu masa, mengintai kesempatan, menanti hari dimana aku bisa meneriakkan kata cinta yang tertahan di ujung lidah. Aku sabar, selama Teuku masih bersamaku, meski dia belum tahu, itu sudah cukup bagiku.
Bersambung~

0 komentar:

Posting Komentar