Galih sedang bicara dengan Izham. Tentu saja seputar bisnis Galih yang sedang dirintis. Karena sebentar lagi wisuda, Izham tertarik ikut bersama usaha itu. Setidaknya mereka sama-sama memiliki hobi melihat mesin mobil.
Lana datang dengan senyum manisnya yang lembut. Membuat Galih terpaku. Senyuman Lana begitu manis, melebihi senyum Monalisa sekalipun (ngarang saya). Senyum terindah yang hanya dimiliki seorang mahasiswa di seluruh kampus.
"Dia datang. Biar aku pergi dulu. Aku tidak mau mengganggumu." Izham yang mengerti jika sang sahabat memiliki orientasi yang sedikit berbeda dan menyukai Lana pun memilih untuk pergi. Tidak mau mengganggu.
"Kau mau kemana?"
"Perpusatakaan..."
"Nanti ke rumahku ya..."
"Beres..."
Dedy Izham, anak pak Bramantio, pensiunan perwira menengah, yang hidup dan berjuang bersama Galih untuk sampai ke titik akhir di kampus, wisuda! Dan itu tidak akan lama lagi. Mereka akan segera melewatinya.
Lana tersenyum ketika berpapasan dengan Izham. Lelaki itu tersenyum.
"Na, ditunggu Galih tuh...!"
"Kak Izham mau kemana?"
"Ke perpustakaan."
"Enggak duduk dulu?"
"Tidak usah, nanti aku hanya akan mengganggu saja. Lain kali saja Na. Senang bicara dengan pria manis sepertimu." Lana menatap Izham dengan sedikit aneh. Sebelah alisnya terangkat. Dia berpikir tentang kemungkinan bahwa Galih dan Izham...(?)
"Sudah cepat! Galih sudah menunggumu."
"Oh ya?"
"Iya, tadi dia bilang begitu padaku."
"Begitu ya?"
"Temui dia Na! Dia lelaki yang baik. Setidaknya dia lelaki yang bisa kau percaya." dan ucapan Izham semakin membuatnya yakin tentang Galih.
"Kakak benar, aku mempercayainya."
"Aku ke perpustakaan dulu ya?"
"Silahkan!"
Sikap Lana memang santun. Banyak yang suka bicara dengannya. Makanya, ketika ia bersama terus dengan Seger, banyak yang menyayangkan. Maklum, tidak ada yang suka dengan Seger. Ia sombong dan angkuh. Sangat jauh dengan Lana.
"Kak...!" desah Lana ketika dekat. Mata bening pria muda itu membentur mata teduh milik mata elang jantan, Galih Laksono. Lelaki keren, namun berpenampilan sederhana.
"Duduklah dek!"
"Terima kasih. Ayah kakak sudah melihat rekeningnya?"
"Sudah, perlu perjanjian...?"
"Iya, sedang aku siapkan. Nanti, gunakan saja apa yang bisa digunakan. Jangan khawatir! Perjanjian itu justru meringankan kakak. Kakak sendiri sudah melihat rekening kakak?"
"Sudah. Terima kasih sudah percaya pada kakak. Tinggal menentukan langkah berikutnya saja. Tapi ku rasa Izham akan banyak membantu kita. Ia juga pintar mencari mobil."
"Aku senang jika Kak Izham mau bergabung, tapi ia sebaiknya di luar management. Sebagai tenaga kepercayaan kakak saja."
"Ya, akau sudah membicarakan itu. Bagaimana lokasinya?"
"Aku sudah dapatkan rumah buat showroom kakak, ada tiga ruko baru, dan tempatnya strategis. Dalam mingu ini sudah terbentuk menjadi sebuah showroom. Aku sudah meminta untuk dikerjakan sekarang juga. Besok pagi ku jemput, kita dan juga ayah kakak, pergi ke notaris. Kita dirikan bisnis resmi saja, nanti yang lain-lain biar diurus notaris saja. Pembayaran sudah aku bereskan semuanya. Ayah dan ibu kakak sebaiknya ijin untuk pendirian bengkel itu. Kakak dan aku ijin pendirian usaha jual beli mobil. Ku harap langkah awal ini akan membawa kakak menjadi sukses. Oh iya, kakak bisa beli mobil untuk transportasi kakak. Ada empat ratus empat puluh juta yang kusertakan di luar jumlah itu, untuk beli mobil inventaris kakak, untuk memperingan pekerjaan." papar Lana panjang lebar.
"Ya, nanti kakak ambil. Tapi, apakah setiap bertemu, kita hanya akan bicara bisnis?"
"Maksud kakak?"
"Bagaimana untuk meresmikan kerja sama kita ini, kakak traktir kamu makan siang?"
"Yang benar?"
"Tapi ini jujur dari uangku. Beasiswa terakhir yang aku terima. Aku sudah melunasi semua pembayaran untuk ujian dan wisuda. Beres semua. Masih sisa setengahnya. Aku traktir kamu yang dek?"
"Okay, dengan senang hati..."
"Tapi, tetap bawa mobil kamu."
"Tak masalah, tapi aku capek kak. Kakak yang nyetir ya?"
"Okay!"
Galih menerima kunci mobil dari Lana, mereka menuju parkiran. Kemudian meninggalkan halaman kampus. Sementara sepasang mata tak berdaya menatapnya cemburu. Namun Seger tak bisa lagi mengusik Lana. Salah sendiri ia memutuskan cinta sampai tiga kali. Kesabaran Lana sudah sampai pada batasnya.
Seger tak berniat mengejar sepasang anak muda itu. Ia sudah kalah segala-galanya dan sudah berjanji pada Galih untuk tidak mengusik Lana lagi.
Hati Seger kecut. Ia melangkah gontai meninggalkan parkir.
"Mas Seger!" seorang gadis semester dua teman Rama menemuinya. Seger mengerutkan kening, karena merasa belum kenal dengan gadis itu.
"Apa aku mengenalmu?"
"Belum, namaku Ines, temannya Rama. Semester dua."
"Oh ya?"
"Kenalkan dulu, aku senang berkenalan dengan Mas Seger..."
"Begitukah?"
"Mas mau menemaniku?"
"Boleh, kemana?"
"Makan siang..."
"Aku...?"
"Bagaimana aku memanggilmu?"
"Ya, panggil namaku saja, atau nama belakangku, Nes begitu..."
"Okay, pakai mobil siapa Nes?" bagai pucuk dicinta ulam tiba. Saat sendiri, hati sepi dan tersakiti, tiba-tiba ada gadis cantik yang datang. Bukankah itu kesempatan untuk menghibur diri?
"Terserah Mas Seger..."
"Pakai mobilku saja. Ayo! Aku ada sebuah rumah makan yang romantis, tapi kamu yang traktir. Okay?"
"Siaap..."
Mereka kemudian meninggalkan kampus. Memang sebentar lagi kampus libur, sebab tempatnya akan dipakai kegiatan orang-orang lembaga. Dan membutuhkan banyak ruangan. Termasuk gedung kuliah Seger dan Ines kuliah. Sehingga hari-hari terakhir banyak dosen absen, entah mempersiapkan apa.
"Mas..."
"Ya?"
"Katanya baru putus cinta ya?"
"Kata siapa?"
"Rama..."
"Oh ya?"
"Benarkah?"
"Ya, beginilah nasib laki-laki. Marah sedikit saja, kekasih kabur dengan orang lain." tentu saja Seger tidak mau membongkar hubungannya dengan Lana yang tidak biasa itu. Bisa-bisa ia ditingal pergi Ines.
"Padahal Mas mencintainya?"
"Sudahlah! Tidak usah dibicarakan! Yang lalu biarlah berlalu. Tak selamanya cinta bisa menyatukan jodoh. Lebih tepatnya, jodoh tidak ada di antara kami."
"Bagaimana denganku?"
"Ya siapa tahu? Kenalan pertama ini bisa membuahkan sesuatu yang manis."
"Aku juga berharap begitu."
"Jadi kau mau aku jadi teman dekatmu atau sahabatmu?"
"Kalau bisa sebagai pacar." ucap Ines to the point. Mata Seger berbinar.
"Begitukah?"
"Kalau bisa sih..."
"Tapi ku harap kamu tidak akan menyesal. Aku suka menegur jika kamu salah langkah. Meski resikonya kamu akan meninggalkanku juga."
"Jika demi kebaikan, buat apa marah?"
"Yang kualami begitu sih."
"Ya, mungkin dia bosan dengan kakak. Mungkin dia sudah ada lelaki lain." memang benar lelaki lain. Tapi sesungguhnya Ines tidak tahu, bahwa mantan kekasih Seger jugalah seorang pria.
"Mungkin juga ya?"
"Mas masih mencintainya?"
"Aku telah mengubur cinta lamaku. Bukan kah akan lebih baik jika aku menerima sesuatu yang baru. Siapa tahu ada jodoh disana?"
"Jadi, bagaimana kita harus memulai?"
"Begini saja! Berikanlah alamat dan nomor telephone mu! Sabtu sore besok, pertama kalinya aku akan berkunjung ke rumahmu. Selanjutnya terserah perkembangan hati kita. Kita tak bisa memaksanya. Jika kau mampu membuat luka hatiku sembuh, tentu saja aku tak segan untuk mencintaimu."
"Baiklah, aku senang Mas Seger berjanji seperti itu. Aku tunggu mas."
"Kita lihat saja ya..."
"Tak ada wanita lain Mas?"
"Enggak. Bagaimana denganmu?" tentu saja tidak. Ini pertama kalinya Seger akan menjalin hubungan dengan seorang wanita.
"Rama tahu siapa aku. Masih single Mas. Lagipula, aku belum pernah jatuh cinta."
"Oh ya?"
"Tapi untuk Mas Seger special..."
"Begitu kah?"
Ines tersenyum. Seger merasa lega karena menemukan seseorang yang lain yang tak kalah manisnya dengan Lana. Walaupun seorang gadis.
Sementara itu, jauh dari kampus, Galih memasuki sebuah rumah makan cukup terkenal di kota itu. Rumah makan enak dengan menu makan ala Jepang yang sangat disukai Galih dan Lana.
0 komentar:
Posting Komentar