Burung Kertas Part 5




By : Nayaka Al Gibran
Padang Bulan, 07 Juli 2004
Aku mendapat kado sehelai oblong warna hitam dari Teuku sebagai hadiah ulang tahunku. Dia juga membelikan kue tart dan lilin angka 19 untukku. Tidak sepertiku yang mengagetkannya tepat tengah malam, Teuku baru masuk kamarku setelah sembahyang subuh. Aku memakluminya, dia tak pernah mengejutkan orang ketika masih dalam jam dimana si orang tersebut seharusnya beristirahat. Itu katanya.
“Masih terhitung awal bulan, jadi aku beli yang mahalan dikit…” ujarnya ketika aku mempentangkan oblong itu dari bungkusnya.
Aku tersenyum senang ketika melihat labelnya, dia benar, ini cukup mahal. Tapi aku masih ingin balas dendam mengingat betapa dia pernah membuatku geram saat ultahnya Desember kemarin.
“Coba kalau warnanya putih ya, Ngil… bakal lebih senang.”
“Aku kan beli sesuai seleraku, kalau mau yang warna putih harusnya kamu kasih uangnya ke aku lebih dulu. Gak terima kasih banget…”
“Bercanda…” tukasku sambil tertawa. “Makasih ya, Ngil…”
Dia mengangguk.
“Emm… boleh aku peluk bentar?”
Dia melongo, “Kenapa?”
“Sebagai rasa syukur aja bisa punya teman kayak kamu.”
Dia mengangkat bahu, “Jangan lama-lama…”
Aku tersenyum lalu memeluknya. Puncak kepalanya cuma sampai di batas bawah dadaku.
Aku bahagia.
***
Kisaran, Agustus 2004
Libur tahunan. Jauh-jauh hari Teuku sudah mengutarakan niatnya untuk gantian berkunjung ke rumahku. Dia mengaku itu adalah keputusan terbesar dan terberat yang pernah diambilnya selama periode satu tahun ini. Aku mengerti yang dia maksudkan dengan keputusan terberat itu adalah, dia berat kerena tidak berjumpa keluarganya liburan kali ini. Satu sisi aku kasihan dan ingin saja melarangnya ikut, tapi satu sisi lagi aku sangat ingin dia ikut bersamaku. Maka, aku tidak melarangnya.
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 5 jam dari Kota Medan ke Kisaran, kini aku tiba di rumah. Di sampingku, Teuku berdiri sambil merapikan rambutnya –yang menurutku tak akan pernah bisa rapi walau digosok dengan setrika paling panas sekalipun, dia berdecak beberapa kali.
“Kamu pasti orang terkaya di Kisaran ya, gede banget rumahnya. Lebih gede dari rumah kos kita.”
“Cuma unggul ukuran aja, tampilan luar dan dalamnya standar. Gak ada fasilitas yang luar biasa,” ujarku. “Mama-papaku pasti ada di gudang, yuk!”
Teuku mengikutiku menuju bangunan beton yang terpisah sepuluh meter dengan samping kanan rumah, itu adalah sumber nafkah keluargaku. Sebagian besar waktu satu harian dihabiskan mama-papaku di sana.
“Ternyata kamu gak bohong ya tentang mikul karung beras…”
Aku tertawa, “Aku gak bohong tentang gudang sembako. Kalau tentang karung beras, pekerja Papa yang melakukannya. Mereka datang pas ada bongkar muat aja…”
Sepertinya Teuku siap mengomel, tapi batal karena mamaku keburu histeris menyambut kami. Setahun tidak bertemu anak tunggalnya membuat mamaku bereaksi berlebihan. Aku merona sendiri karena pipiku dicium beliau berkali-kali, kepalaku jadi bulan-bulanan sambil terus berujar “Mama kangen Mama kangen…”
“Ma, ini Teuku yang sering Edgar certain di telepon…” kataku menghentikan tingkah Mama yang membuatku terlihat belia sepuluh tahun ke belakang.
“Horas, Tante… apa kabar?” sapa Teuku sambil menyalami dan mencium tangan mamaku.
Kami kontan tertawa mendengar dia menyapa mamaku dengan sapaan khas Sumatra Utara. Seingatku, Teuku belum pernah menyebut ‘horas’ sebelumnya.
“Duh, Nak Teuku bener-bener menggemaskan seperti yang dibilang Edgar… Tante baik… selamat liburan di Kisaran, selamat datang di rumah Edgar, moga betah.”
Kulihat Teuku kikuk sendiri karena bahunya ditepuk-tepuk mamaku perlahan. Dia tersenyum canggung dan mengangguk-angguk. “Pasti betah, Tante.”
Saat itu juga, kehadiran Teuku yang Anak Aceh langsung membuat heboh lingkungan sekitar rumahku yang mayoritas katolik. Mamaku merumpi dengan ibu-ibu tetangga di kiri kanan. Beberapa dari mereka bahkan langsung menyusul masuk ke rumah untuk melihat Si Anak Aceh. Hari pertama di rumahku dilalui Teuku tanpa melewatkan rona merah di wajahnya tiap kali ada ibu-ibu yang mengulurkan tangan padanya. Aku bahkan belum sempat membawanya beristirahat di kamar.
***
“Kamu sering nyeritain aku sama mamamu, ya?”
Aku membuka pintu kamar, “Beberapa kali…”
“Nyeritain apa saja?”
“Nyeritain beberapa sifat baik teman kos-ku,” jawabku sambil menyeringai padanya. “Yap, welcome to my world…” aku masuk kamar diikuti Teuku di belakangku.
Benda pertama yang menyita perhatian Teuku dari sekian banyak benda di dalam kamarku adalah toples bening bertutup merah yang bertengger sendiri di rak paling atas meja belajarku.
“Itu isinya apa?” dia menunjuk.
Aku mengikuti arah telunjuknya, “Lihat saja sendiri.”
Teuku berjalan mendekat, rak itu terlalu tinggi buat digapainya. “Siapa sih orangnya yang gak punya kerjaan bikin rak setinggi Seulawah gini…” dia mengomel, siap untuk memanjat ke kursi di dekatnya.
Aku geli sendiri mendengar Teuku berucap seperti itu. Kuhampiri dia lalu kuserahkan toples yang mencuri perhatiannya sebelum dia sempat memanjat ke kursi.
“Burung kertas?”
“Memangnya dari tadi belum kelihatan ya?”
“Warna-warninya berkilau, aku kira gulali.”
Aku sukses terbahak. “Jadi kamu mengambil dengan niat mau dimakan, gitu? Dasar bocah…” Ledekku, “Mereka berkilau karena terbuat dari kertas perda…” aku menunjuk pada toples di tangan Teuku.
“Tapi bagus ya… kamu yang bikin?”
Aku mengangguk. “Itu usianya sudah setua masa pendidikanku. Tahukah, aku bikin burung-burung itu saat kelas satu sekolah dasar. Aku bahkan masih ingat guru yang mengajarkan kami waktu itu, namanya Ibu Mimi.”
“Wah… luar biasa. Masih awet gini.”
“Awet karena disimpan dalam toples kaca, kedap udara dan gak lembab.”
Dia manggut-manggut, “Toples kaca juga bikin burung-burung ini tampak artistik di dalamnya… mereka jadi lebih cantik.”
Aku tersenyum melihat dia menatap toples yang masih terus dibolak-balik dalam tangannya dengan mata berbinar. “Meskipun cantik, ia hanyalah burung kertas, ia boleh punya sayap, tapi tetap tak bisa terbang kan?”
Dia menatapku, “Jayen sedang berfilosofi, ya?”
“Enggak,” jawabku. “Yang lebih pintar berfilosofi biasanya mahasiswa Fakultas Hukum.”
“Mahasiswa Hukum tuh pinternya ngapalin UUD empat lima, yang gemar nyiptain filosofi adalah Mahasiwa Filsafat.”
Aku tak merespon lagi, kuperhatikan Teuku yang mulai menggoyang-goyangkan toples, membuat burung-burung kecil di dalamnya berpelantingan.
“Kamu suka?”
“Banget.”
“Ambil aja…”
“Eh?”
“Aku bilang, kalau suka ambil aja, bawa pulang.”
“Buatku?”
Heuh, lemot juga dia. “Iya. Gak mau?”
“Geratis kan, kenapa harus gak mau?”
Aku menghembuskan napas putus asa. Kutinggalkan dia yang masih asik dengan toples menuju tempat tidurku. “Kalau mau istirahat, silakan…” aku melepas kemeja dan kaos dalam, bertelanjang dada kuhempaskan diriku terlentang di kasur.
***
“Maaf ya, aku gak punya sajadah buatmu…” ujarku ketika Teuku baru saja selesai mengambil wudhu, ujung lengan baju muslim hitamnya tampak basah. Ini sembahyang magrib pertamanya di rumahku.
“Tak apa, sarung bersih ada kan? Minta itu aja buat sajadah… Aku gak ingat untuk bawa, padahal koko sama sarung dan peci gak kelewat. Pikun!”
Seperti biasa, aku diam memperhatikan sampai dia selesai menoleh ke kanan dan ke kiri.
***
Meskipun ini bukan yang pertama, berada satu tempat tidur bersama Teuku sekarang membuat aku berdebar hebat. Ketika satu tempat tidur di rumahnya dulu, aku tak merasa dadaku begitu berdentuman seperti saat ini.
Aku tak dapat memejamkan mata. Dari merebahkan diri lebih empat jam lalu kantuk sama sekali belum menjamahku. Alih-alih aku hanya memperhatikan sosok kecil Teuku yang berbaring damai satu hasta di samping kiriku. Nafasnya teratur, bibirnya sedikit merenggang. Dalam keadaan seperti ini, dia berkali-kali lipat tampak begitu menarik semua inderaku.
Tiba-tiba saja hasrat untuk memeluknya membuncah dalam dadaku.
Aku menahan napas sambil bergerak perlahan menutup sehasta jarak antara kami. Takut membuatnya terbangun, dengan begitu perlahannya juga aku melingkarkan tangan kananku ke pinggang rampingnya, diikuti bagian tubuhku lainnya yang menempel padanya. Sekarang, aku bisa merasakan hembus nafas Teuku di kulit dadaku, aku bisa membaui aroma rambutnya lewat hidungku, aku bisa merasakan tekstur kulit punggungnya di telapak tanganku. Kuangkat tungkai kananku untuk menyempurnakan dekapanku padanya seiring dengan mataku yang terpejam.
Tidur memeluknya seperti ini menimbulkan satu keyakinan baru lagi dalam hatiku… bahwa Teuku diciptakan untuk mengisi dekapku.
***
“Aku akan terlihat seperti apa ya jika mengenakan seragam sembahyangmu itu?” aku bertanya iseng setelah Teuku selesai menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Dia mengangkat bahu, “Kalau mau tahu terlihat kayak apa ya bercermin saja.” Teuku melepas kancing-kancing baju muslimnya dan menyodorkan padaku. “Ini bukan seragam wajib, ini disunatkan saja. Yang wajib itu adalah menutup aurat selama shalat, boleh dengan pakaian apa saja asal suci…” dia menjelaskan lalu menyodorkan peci rajutnya.
Aku tersenyum menerima baju dan pecinya.
“Meski di badanku kedodoran, di badanmu pasti kesempitan. Baju koko style-nya memang harus longgar, gak ngepas kayak misal kita mengenakan kemeja…”
Dia benar, rasanya badanku mengerucut dalam belitan baju muslimnya ini. Teuku tertawa. Aku menatap bayanganku di cermin sambil nyengir sendiri. “Kalau ukurannya lebih besar lagi mungkin bakal bagus ya, Ngil.”
“Mungkin,” sahutnya. “Kalau baju kokonya memang ukuranmu mungkin kamu bisa terlihat kayak muallaff…”
Sesaat aku bengong, dia pernah menjelaskan tentang muallaf padaku satu kali dulu. Katanya, muallaf itu keadaannya bersih seperti bayi baru lahir, semua dosanya sebelum jadi muallaf dihapuskan, tak dihitung.
Aku tersenyum sambil melepas baju muslim Teuku.
***
“Mungil sanggup gak, duduk motor selama lebih empat jam?” tanyaku saat pagi menjelang kepulangan kami ke Padang Bulan.
Dia baru saja memasukkan toples burung kertas yang kuberikan kedalam ranselnya. “Kenapa?”
“Hukumanku kandas, motorku balik lagi. Aku berencana bawa pulang motornya hari ini biar kita punya kendaraan di sana jika keluar-keluar. Sanggup aku bonceng selama itu gak?”
Teuku terlihat mikir, “Barang-barang kita mau ditaruh dimana?”
Aku tersenyum simpul, ternyata itu yang jadi bebannya. “Barangnya kita kasih mobil travel aja, biar Papa yang ngurus lah. Kita berdua balik pake motor, gimana?”
“Ayo aja!”
“Tapi kamu sanggup kan?”
“Kecil lah kalau cuma duduk aja.”
Tepat pukul sembilan pagi, setelah Teuku diwanti-wanti mamaku untuk berkunjung lagi liburan mendatang dan setelah uang sakuku ditambah Papa –uang bensin, katanya- kami meninggalkan rumahku.
Sepanjang jalan dari Kisaran hingga ke Padang Bulan, Teuku merapat ke punggungku. Aku yakin, dari depan dia bahkan tidak terlihat sedikit pun, tersembunyi di balik punggungku yang katanya selebar dan setinggi pilar mesjid. Yang membuatku senyum-senyum senang sendiri, dia hanya melepaskanku ketika kami singgah untuk minum. Selebihnya selama di atas motor, tangannya tak pernah meninggalkan pinggangku.
Bersambung~

0 komentar:

Posting Komentar