Hubungan Terlarang II



By : Ali alvent phoenix

Tok…tok…tok…. Suara pintu kamarku yang diketok. Entah siapa orang yang sudah berani mengganggu tidurku. Awalnya aku mengacuhkannya, tapi lama kelamaan suara ketukkan pintu itu membuat telingaku gatal.
“Siapa???”tanyaku dari dalam kamar dengan nada sedikit kesal.
“Ini saya Den, Bi’ Sumi,”ternyata orang yang mengetuk pintu kamarku itu adalah Bi’ Sumi, pembantuku.
“Iya Bi’, tunggu sebentar!!!”seruku sambil keluar dari pelukan kak Yuga yang masih tertidur pulas. Kemudian berjalan menuju pintu dan membukanya. “Ini kan masih jam lima Bi’, masa udah dibangunin sih?”gerutuku kesal.
“Maaf sekali Den!!! Bibi’ Cuma mau ngasih tau kalau Tuan sama Nyonya bakal pulang nanti siang,”kata Bi’ Sumi.
“Beneran Bi’, Mama sama Papa mau pulang hari ini?”aku gembira.
“Benar Den. Barusan Nyonya nelpon. Katanya nanti siang Den Nata sama Den Yuga disuruh jemput di bandara,”jelas Bi’ Sumi.
“Ya udah, makasih banyak ya, Bi’,”kataku senang.
“Kalau gitu, saya balik ke dapur dulu ya Den,”Bi’ Sumi pamitan untuk kembali menjalankan tugasnya.
Aku kembali menutup pintu kamarku dan berlari kecil menuju ranjangku lagi. Kupeluk kak Yuga yang masih tidur kayak kebo. Kugoyang-goyangkan badannya agar dia bangun, tapi memang dasarnya dia itu kebo, jadi dia tidak juga bangun. Sampai akhirnya muncul ide nakal dalam otakku yang cukup encer ini. Kugelitiki perut kak Yuga yang rata namun berisi itu hingga dia menggeliat kegelian. Aku terus menggelitiki perut kak Yuga dan dia juga terus menggeliat kegelian seperti cacing kepanasan. Tiba-tiba kakinya itu menendangku hingga aku terjatuh dari ranjang.
“Waduuuhhh….. Dasar kebo sialan,”umpatku.
“Rasain, makanya jangan suka gangguin orang. Kena batunya kan, heh?”kak Yuga akhirnya bangun dari tidurnya. “Ngapain sih, pakai acara gelitikin orang segala?”
“Habis kakak dibangunin nggak bangun-bangun sih. Jadinya ya, aku gelitikin aja,”jawabku enteng.
“Memangnya ini itu jam berapa kok, udah bangunin orang? Matahari aja belum kelihatan batang hidungnya,”gerutu kak Yuga.
“Dasar, mana ada matahari punya hidung. Aneh. Gini, tadi Bi’ Sumi bilang kalau nanti siang Mama sama Papa pulang dari Jepang, terus nanti kita disuruh jemput,”jelasku pada kak Yuga mukanya begitu berantakan, namun tetap keren.
“Kenapa nggak bilang dari tadi sih?”seru kak Yuga sambil menempeleng kepalaku.
“Dari tadi itu aku udah berusaha bangunin kakak, tapi kakaknya aja yang kayak kebo. Susah banget dibangunin. Lagin kenapa malah aku yang kena tempeleng sih?”
“Iya deh, kakak minta maaf. Kakak yang salah,”kak Yuga mengusap kepalaku yang habis ditempelengnya tadi kemudian dikecupnya dengan lembut.
“Kak, ini kan hari senin, di sekolah ada upacara dan nggak boleh telat, jadi kakak mau nggak nganterin Nata ke sekolah hari ini?”kataku sambil memeluk pinggang kak Yuga lalu menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang.
“Apa sih yang nggak bisa buat adikku tersayang ini,”
“Makasih ya, Kak,”
Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Aku pun segera meninggalkan kak Yuga yang masih asyok dengan smartphone-nya ke kamar mandi. Setelah beberapa saat di dalam kamar mandi, aku keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menutupi tubuh bagian bawahku. Aku mengacak-acak rambutku yang basah sehingga air yang membasahi rambutku itu terlempar kesana-kemari. Kubuka lemari pakaianku, kuambil seragam putih abu-abuku dan kuletakkan di atas ranjang. Tiba-tiba saja kak Yuga memelukku dari belakang.
“Kakak sayang kamu dek,”kak Yuga berbisik di telingaku membuat aku sedikit bergidik.
“Iya, adek juga sayang sama kakak,”jawabku lembut. “Eh Kak, udah dong! Nanti adek telat ke sekolah lagi. Kakak juga belum mandi kan? Mandi dulu gih! Biar ganteng,”
Dengan malas kak Yuga melepaskan pelukannya padaku dan berlalu ke kamar mandi. Selagi kak Yuga di kamar mandi, aku yang sudah berseragam rapi segera turun kebawah untuk sarapan. Di meja makan sudah tersedia roti bakar dengan selai coklat dan susu putih hangat. Aku segera memakan roti bakar bikinan Bi’ Sumi itu dengan lahapnya. Perjalanan roti bakar itu ternyata tidak mulus, dia harus tersangkut di kerongkonganku yang sempit dan membuat aku sesak napas. Kuraih segelas susu putih di depanku lalu kuminum segera agar roti bakar yang tersangkut di kerongkonganku bisa melanjutkan perjalanannya menuju lambungku.Heh… akhirnya aku bisa bernapas lagi. Kulanjutkan lagi menyantap roti bakarku.
“Adek udah siap?”tanya kak Yuga yang datang menghampiriku.
“Udah. Yuk berangkat sekarang!”
“Eh, kakak kan belum sarapan,”keluh kak Yuga.
“Nanti Nata telat kak,”rengekku.
“Ya udah, ayo berangkat sekarang,”
“Bi’ Sumi, Nata berangkat dulu ya,”aku menyalimi Bi’ Sumi layaknya Mamaku sendiri.
“Hati-hati ya Den! Jangan nakal! Belajar yang rajin!”nasihat dari Bi’ Sumi untukku.
“Pasti Bi’. Yuk Kak!”
Aku dan kak Yuga berjalan beriringan menuju garasi mobil dan memasuki mobil warna hitam mengkilat yang ada disana. Kak Yuga segera menyalakan mesin mobil warna hitam mengkilatnya. Perlahan-lahan mobil yang kami naiki melaju keluar dari garasi. Setelah sepenuhnya keluar dari garasi, Kak Yuga melajukan mobilnya menuju gerbang rumah. Saat itu gerbang rumah masih tertutup, jadi Pak Malik langsung membukakannya untuk kami. Dengan hati-hati mobil yang kami naiki keluar dari lingkungan rumah kami menuju jalan raya. Sesekali Kak Yuga memerhatikan spion mobilnya kalau-kalau ada mobil atau kendaraan lain yang lewat. Setelah dirasa aman, kak Yuga langsung menginjak gas dan wusssss….. mobil hitam nan mengkilat yang kami naiki ini melaju dengan cukup kencang.
“Kak, nanti jemput Nata ya! Kita jemput Mama sama Papa bareng-bareng,”kataku sambil turun dari mobil.
“Oke, sayang,”jawab kak Yuga manis.
“Ya sudah, Nata masuk dulu ya, Kak. Nanti jangan sampai lupa ya!”
“Iya, iya. Emangnya kakak sudah pikun apa?”
“Hehehehhhhh…. Siapa tau aja,”
“Huh dasar,”
Lambaian tanganku mengiringi kepergian mobil yang tadi kutumpangi. Sekarang mobil itu sudah jauh tak terlihat. Setelah itu, aku berjalan memasuki sekolahku melewati gerbang sekolah yang begitu besar dan tampak angkuh.
“Ohayo, Nata-kun,”sapa Hilda dengan bahasa Jepang.
“Ohayo, Hilda-san,”balasku dengan bahasa Jepang juga.
“Gimana tidurmu semalam? Nyenyakkah?”Hilda basa-basi. Aku tahu ini bukan kebiasaannya.
“Nyenyak. Eh, pagi ini kamu aneh, sok-sok-an ramah ke aku. Pasti ada maunya kan?”sindirku.
“Hahaha…. Nata pinter banget, bisa baca pikiran orang,”
“Sudahlah jangan bertele-tele, langsung to the point aja lah!!!”
“Gini, kamu mau nggak download-in aku video Naruto episode 672? Aku lagi pengen banget nambah koleksiku nih. Mau ya, please!!! Aku nggak mau ketinggalan satu episode pun,”oceh Hilda.
“Tuh kan bener ada maunya. Beuh… kalau masalah ginian aja minta tolong sambil ngemis-ngemis, giliran aku yang minta tolong aja ogah-ogahan,”gerutuku sambil jalan menuju kelas dan diikuti Hilda.
“Hehe… jangan marah dong, Nat!!!”
“Aku mau download-in, asal ada upahnya,”kataku dengan tatapan licik.
“Kamu mau apa? Pulsa? Uang? Atau apa?”
“Nggak jadi ding, lagian aku juga suka nonton Naruto. Anggap aja download buat diri sendiri,”
“Arigato, Nata-kun. Kamu memang teman terbaik sedunia,”
“Jiahh… mujinya kalau pas ada maunya aja,”aku menarik rambut panjang Hilda hingga ia nyengir kesakitan dan aku tertawa girang.
“Nata….Hailda…..,”suara orang paling cerewet sejagad raya memanggil kami.
Dari kejauhan sana saja suaranya terdengar begitu jelas di telingaku, terkesan mengganggu malahan. Suaranya itu kayak petasan Imlek. Aku dan Hilda menghela napas melihat teman kami itu sedang berlari kearah kami sekarang. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda tampak berayun kesana kemari.
“Kabur aja yuk!”ajakku pada Hilda.
“Sudah telat, dia sudah melihat kita. Kalau kita kabur sekarang, di lain hari kita pasti kena semprot,”
“Terus gimana? Aku nggak tahan denger ocehannya. Apalagi suaranya yang melengking itu,”
“Woiiiiiiii…… Kalian ini asyik berdua-duaan aja,”seru si cerewet dengan suara melengkingnya. Telingaku langsung berdenging. Entah bagaimana dengan Hilda. Pasti sama juga. “Ada berita hangat nih,”
“Berita apaan? Heboh banget kayaknya,”Hilda antusias.
“Eh, Gozila, jangan ngajakin ngerumpi pagi-pagi!!! Pamali tahu nggak,”cercaku pada cewek super duper cerewet itu.
“ Eh, namaku itu Tamara ya, T-A-M-A-R-A, bukan Gozila. Kalau aku Gozila, kamu itu tainya Gozila,”ngiiiiiiing…..bunyi telingaku ketika Tamara -garis miring- Gozila itu membuka mulutnya menyemburku dengan kata-katanya. Hilda tertawa ngakak. Bahagia sekali dia. Huhh….dasar rubah betina.
“Sudah biarin saja si Nata!!! Lanjut lagi ngrumpinya!!!”seru Hilda si rubah betina yang super duper licik itu.
Aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang Gozila dan Rubah betina bicarakan. Aku memasang earphone ku di telingaku. Kuputar lagu-lagu berbahasa Jepang -ost. Naruto-. Pertama yang kuputar adalah lagu yang berjudul “Kanashimi wo yasashisani” dari Welly Mix. Lagunya membuat bulu kudukku meremang seketika. Aku yang masih keturunan Jepang, mengerti betul dengan isi dari lagu tersebut. Begitu menyentuh. Apalagi kalau pas ingat gugurnya Hiruzen Sarutobi –Sandaime Hokage di anime Naruto- yang melindungi desa tercinta –Konohakagure- dari serangan Orochimaru. Waduh…. Kenapa malah ngomongin Naruto yaaaa?
Aku melepas earphone-ku dan memasukkannya kembali ke dalam tasku. Kemudian aku ganti sibuk dengan facebook-ku. Tanpa sengaja aku mendengar perbincangan antara Tamara dan Hilda yang membahas tentang siswa baru yang akan datang pagi ini. Sayangnya aku tidak begitu menangkap inti perbincangan –lebih cocok dibilang ngrupi sih, ketimbang berbincang-bincang- mereka tentang siswa baru itu. Kalian tau sendiri kan, dari tadi aku sibuk sama Naruto. Tapi intinya bakal ada siswa baru di sekolah ini, itu saja.
Di tengah-tengah jam pelajaran sejarah, aku merasa ngantuk, jadi aku minta izin pada Pak Daud untuk ke kamar kecil. Setelah sampai di kamr kecil, aku mencuci mukaku, membasuhnya dengan air yang dingin dan segar. Kantukku pun sedikit hilang. Namun setelah kantukku hilang, aku malah malas untuk kembali mengikuti pelajaran sejarah yang membosankan itu. ‘Mending disini aja dulu, mumpung bentar lagi istirahat’ batinku dalam hati. Tak lama kemudian bel tanda istirahat pun berbunyi dengan nyaringnya. Aku hendak berjalan keluar dari kamar mandi, tapi tiba-tiba ada seorang cowok yang berlari masuk ke kamar mandi dan dia pun menabrakku yang sedang berdiri di depan pintu. Aku tersungkur dilantai.
“Sorry, are you okay?”cowok yang menabrakku tadi mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri dan aku pun meraih tangannya.
“Aku enggak apa-apa kok,”jawabku.
“Sorry, I don’t understand what you’re talking about,”aku kaget. Ternyata cowok yang di depanku ini bukan orang Indonesia.
“I’m okay, thanks,”
“My name’s Hyuga Ishida. You can call me Ishida. I’m the moving student from Japan. And you?”cowok bernama Ishida itu mengulurkan tangannya.
“I’m Nata Dwitama and you can call me Nata,”aku masih berbicara dengan bahasa inggris.
“Nice to meet you, Nata,”
“Nice to meet you too,”
“Will you go to canteen with me?”ajak Ishida padaku.
“Oh, with my pleasure,”aku menerima ajakannya.
Kami pun melanjutkan perbincangan kami di perjalanan menuju kantin. Ishida menceritakan alasannya ia bisa pindah ke Indonesia. Mr.Hyuga -Ayah Ishida- yang asli Jepang menikah dengan Mrs.Rianti -ibu Ishida- yang asli orang Bogor, Indonesia, dan dari pernikahan itu lahirlah Ishida. Mereka memutuskan pindah ke Indonesia untuk merintis sebuah usaha rumah makan Jepang di Bandung. Sebenarnya di Jepang sana, Ayah dan ibu Ishida sudah punya usaha rumah makan Sunda. Menurut keterangan Ishida, selalu banyak pengunjung di rumah makannya itu dan rata-rata pengunjungnya itu adalah orang-orang Indonesia. Walaupun terkadang ada juga orang Jepang yang berkunjung di rumah makan Sunda milik Ayah dan ibunya itu. Kemudian sampai akhirnya, Mr.Hyuga dan Mrs.Hyuga memutuskan untuk pindah ke Bandung untuk merintis usaha baru.
“Do you like to eat Sunda’s food?”tanyaku pada Ishida yang sedang makan semangkuk es krim dengan tiga variant rasa. Coklat, vanilla, dan tiramisu.
“Yes. When I and my family stay in Tokyo, my mom cooks Sunda’s food for me and my dad once a week, so I have felt common with it,”jawab Ishida panjang lebar.
“Do you think that’s delicious food?”
“Yes, of course. And you know what? My dad likes that food too,”
“Maybe that is the reason, Mr.Hyuga falling in love to Mrs.Hyuga,”
Mendengar kata-kataku itu, Ishida tertawa dan aku pun mengikutinya. Entah kenapa ada perasaan yang aneh saat aku melihat Ishida tertawa seperti itu. Rasanya ingin sekali lagi melihat tawanya itu, oh tidak, mungkin dua kali lagi atau tiga kali lagi. Huft…..sepertinya aku sudah ketagihan mendengar tawa dari Ishida. Namun seketika rasa itu menghilang, karena ada bayangan Kak Yuga muncul dalam benakku yang seolah mengingatkan bahwa aku sudah punya Kak Yuga. Aku akui, kehadiran Ishida yang bisa dibilang tiba-tiba itu, berhasil membuatku lupa dengan Kak Yuga, walaupun hanya sekejap saja.
Terdengar jelas sekali, bel tanda istirahat sudah usai berbunyi. Aku dan Ishida segera membayar makanan kami dan bergegas kembali ke kelas kami masing-masing. Ternyata Ishida berada di kelas XI-IPA5 tidak jauh dari kelasku yang berada di kelas XI-IPA2. Sebelum Ishida memasuki kelasnya, dia sempat melemparkan senyuman padaku dan rasanya senyuman itu menusuk bagian terdalam dari diriku, dimana cinta Kak Yuga bersarang.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Semua murid keluar dari kelas mereka masing-masing, termasuk aku. Sekolah yang semula sepi, mendadak menjadi lautan manusia. Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku, aku mendengar suara orang yang memanggilku, sayangnya suaranya tak terdengar jelas karena berbaur dengan keramaian. Setelah celingukan dan tak menemukan suara siapa yang memanggilku tadi, aku pun berniat melanjutkan langkahku. Tiba-tiba, deg, ada orang yang menepuk pundakku dan aku begitu terkejut. Untungnya aku tidak menjerit seperti penghuni lampu merah yang jeritannya pasti bikin telinga orang yang dengar jadi panas serasa terbakar. Rasanya ingin aku tonjok muka orang yang berani mengagetkan seorang Nata. Kupalingkan badanku dan mendadak aku mengurungkan niatku untuk menonjok mukanya. Apa kalian tahu siapa orang itu? Jawabannya adalah Tamara alias cewek Gozila yang suaranya kayak ringkikan keledai yang lagi radang tenggorokan. Sebenarnya bisa saja sih, aku menonjok mukanya itu, tapi nanti aku akan mendapat predikat buruk, yaitu PECUNDANG.
“Sorry, Nat, kamu kaget ya?”tanya Tamara.
“Kayaknya sudah nggak perlu ditanyain lagi deh. Lagian ngapain sih, kamu bikin kaget orang aja?”
“Aku Cuma mau nanya doang kok. Tadi aku ngliat kamu lagi jajan di kantis sama anak baru itu, dia itu namanya siapa?”
“Ya ampun Tam, kamu ngagetin aku kayak tadi ternyata Cuma mau nanyain soal dia? Buang waktuku banget tahu nggak? Lagian kelas kalian kan, bersebelahan,”gerutuku.
“Ayolah Nat! Kasih tahu aku namanya itu siapa?”
“Namanya Hyuga Ishida. Puas kamu?”
“Hehehe iya, puas banget. Lagian kamu ditanya gitu saja jawabnya mesti pakai otot. Jadi orang jangan galak-galak dong! Entar cepet tua lho. Kalau sudah tua cepet mati,”
“Kamu nyumpahin aku? Kurang ajar banget kamu ya?”
Gadis itu benar-benar handal kalau harus membuat darahku naik. Mungkin aku akan benar-benar mati kalau harus berlama-lama berada di dekatnya. Beraninya dia kabur saat aku sedang mengomelinya. Seperti tak punya dosa saja itu anak. Dengan perasaan kesal, aku melanjutkan langkahku. Setelah aku sampai di depan gerbang sekolah, ada seorang anak yang mengendarai motor ninja warna merah yang tampak sangat elegan yang tiba-tiba saja berhenti di depanku. ‘Nih anak mau ngajakin ribut ya?’batinku dalam hati. Anak itu pun membuka helmnya daaaaaaaannnnnnnn…… wow wow wow wow…… ternyata dia Ishida. Keren sekali dia dengan motor itu. Hwahahah….. dadaku berdesir-desir saat melihatnya mengacak-acak rambutnya yang sedikit gondrong dan aku bisa mencium aroma rambutnya yang harum. Hehhhhh….. rasanya aku mau pingsan. Tak kuasa aku menatapnya lama-lama.
“Hi Nata,”sapanya ramah. Senyumnya menusukku lagi.
“Hi Ishida,”
“Will you go home with me?”
“Sorry Ishida, I can’t, ‘cause my brother will pick me later. We will pick our parents in the airport together,”sebenarnya ingin aku iyakan ajakannya itu, tapi siang ini aku harus mengurungkannya.
“Ouh…. I see. No ploblem. Oke, see you Nata,”katanya sambil memakai kembali helm hitamnya.
“Wait Ishida!”seruku.
“Yes,”sahutnya sambil tersenyum.
“Mybe next time we can go home together,”
“Oke, bye,”Ishida pun berlalu dari hadapanku.
Kuda besinya sudah tak tampak lagi olehku. Yang kulihat hanyalah kepulan asap knalpot yang tertinggal disini, di hadapanku. Tak lama kemudian kak Yuga datang dengan mobilnya yang mengkilap. Dibukanya kaca mobil perlahan-lahan. Kulihat siang ini kak Yuga berdandan sangat rapi dengan kemeja biru motif kotak-kotak, celana jeans warna hitam, dan kacamata hitamnya juga tak ketinggalan. Dia turun dari mobil dan menghampiriku. Aku tak menyangka siang ini kakakku benar-benar tampan, seperti Choi Siwon KW 3.
“Mau kondangan kemana kak?”ledekku.
“Bisa aja kamu. Sudah ayo masuk! Entar gosong kamu,”kak Yuga membukakan pintu mobil untukku. Dia sudah seperti kacungku saja.
Tak berapa lama kemudian, kami sudah sampai di bandara. Kak Yuga memparkirkan mobilnya di parkiran yang agak penuh. Kak Yuga sempat mengeluh akan keadaan itu. Dia paling tidak suka kalau harus parkir di parkiran yang penuh.
“Pasti susah nanti keluarnya” katanya.
“Sudahlah Kak, jangan marah-marah begitu! Lagian parkiran ini kan, bukan punya keluarga kita,”
“Dasar kamu ini,”kak Yuga mengacak-acak rambutku.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, akhirnya pesawat dari Jepang akan segera datang. Hampir saja aku mati bosan disini, tapi tak lama kemudian pesawat yang dimaksud pun sudah menampakkan moncongnya. Satu, dua, dan tiga, pesawat pun sudah berdiri tegak di landasan. Semua penumpang menuruni pesawat dengan teratur. Ramai dan sesak itulah pemandangan yang kulihat disini. Mereka berdesak-desakkan sambil mengangkat sebuah kertas dengan tulisan tinggi-tinggi agar orang yang mereka maksud melihatnya. Aku dan kak Yuga tak perlu melakukan hal bodoh itu. Kami cukup menelpon dan ditemukan.
Dreettt…dreeeetttt…ponsel kak Yuga bergetar. Ada panggilan yang masuk. Itu adalah panggilan dari Mama. Kak Yuga segera mengangkatnya.
“Halo Ma, Mama dimana?”
“……”
“Iya, Yuga pakai kemeja biru kotak-kotak, Ma. Ada Nata juga yang masih pakai seragam OSIS,”
“……”
“Cepetan Ma! Ini Nata sudah mewek,”
“……”
Dari kejauhan tampak dua orang yang paling aku cintai sedang melambaikan tangan padaku dan kak Yuga. Aku dan kak Yuga pun membalasnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung mencengkram tangan kak Yuga dan membawanya menghampiri Mama dan Papa. Kulepaskan cengkramanku pada tangan kak Yuga dan aku pun langsung terjun ke pelukan Mama. Air mata kerinduanku pun mengalir menganak sungai. Lama sekali aku memeluk Mama.
“Gantian dong, Nat!”seru kak Yuga.
“Bentar lagi,”sahutku. Aku belum mau melepaskan pelukanku.
“Nggak ada yang mau meluk Papa ini?”seru Papa.
“Papa, Nata kangen sama Papa,”aku ganti memeluk Papa. Kak Yuga pun dengan bebas memeluk Mama.
“Papa juga kangen sama kamu Nat,”bisik Papa sambil mengusap rambutku.
“Yuga kangen sama Mama,”kudengar kak Yuga berbisik pada Mama.
“Mama juga kangen sama anak Mama yang paling ganteng ini,”
“Ayo kita pulang sekarang!!!”ajakku sambil melepas pelukan Papa.
“Yaudah, ayo!!! Mama juga sudah kangen sama rumah dan yang lain,”Mama menyetujui ajakanku.
Malam rasanya seperti mimpi. Kursi Mama dan Papa yang biasanya kosong, kini sudah terisi kembali. Makan malam ini benar-benar indah., sebab aku dikelilingi oleh orang-orang yang kucintai. Semoga keindahan ini bertahan lama seperti yang ada dalam anganku selama ini. Terima kasih Tuhan atas anugrahmu ini. Setelah makan malam, kami semua berkumpul di ruang keluarga.
“Pa, kayaknya ada yang aneh deh,”kata Mama.
“Iya, Ma. Papa juga merasa begitu,”sahut Papa.
“Ada apa sih, Ma, Pa?”tanya Kak Yuga penasaran.
“Ada yang aneh sama suasana rumah ini. Ada yang berubah kayaknya,”jawab Mama sambil menatap kak Yuga.
“Berubah gimana? Agak mencekam ya?”
“Enggak sayang, tapi lebih damai daripada sebelum Mama sama Papa pergi ke Jepang waktu itu,”
“Maksud Mama apa sih?”
“Ya ampun sayang. Kamu ini ganteng, tapi telmi ya,”
“Iya, Ma. Kak Yuga memang telmi. Hahahaha……”selaku sambil asyik dengan gadgetnya kak Yuga.
“Mama sama Papa itu lagi ngomongin kalian berdua tahu nggak?”
“Kita?”aku dan kak Yuga kompak. “Memangnya kami kenapa Ma?”tanya kak Yuga penasaran tingkat neraka.
“Kalian dengerin Mama!!! Sejak kapan kalian jadi akrab begini? Biasanya saja kayak Tom dan Jerry, nggak pernah akur,”
Aku dan kak Yuga bingung harus menjawab apa. Aku memandangi kak Yuga, begitu juga dengannya. Mama dan Papa terus mendesak kami untuk angkat bicara. Aku berpikir akan bilang begini pada Mama “Kita akur sejak kita pernah tidur seranjang dan melakukan ‘itu’, Ma”. Hahah… jangan, bisa-bisa nanti aku dan kak Yuga dipancung sama Mama. Atau yang lebih mengerikan lagi, ‘anu’ kami dipotong pakai katana milik Papa yang tajamnya minta ampun. Mending kalau itu katana pernah diasah, sekali tebas pasti langsung copot. Lha ini, udah nggak pernah dipegang apalagi diasah. Pasti sudah berkarat katana itu. Hihihihi…aku tak sanggup membayangkan kalau ‘anu’ kami akan dipotong pakai katana berkarat. Hwahahah…. Pasti alot.
“Berantem dimarahin, damai dimarahin. Mama gimana sih?”gerutu kak Yuga.
“Mama nggak marah kok, tapi Mama kan Cuma nanya aja,”
“Sudahlah Ma! Yang penting kan sekarang Nata dan Yuga sudah nggak berantem lagi kayak dulu,”sela Papa.
“Tapi Mama penasaran Pa,”
“Mama penasaran? Sama. Papa juga,”
Kami semua tertawa bahagia malam ini. Sudah lama aku menanti-nantikan saat-saat seperti ini, tertawa bersama dengan keluargaku. Lega rasanya Mama dan Papa tidak lagi mengungkit masalah kami. Sekarang kami membahas soal pekerjaan Mama sama Papa waktu di Jepang. Mama dan Papa yang bercerita, aku dan kak Yuga mendengarkan sambil sesekali memberikan tanggapan.
***(MAMA’S Point Of View)***
Rasanya aku begitu senang melihat dua putraku kini sudah akur, tidak lagi berseteru seperti sebelum-sebelumnya. Kulihat Yuga begitu menyayangi Nata, begitu juga dengan Nata. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Aku dan suamiku sedikit heran, kenapa Tom dan Jerry bisa seakur ini. Enggan rasanya meninggalkan ruang keluarga ini. Aku ingin terus melihat senyum dan tawa dari putra-putraku. Tapi tak bisa kupungkiri kalau aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Pasti ini akibat dari perjalananku dari Jepang ke Indonesia yang memakan waktu cukup lama.
“Yuga, Nata, ayo tidur! Malam sudah larut,”seruku pada kedua putraku.
“Tapi Nata masih pengen nonton tv Ma,”rengek Nata.
“Iya Ma, Yuga juga belum ngantuk kok,”tambah Yuga.
“Kalian ini benar-benar kompak sekarang. Ya sudah, Mama sama Papa mau tidur dulu ya. Ayo Pa, kita ke kamar!”
Tadi malam tidurku benar-benar nyenyak. Sekarang jam menunjukkan pukul 5 pagi. Saatnya aku melakukan tugasku sebagai wanita. Sebenarnya aku tak perlu repot-repot melakukan pekerjaan rumah, karena sudah ada Bi’ Sumi. Tapi aku sudah biasa melakukan pekerjaan seperti memasak, mencuci, menyapu, dan lain-lain. Kulihat di sampingku, suamiku tercinta masih tertidur dengan pulasnya. Aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukaku lalu pergi ke dapur untuk memasak sarapan.
“Selamat pagi Nyonya,”sapa Bi’Sumi.
“Bi’, hari ini biar saya saja yang masak sarapan buat Tuan dan anak-anak. Bibi’ bersih-bersih saja,”
“Baik Nyonya. Kalau begitu saya pergi dulu. Permisi,”
Aku berpikir sejenak akan kubuatkan sarapan apa untuk suami dan anak-anakku. Kubuka kulkasku dan langsung kuobok-obok isinya. Yang aku temukan adalah telur dan sosis. Huuhh… aku lupa menyuruh Bi’Sumi untuk belanja. Kemudian melintas dalam otakku untuk membuat nasi goreng sosis untuk sarapan pagi ini. Langsung saja aku meracik bumbu-bumbu dan mulai memasak. Lima belas menit kemudian, nasi goreng sosis pun sudah jadi. Tak sabar aku melihat suami dan putra-putraku menyantap nasi goreng ini dengan lahapnya.
“Pa, bangun Pa!!! Ayo sarapan!!!”aku membangunkan suamiku.
Setelah suamiku bangun, aku segera menuju kamar Nata. Kucoba mengetuk pintu kamar Nata.
“Nata, ayo bangun!!! Sarapannya sudah siap,”
Tiga kali aku memanggil, tapi tetap taka da jawaban. Aku pun berinisiatif untuk memasuki kamar putra sulungku itu. Saat memasuki kamr Nata, aku terkejut melihat Nata dan Yuga tidur seranjang. Bagiku, itu adalah kejadian yang langka. Aku hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng. Ternyata mereka sudah benar-benar berubah. Rasanya aku tak tega mau membangunkan mereka, tapi mau bagaimana lagi, sarapannya kan sudah siap.
“Nata, Yuga, ayo bangun Nak!!! Ayo kita sarapan!!!”kugoyang-goyangkan badan putra-putraku itu.
“Hah…Mama!!!”Yuga bangun dengan raut muka kaget. Kemudian disusul oleh Nata yang juga ikut kaget.
“Kalian ini kenapa sih? Kayak ngliat setan aja,”
“Habisnya Mama ngagetin sih?”seru Nata padaku.
“Ya sudah, ayo cepat bangun!!! Sarapannya sudah siap,”
“Mama duluan aja, nanti Yuga sama Nata nyusul,”kata kak Yuga sambil mendorongku keluar.
Aku pun keluar dari kamar putraku itu dan pergi ke ruang makan. Disana sedang ada suami tercintaku yang sedang sibuk dengan Koran bacaannya. Kulihat sesekali dia menyeruput kopi hitam buatanku. Bahagia sekali melihat suamiku menyukai kopi buatanku sendiri. Ada rasa bangga yang muncul dalam diriku.
“Pagi Ma, Pa,”kulihat Nata menuruni tangga dengan sedikit berlari.
“Pagi sayang. Kakak kamu mana?”
“Lagi ganti baju, Ma,”jawabnya sambil meraih segelas susu putih hangat yang kubuatkan khusus untuknya.
“Nat, kamu berangkat sendiri atau mau bareng sama Papa?”tanya suamiku sambil membolak-balik Koran kesayangannya.
“Berangkat sendiri aja Pa. Ya sudah Ma, Pa, Nata berangkat dulu ya,”Nata memakai tas punggungnya kemudian menyalamiku dan suamiku.
“Lho, Ma, Pa, Nata mana?”tanya Yuga sambil memainkan gadget kesayangannya. Gadget itu adalah pemberianku saat ulang tahunnya yang tujuh belas.
“Sudah berangkat duluan,”jawabku sambil menyendok nasi goreng sosis buatanku. Heeehhmmm….. ternyata enak juga rasanya. Padahal sudah lama aku tidak masak masakan Indonesia.
“Kok enggak nunggu Yuga?”
“Kayaknya dia lagi buru-buru,”
Satu bulan kemudian……..
Hari ini aku senang sekali, karena baru saja dapat arisan. Rencananya hari ini aku akan membelikan Nata jam tangan yang sangat dia idamkan selama ini. Selain membelikan jam tangan untuk Nata, aku juga tidak lupa untuk membelikan Yuga motor yang dia idamkan. Padahal dia sudah dibelikan mobil oleh Papanya saat ulang tahunnya yang ke dua puluh kemarin, tapi sekarang dia malah pingin punya motor. Tak masalah, yang penting putra-putraku bahagia. Semua barang yang kubutuhkan sudah aku beli dan semuanya ada di bagasi mobilku, kecuali motor untuk Nata yang masih ada di deler motor.
Setelah sampai di rumah, aku sedikit heran, karena rumah tampak sepi. Mungkin pada sibuk pikirku. Aku memasuki rumah dengan senyum yang mengembang di bibirku. Kemudian muncul sebuah ide untuk memberikan sebuah kejutan pada Nata. Aku pun berjalan perlahan menuju kamar Nata. Kukeluarkan jam tangan untuk Nata dari dalam tas kemudian kusembunyikan di balik punggungku. Kulihat pintu kamar Nata sedikit terbuka. Pasti Nata sudah pulang pikirku. Saat kubuka pintu di depanku itu, saat itu juga semua senyumku hilang. Air mataku mengalir dengan derasnya. Pemandangan ini tampak seperti mimpi, tapi aku yakin itu nyata. Rasanya ada sebilah pedang tajam yang mencabik-cabik jiwa dan ragaku. Tulang-tulangku serasa rontok berjatuhan. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Nata dan Yuga saling mengaitkan bibir-bibir mereka. Tuhan cobaan apa ini……
“Nata…Yuga…. Apa yang kalian lakukan?”seruanku menghentikan percumbuan mereka.
“Mama !!!”aku melihat sebuah keterkejutan di mata mereka berdua.
“Kalian membuat Mama kecewa,”kutinggalkan mereka sendiri. Aku menangis sambil menuruni tangga. Aku berhenti di tengah-tengah dan duduk disana meratapi kejadian memilukan tadi. “Kenapa ini harus terjadi Tuhan?”
“Mama, maafkan kami Ma !!!”Yuga dan Nata berjongkok di sampingku sambil menyentuh pundakku.
“Jangan dekati Mama!!! Pergi kalian!!! Tinggalkan Mama sendiri !!!”aku memarahi mereka, meluapkan semua kemarahanku.
“Tapi Ma,”
“Pergi Mama bilang !!!”
Kecewa, marah, dan sedih berpadu menjadi satu hingga tak dapat dipisahkan lagi menjadi bagian-bagian yang lain. Tuhan begitu kejam pada keluargaku. Kenapa harus putra-putraku yang menjadi seperti itu? Kurangkah syukurku padaMu, sehingga Kau cobai aku dengan cobaan yang berat seperti ini? Besarkah dosaku di masa lalu sehingga karmanya menimpaku di masa sekarang ini? Masa dimana aku berhasil membuat keluarga yang bahagia. Namun kata bahagia itu kini telah sirna bersama jatuhnya air mataku.
By : Ali alvent phoenix
Apa yang aku takutkan selama ini sudah terjadi. Mama dan Papa sudah tau hubungan terlarangku dengan kak Yuga. Setelah mengetahui hubungan kami, Mama dan Papa membuat sebuah keputusan yang sangat menyakitkan. Mereka memindahkan kak Yuga ke Jepang dan itu membuatku sakit. Tak ada lagi orang yang akan memanjakanku, tak ada lagi orang yang akan menciumku, tak ada lagi orang yang akan memelukku saat tidur, semua yang dulu ada sekarang menjadi tak ada. Semuanya telah dibawa pergi jauh kesana ke negeri sakura bersama kak Yuga.
Setiap hari kuteteskan mataku untuk menangisi kepergian kak Yuga. Wajahnya selalu terbayang dalam pikiranku. Kuharap kamu masih memikirkan adik manjamu ini, kak. Semoga wajahku juga selalu terbayang dalam pikiranmu. Kuharap cowok-cowok disana tidak menggodamu atau malah kamu yang menggoda mereka. Kuharap jangan, jangan, dan jangan pernah lakukan itu.
Kini aku duduk sendiri di bangku taman, menatap langit yang awannya mulai menghitam dan kurasa sebentar lagi akan turun hujan. Ternyata mataku sudah mendahului langit, mataku sudah lebih dulu meneteskan airnya, sedangkan langit masih dengan awan mendungnya. Aku menundukkan kepalaku, tanganku meremas pahaku, menahan sakitnya hatiku. Tampak tiga tetes air mata menetes di celana abu-abuku. Rasa ini kian menjadi, kugigit bibir bawahku agar sakit dihatiku sedikit tertahan, tapi itu percuma saja, karena sakitnya masih ada.
Tiba-tiba aku melihat ada bayangan seseorang yang duduk di sebelahku, tapi aku tak tau dia siapa, karena aku masih tertunduk. Setelah dia bersuara barulah aku tau kalau orang yang ada di sampingku saat ini adalah Ishida. Dia tidak banyak bicara, tapi dia hanya berdehem saja, dan aku sudah bisa mengenalinya kalau itu dia. Aku tidak berani mengangkat wajahku, aku malu menunjukkan air mataku yang sudah memenuhi wajahku ini.
“Tidak apa-apa kalau kamu menangis Nat, itu menandakan kalau kamu punya perasaan yang sangat lembut,”Enggak mungkin. Aku enggak salah denger kan? Apa tadi Ishida bicara dengan bahasa indonesia? “Menangislah sepuasmu Nat, sampai hatimu kehilangan semua bebannya!!! Kamu enggak perlu takut!!! Aku akan disini untuk menemani kamu sampai kamu puas,”
“Kamu enggak perlu melakukan itu untuk orang sepertiku Ishida!!! Aku tau kamu pasti Cuma kasihan padaku kan? Ya, aku memang pantas untuk dikasihani. Pergilah Ishida!!! Aku ingin sendiri sekarang,”aku berbicara tanpa menatap Ishida. Aku tak sanggup menatapnya. Aku takut bila aku menatapnya, maka akan ada keinginan untuk memeluknya, menumpahkan semua kesedihanku di pundaknya.
“Tidak Nata, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian disini dengan keadaan seperti ini. Ayolah Nat, jangan palingkan mukamu saat bicara denganku!!!”Ishida meraih daguku dan menolehkan mukaku yang penuh air mata padanya. Aku hendak menghapus air mataku, tapi dia menepis tanganku. “Jangan dihapus Nat!!! Biarkan air matamu mengalir bebas. Jangan tunjukkan seolah-olah kamu kuat Nat, karena itu akan menyakiti hatimu sendiri. Kemarilah!!! Kurasa kamu membutuhkan sedikit pelukan,”Apa ini? Ishida menyandarkan kepalaku di pundaknya? Apa ini mimpi? Kurasa tidak. Ini nyata, seratus persen nyata.
“Ishida…..”panggilku lirih.
“Iya, ada apa?”
“Kenapa kamu bisa fasih bahasa Indonesia?”
“Aku kira kamu enggak akan menanyakan hal itu. Semenjak kenalan sama kamu waktu di toilet itu, aku memutuskan untuk belajar berbahasa Indonesia. Ada dua alasan yang mendorongku untuk belajar berbahasa Indonesia, yang pertama agar aku lebih mudah mengikuti pelajaran bahasa Indonesia dan yang kedua agar aku mengerti setiap yang kamu dan teman-temanmu bicarakan setiap harinya. Taukah kamu Nat, aku hanya butuh waktu satu bulan saja untuk fasih berbahasa Indonesia? Semua itu karena kamu Nat, kamu yang membuatku berkeinginan untuk itu,”
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,”aku mengangkat kepalaku dan menatap Ishida lebih dalam.
“Aku ingin memahami kamu lebih dalam lagi Nat. Aku ingin tau tentang kamu lebih banyak lagi, aku ingin mengenalmu lebih, lebih, dan lebih lagi Nat,”aku menggeleng tanda tak mengerti. “Aku menyayangimu Nat,”
“Tapi Ishida…..”
“Kamu enggak harus menjawabnya Nat. Ah, sudahlah!!! Anggap saja tadi hanya angin lalu!!! Lihat langitnya sudah mulai gelap, kayaknya mau hujan deras nih. Ayo Nat, kita pulang sekarang!!! Aku akan mengantarmu pulang,”
Sesampainya di rumah, aku masih terbayang-bayang semua kata-kata yang diucapkan oleh Ishida tadi. Semua yang dia ucapkan kini sudah memenuhi pikiranku. Tidak hanya apa yang dia ucapkan saja, tapi juga pelukannya pun masih terasa pada tubuhku. Genggaman tangannya pun masih kurasakan di sela-sela jemariku. Ishida benar-benar seperti racun sekarang. Wajahnya selalu ada dalam pikiranku. Apakah ini tandanya aku sudah bisa melupakan Kak Yuga? Mungkin sudah saatnya aku membuka hatiku untuk orang lain.
Semakin hari, semakin menjadi saja perhatian Ishida padaku. Semakin menjadi pula rasa bimbang yang menghantuiku. Di satu sisi aku merasa nyaman dengan semua perlakuan Ishida padaku, sedangkan di sisi lain perlakuan Ishida itu membuat aku sedih karena teringat pada kak Yuga. Hampir semua yang perlakuan Ishida padaku pernah dilakukan oleh kak Yuga. Rasanya seperti De javu.
Pernah suatu ketika, saat sepulang sekolah, Ishida mengajakku makan siang di sebuah restauran dengan menu steak. Dan Ishida juga memotongkan steak milikku sama seperti yang dilakukan oleh kak Yuga dulu. Dan ada satu lagi, Ishida juga mengajakku ke sebuah taman yang pernah aku datangi bersama kak Yuga. Kala itu, Ishida juga memberiku es krim coklat kesukaanku.
Semua kejadian yang pernah terjadi antara aku dan kak Yuga, kini terjadi lagi. Namun kali ini bukan bersama kak Yuga, melainkan Ishida. Entah apa maksud semua ini. Entah apa yang direncanakan Tuhan dengan mengulang kembali semua yang pernah aku lakukan bersama kak Yuga. Apakah Dia ingin menyiksaku secara perlahan dengan itu? Kurasa Dia sudah berhasil melakukannya. Apa itu sebuah peringatan dariMu, agar aku tak melupakan kak Yuga? Ya, aku akui, semenjak Ishida mengisi ruang kosong dalam diriku, aku mulai lupa pada cinta kak Yuga. Bukan berarti aku melupakannya sebagai kakak dan juga orang yang kucintai, tapi cintanya yang terlukis dalam hatiku ini sudah mulai luntur. Mungkin akan segera hilang seiring berjalannya waktu.
“Hoiiii….. nglamunin apaan sih, Nat?”Tamara datang bersama Hilda dan mengagetkanku. Aku tak bereaksi.
“Cerita dong, Nat, sama kita-kita! Ada apa sama kamu sebenarnya?”kata Hilda lembut. Kata-katanya syarat akan kekhawatiran.
“Iya, Nat. Kita ini kan, sahabatmu,”Tamara menimpali.
“Sorry girls, untuk kali ini aku tidak ingin melibatkan siapa pun termasuk kalian dalam urusanku. Biar aku sendiri yang menanganinya sendiri. Aku yakin aku masih sanggup,”aku menatap kosong lurus ke depan. Anganku dipenuhi dengan rasa bersalahku pada kak Yuga.
“Ingat Nat, apapun keadaanmu, kami akan selalu jadi sahabatmu. Jika kamu butuh teman curhat, kami akan selalu ada buat kamu Nat. Iya kan, Tam?”
“Iya Nat, kami akan selalu ada buat kamu. Kami akan bantu kamu nyelesaiin masalah kamu selagi kami mampu,”
“Terima kasih, teman-teman,”aku, Hilda, dan Tamara pun berpelukan layaknya teletubies. “Terima kasih sudah mau jadi temanku,”
Biasanya jam segini kak Yuga pasti sudah ada di luar sekolah untuk menjemputku, tapi sekarang hal itu hanya tinggal kenangan manis saja. Di sini, di tepi jalan, aku sendirian dan kepanasan dengan perut kosong. Panas matahari yang begitu terik membuat kepalaku serasa ditusuk ribuan jarum. Perutku serasa dijadikan sasaran tinju. Kerongkonganku kering. Keringat dingin sudah mengucur dari sekujur tubuhku. Mataku mulai berkunang-kunang dan semuanya jadi hitam.
Aku mencium bau minyak kayu putih yang menyeruak di hidungku. Aromanya membuatku tersadar kembali. Perlahan-lahan aku membuka mataku dan semuanya tampak putih. Aku kira aku di surga, tapi ternyata di kamar rumah sakit.
“Kamu sudah sadar Nat?”aku mengenal suara itu. Suara orang yang beberapa hari ini mengusik ketenanganku. Ya, dia adalah Ishida.
“Kenapa aku bisa ada disini?”aku memegangi kepalaku yang terasa sangat berat.
“Tadi kamu pingsan di pinggir jalan Nat,”jawab Ishida sambil membelai rambutku.
“Kenapa bisa pingsan?”tanyaku.
“Kata dokter, kamu lagi banyak pikiran, perut kamu kosong, terus kamu juga kurang darah. Yang pingin aku tanyain, apa yang kamu pikirkan sampai-sampai kamu jadi begini, Nat?”aku melihat kekhawatiran di mata Ishida.
“Bukan urusanmu,”aku menjawab sekenanya, tapi aku yakin jawabanku itu melukai perasaan Ishida.
“Ya sudah kalau gitu aku beli makanan untuk kamu dulu ya, Nat. Tunggu sebentar!!!!”Ishida sama sekali tidak terlihat sedih saat aku kasar padanya tadi. Dia malah tersenyum padaku. Dan sekarang dia malah mau repot-repot membelikanku makanan. Aku jadi merasa tidak enak hati padanya.
“Ishida tunggu !!!”aku menghentikan langkah Ishida di depan pintu kamra rumah sakit.
“Iya. Ada apa Nat?”
“Maafkan aku, Ishida!!!”
“Maaf untuk apa?”
“Karena tadi aku sudah ngomong kasar sama kamu,”
“Aku sudah melupakannya,”
“Makasih Ishida,”
Taik berapa lama kemudian Ishida sudah kembali dengan membawa kantung kresek berwarna hitam. Dikeluarkannya satu per satu apa yang ada di dalam kantung kresek itu. Ada sebungkus nasi, sebotol air mineral, obat penambah darah, dan juga permen lolipop.
“Ayo Nat, makan dulu!!!”Ishida membuka bungkusan itu. Dapat kulihat isinya. Sepotong daging sapi dan nasi putih yang masih hangat. Aku tau, ini pasti yang namanya nasi padang.
“Makanan apa itu Ishida?”
“Heeeehhhmmm…..aku nggak tau apa namanya. Tadi penjualnya bungkusin ini, jadi aku terima saja,”
“Huhf dasar. Itu namanya nasi padang tau,”
“Kamu sok tau Nat, orang tadi aku belinya di rumah makan yang ada di depan rumah sakit ini kok. Kalau ini nasi padang, nggak mungkin ada di Bandung kan? Soalnya setauku itu, nasi padang itu makanan asli dari kota Padang, Sumtra Barat. Dengan kata lain, ini bukan nasi padang, tapi nasi bandung,”aku tersenyum geli mendengar cerita Ishida.
“Heeehhh….ganteng-ganteng, tapi bego. Kalau makan nasi padang, nggak harus pergi ke Padang tau. Dimana-mana sudah ada tuh, restauran atau rumah makan Padang,”
“Sudah deh, Nat, kamu jangan sok tau!!! Aku yakin seratus persen ini bukan nasi padang,”
“Terserah kamu lah!!!!”aku geleng-geleng. “Itu nasinya boleh dimakan atau nggak sih?”
“Ehhh iya sampai lupa. Ya sudah, aku suapin ya Nat?”
“Apa? Enggak mau ah. Aku bisa makan sendiri,”
“Sudah, kamu diam saja!!! Tinggal buka mulut aja apa susahnya sih? Ayo buka mulutnya!!! Aaaaaakkkk….,”
Ishida menyuapkan sendok demi sendok nasi Bandung, eh nasi Padang maksutku, ke dalam mulutku. Dengan telaten dia menyuapiku. Entah mengapa nasi Padang yang biasa-biasa saja itu terasa lebih nikmat di dalam mulutku. Mungkin karena Ishida yang menyuapiku. Nasi Padang itu kini mendapat predikat SPESIAL, Jadi sekarang namanya menjadi NASI PADANG SPESIAL. Setelah menghabiskan sebungkus nasi Padang, Ishida memberiku satu kapsul obat penambah darah.
“Apa ini Ishida?”
“Ini obat penambah darah. Kata dokter, kamu harus minum obat ini supaya kamu nggak kena 5L,”
“5L? Apaan lagi itu?”
“Heeehhhmmm….. aku juga nggak tau Nat. Di bungkusnya Cuma tertulis merknya, SONGONGBION. Sudahlah, jangan banyak tanya lagi dan makan saja obat ini !!!!”
“Aku nggak suka makan obat. Enggak enak tau,”aku menolak untuk makan obat itu.
“Ayolah, Nat!!! Jangan kayak gini, nanti kamu tambah parah sakitnya,”
“Baiklah, kalau kamu memaksa,”
“Hwahah siapa juga yang memaksa kamu. Seandainya kamu nggak mau makan obat ini juga nggak apa-apa, toh yang sakit kan, kamu, bukan aku atau orang lain,”
“Kamu nyebelin,”aku merebut kapsul itu dan memasukkannya ke dalam mulut dengan ragu-ragu kemudian segera kuteguk air mineral dalam botol yang dipegang Ishida.
“Nah, gitu kan pinter,”Ishida mengacak-acak rambutku.
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah lima. Kenapa?”
“Kamu tanya ‘kenapa’? Apa kamu nggak mikir ya, Mama sama Papaku pasti lagi khawatir nungguin aku di rumah. Cepat antar aku pulang!!!”
“Hehehe….siap pangeran,”
“Apaan sih, kamu ini?”
Ishida mengantarku sampai di depan gerbang rumahku. Awalnya dia berniat untuk mampir sebentar ke rumahku untuk bertemu Mama dan Papaku. Katanya sih, dia mau bilang kalau dia bersedia menjagaku setiap waktu. Tapi keinginan konyolnya itu aku tolak mentah-mentah. Memangnya dia pikir aku bayi apa, mau dijagain setiap waktu. Lagian hal itu pasti akan membuat Mama dan Papa mencurigainya. Dengan langkah sedikit goyah karena kepalaku sedikit pusing, aku melangkah melewati gerbang rumahku. Kulihat di post keamanan, Pak Malik sedang tidur. Padahal tv di depannya sedang menyala.
Saat aku memasuki rumahku, aku tidak melihat Mama dan Papa di rumah, padahal biasanya jam segini mereka sudah pulang dan duduk sambil ongkang-ongkang di ruang keluarga, ngrumpiin proyek-proyek mereka yang membosankan bagiku.
“Den Nata….Den….,”Bi’ Sumi memanggilku dengan sedikit berlari ke arahku yang sedang berdiri di atas anak tangga ke 5 yang menuju kamarku. Wajahnya tampak begitu panik. Ada sedikit bvulir air mata di pelupuk matanya.
“Ada apa Bi’, kenapa panik begitu? Pakai nangis lagi,”aku turun kembali dan menghampiri Bi’ Sumi. “Ohya Bi’, Mama sama Papa kemana?”
“Tuan sama Nyonya ke Jepang Den,”
“Jepang? Hehh…pasti proyek lagi. Sudahlah Bi’, Nata sudah bosan mendengar kabar kalau mereka ke Jepang lah, ke Hongkong lah, bla bla bla…..”
“Bukan untuk mengurus proyek Den, tapi Den…..Den Yuga….,”
“Kaka Yuga kenapa Bi’? Ada apa sama kak Yuga Bi’?”
“Kata Nyonya, Den Yuga masuk rumah sakit, jadi Nyonya sama Tuan buru-buru kesana,”
“Kak Yuga masuk rumah sakit? Kenapa?”
“Bibi’ juga nggak tau Den, tapi Nyonya sama Tuan tadi keliatan panik sekali, sampai-sampai Nyonya nangis,”
Tiba-tiba saja rasa takut yang teramat sangat menggerogoti jiwaku. Air mataku mengalir dengan sendirinya. Kutinggalkan Bi’ Sumi sendirian. Beberapa kali Bi’ Sumi memanggil namaku, namun aku mengacuhkannya. Aku memasuki kamar yang dulu menjadi kamar kak Yuga. Masih dapat kucium aroma keringat kak Yuga yang selalu membuatku mabuk kepayang di dalam kamar tak bertuan ini. Kulihat masih terpajang rapi foto-fotonya yang keren di dinding kamarnya yang dicat warna langit. Kuambil foto kak Yuga yang berada di atas meja kecil di sudut kamar lalu kurekatkan di dadaku. Kubayangkan sedang kupeluk kakakku tercinta. Air mataku tak berhenti menetes, karena mengenangnya.
“Kakak kenapa disana? Apa kakak sakit parah? Cepat sembuh, kak!!! Nata kangen sama kakak,”
Tak terasa sudah tiga hari ini Mama dan Papa berada di Jepang. Aku di rumah selalu menantikan kehadiran mereka. Ingin aku menanyakan keadaan kak Yuga. Di dalam pikiranku hanya ada kak Yuga dan kak Yuga saja. Hari ini hati sungguh tak tenang. Setiap pelajaran yang diberikan oleh guru, tidak ada yang meresap ke dalam otakku sama sekali. Sampai akhirnya seorang guru menegurku karena mendapatiku sedang melamun saat pelajarannya. Ishida juga tampak bingung dengan keadaanku sekarang ini. Tak henti-hentinya dia menanyakan apa yang sedang mengganggu pikiranku, tapi aku tak menjawabnya sama sekali.
Jam sekolah sudah berakhir. Semua murid sudah keluar dari kelas mereka masing-masing, termasuk aku. Dengan mata kosong, aku berjalan menyusuri jalan menuju gerbang sekolah.
“Nata, ayo kuantar pulang,”Ishida berhenti tepat di depanku.
“Nggak usah, makasih banyak, tapi aku mau pulang sendiri,”
“Ayolah Nat, jangan seperti itu!!! Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian dalam keadaan seperti itu,”Ishida langsung menarikku. Aku pun menurut saja dan naik ke atas kuda besi Ishida.
Selama perjalanan, pikiranku kosong. Aku hanya memeluk punggung Ishida. Kuda besi Ishida berlari begitu kencang, sampai aku tak menyadari kalau aku sudah ada di depan rumahku. Suasana rumahku tampak berbeda dari biasanya. Kali ini lebih ramai, padahal biasanya sepi. Aku menjelajahkan mataku sejenak dan aku menemukan sebuah benda yang bagiku itu adalah simbul dari tangis dan kesedihan. Ya, ada dua bendera kuning terpasang di sebuah pohon pinang yang ada di tepan gerbang rumahku. Aku panik. Aku pun berlari memasuki halaman rumahku diikuti oleh Ishida. Aku melihat di setiap sudut rumahku ada bendera kuning yang berkibar dengan angkuh seolah mengejekku. Aku cabut semua bendera kuning yang terpasang di taman rumahku, tapi tiba-tiba Pak Malik menghentikanku, dia mencoba untuk menenangkanku.
“Tenang Den, yang sabar ya!!!”Pak Malik memelukku.
“Sabar, Nat!!!”tambah Ishida.
Aku melepaskan pelukan Pak Malik kemudian berlari ke depan rumahku. Ucapan belasungkawa yang dihiasi dengan berbagai macam bunga dari beberapa orang terpampang di teras rumahku. Ini tidak mungkin, pasti hanya mimpi. Disitu tertulis “TURUT BERBELASUNGKAWA DAN BERDUKACITA ATAS MENINGGALNYA YUGA PRATAMA, PUTRA BAPAK DAN IBU YAMATO”. Aku menangis sambil mengacak-acak karang bunga itu. Tampak beberapa pelayat yang menatapku dengan iba. Ishida memelukku mencoba untuk menenangkanku, tapi percuma awan kesedihan sudah memenuhi diriku.
“Nata…..,”Mama keluar dari dalam rumah. Matanya sembab.
“Ma, bilang sama Nata kalau ini nggak benar Ma!!! Nggak mungkin kak Yuga sudah meninggal kan, Ma? Ayo Ma, bilang Ma!!!”aku menghempas-hempaskan tubuh Mama.
“Ayo, Nat, kita masuk!!!”Mama membawaku masuk ke dalam rumah.
Papa yang melihatku langsung memberikan pelukan untukku. Papa menjoba membuatku tegar, tapi bagiku itu percuma, karena nyatanya aku begitu rapuh saat ini. Dengan ragu-ragu, aku menghampiri tubuh kaku yang terbaring di tengah ruangan. Kubuka penutup wajahnya dan ternyata ini bukan mimpi. Tubuh pucat kaku nan dingin ini adalah tubuh kak Yuga. Aku tak sanggup menatap wajahnya dan semua mendadak jadi gelap.
Tidak terasa besok adalah empat puluh harinya kak Yuga. Rencananya aku ingin pergi ke makamnya untuk sekedar ngobrol dengannya. Keesokan harinya, tepat pukul lima sore Ishida datang menjemputku. Dia memakai baju serba hitam sepertiku. Kami hendak pergi ke makam Kak Yuga. Entah kenapa aku ingin sekali mengenalkan Ishida pada kak Yuga, makanya aku mengajaknya bersamaku.
Tak lama kemudian, kami sudah berada di dalam pemakaman. Aku berjalan menyusuri jalanan pemakaman yang sepi sunyi dan tenang. Dari belakangku Ishida mengekor. Setelah kutemukan makam bertuliskan YUGA PRATAMA, aku langsung bersimpuh di tepi makam itu sambil menabur bunga di atas makam kak Yuga, Ishida juga ikut menaburkan bunga untuk kakakku.
“Kak, kakak apa kabar disana? Apa kakak sehat-sehat saja? Apa disana nyaman? Pasti kakak bahagia kan disana? Kak, Nata kangen sama kakak. Pasti kakak juga kangen kan, sama Nata. Hiks…hiks.... kenapa sih, kakak harus berurusan sama berandalan-berandalan disana? Semoga mereka mendapat karma, karena sudah berani menyakiti kakak. Kak lihat, langit sorenya indah banget. Kak, Nata pulang dulu ya. Nata sayang sama kakak,”
Hari sudah mulai gelap, aku pun segera diantar pulang oleh Ishida. Di depan pintu rumah, Mama sudah berdiri menanti kepulanganku. Setelah mengucapkan terima kasih pada Ishida, aku langsung nyelonong masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan Mama yang sedang berdiri di depan pintu. Aku berlari menuju kamarku. Aku tak tau, apa yang Mama katakan pada Ishida sepeninggalanku tadi Mungkin saja menyuruh Ishida untuk menjauhiku atau mungkin lebih dari itu. Entahlah, aku tak mau memikirkannya.
Pada suatu sore yang yang tenang, aku duduk sendiri di taman belakang rumahku. Aku sedang memikirkan seseorang yang akhir-akhir ini membuatku tidak bisa tidur nyenyak, makan pun nggak kenyang. Tiba-tiba ada telapak tangan yang menutup mataku dari belakang. Aku meraba-raba tangannya. Mencoba mencium aromannya. Satu nama terbayang dalam benakku. Aku pun tersenyum.
“Kamu kayak anak kecil Ishida,”
“Yah, kok tau sih?”Ishida kesal.
“Nata gitu loh,”
“Iya deh, aku percaya,”
“Ada angin apa nih, sore-sore main kesini? Perasaan kamu lagi nggak ada PR kan?”
“Nggak Nat, aku kesini bukan untuk memintamu untuk mengajkariku Matemati, Fisika, ataupun Kimia, tapi aku ingin kamu mengajariku bagaimana caranya untuk mencintaimu,”
“Apa maksudmu?”
“Sebenarnya sudah lama aku ingin mengutarakan ini padamu Nat, tapi aku tak berani. Kali ini aku yakin adalah saat yang tepat untuk menyatakan perasaanku padamu. Nata Dwitama, aku mencintaimu sepenuh hatiku, segenap jiwa dan ragaku. Maukah kamu menjadi pacarku?”
“Aku juga mencintaimu Ishida. Aku mencintaimu, benar-benar mencintaimu,”
Detik itu juga, aku dan Ishida resmi berpacaran. Ishida langsung memelukku mesra mencium keningku, lalu bibirku. Cukup lama kami beradu bivbir di taman rumahku ini. Tiap helai daun dan rerumputan yang ada di taman ini, menjadi saksi menyatunya cinta kami. Aku bahagia bisa merasakan cinta dalam hidupku lagi. Hidup yang dulu bagaikan langit mendung, kini berwarna-warni oleh pelangi cinta.
“Nata…..Ishida….ayo masuk!!! Ikut Mama!!!”suara Mama mengagetkanku. Semoga saja Mama nggak tau apa yang sedang aku lakukan dengan Ishida tadi.
Dengan langkar yang penuh ragu, aku dan Ishida berjalan meninggalkan taman belakang rumah dan segera mengikuti Mama ke ruang keluarga. Aku dan Ishida duduk bersebelahan, menghadap Mama. Dapat kulihat5 wajah Mama yang penuh dengan ketidak percayaan. Lama sekali ruangan ini terasa hening, sampai akhirnya Mama angkat bicara.
“Mama sudah tau semuanya, jadi Mama harap kamu bisa jujur Nat!!! Katakan sama Mama, apa di antara kalian ada hubungan spesial?”
“Eh….apa maksud Mama? Nata nggak ngerti Ma,”
“Ishida, jawab tante!!!”
“Saya juga tidak mengerti apa maksud tante,”
“Begini ya, anak muda zaman sekarang, berani pacaran tapi nggak berani mengakui. Heran. Dengar Nat, Mama sungguh menyesal pernah memisahkan kamu sama kakak kamu. Mama kira keputusan Mama itu sudah tepat, tapi ternyata tanpa Mama sadari keputusan Mama itu sudah membuat kalian berdua menderita, sampai akhirnya kakak kamu harus pergi untuk selamanya. Sekarang, Mama tidak akan merebut hak kamu untuk mencintai atau dicintai oleh siapapun asalkan itu bisa buat kamu bahagia, Mama pasti juga akan bahagia. Jadi intinya, Mama merestui hubungan kalian,”
“Apa Nata nggak salah denger Ma? Nata nggak budeg kan? Mama nggak salah minum obat kan?”
“Kurang ajar banget kamu, Mama sendiri dikatain. Kamu nggak suka sama keputusan Mama? Ya sudah, Mama tarik lagi kata-kata Mama,”
“Jangan, tante!!! Ayo Nat, cepet minta maaf sama Mama kamu!!!”
“Maafin Nata ya, Ma!!! Dan makasih Mama sudah mau mengizinkan Nata menentukan hidup Nata sendiri,”aku memeluk Mama dengan sangat erat.
“Nah, sekarang masalahgnya adalah, apakah Mamanya Ishida akan setuju dengan keputusan ini?”
“Mama saya sudah tau sejak lama kalau saya seorang gay, tante, jadi pasti Mama akan setuju,”
“Bagus deh, kalau gitu,”
“Kapan nih, rencananya kalian mau tunangan?”Mama menggoda kami.
“Secepatnya saya akan melamar Nata, tante,”jawab Ishida semangat.
“Kalau menikah nanti kalian mau menikah dimana?”
“Gimana kalau di Thailand aja Ma. Sekalian honeymoon. Hahahahah…,”aku tertawa lepas.
“Mama setuju banget. Bagaimana dengan kamu Ishida?”
“Saya yakin, apa yang tante pilih adalah pilihan yang tepat. Termasuk memilih saya sebagai calon mantu tante. Hhahahahah…….”jawab Ishida dengan PD nya.
“Dasar, kamu itu !!!”aku menabok pipi Ishida. “Tapi Papa nanti bagaimana Ma? Bagaimana kalau Papa nggak setuju?”
“Tenang saja, Papa kamu pasti seratus persen setuju,”jawab Mama enteng.
“Tante memang is the best deh, pokoknya. Ishida jadi nggak sabar nih, pengen manggil Om sama Tante dengan Papa sama Mama,”
“Apaan sih, kamu? Bikin malu saja,”aku sedikit melotot pada Ishida.
“Hahahah….sekarang juga boleh kok,”jawab Mama.
“Mama kok, mau sih ngladenin dia?”
“Lha dia kan calon suami kamu Nat, jadi ya dia harus terbiasa manggil Mama bukan tante lagi,”
“Makasih Ma,”sela Ishida sambil senyum-senyum bangga.
Sejenak aku menatap Ishida yang sedang asyik bergurau dengan Mama. Tawanya bagaikan senandung dari malaikat surga. Rasanya hati ini begitu tenang ketika aku melihat wajahnya, senyumnya, tawanya, dan semua hal tentangnya. Aku tak menyangka wajah itu adalah wajah yang akan kulihat sebelum aku tidur dan wajah itu pula yang akan kulihat saat aku terbangun di pagi hari. Walaupun kami sama-sama tau kalau hubungan kami ini HUBUNGAN TERLARANG, tapi cinta dan kasih yang hadir di dalamnya adalah anugrah terindah. Setidaknya bagiku dan Ishida.
*****TAMAT*****

0 komentar:

Posting Komentar