JEALOUS Part 7


By: Kim Hye So.
Anak muda biasanya spontan, lugu dan apa adanya. Mereka jujur mengungkapkan perasaan. Begitu juga dengan Ines yang relatif masih muda. Apalagi ketika masih SMA, ia memang belum pernah jatuh cinta.
Kepergiannya dengan Seger yang memang berwajah tampan, berkulit bersih, dengan senyum yang menggoda, membuat gadis yang masih remaja dan nol akan pengalaman itu bermanja ria.
Memasuki sebuah rumah makan, ia menggandeng mesra tangan lelaki yang bersamanya itu. Jam satu siang itu rumah makannya cukup ramai.
Namun begitu ruangan rumah makan itu cukup luas. Masih ada meja dan kursi yang kosong. Salah satu yang kosong dan terlihat jelas adalah meja di depan sepasang anak muda yang lain. Semula kedua anak muda itu asyik makan. Namun ketika Lana dan Galih melihat Seger menggandeng perempuan cantik melangkah ke arah mereka, selera makan mereka turun drastis.
Begitu juga Seger. Ketika melihat Lana dan Galih menatapnya tajam, ia mengurungkan langkah.
"Nes..!" bisik Seger
"Ya?"
"Kita makan di rumah makan yang lain saja ya? Disini penuh!"
"Itu ada meja kosong."
"Kau lihat pria di belakangnya menatap kita, kau tataplah matanya!"
"Ya, aku melihatnya..."
"Dialah yang menyakiti aku, lelaki bertubuh tinggi besar. Kalau kita tetap makan disini, selera makanku akan hilang. Kau mengerti?"
"Ya, jadi dia...?"
"Iya..."
"Tak begitu tampan."
"Sudahlah, hatiku akan sakit jika terus melihat wajahnya."
"Lalu pria muda di sampingnya itu siapa? Kenapa memandangi kita juga?"
"Entahlah, mungkin temannnya." Ines mengangguk paham.
"Sudahlah! Kita cari rumah makan yang lain. Ke sekitar pusat kota saja!"
"Makin jauh dong mas?"
"Tak masalah bukan?"
"Baiklah,"
Seger mengajak Ines keluar dari rumah makan itu. Mereka kemudian keluar dari pelataran parkir yang masih penuh itu.
Sementara Lana dan Galih menarik nafas panjang. Lana menunduk.
"Dek...!"
"Ya?"
"Adek nggak apa-apa kan?"
"Enggak."
"Dasar playboy! Baru saja putus, sudah dapat gandengan baru." Geram Galih
"Kasihan gadis itu. Tampaknya ia masih sangat muda. Dan mudah-mudahan Mas Seger mau belajar dari kekurangan masa lalu dan menyayangi gadis itu. Atau gadis itu akan meninggalkannya."
"Atau gadis itu akan menjadi korban?"
"Sudahlah kak, kita tidak usah ikut campur. Hak Mas Seger jika memang ingin mencari ganti."
"Tapi, sepertinya aku pernah kenal gadis itu."
"Oh ya?"
"Ia adik dari temanku, yang sebentar lagi wisuda bersamaku. Ia masih semester dua kalau tidak salah."
"Kalau begitu yang mengenalkan pasti Rama. Tapi ya sudahlah, kakak tidak perlu mencampuri urusan mereka. Biarkan saja. Siapa tahu setelah kejadian kemarin Mas Seger berubah? Atau setelah kejadian kemarin Mas Seger bisa menyayangi gadis itu."
"Kamu terlalu sabar dek. Tapi aku setuju, kita tidak perlu ikut campur urusan mereka. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku hanya sedih saja."
"Sedih?"
"Baru dua malam lalu Mas Seger minta maaf padaku, dan ingin kembali kepadaku. Hari ini ia malah menggandeng orang lain, atau seorang wanita lebih tepatnya."
"Itulah dia, maunya menang sendiri. Tapi, tidakkah kamu ingin kembali padanya?"
"Tidak kak, tidak sama sekali. Aku sudah senang kok bisa jauh darinya. Bukan dia lelaki yang ku harapkan saat ini."
"Lalu siapa?"
"Entahlah. Masih sakit untuk bicara soal cinta. Masih membeku perasaan ini."
"Begitukah?"
"Iya.."
"Ya sudah, ayo kita lanjutkan makan kita!"
"Aku kehilangan selera. Aku akan habiskan yang dipiringku saja. Tapi kakak santai saja ya? Tak usah ikut-ikut aku! Percayalah, aku akan temani kakak."
"Jadi nggak enak"
"Jangan ikut-ikutan nggak enak kak! Ini hanya soal perasaanku saja."
Makan siang itu jadi kurang berselera. Sementara berkali-kali Galih menghembuskan nafas beratnya.
"Kak...!"
"Ya?"
"Sebaiknya kakak segera membeli mobil untuk inventaris kakak."
"Tidak usah, biar kakak pakai mobil dagangan saja..."
"Aku tidak mau seperti itu. Biarkan dagangan untuk dijual saja. Kakak pilih sebuah mobil yang mesinnya bagus, untuk kakak pakai selamanya. Aku ingin orang memandang kakak. Bukan melihat mobil kakak gonta-ganti. Orang-orang akan menilai negatif, kalau kakak gonta-ganti mobil. Sebab orang akan tahu kakak tidak punya apa-apa, karena itu mobil dagangan. Beli dan pakai saja mana yang kakak suka."
"Okay, tenang saja..."
"Kak, ada yang sedang ingin ku perjuangkan saat ini."
"Apa?"
"Kehidupan dan usaha kita."
"Bagaimana dengan hubungan kita?" Lana tercengang. Dan dugannya tentang Galih sepertinya benar.
"Jadi kakak...? Seorang...?" Galih mengangguk.
"Apakah lelaki miskin ini berhak jatuh cinta? Apakah boleh aku mencintai seseorang yang memang aku cintai?"
"Ya why not? Tapi siapa dia? Katakan dengan jujur tanpa candaan kak! Siapa gadis yang membuat hati kakak jatuh cinta? Serius!" Ancam Lana sambil tersenyum. Meskipun sebenarnya jantungnya berdetak sangat cepat. Harap-harap cemas dengan jawaban Galih.
"Kan sudah jelas tadi.."
"Ahh kakak! Siapa? Serius dong!"
"hhaaaahhh..." Galih menghela nafas panjang.
"Why? Ada apa kak?"
"Aku lelaki miskin."
"Bukankah tergantung sifat orangnya. Siapa?" tanya Lana. Entah mengapa ia merasa cemas. Takut, kalut khawatir. Semua rasa campur aduk jadi satu.
"Dia bukan gadis, wanita atau perempuan. Dia seorang pria lebih tepatnya. Dia manis, sabar dan penyayang. Dia sekarang sedang bersamaku. Dek, pantaskah kakak mencintai kamu." Lana terdiam. Tak seberapa lama lalu dia tersenyum.
"Mengapa tidak? Sebentar lagi kakak jadi pengusaha. Sebentar lagi rumah dan bengkel kakak juga jadi bagus."
"Kamu nggak malu?"
"Tak ada yang harus malu. Namun, kadang manusia itu kan tidak boleh menyerah begitu saja dengan keadaan. Saat usaha kakak sukses dan berjalan dengan baik, sudah sangat pantas kakak untuk melamar bukan...?" kalimat terakhir diucapkan Lana dengan pelan, hati-hati dan sedikit ragu.
"Apakah karena itu kamu membantu kakak?"
"Aku bukan hanya sekedar membantu, aku juga senang jika punya usaha. Aku tak mau besok sekedar menerima warisan saja. Tapi aku ingin kita sukses lebih dahulu."
"Begitukah?"
"Ada hal lain, aku tidak ingin orang menghina kakak lagi."
"Oh ya?"
"Aku sayang kamu Mas..."
"Benarkah?" dalam hati Galih sangat senang. Panggilan Lana terhadapnya pun diganti menjadi Mas. Sebagai panggilan sayang pikirnya.
"Ya, tetapi aku tahu, aku sudah kecewa dengan seorang lelaki. Awas saja kalau Mas juga membuatku kecewa!" kata Lana tegas namun dengan nada yang terlihat bercanda.
Galih terperangah, betapa serius Lana memperhatikan dirinya. Sebagai seorang lelaki, ia tidak mau terlalu sentimentil. Ia lebih senang melihat sisi baik dari niat tulus Lana. Makanya ia langsung menggenggam jari pria manis itu. Tanpa perduli jika ada orang yang akan melihat hal itu. Pipi Lana merona.
"Sayang...."
"Iya Mas...?"
"Mas nggak mungkin menyakiti kamu."
"Benarkah?"
"Aku sayang kamu..."
"Makasih mas."
"Mari kita buktikan, bahwa kita tidak hanya bisa pacaran saja, kita juga bisa menghidupi diri sendiri."
"Itu yang ku mau Mas..."
Mereka saling pandang. Lalu selera makan pun kembali menjadi lebih nyaman. Sampai kemudian mereka meninggalkan rumah makan itu dan melupakan pertemuan sekilas dengan Seger.
"Bagaimana Mas menilai lelaki seperti Seger?"
"Menurutku kamu harus bersyukur karena telah lepas darinya. Kebahagiaan itu kan relatif. Namun apa gunanya mencintai lelaki, kalau kamu hanya merajut sakit perasaan terus menerus?"
"Mas benar. Padahal masih ada lelaki yang jauh lebih pantas untuk aku cintai..."
"Siapa?"
"Mas lah, sipa lagi...?"
"Ya asal kamu tidak malu saja mencintai lelaki miskin." desah Galih
"No matter."
Galih dan Lana tertawa santai. Siang itu, dua hati telah terpaut. Ya, hanya sebatas itu saja. Sebab hubungan mereka memang belum apa-apa. Mereka baru memulainya.
Namun setidaknya dengan nilai tulus telah membuat mereka mampu melupakan kenangan pahit. Setidaknya bagi Lana, kini ada tempat dimana ia bisa mencurahkan segalanya. Karena Galih bukan Seger. Karena lelaki ini mampu menjadi teman berbagi cerita yang baik.

0 komentar:

Posting Komentar