Lubang Hitam Sang Elang



By: FTR ( Fendy Tama Rahardy )


Sekeluar dari kantor pengadilan agama, perasaanku jadi sungguh lapang. Lega sekali kurasa. Jalan yang terbaik di tempuh adalah berpisah dengan dian. Walaupun dalam ajaran agama manapun yang namanya perceraian selalu di kutuk, namaun apa mau di kata jika perceraian itu pula jalan satu-satunya yang harus di tempuh agar tak lebih jauh menyakiti hati dian.
Ah, sehabis seorang mengotokan palu sebagai tanda penutup siding, segera saja ku pandang dian. Sykurlah ia sudi untuk senyum. Bahkan kami sempat bersalaman sebelum melenggang keluar ruang persidangan karena masih ada sekian jumlah pasanag yang jelas-jelas mau bercerai. Begitulah, sekali lagi kutegaskan, percerai tak pernah di kehendaki oleh siapapun karena pada mulanya setiap pasangan membangun mahligai ruamh tanggau hanya untuk kebhagian semata. Naming toh, keberadaan kantor pengadilan agama selalau penuh di kunjungi orang setiap harinya. Aku yakin tak hanya di kotaku, di hamper setiap kota pun itulah yang terjadi. Selalu saja ada pasangan yang antri menuju jenjang percerain. Hmmmmm.
“ ayah ” dika, anakku semata wayang yang duduk di banku SD itu memanggil. Ia bergegas menghambur ke arahku begitu melihatku keluar dari ruang persidangan.
Namun, aku hanya mempunyai kesempatan mengelus kepalanya perlahan selebihnya aku harus merelakan ia pergi bersama dian.
“ hati-hati menjaga dika yah mbak susi ” ucapku kepada pembantu rumah tangga yang sesari tadi menunggui acara persidangan usai bersama dika.
Dian lekas-lekas menggandeng dika, merebut dari belaianku. Bersama mbak susilah dian dan dika pergi. Kebetulam wali keluarga kami masing-masing sudah mendahului pulang sebelum lebih lama menyaksikan pemandangan perpisahan antara aku dan dika maupun juga dengan dian.
Hp-ku bergetar. Sms masuk. “ ku tunggu siang ini, langsung ke ruamh saja ” begitulah bunyi sms yang kuterima dari anwar, seorang single father. Seorang pengusaha kuliner terkenal di kotaku. Secara usia, dia sepantaran dengaku. Yeah kalau ia menyuruhku keruamh di saing bolong seperti ini beari ia sudah ngacir dari restoranya. Tentu saja sebagai sesama pengusaha, hanya saja jenis usahaku adalah apotek.
Obrolan yang bakal ku lalui bersamanya, yang mempersoalkan makananan kesetahan dari yang murah dan mudah di cari sampai yang mahal dan susah dicari, itu hanya bisa di lakukan di rumahnya.
Aku yakin seperti biasnya pula, ia kan mengawali pembicaraan tentang obat-obatan lalu mengajakku berenang bersama, bermain air riang-riang, mengumbar tawa. Saling membelai. . . . ah . . . .
Aku mengenal anwar sudah cukup lama, jauh sebelum aku menikah dengan dian. Sebetulnya dian pun tahu siapa aku sebenarnya baik secara luar atau dalam. Dulu sebelum aku kenal dengan dian. Pacar-pacarku adalah laki-laki dan perempuan sekaligus.
Untung saja, sebagai salah satu pacarku. Dian tetap mau menerima diriku apa adanya. Hanya satu permintaan yang terakhir sebelum dia bersedia menikah dengaku ialah : aku tidak boleh berhubungan intim dengan saipapun juga. Dan hanya boleh berhubungan intim dengan dirinya seorang. Sebagai satu-satunya pendamping hidup, untuk selama-lamanya. Aku tak boleh lagi menerima perempuan maupun lelaki yang lain aku mesti menyudahi petualangaku.
Berbekal kepercayaan bahwa aku sanggup mengubah perilaku biseksual'lah yang membuat dian bertekad bulat mau menikah denganku.
Dengan harapan aku segera terbebas dari kubangan hidup yang di anggapnya penuh dengan rsiko. Lagi pula dain memang benar-benar mencintaiku.
“ awas nanti kamu kena AIDS ”
Itulah canda yang selalu keluar dari bibir dian. Aku paham sebagai seorang perempuan, dian adalah seseorang yang normal. Dulu ia menjadi tahu kalau pacar-pacarku banyak dan beragam jenis kelamin pula. Cuma gara-gra ia menemukan buku harian yang aku simpan di bawah kasur. Walau aku sebagai seorang lelaki aku tetap menulis buku harian entah kenapa. Mungkin hanya untuk menceritakan semua keluh kesahku menjalani hidup sebagai biseksual, karena aku tidak mungkin bercerita ke sembarang orang, akhirnya aku putuskan untuk bercerita kepada buku harian.
Apa boleh buat, meskipun keberadaan buku harian adalah untuk tak di baca orang lain, tapi dian tetap nekat membacanya.
Terus terang, waktu itu aku berang. Kumaki-maki dian. Ku amcam ia kuseret ke pengadilan. Namun karena lagi dan lagi diam adalah seorang lulusan fakultas hokum sementara aku lulusan fakultas farmasi dengan enteng ia bilang,
“ mana mungkin buku harian di jadikan barang bukti. Nggak ada tuh pasalh KUHP-nya. Walaupun dari buku harian niatan seseorang bisa di lacak, tapi tetap buku harian tak laku sebagai brang bukti. Nilai privasinya sangat kuat. Nggak ada hakim yang berani menjamah buku harian. ”
“ lantas kenapa kamu berani ” tanyaku pada dian.
“ iseng saja, kan milikmu sayang . ”
Waktu itu aku cuman merutuk tak lebih.
ΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔ
Rupa-rupanya modus peyimpanan kerahasiaan yang sejak SMP kutempuh dengan cara menulis di buku harian akhirnya terbongkar juga. Bahkan ketika kini peradaban semakin canggih dan internetpun menjadi alternative kawan terintim yang justru membuat para hacker berkeliaran tenang berbelanja di toko-toko luar negri dengan menggunakan rekening orang lain, yang namanya privasi tetap saja beresiko.
Demi tuhan aku sangat shok ketiak suatu hari dian mengetahui password emailku, dan ia tergoda membaca kiriman e-mail dari siapa saja saja yang selama ini kuterima. Aku mengerti betapa kecewanya dian ketika tahu bahwa selama ini , ternyata aku masih menjalin hubungan intim dengan seorang lelaki, siapa lagi kalau bukan anwar. Aku paham betapa stresnya ia, pengorbananya dalam mempercai diriku agar lepas dari “ lubang hitam ” selama bertahun-tahun telah kukhianati juga dalam hitungan bertahun-tahun.
Ya aku telah menipu dian bahwa semenjak kita menikah, aku tetap tak menyudahi hubungan intim dengan seorang lelaki.
Meskipun dengan mati-matian ku jelaskan dengan dian bahwa aku hanya menjalin hubungan intim dengan seorang lelaki itu saja. Tak ada yang lain lagi. Tetapi dian terlanjur tak percaya. Ia terlanjur tersinggung berat. Ia terlanjur sakit hati bukan kepalang. Sekalipun bahwa ku jelaskan aku sanggup menebus dosa pengkhianatanku sesuai tuntutanya, dian tetap tak menerima. Apapun alasanku tak mengubah sakit hati dian. Karena itu penyelesaianya cuman satu yaitu perceraian.
Sia-sialah kejelaskan pada dia tentang alas an pengkhianatanku. Sia-sia lah kubilang padanya secara jujur.
“ dian, anwar adalah seseorang yang pertama kali menjamah tubuhku. Dialah yang mengenalkanku pada petualangan dari ranjang ke ranjang lainnya. Entah kenapa semasa waktu SMP aku begitu menikmati apa yang dia berikan. Tapi dalam lubuk hati kecilku dianlah seseorang yang benar-benar aku cintai sepenuh hati segenap jiwa dan ragaku.Sebetulnya aku sangat membencinya tapi entah mengapa aku tidak bisa lepas darinya. Dian mengerti perasaanku bukan ? terus terang aku sulit menjelaskanya ”
ΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔΔ
HMMM, itulah selintas ingatan yang menyelinap dalam benakku di siang bolong ini, ketika kuputuskan menyanggupi ajakan anwar dalam sms-nya. Ku balas sms-nya dengan hati penuh kegaluan, namun juga kangen.
“ tak lama lagi aku akan sampai rumahmu ”
Aku melenggang keluar kantor pengadilan agama dengan suasana hati yang gerah. Aku berjalan menuju mobilku. Aku raba arah-rah pembicaraan yang bajalan terjadi dengan anwar nanti. Pasti anwar akan menyalahkanku kenapa aku begitu goblog merahasiakan password e-mailku.
Kenapa sampai dian tahu hanya dari igau'an tidur yang tak kusadari. Kenapa juga dalam igauan tidurku sampai terucapkan password e-mail. Ah, cuman karena aku bermimpi dalam komputerku keluar mahluk yang menakutkan memaksa ingin tidur denganku, maka igauan tentang password itu pun meluncur dengan ringan. Kebetulan waktu itu dian belum tidur dan dengan gampang mengingat password yang aku ucapkan.
Ah, boleh jadi anwar juga menyalahkanku, kenapa aku sebagai seorang pengusaha sejumlah apotek, yang mempunyai pengalaman siasat agar mampu menarik minat orang lain. Sepak terjang hidupku tetap kekok menghadapi seorang pengacara seperti dian.
Kubayangkan ketika menyambut diriku di kolam renangnya, anwar masih akan membisikan sederat kalimat yang amat ku benci namun toh tetap aku dengarkan secara baik-baik.
“ perempuan itu, kamu jangan terlalu serius memikirkannya ”
Sepanjang perjalanan ke rumah anwar aku merasa bagai seorang elang yang kangen memasuki “ lubang hitam ”-nya lagi.
Namuan isi kepalaku juga terbayang dengan sekelebat kehadiran dian, terlebih lagi dika, ah, aku tak dapat menciumi pipinya lagi sepulang dika sekolah.
~selesai~

0 komentar:

Posting Komentar