Aku langsung mengambil ponselku, ada beberapa pesan singkat dan panggilan tidak terjawab dari Orion.
"Maaf, aku lupa kalau ini masih di silent.." kataku penuh penyesalan.
"Ya udah nggak papa, pulang sana, kasian Raga udah nungguin." Orion menunjuk Raga dengan dagunya.
Jleb!
Kalimat Orion sukses membuat aku merasa sangat bersalah padanya.
"Aku pulang sama kamu aja!" putusku akhirnya, aku tidak ingin menyesal untuk kesekian kalinya.
"Maaf Lay, barusan Mama telpon, aku disuruh jemput Mama dirumah Tante Gyta.." Orion menolakku, dan dadaku semakin sesak.
Aku menarik napas panjang, tapi sesak ini tak juga reda.
"Ya udah, kamu hati-hati ya, jangan ngebut!" aku tau Orion sedang sangat kesal, memaksanya untuk pulang bersamapun tidak akan berguna. Orion hanya mengangguk, lalu membalikkan badannya,
Melihat punggungnya menjauh dari pandanganku membuat hatiku ngilu.
Setelah mobil Orion berlalu, baru aku masuk ke dalam mobil Raga.
Disepanjang perjalanan aku hanya diam, Raga juga tak bicara, hanya sesekali melirikku, lalu fokus dengan jalan didepannya.
Kami tiba disebuah rumah makan lesehan dengan menu khusus ayam bakar. Aku pernah makan disini dengan Orion, rasanya enak, tapi kali ini mungkin akan terasa berbeda. Makan dengan suasana hati sepertiku saat ini, apapun akan terasa tidak enak.
"Ayo makan dulu, sedihnya bisa nanti setelah makannya selesai.." Raga menyendokkan nasi kepiringku. Aku tersenyum dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Seperti yang aku bilang, aku benar-benar tidak bisa menikmati makanan kesukaanku sama sekali. Aku hanya menyuap sedikit, itupun hanya untuk menghargai Raga yang sudah mengajakku datang kesini.
Setelah menghabiskan makanannya dan meminta pelayan membersihkan meja, Raga pindah duduk disampingku.
Aku mendengar lagu yang diputar dirumah makan ini, suara lembut milik Taj Jackson menambah pilu suasana hatiku, lagu I Think of You adalah lagu kesukaan Orion.
"Layung, aku tau kalau pikiranmu sedang tidak ada disini, jadi aku hanya akan mengatakan dua hal saja.." Raga menatapku dengan senyum yang selalu terukir dibibirnya.
Aku balas menatapnya, lalu mengangguk ragu. Perasaanku tidak karuan.
Aku terkejut ketika Raga meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku merasa tidak nyaman, hanya Orion yang boleh begini, hanya dia..
Aku mencoba melepaskan tanganku, tapi Raga menggenggamnya semakin kuat.
"Sebentar saja, setelah aku selesai bicara aku akan lepaskan dan kau boleh menghajarku.." wajah Raga yang biasanya ceria kini terlihat resah.
"Baiklah, kau mau bilang apa?" aku membiarkannya dan berharap ini cepat selesai. Aku ingin segera menemui Orion.
"Hal pertama yang ingin aku katakan adalah.. Aku mencintaimu Layung.." pelan saja, tapi terdengar seperti dentuman meriam ditelingaku. Aku sudah pernah menduganya, tapi tetap terkejut ketika Raga menyatakannya langsung dihadapanku.
"Kenapa?" tanyaku bodoh.
Raga tertawa, barisan giginya yang putih menambah indah tawanya.
"Kenapa ya? Aku juga bingung kalau ditanya kenapa, tanya hatiku saja deh.." Raga masih menyisakan tawanya. Suasana yang tadi terasa kaku karena sikapku kini mulai mencair.
"Kau belum lama mengenalku.." mataku mengerjap perlahan.
"Aku tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta padamu, jadi pacarku ya?" pintanya sambil menatapku sungguh-sungguh.
"Maaf Raga, aku nggak bisa.." aku menghindari tatapan matanya yang kali ini penuh dengan harapan.
Raga tertawa lagi.
"Sebenernya aku udah menyiapkan diri untuk ditolak, tapi kok tetep sakit ya saat beneran ditolak?" bibirnya mengerucut imut.
"Harusnya kau menyiapkan diri untuk diterima, jadi saat ditolak sakitnya berlipat ganda.." kataku bercanda setelah melihat Raga menanggapi penolakanku dengan ringan.
"Astaga, jahat sekali.." mata Raga membulat lucu.
"Ya, aku jahat, jadikan saja itu alasan buatmu untuk tidak jatuh cinta lagi padaku.." kali ini dadaku mulai terasa lega, penolakanku barusan aku yakin tak akan menyakitinya terlalu banyak.
"Kalau begitu jadilah pacarku di kehidupan kedua nanti.." pintanya lagi membuatku harus menahan senyum.
"Mmm.. Tapi dikehidupan kedua nanti aku kan mau jadi pohon.." kataku sambil menggerakan alisku ke atas.
"Aku akan jadi duta lingkungan hidup, biar bisa jagain pohon.." Raga tertawa lagi.
"Ya, terima kasih Ga, kita masih berteman kan?" aku serius ketika mengatakan ini.
"Tentu saja, aku nggak punya alasan untuk berhenti berteman denganmu.." Raga menepuk punggung tanganku.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Sure.."
"Darimana kau tau tentang aku yang seperti ini?" akhirnya aku bisa mengungkapkan pertanyaanku yang dari tadi aku simpan.
"Dari caramu menatap Orion.." jawab Raga pelan.
"Keliatan ya?" tanyaku polos.
"Hanya orang yang bodoh yang tidak mampu mengartikan pandangan matamu yang penuh cinta itu.."
"Kau mau bilang kalau kau sangat pintar, begitu?"
"Tentu saja, tapi kau tidak pernah menyadarinya.." Raga tertawa terbahak-bahak.
"Baiklah, lalu hal kedua yang mau kau katakan, apa?"
"Tentang Orion, aku bisa merasakan kalau dia punya perasaan yang sama denganmu.." kalimat Raga tiba-tiba membuat kepalaku berdenyut hebat. Kuremas kepalaku kuat-kuat. Ingatanku tentang Heavensnow kembali merasuk, melengkapi rantai yang sempat terputus. Tentang kelancanganku mengubah takdir Orion, dan kenyataan bahwa Orion juga memiliki perasaan yang sama denganku. Ya, semua ingatanku telah kembali.
"Layung, kau baik-baik saja kan?" Raga menatapku cemas.
"Ya, apa kita bisa pulang sekarang?" tanyaku menatap jam ditanganku.
Raga tersenyum, lalu meraih tanganku membantuku untuk bangun.
"Ayo.." dirangkulnya bahuku dan beranjak keluar, kali ini kubiarkan Raga memeluk bahuku.
Drama pernyataan cinta yang ditolakpun tidak berakhir dengan huru hara. Raga sangat mengerti perasaanku terhadap Orion.
Ya Orion, laki-laki tercinta yang ingin kutemui malam ini juga, tak perduli malam telah larut. Aku tidak bisa menundanya lagi, aku akan menyatakan cintaku padanya
#####
Aku sampai dirumah Orion pukul 10 malam. Bukan waktu yang pantas untuk bertamu, tapi aku harus bertemu dengan Orion, sebentarpun tak apa.
Tapi betawa kecewanya aku ketika Bi Sumi yang membukakan pintu untukku mengatakan kalau Orion menginap dirumah Tantenya.
Aku mencoba menelponnya, tapi tidak aktif. Akhirnya kukirimkan pesan singkat untuk menelponku secepatnya.
Aku kembali kerumah dengan hati gelisah. Pikiranku tak menentu membayangkan wajah Orion yang kecewa ketika melihatku diparkiran campus bersama Raga. Bodohnya aku yang tidak pernah menyadari kalau Orion juga memiliki perasaan yang sama denganku. Kenapa aku tidak peka sedikitpun dengan kemanjaannya selama ini, perhatiannya dan juga wajah kecewanya setiap melihat aku dekat dengan teman-teman yang lain.
Semalaman ini aku tidak bisa memejamkan mata, aku menunggu Orion menelponku. Tapi jangankan telepon, pesanku untuknya pun masih dengan status pending. Aku mengusap bantal disebelahku, bantal yang pernah dipakai Orion. Aku teringat ketika malam itu Orion tidur dikamarku, disini, ditempat tidur yang sama denganku, aku bisa merasakan hangatnya ketika tanpa sengaja dalam tidurnya tangan Orion jatuh didadaku. Aku jadi terbangun dan sulit tidur lagi karena saat itu aku malah sibuk menatap wajah Orion yang polos ketika sedang tidur. Aku pun sibuk menenangkan jantungku yang berdetak melebihi batas ketentuan maksimum karena menahan diri untuk tidak lancang mengecup bibirnya yang sangat menawan itu.
Pagi menjelang, aku sukses terjaga semalaman. Kepalaku terasa sangat pening, tubuhku juga terasa lemas. Tapi aku memutuskan untuk tetap pergi ke campus, aku harus menemui Orion.
Melihat wajahku yang pucat, Mama melarangku pergi ke campus. Tapi aku bilang ada kuis hari ini jadi terpaksa berangkat. Mama melepasku setelah berpesan aku harus ke dokter sepulangku dari campus nanti.
Aku tidak butuh dokter Ma, aku hanya butuh melihat Orion. Teriakku dalam hati.
Orion tidak menjemputku, aku berpikir mungkin dia berangkat dari rumah Tantenya dan terlalu jauh kalau harus menjemputku dulu. Aku memutuskan untuk naik taxi. Diperjalanan aku masih terus mencoba menghubungi Orion, tapi nomornya tak kunjung aktif.
Sesampainya dicampus aku langsung menuju kelas Orion. Tapi Orion belum datang.
Kau dimana Orion?
Kenapa tak memberiku kabar?
Bahkan jika sedang marahpun kau selalu mengabariku. Semarah apapun kau padaku, tak pernah sampai seperti ini.
Kenapa tak memberiku kabar?
Bahkan jika sedang marahpun kau selalu mengabariku. Semarah apapun kau padaku, tak pernah sampai seperti ini.
Aku mohon Orion, temuilah aku, redakan resahku Sayang..
............................................................................
............................................................................
Seperti gila rasanya aku mencarimu, setiap beberapa detik aku mencoba menelponmu, setiap beberapa detik aku menatap layar ponsel berharap ada namamu memanggilku.
Tapi sampai kelas berakhir kau tetap tak ada kabar. Bertanya pada teman-temanpun sia-sia, mereka semua bilang tidak tau kau dimana. Beberapa malah menggodaku dengan mengatakan kau diculik Rahwana karena aku tidak segera memacarimu. Aku ingin sekali menghajar mereka, tapi untuk mengangkat lenganku saja rasanya lemas sekali, sedangkan aku sedang menghemat tenagaku Orion, aku membutuhkannya untuk mencarimu.
Aku memutuskan untuk kerumahmu lagi siang ini. Aku bisa gila kalau terus menduga-duga kenapa kau tiba-tiba menghilang.
Kepalaku berdenyut hebat ketika melihat Raga berdiri menyandar pada mobilnya yang dia parkir diseberang jalan depan gerbang campus.
Dia melambaikan tangan begitu melihatku.
"Mencariku?" tanyaku ketika sudah berdiri didepan Raga.
"Iya, aku mau pergi jemput Mama di Jogjakarta, jadi aku kesini dulu untuk melihatmu." Raga tersenyum, masih dengan pesona wajah setengah Jepangnya, dia menatapku lembut.
"Lama perginya?"
"Hey, belum apa-apa kau sudah merindukanku ya?" tak menjawab, Raga malah tertawa menggodaku.
"Apaan sih.." sahutku sambil menendang ujung sepatunya dengan sepatuku.
"Mungkin satu minggu, itupun kalau aku bisa menahan rinduku sama kamu.."
"Kalau gitu hati-hati dijalan. Salam buat Mamamu.."
"Tak ingin makan siang dulu denganku?" Raga menawarkan hal yang paling tidak ingin aku lakukan saat ini. Mana bisa aku makan dengan hati yang kacau seperti ini.
"Maaf Ga, aku harus ke rumah Orion." jawabku dengan nada menyesal.
"Oke, nggak apa-apa, aku udah mulai terbiasa ditolak sama kamu sekarang.." Raga tersenyum kecut.
"Aku pergi dulu.." pamitku pada Raga. Dia melambaikan tangannya.
Baru dua langkah beranjak dari hadapan Raga, aku terhuyung. Aku seperti kehilangan seluruh tenagaku. Dan gravitasi dengan kekuatan penuh membuatku jatuh tersungkur dan memeluk aspal. Semuanya terasa gelap.
Orion.
Disisa sadarku, hanya namanya yang aku ingat.
BERSAMBUNG~
0 komentar:
Posting Komentar