Burung Kertas Part 2



By : Nayaka Al Gibran
Aku sedang menyusun beberapa buku yang kubawa di atas meja belajar ketika pintu kamarku diketuk.
“Masuk…”
Satu wajah melongok di balik daun pintu, sepertinya aku mulai hapal garis senyum di wajahnya. “Aku tidak ngasih salam, takutnya kamu kebingungan menjawabnya nanti… karena jawab salam bagi kami itu wajib…” dia melangkah masuk setelah menutup pintu.
“Hemm… trims atas pengertiannya…” aku melanjutkan pekerjaanku dengan buku-bukuku.
“Kamu ngambil jurusan apa?” dia mulai melihat-lihat barangku yang masih berantakan di sekitar tempat tidur.
Setelah memasukkan koperku ke kamar, aku langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu seperti yang sempat kurencanakan. Terbangun jam tujuh lewat malah langsung mengobrak-abrik isi koper dan ranselku.
“Fakultas Ekonomi…”
“Calon bankir…” ucapnya lirih sambil berjongkok di dekat koperku.
“Yap, begitulah…”
Hening. Aku sibuk dengan buku-buku dan beberapa peralatan tulisku termasuk laptop dan printernya, dua benda yang baru dibelikan papaku ini kutempatkan serapi mungkin di meja belajar yang sekarang menjadi milikku, sedang dia hanya diam memperhatikan.
Selesai dengan meja belajar, aku berbalik untuk memasukkan baju-bajuku. Aku terpegun sejenak melihat dia sedang menimbang-nimbang sesuatu di tangannya.
“Itu namanya rosario…” ujarku sambil mendekat. “Aku tak melihat ketika Mama memasukkannya…”
Dia mendongak memandangku, lalu mengulum senyum. “Baru kali ini aku lihat langsung…”
“Dan memegangnya sekaligus…” aku berjongkok lalu mengambil rosario-ku dari telapak tangannya. “Aku simpan ya?”
“He eh…”
Kumasukkan itu ke dalam laci meja belajarku paling atas lalu meneruskan berbenah. Dia pindah duduk ke atas ranjang yang sepreinya masih berantakan setelah kutiduri tadi, sekarang dia asik memencet-mencet hape.
“Apa tadi sore kamu sempat menyebutkan asalmu?” aku bertanya sambil terus mengatur barang-barang.
“Kita juga belum sempat menyebutkan nama masing-masing kok…” ujarnya santai.
Aku berhenti bergerak lalu menoleh padanya, dia masih terpekur pada layar hape, masih asyik sendiri. Kudekati dia, “Mengapa kita bisa sampai lupa berjabat ya?” aku mengulurkan tangan.
Dia berhenti memencet hape dan menyambut tanganku, “Karena koperku tampak lebih menarik.”
Aku tertawa pendek, “Julius Edgar Siagian…” ujarku menyebutkan nama lengkap.
“Ada marganya kah?”
Alisku bertaut, kenapa dia mau tahu? Bukankah seharusnya dia menyebutkan nama lengkapnya juga? Dan ini aneh, seharusnya dia bisa menduga-duga yang mana nama marga dari namaku. Aku mulai menyangsikan, dia tidak sepintar seperti kelihatannya. Dan aku juga tahu kini, dia tidak berasal dari Sumatra Utara
“Kamu bukan orang Sumatra Utara asli? Biasanya kan nama mereka ada Pasaribu-nya, Selian, Siahaan, Simanjuntak, Silalahi, Sitompul, Siregar, Hasibuan, Rajasinga, Marpaung, Panjaitan, Tobing… ya kayak-kayak gitu…”
Aku tertawa, dia hampir sukses merunutkan nama belakang orang Batak. Gemas kueratkan genggamanku pada telapak kecilnya. “Siagian juga nama marga tau…!”
Mulutnya membulat tanpa suara.
“Lalu, apa margamu?” aku balas bertanya meskipun aku tahu dia pasti tak punya marga.
Dia menyengir, lagi-lagi memberiku pemandangan gingsulnya. “Teuku Phonna Darussalam… menurut kabar, aku masih tergolong berdarah biru.”
Aku membelalak, “Teuku? Teuku Ryan, Teuku Wisnu, Teuku Zacky, Teuku Firmansyah…”
“Teuku Umar,” cetusnya.
“KAMU DARI ACEH???” sosok kecil di depanku penuh dengan kejutan.
Dia tertegun kaget, “He eh… masalah ya buatmu?”
Aku diam sebentar sebelum kembali berucap, “Aku belum pernah bertemu orang dari sana sebelumnya. Mengapa harus jauh-jauh kuliah kemari? Di sana kan ada univ negeri juga, Syiah Kuala kan?”
“Eh? Ada larangan ya, kalau di tempat sendiri ada universitas negeri maka dilarang kuliah di universitas lain di kota orang?” dia melirik tangannya yang masih kupegang, “Tanganmu gede, sakit tau. Lepasin!”
Aku baru sadar, kulepaskan genggamanku.
“Lagipula, sejak SMA aku sudah berniat pengen kuliah ke luar daerah, belajar mandiri. Aku pengennya ke Pulau Jawa, tapi ya gitu, dengan alasan kalau aku anak lelaki satu-satunya di rumah, Ummi gak ngijinin aku keluar Sumatra. Akhirnya, aku putuskan untuk milih univ negeri paling tua di luar Jawa, USU.”
Aku manggut-manggut. “Kenapa milih Fakultas Hukum, kamu kan pintar ya… kenapa gak milih fakultas yang agak berat dikit, kedokteran misalnya, atau sains?”
“Gak ada suatu apapun di dunia ini yang lebih berat ketimbang hukum. Hukum itu elemen pertama untuk menjadikan sebuah bangsa lebih bermartabat, elemen dasar untuk menegakkan keadilan, menata kehidupan dalam sebuah negeri. Menurutmu… apa yang lebih berat dan lebih utama dari itu?”
Huh, sepertinya aku salah omong. Aku menggeleng lemah, tak sanggup menjangkau pola pikirnya. “Ya ya ya… hukum memang paling berat deh,” ujarku kalah debat. “Trus, di Aceh sana kamu menetap di kabupaten apa?”
“Aku di Banda Aceh, nama daerahnya Lampulo…”
“Gak pernah dengar.”
“Gak penting juga untuk diketahui. Bagaimana denganmu?”
“Aku dari Kisaran, terdampar ke Fakultas Ekonomi karena kebetulan masuk lima besar di SMA-ku.”
Dia manggut-manggut, “Hemm… kamu gak bawa kendaraan? Setahuku, mahasiswa yang manggil ortunya dengan papa-mama pasti tunggangannya hebat-hebat… tapi tadi aku lihat di halaman gak ada satupun mobil mengkilat.”
Aku kontan terbahak, Teuku yang satu ini punya sifat lucu. “Baru dua bulan lalu aku nabrak orang, gak parah sih… tapi papaku beringasnya minta ampun, motorku disita untuk waktu yang tidak jelas… makanya aku nyari kos tidak di luar Padang Bulan, biar dekat kampus.”
“Bagus kan, bisa jadi masa untuk instrospeksi diri. Kamu bisa merenung sepuasnya dalam angkot setiap pergi dan pulang kuliah.”
Aku mengangkat bahu. Lalu suara ribut tivi ditingkahi suara gitar dan obrolan tak jelas mulai terdengar dari lantai bawah. Penghuni kos sudah mulai unjuk gigi.
“Apa kita perlu beramah-tamah dengan yang tua-tua? Sepertinya mereka sedang bikin onar di bawah sana…” dia memberi usul.
“Malas… gak ngaruh juga. Biarin aja, kita juga bayar kok di sini. Gak ada efek kita baik-baikin mereka. Jangan terlalu ramah, lebih baik dikenal dingin buat jaga diri, pergaulan di sini bahaya.” Aku memperhatikan lagi Si Mungil ini, apa dia cukup bisa menjaga dirinya sendiri ya? Persepsi orang-orang pastilah sama seperti ketika pertama kali aku melihatnya, lugu dan polos. Sasaran empuk untuk dibelokkan dalam ritme pergaulan kota besar.
“Kalau badanku gede dan jangkung kayak kamu, rasanya gak akan ada yang berani macam-macam.” Dia bangun dari ranjang, “Aku ikut saranmu, jadi lebih dingin kan? Karena ukuranku kecil maka saranmu patut diindahkan.”
“He eh…”
Teuku menuju pintu, “Sebenarnya aku mau bilang ini dari tadi…” dia berbalik setelah menguak pintu kamarku.
“Apa?”
“Aku paling gak tahan berada lama-lama dalam satu ruang dengan orang yang malas mandi, gak peduli secantik atau seganteng apapun dia…”
“Setan…”
“Kalau tidak punya sabun mandi, aku bisa kasihkan…”
“Kembali saja ke alammu!”
Ujung rambut kriwilnya menghilang begitu pintu kamarku tertutup. Apa selain meledek dia juga baru saja memujiku?
‘Gak peduli seganteng apapun dia…’
Aku berbalik ke cermin, memperhatikan tampilanku sendiri di bidang datar itu. Sepertinya Si Mungil dari Aceh memang baru saja memujiku, tampilanku masih membanggakan di cermin.
***
Kami langsung jadi teman akrab, pergaulanku di luar kampus hanya dengan Teuku. Dia juga begitu, satu-satunya temannya di luar kampus hanya aku. Dua bulan pertama nge-kos tak ada satu hari pun yang terlewati tanpa bertemu satu sama lain, kadang dia yang membuat keributan di kamarku atau kadang aku yang pergi menimbulkan keonaran ke kamarnya. Aku menemukan banyak hal yang kusukai darinya, selain dari tampilannya yang membuat gemas, aku juga geregetan tiap kali mendengar logatnya.
“Kata dokter, lidahku pendek, jadi phonetic-ku tidak seperti mereka yang lidahnya normal-normal aja, makanya logatku cadal gini. Bukan Bahasa Indonesia saja, Logat Acehku juga sama…” begitu katanya ketika aku menyinggung gaya bicaranya yang lucu.
Selain itu, aku menikmati waktu yang kuhabiskan dengannya. Wawasannya luas, dia mengerti segala bidang, dia juga pendengar yang baik, pemberi saran yang bagus kadang-kadang meski sebelum itu harus membuatku jengkel lebih dulu, tapi dia selalu bisa membuka pandanganku. Membuatku merasakan aura positifnya, membuatku merasakan keceriaannya. Bagiku, dia masih seperti kanak-kanak, keberadaannya selalu menggembirakan. Aku selalu merasa lelahku saat di kampus terangkat lepas begitu tiba di kos dan bercengkrama dengannya. Aku semakin jatuh suka, mungkin aku juga mulai menyayanginya tanpa kusadari.
Aku mulai familiar dengan menu daerah asalnya. Kami selalu membeli nasi bungkus di kedai makan Aceh langganannya untuk makan malam.
“Kalau kamu beneran pengen ikut aku liburan semester pertama nanti, maka mulai dari sekarang harus terbiasa sama makananku. Ummi tahunya masak Aceh aja. Kalau gak suka, berat badanmu bisa turun nanti di rumahku.”
Begitu dia pernah berkata ketika satu kali aku sempat berkelakar ingin melihat Aceh itu seperti apa. Aku memang tidak serius ketika mengatakan ingin melihat kampung halamannya, tapi aku serius menanggapi kalimatnya. Jadilah sejak saat itu aku selalu ikut Teuku ketika membeli makan malam.
Yang paling meninggalkan kesan dalam persahabatan kami adalah tenggang rasa. Aku mengakui, Teuku adalah muslim yang baik, muslim yang taat. Aku menghormatinya. Aku menghormati waktu ibadahnya. Bahkan aku suka memperhatikan saat dia bertransformasi dari mahasiswa kecil menjadi santri cilik bila sudah mengenakan sarung dan baju muslim serta tutup kepalanya. Bila kebetulan aku masuk kamarnya dan dia sedang beribadah, selalu, aku akan duduk menunggunya selesai tanpa membuat sebarang suara.
Demikian juga dia kepadaku, bahkan keseringan dia akan mengetuk pintuku pagi-pagi buta ketika hari Minggu bila aku malas bangun. Sejauh aku mengingat, baru Teuku sahabat terbaik yang kupunya.
***
Padang Bulan, Akhir Oktober 2003
Teuku berpuasa. Ini adalah bulan puasa pertama yang dilaluinya jauh dari keluarga. Sendirian, katanya. Namun aku meyakinkan diriku sendiri, Teuku tidak akan berpuasa sendirian selama aku masih menghuni kamar di samping kamarnya.
Pagi pertama dia bangun untuk makan di awal pagi, itu adalah penghujung Oktober, tanggal 27. Aku ikut membuat alarm di hapeku. Kami makan nasi bungkus dan lauk yang sudah dingin. Aku mengawani Teuku ke kedai makan untuk membeli menu sahur setelah dia pulang dari mesjid melaksanakan sembahyang malam pertamanya di bulan puasa.
“Beli dua bungkus, ya. Lauknya dipisah aja biar gak basi.”
Dia menatapku, “Satu lagi buat siapa?”
“Buatku, kan? Siapa lain?”
“Kan kamu bisa sarapan saat pagi… lagipula bukannya tadi kamu sudah makan malam? Ngapain lagi…”
“Trus nanti aku cuma liatin kamu makan aja sambil nelan liur, gitu?”
Teuku bengong sesaat, “Edgar mau ikut bangun sahur juga?”
“Rencana…”
Dia mengangkat bahu buatku, lalu berbalik pada Ibu Penjual, “Dua bungköh, Mak… eungkot ngen kuwah jih neupisah beh…”
Aku menikmati Bulan Puasa Teuku sebagai rutinitas baruku, dari penghujung Oktober sampai Nopember. Dia sempat gigih melarangku, tapi aku tetap dengan tekadku. Berat memang, aku mati-matian nahan diri agar tidak makan dari pagi sampai petang. Aku akan tergolek di tempat tidur setelah pulang kuliah. Namun selalunya, aku akan kembali bersemangat ketika Teuku berkata, “Beli bukaan yuk, Gar!”
Beberapa kali aku akan menjawab jujur ketika Teuku bertanya, “Ada makan gak siang tadi?” dan dia hanya tersenyum simpul sambil geleng-geleng kepala ketika aku menjawab, “Di kampus aku sempat minum segelas jus, gak apa-apa kan?” atau, “Tadi panas, aku minum air mineral dingin saat pulang.”
Aku selalu suka mendengar suara Teuku ketika dia kerap membaca kitab sucinya sampai larut malam di Bulan Puasa. Suara cadal Teuku terdengar lucu menggelitik kupingku ketika dia melakukan itu. Tak jarang aku sampai tertidur di kamarnya. Dia akan menggoyangkan bahuku menyuruh untuk pindah ke kamar ketika selesai membaca di atas sajadahnya.
Ini akan menjadi memoriku bersama Teuku yang tak akan pernah kulupa sepanjang napasku…
“Gar… Edgar… aku mau tidur.” Suaranya selalu lembut saat membangunkanku, beda dengan nadanya bila kami bercanda. “Kalau ranjangnya gede gak masalah kamu ngorok sampai ngiler di sini, tapi ini cuma muat buat badanku… bangun lekas!” dan selama berkata-kata, dia terus menimbulkan gempa di badanku. Aku suka, kadang malah dengan sengaja berlama-lama membuka mata.
Bersambung~

0 komentar:

Posting Komentar