By: Kim Hye So
Lana melarikan mobilnya dengan santai. Senja memang indah. Rasa sakit itu tak membuat ia larut dalam keputusasaan. Bukankah cinta hanya bagian dari kehidupan? Bukankah masih ada cinta yang lain?
Hidup memang harus bersabar. Yang penting ia tak melakukan apa yang dituduhkan Rama, maupun kakaknya, Seger Wahyudi yang menyintainya. Kalau Seger memutuskan cinta, itu mutlak haknya. Yang penting Lana tak pernah berkhianat.
Lagipula mereka memang masih terlalu muda untuk serius. Dalam hubungan yang tidak biasa ini Seger terlalu mudah dibakar cemburu. Lana memang pergi ke Mall, ditemani Galih, kakak tingkatnya di kampus yang kebetulan bertemu di jalan. Saat naik escalator Lana sedikit terpeleset dan mau jatuh. Saat itu Galih menangkap tubuhnya. Dan terus menggandeng sebelah tangan sampai di lantai tiga. Pada saat itulah Seger muncul bersama adiknya, Rama, yang baru saja belanja di lantai tiga. Dan cemburupun tak terelakkan.
Saat itu Lana memang menjaga perasaan Galih, sehingga meski Seger marah ia hanya tersenyum. Lana tidak bersuara sedikitpun. Galih jadi tak enak sendiri, dan akhirnya meninggalkan Lana yang sedang bersitegang dengan kekasihnya.
Kata berpisah telah terucapkan. Dan Lana yang sudah menerima kalimat itu tiga kali, hanya menanggapi dengan senyuman.
Ia sadar, bahwa masa depan itu masih terlalu jauh. Seger masih terlalu muda untuk tahu tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki, calon suami atau bahkan seseorang yang akan memimpin Lana di dalam sebuah rumah tangga kelak. Ia lebih banyak menuntut daripada memberi. So? Tak ada alasan khawatir untuk berpisah.
Ketika mobilnya belum jauh dari Mall, ia melihat Galih yang melangkah gontai di antara trotoar. Lelaki tampan itu belum naik taksi untuk pulang seperti katanya.
Rasa iba dan bersalah mewarnai hati Lana. Ia segera menghentikan mobilnya di sisi trotoar dan membuka pintu mobilnya yang sebelah kiri.
"Kak Galih..." panggilnya
"Ohh, Na..?" ia terkejut
"Masuk kak..!" pinta Lana
"Kamu tidak jadi belanja?" tanya Galih. "Hehe, males. Masuk kak! Kita santai saja.!"
Galih masuk ke dalam mobil itu. Wajahnya muram. Ia banyak mengatupkan bibir sambil menunduk.
"Mau rokok?" tanya Lana, mencoba mencairkan suasana yang canggung itu. Galih tersenyum. "Tidak, terimakasih."
"Kakak keliatan sedih, ada apa kak?"
"Kakak nggak tega sama kamu dek,"
"Nggak tega kenapa kak? Karena masalah sama Mas Seger tadi?" Lana tersenyum. "Mas Seger masih terlalu muda untuk bisa menahan emosinya. Dia hanya bisa melihat apa yang bisa dia lihat. Tidak pernah berpikir tentang sebab akibat kak,"
"Lalu?" tanya Galih. "Hubungan kami sudah berakhir kak," jawab Lana tegar.
"Kakak bisa menjelaskan padanya. Jika adek minta, kakak bisa kerumah Seger."
"Tidak usah kak," "Kenapa dek?" "Tadi saja kakak malah pergi," ucap Lana tertawa kecil.
"Kakak nggak tahan melihat kamu tertekan. Lagipula kakak ingin mengesankan bahwa kamu tidak mengkhianati cintanya Seger. Kakak nggak habis pikir dan marah sama pacar kamu itu. Tapi, kakak juga iba melihat kamu yang hanya diam saja seperti itu tadi. Tanpa melawan sedikitpun."
"Bertengkar di Mall, apa gunanya kak? Mendebatkan hubungan kami yang tidak wajar, nanti malah jadi tontonan orang lagi." Lana tertawa. "Biarkan sajalah kak, anggap saja jika kami memang tidak berjodoh. Simple kan?" lanjutnya.
"Begitu?"
"Tiga kali mas Seger menuduhku, tiga kali juga dia ingin mengakhiri hubungan kami. Aku setujui saja yang terakhir. Meskipun rasanya sakit, mengingat orang menyimpang seperti kami ini sangat jarang, it does't matter for me. Dan aku tak perlu menjelaskan apapun padanya.." tambah Lana. "Sudahlah! Untuk apa kita menjalin cinta dengan lelaki yang lebih banyak menuntut daripada memberi. Kakak lihat sendiri tadi, dia menuntut begitu banyak, dan aku tak berkomentar. Dan, pada saat Mas Seger bilang ingin berpisah untuk yang ketiga kalinya, aku langsung setuju saja.."
"Malangnya kamu dek," Galih menatap Lana dengan sendu. "Cinta bagiku lebih banyak sakitnya ketimbang kebahagiaannya kak," kata Lana.
"Tapi kamu nggak salah dek. Seger sendiri belanja di Mall, mengapa dia tidak mengajak kamu sekalian? Padahal kamu sendiri juga sudah memintanya untuk mengantar kamu!" geram Galih.
"Itulah kak Mas Seger, egoismenya tinggi. Aku pikir, mungkin lebih baik aku jauh darinya saja. Mas Seger bukan jodohku, mengapa harus aku kejar kak. Masih banyak kok laki-laki yang baik yang mau mengerti diriku. Dan tentu saja dia harus belok sepertiku, hahahaha.." Lana tertawa. Dan membuat Galih tersenyum.
"Seger tak bisa melihat mutiara dalam kehidupanmu dek," ujar Galih.
"Memang siapa yang bisa melihatnya?" tanya Lana. "Kakak bisa," jawab Galih mantab. "Kakak?" Lana bingung. Ia tiba-tiba berpikir, apa mungkin lelaki seperti Galih adalah seorang Gay juga. Sepertinya tidak mungkin.
"Tapi, kakak tidak mungkin memasuki kehidupan kamu sekarang ini."
"Kenapa kak?"
"Nanti akan menjadi pembenaran tuduhan Seger terhadapmu, terhadapku dan akan menjadi pembenaran kalau kamu telah mengkhianati cintanya." kata Galih.
"Biarkan sajalah kak, aku juga sudah tidak perduli padanya lagi. Mas Seger sudah terlalu sering melukaiku. Aku tak apa jika memang nasib hubungan kami jadi seperti ini. Toh, hubungan seperti ini tidak banyak yang langgeng. Iya kan? Haha" ucap Lana getir.
"Kasihan kamu dek, cinta kamu tulus buat dia."
"Sudahlah kak, nggak apa. Toh Tuhan menciptakan manusia untuk berpasangan kan?"
"Iya, tapi.."
"Suatu hari nanti, cinta itu pasti ku dapat kan kembali. Biarlah sekarang pergi dengan menyakitkan."
"Apakah secepat itu harus berakhir?"
"Sebetulnya jauh sebelum itu, Mas Seger sudah dua kali ingin berpisah. Yang ketiga ini aku terima dengan hati terbuka."
"Tapi kamu nggak salah dek," kata Galih
"Putus cinta tak harus dengan rasa bersalah kak. Biarkan sajalah, kita memang sedang diuji oleh Tuhan supaya kita bisa lebih bersabar." ujar Lana tenang.
"Alangkah indah dunia ini jika mempunyai pacar sesabar dan sepengertian kamu dek," Lana berjengit, bingung. Dugaanya terhadap Galih semakin kuat saja.
"Aku juga butuh lelaki yang memahami diriku kak. Tapi, ya sudahlah. Aku tak harus mencarinya sekarang. Kita makan yuk kak!" ajak Lana akhirnya antusias.
"Kamu tahu waktu kamu mengajak kakak, kakak sedang duduk dengan teman-teman bukan? Kakak tak membawa uang yang cukup untuk mentraktir kamu." kata Galih jujur.
"Jadi, itukah sebabnya kakak belum naik taksi tadi? Karena kakak nggak bawa uang?"
"Bukan begitu, kalau hanya sekedar ongkos untuk pulang sih ada. Kakak memang ingin jalan-jalan saja. Ada rasa marah di dada ini,"
"Tenang saja kak, aku nggak apa kok.."
"Syukurlah, tapi maaf, kakak nggak bisa mentraktir kamu sore ini."
"Tak harus kakak yang mentraktir kan?" "Tapi,?"
"Aku yang akan mentraktir kakak. Kita cari restaurant kecil saja, yang suasananya enak."
"Dimana?" "Di sekitar sini ada kok seingatku,"
"Di dalam Mall?"
"Ya, ada sebuah rumah makan yang aku suka. Kita bisa ngobrol disana." kata Lana
"Nanti ada yang cemburu lagi?" takut Galih.
"Kali ini tidak ada, berbeda dengan yang tadi. Lagipula, aku sendiri tak ada niat kok untuk menduakan Mas Seger. Dia saja yang kelewatan menuduh. Aku mau tanya, jika kakak jadi aku dan punya kekasih yang tidak tahu bagaimana perasaan kita, apa yang harus kita lakukan?"
"Tapi, apakah diam juga merupakan sikap yang bijak? Kamu terlalu menerima tuduhan itu" umpat Galih.
"Aku tak mau berdebat di tempat yang ramai seperti itu kak. Lagipula buat apa menciptakan kericuhan, jika bisa menghindarinya. Biar sajalah kak, kadang cinta harus merelakan juga kan?" Lana tersenyum getir.
Galih semakin dalam bersimpati pada Lana yang begitu pengertian dan dewasa. Padahal sejak berkenalan di kampus saat malam inagurasi dua tahun lalu, Lana ia kenal sebagai pria yang sabar, dan banyak mengalah.
Ia tak menyangka kalau Lana memiliki hati setenang telaga, dan seluas samudera. Alangkah indahnya hidup jika memiliki kekasih seperti dia? Tapi mungkinkah?
"Kak..." panggil Lana
"Ya?"
"Apa yang sedang kakak fikirkan?"
"Kamu dek," wajah Lana bersemu
"Memang ada apa denganku kak?" tanya Lana malu. Galih nampak tersenyum.
"Kakak senang mengenalmu dek.." jawab Galih.
"Dua tahun kakak mengenalku. Kakak hanya menempatkan diri sebagai kakak tingkat dan seperti menjaga jarak.." ucap Lana malu.
"Kakak menjaga jarak dengan semua orang dek"
"Kenapa?"
"Kakak selalu tidak percaya diri saat mengenal gadis atau pria kaya. Entah mengapa" jawab Galih. Sebelah alis Lana terangkat. Dia berpikir, apa jangan-jangan si Galih ini bisex? Kenapa dia berkata seperti itu?
"Kak, tidak semua orang, entah gadis atau pria memandang orang lain dari sisi materinya. Contohnya aku, meski kakak bukan pacarku, aku senang mengenal kakak." kata Lana apa adanya.
"Iya, kakak percaya. Kakak tahu akan ketulusan hatimu itu dek."
"Lalu mengapa takut?"
"Na, kakak ini lelaki miskin. Kakak hidup di gang sempit. Kakak kadang harus membantu orang tua di bengkel. Hidup orang tua kakak pas-pasan, bagaimana kakak bisa mencintai seseorang? Bisa kuliah saja, kakak sudah bersyukur. Sudah seperti ini saja, kakak harus berusaha keras."
"Tapi kadang, aku melihat kakak jualan mobil." kata Lana.
"Hahaha, kakak hanya mencarikan teman yang butuh mobil murah dengan mesin yang bagus saja. Kakak bisa membantu teman mencarikan mobil dengan mesin yang bagus."
Lana tersenyum. Dari sedikit cerita itu, ia tahu Galih berjuang keras untuk kuliahnya. Lana sebenarnya senang akan sikap Galih yang dewasa dan amat merendah. Lelaki muda itu pun tak jelek wajahnya sebenarnya. Bukankah dia juga pantas untuk dicintai?.
BERSAMBUNG~
0 komentar:
Posting Komentar