Jealous Part 2


By: Kim Hye So.
Mencoba untuk tegar memang baik. Tapi, kadang juga ada rasa sakit, jika melihat orang kaya hanya tersenyum sinis saat Galih belepotan oli, sementara dia dengan santai mengeluarkan uang seenaknya. Kadang melempar uang begitu saja untuk jasanya.
"Kak..."
Suara Lana membuyarkan segala lamunan Galih. Mereka sudah lama duduk di dalam rumah makan itu. Galih lebih banyak menunduk melihat orang-orang kaya keluar masuk rumah makan mewah itu.
"Kak..." panggil Lana mengulang.
"Ya?"
"Ayo makan! Kenapa bengong seperti itu? Seperti ada yang kakak pikirkan?"
Hidangan memang sudah datang beberapa saat lamanya. Namun Galih belum menyentuhnya. Tenggorokannya kelu.
"Maaf..."
"Ayo makan! Sambil ngobrol saja..."
Galih tersenyum getir. Ayam panggang itu memang menggodanya, apalagi makanan-makanan yang lain juga sungguh menggugah selera.
"Kamu sering kesini?" tanya Galih
"Sesekali saja, kalau lagi nggak mood seperti sekarang ini.." jawab Lana sambil tersenyum kecil.
"Aku tak mungkin mampu mentraktirmu makan di tempat ini."
"Suatu hari nanti, kakak akan dengan mudah mengajakku kesini. Tenang saja! Aku melihat kakak kelak akan menjadi lelaki sukses. Kakak ada passion kok.."
"Mengapa kamu bilang seperti itu?"
"Karena papa dan mamaku dulu juga miskin. Tapi mereka bekerja keras. Setelah memiliki modal walaupun tak seberapa, mereka mengubah bisnis. Seiring dengan bertambahnya usiaku dan semakin dewasanya kakakku, ayahku sekarang telah memimpin perusahaan. Mama juga tak melepaskan usahanya. Kini kakakku yang memiliki kemampuan management, juga telah mengelola usaha. Semua itu berkah perjuangan. Dan satu hal, mereka tak pernah mengkhianati hati nurani"
"Maksudmu?"
"Kami tetap sadar bahwa dulu kami ini miskin. Sehingga mereka sering membantu orang lain yang jujur dan serius mau bekerja."
"Yang kamu maksud, kamu bisa menolongku? Aku bekerja di perusahaan orang tuamu?"
"Aku nggak mau sok pahlawan. Takut kakak terlalu berhutang budi, aku nggak mau terlalu memberi harapan. Namun, aku senang sahabat yang mau bekerja keras."
"Kakak masih belum paham"
"Jika kakak mau, kita bisa bekerja sama. Kakak bisa membantuku, tapi kakak juga bisa menolong masa depan kakak.."
"Dengan cara...?"
"Kakak paham dengan harga mobil. Kakak bisa membeli mobil dan menjualnya kembali setelah kakak melihat mesinnya. Menjual produk terbaik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat bukan?"
"Then...?"
"Jika kakak mau, kita bisa bekerja sama. Bukan aku yang memberi modal, juga bukan aku meminjamkan modal. Tapi aku ingin bekerja sama dengan membuka usaha bersama kakak, kalau kakak mau sih.."
"Kalau bangkrut, kakak nggak bisa ngeganti modal kamu lo.."
"Kalau bangkrut, itu tandanya kita bodoh kak. Orang kalau berdagang harus melihat sisi untung tanpa harus menipu. Kita bisa buka showroom mobil bekas. Kita manfaatkan teman-teman di kampus yang butuh mobil. Kita gunakan kemampuan kakak untuk mengelola management bersamaku. Kita hitung untung ruginya. Aku juga nggak mau lah kehilangan modal. Aku bukan dewa penolong yang baik hati. Aku juga butuh keuntungan. Tapi, ada kesempatan buat kakak maju. Hasilnya kita bagi dua. Aku yang memimpin management, kakak yang memimpin operasionalnya, gimana?"
"Kamu serius?"
"Iya, kita akan melangkah bersama.."
"Modalnya?"
"Aku ada, dan aku bisa mengusahakan tambahannya. Aku ingin memadukan bakat kakak dan ayah kakak juga. Bahkan nanti kita bisa bekerjasama dengan ayah kakak." kata Lana menjelaskan.
"Maksud kamu?" tanya Galih belum paham.
"Beberapa mobil yang perlu diperbaiki, sementara kakak tak ada waktu, kakak bisa minta ayah kakak untuk memperbaiki...!"
"Menarik, tapi kakak masih perlu memikirkannya. Itu butuh showroom bukan?"
"Iya, tentu saja" Kata Lana
"Tapi aku tidak ingin kakak menipu konsumen. Aku ingin barang yang kita jual memiliki kualitas mesin yang bagus dan prima. Semuanya harus kakak hitung dengan baik. Ingat! Aku hanya memberi jalan. Tapi aku tidak ingin kakak membunuh hidup kakak sendiri. Aku harap kakak mengerti maksudku." Lanjut Lana.
"Kakak mengerti. Kamu ada modal, tapi kamu ingin kakak bekerja keras dengan kejujuran dan menjual yang terbaik."
"Tepat sekali. Aku ingin melihat kakak sukses. Jika kelak kakak sukses, itu karena memang kakak pantas mendapatkannya. Bukan karena ada modal, lalu kakak bisa berubah jadi kaya!"
"Oke, kakak paham. Kakak dibayar karena kerja keras, begitu kan?"
"Usaha itu milik kita berdua. Hasilnya kita bagi dua. Keuntungan kita sisihkan. Setelah empat tahun, kakak bisa mengembalikan modal itu, dan kakak bersamaku punya usaha. Jadi milik kita berdua. Berapapun nilainya. Ini sebuah penawaran kerja sama, bukan aku yang memberi kakak modal. Aku bukan malaikat, tetapi aku melihat bakat kakak butuh dikembangkan secara maksimal." Ucap Lana panjang lebar.
"Tapi kita kan masih kuliah?" tanya Galih
"Aku tahu, kita akan memimpin bergantian. Kakak bisa make-up kelas di kuliah sore. Bukankah showroom itu tutup jam lima sore? Aku bisa datang menggantikan kakak jam dua siang. Aku bisa membantu kakak dalam management. Dan kakak bisa istirahat, lalu sore kuliah, bagaimana? Bukankah ini kesempatan yang baik buat kita belajar mengarungi hidup? Diantara kita, tidak ada yang kaya dan yang miskin. Ini akan menciptakan kesetaraan hak dan juga kewajiban kak. Oke?" kata Lana lagi lebih luas.
"Aku nikmati dulu makan sore ini. Kamu membangkitkan semangat kakak, tapi kita masih butuh banyak bicara lagi tentang ini...." kata Galih sambil mulai melahap makanannya.
"Aku bersedia datang ke rumah kakak. Kalau perlu ke bengkel kakak."
"Bengkelnya tidak di gang sempit itu. Bengkelnya ada di pinggir jalan."
"Terserah kakak mau dimana. Yang penting kita bisa membicarakan ini dengan lebih matang. Tapi, kakak bersedia kan?" Lana memastikan.
"Iya. Tapi kakak harus membicarakan ini dengan ayah kakak dulu. Karena jika benar, bengkel ayah akan menjadi bengkel resmi, kakak butuh dana untuk membangunnya. Semacam pinjaman resmi untuk ayah, biar beliau yang menanggung. Bukankah nanti menjadi dua usaha yang bersinergi, begitu kan?"
"Iya.."
"Beri aku waktu dua hari untuk membicarakannya. Kalau bisa usaha mobilnya jangan terlalu jauh dengan bengkel ayahku. Sebab meski kumuh, tanah itu milik kami sendiri. Aku akan membuat bengkel itu menjadi bersih." kata Galih terbuka.
"Berapa yang kakak butuhkan?"
"Ini di luar modal showrom, apa bisa kamu siapkan? Ayahku pasti bersedia memberi bunga. Sebab selama ini memang butuh modal cukup. Jika dipercaya, aku tak akan mensia-siakan itu. Aku sebagai jaminannya. Kamu bisa membunuhku jika ayahku tidak sanggup mengembalikannya. Aku mengenal ayahku sebagai pekerja keras dan jujur, aku berani menanggungnya." ujar Galih yakin.
"Ini nomor HP ku. Berapapun yang kakak butuhkan, aku bisa siapkan. Waktunya bisa tiga sampai empat tahun."
"Oke, nanti kakak hubungi..."
"Aku senang, kakak punya semangat. Artinya kelak, jika kakak sukses, kakak bisa mentraktirku makan disini. Bukan sebuah hal yang mustahil bukan? Namun aku hanya mau makan dari hasil kerja keras kakak, bukan dari modal usaha. Jika kakak dapat menangkap maksudku, kakak akan paham, bahwa sukses atau tidaknya seseorang itu bukan dari uang yang dia punya, akan tetapi dari hasil kerja keras."
"Ya, kakak mengerti kok dek.." ucapnya. Keduanya tersenyum.
"Itulah, makanya aku sendiri merasa belum ada apa-apanya dibanding papa, mama dan kakakku, mereka sukses karena kerja keras. Tapi jangan khawatir, aku akan usahakan modal itu!"
"Tapi, kenapa kamu percaya sama kakak?" tanya Galih penasaran.
"Ada sisi lain yang membuatku bersimpati pada kakak. Kita harus buktikan pada Mas Seger, bahwa kakak bisa sukses. Jangan biarkan orang lain menghina kakak!"
"Tenang saja, aku tak harus marah dengan ucapannya Seger kan? Bukankah tadi kamu mengatakan bahwa kita harus bersabar untuk menghadapi kemarahan?"
"Ya, kita hanya perlu membuktikannya. Biarkan sajalah dia mau bilang apa."
"Kakak setuju."
"Ayo kita rayakan kerjasama ini. Mulai besok kita harus lebih sering bertemu untuk membicarakan ini. Nanti kita cari lokasi yang nyaman untuk ngobrol."
Keduanya bersulang. Ada rasa bahagia yang mengalir di rongga hati keduanya. Mengalahkan rasa sakit karena putus cinta. Mengalahkan kemarahan yang sempat membakar hati Galih. Mereka menyadari, kebersamaan yang tulus akan membuat mereka bisa lebih bersinergi. Siapa tahu jodoh ada di antara mereka. Walaupun Lana tidak tahu bagaimana orientasi sex Galih sebenarnya. Lana tersenyum jernih. Manis sekali.

0 komentar:

Posting Komentar