Monster Part 7


By: Otsu Kanzasky
Note: terinspirasi dari lagu Monster Eminem ft. Rihanna dan film Disney `Tangled: Story Tale of Rapunzel
***
Pagi-pagi sekali, bahkan saat detik pertama sang surya mengintip dari ufuk timur, Julian dan Kiel melanjutkan perjalanan mereka. Bisa di tebak jika pria tampan itu tidak bisa tidur nyenyak, tak seperti Kiel yang sangat pulas di dekapannya, apalagi masalahnya jika kondisi mereka saat itu yang mengharuskan untuk melepas pakaian. Beruntung pakaian mereka dapat kering karena tak terlalu basah.
Dan tatapan ingin tahu selalu mengiringi langkah mereka saat berusaha mencari kendaraan yang dapat mengangkut mereka ke tempat tujuan, untungnya ada seorang pria paruh baya baik hati yang memberi mereka tumpangan ke stasiun kota Cuzh.
Berbekal beberapa lembar uang cash yang ada di dalam dompetnya(dompet itu selalu dibawa Julian di saku celana armynya saat bertugas), Julian membeli 2 tiket kereta kelas ekonomi menuju kota Yavaz yang lumayan jauh. Dan mereka harus mengunggu 30 menit sampai kereta datang. Dan bukanlah hal yang baik untuk `ketenangan' batinnya saat orang-orang yang berlalu lalang di sekitar tempat duduk mereka dan rata-rata para pria mencuri pandang kearah Kiel yang duduk di sampingnya.
Para pria itu seperti tak ingin mengalihkan tatapan dari sosok cantik Kiel, memuja dalam hati. Sungguh pemandangan yang langkah dapat melihat sosok bagai boneka sepertinya, meski Julian sudah merapatkan duduknya dan menggenggam tangan Kiel, sengaja menunjukkannya, pria-pria itu tetap tak segan memperhatikan Kiel.
Julian pun lega saat terdengar pemberitahuan kereta yang baru saja datang. Ia langsung menarik Kiel untuk masuk ke dalam kereta dan mencari tempat duduk yang kosong, sementara tempat duduk di sisi kanan terisi oleh seorang pria yang sepertinya seumuran dengan Julian.
Kereta berbahan bakar batu bara itu pun berjalan setelah semua penumpang naik. Dan ketenangan Julian kembali terusik saat pria berambut cokelat gelap yang duduk berhadapan dengan mereka menatap Kiel intens, membuatnya kesal. Sementara sang empunya sendiri asyik melihat keluar jendela yang kini mulai berganti pemandangan hijau.
Dengan sengaja ia menggenggam tangan Kiel kembali di atas pahanya lalu menyandarkan kepalanya ke bahu pemuda cantik itu, tak lupa memejamkan mata. Hitung-hitung mengistirahatkan otaknya sejenak sekaligus `mengingkatkan' sikap pria bermantel hitam itu untuk tidak lancang menatap Kiel.
Si Aquamarine itu sampai menoleh pada Julian, dan mengusap rambut pria itu pelan saat melihat matanya yang terpejam. Ia tahu jika pria di sampingnya itu butuh istirahat.
"Sepertinya kekasihmu lelah sekali" pria bermata cokelat gelap itu mencoba peruntungannya. Kiel pun menoleh.
"Bicara dengan ku?" tanyanya polos, pria itu tertawa kecil.
"Tentu saja, boleh ku tahu nama mu?"
"K--"
"Selena, aku William" sahut Julian cepat sambil menjabat tangan pria itu yang terulur pada Kiel dan otomatis mengangkat kepalanya.
"Josh" pria itu tersenyum ramah. Julian menarik tangannya dan berdehem kecil.
"Kau pria beruntung Will, tidak banyak gadis cantik seperti Selena" Josh masih menatap lekat pada Kiel.
"Hm, ya" sahutnya agak jengah. Tapi Julian selalu dapat mengendalikan ekspresinya dan tetap dingin seperti biasa.
"Kemana tujuan kalian?" tanya Josh sedikit pun tidak menatap Julian.
"Frezar" jawab Julian singkat, tak berminat memberitahu tujuan mereka sebenarnya.
"Ah sayang sekali, aku harus turun di stasiun berikutnya"
Baguslah, cepat-cepat enyah dari hadapan ku. Batin Julian.
"Kalian sedang liburan?"
Kiel mengangguk dengan polosnya. "Iya, kau sendiri?" akhirnya ia bersuara.
"Aku ada bisnis. Hey, kamu mau coba membaca garis tangan? Aku bisa melakukannya" Josh.
"Bagaimana caranya?" Kiel tampak penasaran. Josh tersenyum manis.
"Kemarikan tangan kanan mu" pintanya menadahkan tangan.
Julian menatap Josh sinis saat pria itu mengusap telapak tangan Kiel dengan berceloteh yang dirinya sama sekali tak tertarik. Sepertinya pria itu sengaja berlama-lama memegang tangan Kiel dan membuat dada Julian memanas.
Oh tidak, ia harus dapat mengendalikan emosinya yang saat ini sedang di `uji coba'. Tapi tetap saja rasa tidak suka dan kesal itu menghinggapinya melihat Josh yang se enak hatinya membelai tangan Kiel.
Kedua orang itu mengobrolkan sesuatu yang membuat Julian tak dapat berkonsentrasi, namun sepertinya Tuhan berbaik hati padanya, karena kemudian terdengar suara pemberitahuan stasiun jika kereta telah tiba di kota Onyx.
"Aku harus turun, senang bisa mengobrol dengan mu Nona" ucap Josh bangkit berdiri dan mengecup tangan Kiel di genggamannya.
"Aku juga" balas si cantik itu tersenyum tipis.
Ah tentu saja ia tak paham akan sikap pria asing itu.
Tanpa berbasa-basi dengan Julian, pria itu melenggang begitu saja dengan senyum memuakkan. Dan Kiel yang baru sadar akan aura tak menyenangkan pada pria yang duduk di sebelahnya itu pun menatapnya lekat-lekat. Polos seperti biasa.
"Ada yang salah?" tanyanya, Julian hanya menggeleng pelan. Kereta pun kembali berjalan.
"Kenapa diam saja?"
Julian menghela nafas kecil lalu menatap Kiel. "Aku ngantuk" jawabnya pelan.
"Tidur lah, aku tahu semalam kamu tidak bisa tidur nyenyak `kan?" Julian hanya mengangguk. "Semalam memang dingin" ucapnya kemudian.
Julian menatap Kiel datar. Pemuda cantik itu tidak akan mengerti penderitaannya semalam.
"Sini, rebahkan kepalamu" kata Kiel sambil menepuk pahanya. Julian mengangkat satu alisnya, menatap ke dalam mata biru itu.
"...bangunkan aku kalau kita sampai di Frezar" ucapnya akhirnya, Kiel mengangguk.
Pria tampan itu pun merebahkan tubuhnya berbantalkan paha Kiel, menempatkan diri senyaman mungkin meski harus menekuk kakinya. Rasa nyaman saat Kiel mengusap rambutnya pelan, semakin membuat matanya terasa berat.
-
Butuh waktu sekitar 5 jam perjalanan kereta menuju Frezar. Kota yang tak terlalu besar namun memiliki banyak potensi alam yang dapat di manfaatkan penduduknya.
Julian dan Kiel segera mencari alat transportasi sebuah truck militer ala Inggris yang kini telah di gunakan untuk transportasi umum. Mereka harus menempuh perjalan selama 1 hari menuju Varosha, salah satu dari 4 Desa di kota kecil ini. Dan 1 hari adalah perjalanan yang cukup lama hanya untuk mencapai Desa terpencil itu.
Tak banyak yang tahu tentang Desa itu, karena letaknya yang sangat tersembunyi, membuat Varosha hampir tak di ketahui. Hanya 4 Desa yang di identifikasi di Frezar, dan itulah tujuan utama Julian.
Namun saat mereka berjalan kearah salah satu truck yang akan berangkat, tiba-tiba Kiel di kejutkan dengan seorang pria yang berlari menabrak bahunya dan gerakan secepat kilat menarik kalung yang di pakainya.
"Kalung ku!" teriaknya panik.
"Tunggu disini!" perintah Julian berlari mengejar perampok itu.
Suasana di depan stasiun menjadi heboh, banyak orang membantu menangkap perampok itu, dan Kiel dapat melihat seorang pria tua dengan rambut yang telah memutih turun dari gerobak kudanya dan menghadang si perampok. Pria tua itu bergerak cukup lincah melumpuhkan perampok, tapi tak di sangka jika perampok itu menusukkan sebilah pisau ke perut pak tua itu.
Teriakan histeris terdengar, Kiel menutupi mulutnya shock, dan berlari kearah Julian yang berlutut di jalan menopang kepala pria tua itu, sementara si perampok tak berkutik di hajar massa.
"Siapa saja tolong!" teriak Kiel ikut berlutut di dekat pria itu. Wajahnya mulai pucat, dan tangan pria tua itu memegangi perutnya yang tertusuk.
Rasa kasihan lah yang membuat si cantik Kiel melilitkan rambutnya ke tangan, tapi saat ia akan menempelkannya di luka pria itu, tangan Julian menahannya. Kiel menatap pria itu memohon, tapi Julian menggeleng pelan.
"Tapi dia bisa kehilangan banyak darah" Kiel memohon.
"Tidak, mereka bisa melihat, dan kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan padamu" ujar Julian tegas. Kiel menggigit bibirnya kecil.
"Masukkan ke mobil!" titah seorang pria yang menghentikan mobil tepat di dekat mereka.
Julian dan beberapa orang pria disana mengangkat si pria tua dan membaringkannya ke kursi belakang mobil Mercy 302 SL Roadster bercat hitam itu.
"Kalian harus ikut!" kata si pengemudi. Julian sempat menatap Kiel yang berdiri di depan pintu mobil, dan si cantik itu mengangguk setuju.
"Masuk lah, topang kepalanya" kata Julian, memberi celah untuk Kiel masuk. Setelah memastikan posisinya tepat, Julian menutup pintu mobil dan duduk di kursi depan.
Mobil hitam itu pun melaju meninggalkan stasiun menuju Rumah Sakit terbesar di Frezar. Dan di antara kepanikan Kiel, ia melihat pria tua itu membuka matanya dan mengangkat tangan kananya menunjukkan kalung Aquamarinenya. Kini matanya pun berkaca-kaca, pria itu tersenyum tipis.
"Terima kasih" ucap Kiel tak kuasa menahan air matanya, menggenggam tangan pria tua itu dimana kalungnya berada. Pria itu tersenyum tipis.
"Kita ke rumahnya!" pinta Kiel, membuat Julian menoleh kaget.
"Kita harus ke Rumah Sakit!" kata si pengemudi.
"Tidak! Percaya padaku!" Kiel bersi keras.
Pria yang duduk di belakang kemudi itu pun sejenak menatap Julian, dan pria tampan itu hanya mengangguk. Dan meski bingung, pria itu pun menuruti Kiel.
-
Hening. Kecemasan itu belum terurai sebelum pria tua itu membuka matanya, wajah pucatnya telah berangsur pudar, nafasnya juga mulai stabil. Sudah beberapa menit sejak mereka tiba di rumah pria itu, beruntung sedang tidak ada satu orang pun di dalam, memudahkan Kiel untuk menyembuhkan luka tusuknya.
Sementara Julian berhasil meyakinkan pria pemilik mobil yang cukup mengenal pria tua itu untuk tidak khawatir dan memberinya sedikit `tips' akan hal yang mungkin nantinya `membahayakan' Kiel. Dan kini Jendral muda itu menunggu di ruang tamu, sengaja untuk berjaga-jaga jika keluarga pria tua itu datang.
Kiel yang berada di dalam kamar pria itu setia duduk di kursi kayu di samping tempat tidur, menggenggam tangan kasar pria bernama Lucas itu, berharap jika pria penolongnya itu segera membuka mata.
Tak perlu waktu lama untuk menunggu, karena Lucas mulai membuka kelopak matanya perlahan, membuat Kiel harap-harap cemas melihatnya.
"Ada yang kau inginkan?" tanya Kiel perhatian. Lucas menggerakkan kepalanya pelan, kini menatap Kiel.
"Tidak, apa aku berhasil mengambil kalung mu nak?" tanya Lucas yang masih agak lemah, Kiel mengangguk.
"Iya, terima kasih kau sampai membahayakan dirimu" ucapnya tulus, mengusap tangan Lucas lembut.
Dan seolah di ingatkan kembali, pria itu tiba-tiba bangkit duduk membuat Kiel bingung, memeriksa perutnya yang agak buncit yang tak lagi tampak luka tusukan. Dengan wajah bingung plus shock pria itu menatap Kiel.
"Luka ku?" ia menuntut penjelasan. "Kau...menyembuhkan luka ku?" Lucas masih shock, Kiel mengangguk samar.
"Kumohon jangan beritahu siapapun kalau aku menyembuhkan luka mu" pinta Kiel memelas. Lucas yang masih tak percaya akan hal ini hanya bisa diam, memperhatikan wajah cantik Kiel lalu beralih pada rambut panjangnya yang berwarna perak.
"Jangan-jangan kau yang di bicarakan orang-orang itu?" Lucas kini menatap ragu.
"Siapa?"
"Ku dengar dari kota sebelah, si rambut panjang yak tak punya hati, itu kau `kan?"
Kiel hanya diam menunduk. Dan seolah mengerti kecemasan si cantik itu, Lucas mengulum senyum tipis.
"Jangan khawatir, aku akan bungkam. Lagipula aku tidak tertarik dengan apa yang orang-orang itu ributkan" ujar Lucas bersahabat, Kiel pun mengangkat wajahnya.
"Kurasa apa yang mereka katakan tidak benar, saat ini aku melihat anak yang baik hati"
"Tidak, sudah menjadi tanggung jawab ku, kau terluka karena aku"
"Jadi siapa namamu nak?"
"Kiel"
"Lalu pria berwajah angkuh itu?"
"Julian"
"Kalian sepasang kekasih?"
Kiel terdiam, tampak sedang berpikir dan hal itu membuat Lucas tertawa.
"Seharusnya aku tidak perlu bertanya ya" ucapnya terkekeh.
Brak!
"Sayang!"
"Ayah!"
"Kakek!"
Suara pintu yang di buka hingga berdebam itu membuat Kiel refleks menoleh ke belakang punggungnya, lalu berdiri saat keluarga Lucas mendekat ke tempat tidur dengan wajah khawatir.
Pemuda cantik itu kini berdiri di samping Julian memperhatikan keluarga besar itu, memastikan jika keadaan kepala rumah tangga mereka baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja, hanya pingsan setelah terpukul saat menolong mereka dari perampok" ujar Lucas meredakan kekhawatiran keluarganya. Istri, anak, dan cucunya pun dengan serempak menatap pada Julian dan Kiel yang berdiri memperhatikan mereka.
Dan suara bisik-bisik pun terdengar, Julian dan Kiel pun bertatapan bingung.
"Apa kalian Pangeran dan Putri dari Negara lain?" tanya seorang wanita tua yang sepertinya istri Lucas, berhati-hati. Julian menaikkan satu alisnya.
"Bukan, kami orang biasa, kami berasal dari Zara" jawabnya cepat, dan terdengar `ooh' dari mulut mereka.
"Kami pikir kalian anggota kerajaan Negara lain" kata seorang wanita berusia sekitar 30 tahun.
"Tidak bukan, kami pengantin baru" Julian merangkul pinggang ramping Kiel.
"Wah~ rambut kakak panjang sekali~" gadis kecil berambut pirang disana menatap kagum pada rambut perak Kiel. "Boleh aku memegangnya?" tanyanya berharap, Kiel mengangguk.
"Tentu, kemarilah" ucapnya ramah. Gadis kecil itu pun melangkah mendekat dengan sumringah.
"Kalian sangat serasi, aku jadi iri" celetuk wanita berambut ikal disana. "Ah iya, aku Marry, ini Ibu ku Rose dan itu putriku Michelle" Marry memperkenalkan diri ramah.
"Aku Julian dan ini Kiel"
"Istrimu cantik sekali Julian, apa tidak sulit merawat rambut sepanjang itu?" Rose tampak penasaran.
"Tidak, rasanya ringan kok" sahut Kiel tersenyum, sementara Michelle masih senang memegang rambutnya.
"Kalau besar nanti Michelle ingin secantik kakak!" ujar gadis kecil itu bersemangat.
"Ya sudah, sebaiknya kita makan malam bersama" Lucas buka suara sembari turun dari tempat tidur.
"Maaf bukannya kami menolak tapi kami harus melanjutkan perjalanan" kata Julian.
"Sebaiknya kalian pergi besok, wilayah ini berbahaya saat malam" ucap Rose.
"Kami senang jika kalian makan malam dengan kami" Marry ikut mendukung sang Ayah.
"Setidaknya kalian suami-istri, jadi penduduk Desa akan lebih mudah menerima" Rose menambahi.
"Maksutnya?" Julian menaikkan satu alisnya.
"Begini, di Desa kami sering terjadi penipuan dan tindakan kriminal lainnya, jadi penduduk Desa sepakat jika ada pendatang mereka harus memastikan jika pendatang itu suami-istri atau masih memiliki hubungan keluarga oleh penduduk Desa" Lucas menjelaskan.
"Caranya?"
"Kami harus tahu jika kalian benar-benar suami istri dengan cara meminta kalian berhubungan" kata Rose santai.
"What?!" Julian melebarkan matanya. "K-kami harus melakukan itu?" tanyanya spechless. Marry mengangguk.
"Kami bisa membedakan mana pura-pura dan mana yang tidak. Tenang saja kami tidak akan mengintip kalian"
"Lalu?"
"Beberapa warga akan menunggu di depan kamar kalian"
Julian merasa akal sehatnya hilang saat membayangkan jika dirinya dan Kiel berada di dalam satu kamar dan harus melakukan `this and that'.
BERSAMBUNG~

0 komentar:

Posting Komentar