Burung Kertas Part End



By : Nayaka Al Gibran
Padang Bulan, Oktober 2004
Kami melewati Bulan Puasa Teuku sama seperti dulu. Aku masih ikut sahur dan berbuka bersamanya, kadang-kadang masih mengisi perut dengan segelas jus atau air mineral dingin di siang hari, masih sering tertidur ketika sedang mendengarnya membaca kitab suci. Bedanya, kami tidak lagi membeli menu sahur sepulang dia dari mesjid. Karena sudah punya motor, kami membeli menu sahur tepat di jamnya. Seperti dulu, aku menikmati rutinitasku, bahkan lebih menikmatinya kini.
***
Perasaanku pada Teuku masih seperti dulu, kata-kata cintaku juga masih tetap tertahan. Adakalanya aku merasa begitu siap untuk berucap, bibirku sudah bergerak-gerak hendak memuntahkan kata, tapi kemudian aku menyadari diriku belum mampu menerima reaksi paling buruk dari Teuku. Meski belum bisa menyematkan status baru pada hubungan kami, aku tidak lantas merasa putus asa apalagi kecewa. Selama kami masih bersama-sama, status sehebat ‘kekasih’ belumlah terlalu prioritas.
***
Padang Bulan, awal Desember 2004
“Kalau kuliah kita udah tamat, kita bakalan pisah ya… mencari jalan sendiri-sendiri…”
Aku berpaling menatapnya, dia sudah lancar melipat-lipat kertas mengkilat di tangannya menjadi burung-burung kecil. Toples yang dulu masih menyisakan ruang kosong kini terlihat mulai penuh. Aku sendiri yang mengajarinya.
“Jangan ngomongin pisah dulu, masih lama kita selesainya. Masih ada tujuh semester lagi.”
Aku tidak dizinkan melipat kertas-kertas itu, dia mau memenuhkan toples dengan jarinya sendiri, ‘Setengah punyamu, setengahnya lagi punyaku…’ begitu dia berujar saat aku pertama-tama mengajarinya beberapa hari lalu.
“Apa aku udah pernah bilang kalau kamu adalah sahabat terbaik yang pernah kupunya?”
Aku mendesah, “Udah, saat malam tahun baru dulu itu kan…”
Dia menggeleng, “Bukankah saat itu aku bilangnya kalau kamu adalah lelaki baik yang pernah jadi sahabatku?” ternyata dia masih ingat dengan rinci kalimatnya waktu itu.
“Beda ya?”
“Jelas beda…” sahutnya mantap sambil memasukkan burung kertas ke sekian yang baru saja selesai dilipatnya ke dalam toples.
“Dimana bedanya?”
“Lelaki baik yang pernah jadi sahabat, beda dengan sahabat terbaik yang pernah dimiliki.” Dia membalikkan badan menghadapku, “Sini biar aku kasih pencerahan…”
Aku tertawa lalu duduk bersila menghadapnya, bersiap mendengarkan sesi pencerahan dari Teuku. Toples burung kertas berada di antara kami.
“Kalau ‘Lelaki Baik yang Pernah Jadi Sahabat’ itu artinya, masih ada kemungkinan lelaki lain yang kadar baiknya juga sama denganmu akan menjadi sahabatku…”
Aku bengong sambil mencoba mencerna kalimatnya. Lalu mengangguk mengerti.
Dia mengulum senyum, “Kalau ‘Sahabat Terbaik yang Pernah Kupunya’ itu artinya kamu adalah satu-satunya sahabat paling baik yang pernah kumiliki. TER-BA-IK…” dia memenggal-menggal kata ‘terbaik’ dengan jeda yang tepat. “Gak ada yang lebih baik lagi, hanya kamu satu-satunya…”
Aku tak bisa berkata-kata untuk waktu yang agak lama. Satu sisi aku bahagia dengan kalimatnya yang menerangkan bahwa aku adalah satu-satunya lelaki paling baik yang pernah jadi sahabatnya. Namun pada saat bersamaan aku merasa bagai melompat dari atas menara, jatuh deras menuju bumi ketika dia memegang kuat kata ‘SAHABAT.’ Aku tak mungkin bisa lebih dari itu untuknya. Namun kemudian aku tercengang ketika dia tiba-tiba berucap…
“Andai aku cewek ataupun kamu yang seorang gadis, pasti aku akan mengubermu kemana-mana buat jadi kekasihku…” dia menyengir. Kalimat lanjutannya sukses membuatku terbelalak. “Andai dua orang lelaki tak dilarang pacaran, ya…”
Meski dia tertawa setelah berucap seperti itu, tapi hatiku sudah cukup menghangat. Kuambil kesimpulan sepihak, dia mencintaiku. Tapi norma menghalanginya untuk menyebutku kekasih. Itu sudah cukup.
***
Padang Bulan, 24 Desember 2004
Kami setuju untuk meninggalkan kost. Aku akan merayakan natal bersama keluargaku dan Teuku akan merayakan hari jadinya bersama keluarganya. Umminya sudah menelepon beberapa hari yang lalu mengabarkan ingin membuat syukuran seperti yang dulu pernah dilakukan ketika tiba hari lahir anak sulungnya. Kami juga sudah sepakat akan melewati momen pergantian tahun bersama-sama di Kota Medan seperti setahun lalu. Jadi, kami berjanji untuk sudah berada di kos-an lagi tanggal 29.
Tepat pukul sembilan pagi, mobil travel datang menjemput Teuku yang sudah siap dengan ranselnya. Dia tidak membawa pulang banyak barang, begitupun aku. Kami tak sampai seminggu di tempat masing-masing.
Teuku memelukku sebelum masuk ke mobil, cukup lama. Kutepuk-tepuk punggungnya ketika kurasakan dia menangis di dadaku. Si supir memandang kami, dia pasti berpikir kalau aku sedang melepas keberangkatan adikku.
“Baik-baik ya di jalan…” kubantu dia mengeringkan matanya. “Kalau sudah sampai kasih kabar…”
Dia mengangguk, “Kamu juga jangan ngebut-ngebut pulangnya…”
“He eh… salam buat semua di sana.”
“Salamku juga buat Papa Mama…”
Kuangkat jempolku buatnya.
Dia menyalamiku, menggenggam tanganku begitu erat dan lagi-lagi air mata meluncur darinya. Kupaksakan sebuah senyum sambil satu tanganku yang bebas mengusap bulir air yang menggantung di bawah matanya.
“Jaga diri…”
Dia mengangguk.
Aku kaku dengan perasaan tak menentu ketika Teuku membungkuk dan mencium punggung tanganku, untuk yang pertama kalinya.
“Aku pulang, ya…” dia melepaskan genggamannya lalu berbalik.
Teuku masuk lalu menutup pintu, dia menempati jok depan, di samping Si Supir. Klakson berbunyi satu kali sebelum mobil bergerak, Teuku melongok sambil melambai padaku. Aku jelas melihat dia masih menangis. Kubalas lambaiannya hingga dia sudah tak terlihat. Wajahnya yang melongok dari kaca mobil terekam jelas di kepalaku, rambutnya yang tak pernah bisa rapi, bentuk wajahnya yang kecil, dan mata bundarnya yang berlinangan. Itu semua terekam dengan amat jelasnya.
Aku masih berdiri mematung hingga sepuluh menit setelah mobil travel meninggalkan gerbang. Baru setelah itu aku mengancing jaketku, menyandang ransel dan menyalakan motor.
Ketika motorku mulai melaju di jalanan, saat itulah aku menangis sejadi-jadinya. Dadaku rasanya sesak. Kami pernah berpisah sebelumnya, saat Teuku pulang untuk berhari raya. Namun perpisahan kali ini rasanya begitu beda sehingga emosiku tak terbendung, dan aku menangis sesengukan di atas motor…
***
Kisaran, 26 Desember 2004 pukul 00.00 WIB
Aku tak menunggu lama ketika panggilanku tersambung. Suara yang teramat kurindukan menyapa di ujung talian. Rasanya sudah begitu lama aku tak menikmati logat cadal ini.
“Halo… Jayen…”
Dadaku mengembang detik itu juga.
“Apa aku membangunkanmu, Mungil?”
“Aku belum tidur…”
Ya, aku tau kalau dia belum tidur. Jika sudah, panggilanku tak mungkin terjawab secepat ini, bahkan sebelum aku sempat mendengar nada sambung. Tapi aku berpura-pura bego saja.
“Eh, Mungil kenapa belum tidur?”
Dia tertawa, “Nunggu kamu nelpon…”
Aku tersenyum meski dia tak dapat melihatnya. “Kok yakin gitu kalau aku bakal nelpon? Kan aku gak ada bilang-bilang mau nelpon.”
“Kamu gak mungkin gak bakal nelpon!” cetusnya demikian yakin.
Aku tertawa, kemudian berdehem. “Selamat hari jadi yang ke tujuh belas ya… semoga panjang umur.”
“Iya, makasih…”
“Maaf gak bisa bawain lilin angka tujuh belas ke situ…”
“Memangnya sekarang kamu punya lilinnya?”
“Engga.”
“Konyol…”
Aku tertawa, “Kadonya nanti pas balik ke sini ya, Ngil…”
“Sarung tangan bisbol?”
“Itu salah satunya,” jawabku.
“salah dua-nya?”
“Rahasia, biar jadi kejutan aja.”
“Harus bagus dan mahal!”
Aku tertawa lagi, “Pasti.”
Diam sejenak, sepertinya Teuku menguap.
“Kalau udah ngantuk tidur aja sana…”
“Gimana natalnya tadi?” dia tidak menggubris kalimatku, malah menanyakan natalku.
“Great, aku dapat banyak kado di sini…”
“Pohon natalnya?”
“Luar biasa, aku menghiasnya sama Mama…”
“Hemm…”
“Persiapan syukuran-mu bagaimana? Udah beres semua? Pasti banyak makanan enak besok di rumah…”
“Abah order catering, Ummi cuma bikin beberapa penganan khas aja buat nambah-nambah.” Dia menjelaskan.
Setelahnya tak ada yang bersuara di antara kami. Diam menggantung di talian telepon.
“Mungil…”
“Jayen…”
Aku dan Teuku tertawa. Setelah sama-sama diam, baru saja kami memanggil berbarengan. “Kamu dulu,” ujarku.
“Emm… mau dibawain kado natal apa?”
Aku tak yakin itu yang akan diobrolkannya ketika memanggilku tadi, tapi biarlah… “Gak usah, aku udah dapat banyak di sini…”
“Aku juga pengen jadi Santa Claus buatmu. Ayo, pengen kado apa?” dia bersikeras.
“Kadonya cukup kamu yang balik ke Padang Bulan tepat waktu. Itu aja udah…”
Dia tertawa, “Itu sudah pasti. Selain itu?”
“Aku gak pengen apa-apa lagi asal kamu udah ada…”
Dia mendesah, “Ini akan jadi kado natal pertamaku buatmu. Aku bawain jaket ya…”
“Gak usah, Mungil!”
“Tapi aku udah beli…”
Ya Tuhan, kalau sudah dibelinya ngapain nanya-nanya lagi. Aku kembali merasakan perasaan gemas yang sudah tak kurasakan sejak beberapa hari lalu. “Gila, kalau sudah dibeli ya bawa aja. Aneh…”
Dia ngakak lebar.
Lalu hening lagi beberapa saat.
“Jayen…”
“Hemmm…”
“Makasih ya…”
“Untuk?”
“Untuk semuanya… untuk apapun kebaikan yang ada di dirimu buatku. Untuk kebersamaan yang telah kamu berikan, untuk waktu-waktu berharga yang sudah kamu ciptakan di duniaku, untuk apapun…” kudengar suara tarikan nafasnya. “Aku belum pernah bilang ini sebelumnya… terima kasih untuk telah jadi pelindungku selama ini…”
Aku tak bisa bersuara sepatah katapun.
“Mungkin kamu gak sadar bahwa keberadaanmu bersamaku telah melindungiku di negeri orang. Aku merasakan itu, aku merasa terlindungi dengan adanya kamu… makasih ya.”
“Hemm…”
“Aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu…”
Lidahku kelu.
“Aku juga yakin bahwa diriku tak bisa menakar sedalam mana kamu menyayangiku…” dia tertawa pendek. “Jujur ya, saat pertama kali melihatmu di depan teras waktu itu, aku merasa takut melihat sosokmu yang jangkung. Dalam hati aku berujar, ‘Bakalan sering dipalak nih…’”
Tawa kecil menyembur dari mulutku.
“Tapi begitu melihat tatapan teduhmu padaku, aku langsung sadar bahwa ketakutanku tak beralasan. Lalu aku memutuskan untuk tersenyum… dan kamu menunjukkan kebaikan yang aku lihat di matamu ketika kita bertatapan.”
Aku sungguh kehilangan kata-kataku. Teuku tidak bersuara lagi beberapa lama kemudian, yang terdengar hanya bunyi hela nafasnya.
“Ngantukku hilang…” cetusnya tiba-tiba sambil terkekeh.
Aku ikut tertawa.
Kami mengobrol lama setelahnya, aku bahkan harus men-charge ulang hape polyphonic-ku karena batrenya lemah. Baru ketika jam menunjukkan pukul tiga dini hari aku memaksa Teuku untuk mengakhiri obrolan meski dia terus bilang tidak mengantuk.
“Besok adalah hari besarmu, gak lucu kalau kamu tiba-tiba pingsan pas sedang bagiin catering buat anak-anak panti. Udah sana tidur…!” Setelah mengucapkan selamat sekali lagi buatnya, kami mengakhiri obrolan.
Sebelum tidur, kutatap kotak kado yang terbungkus rapi di atas meja belajarku. Aku sendiri yang membungkusnya sore tadi. Kado ulang tahun Teuku yang ke-17.
***
Kisaran, 26 Desember 2004
“EDGAR…!!! EDGAR…!!!”
Rasanya aku seperti mendengar teriakan Mama. Mataku terasa berat untuk kubuka.
“EDGAR… BANGUN… GEMPA…!!!”
Tanganku ditarik hingga aku terlonjak bangkit. Dan seketika aku sadar bahwa bumi bergoncang hebat. Bisa kudengar bunyi derak atap rumahku.
“AYO KELUAR…!!!” Mama kembali menarik tanganku.
Kantukku tak berbekas, aku tak pernah merasa se-terjaga ini sebelumnya. Begitu tiba di halaman, aku menemukan orang-orang sudah mengelesoh rata di tanah. Semuanya bergoyang. Rasanya tanah bergerak bak gelombang laut. Orang-orang meracau menyebut Tuhan, berdengung bagai dengung lebah, kadang diselingi teriakan.
Aku memegang kuat lengan Mama, kami jongkok di halaman rumah. Pikiranku melayang kemana-mana, Tuhan… apakah ini kiamat?
Dunia masih terus bergoyang, kadang serasa menyentak. Aku takut tanah akan terbelah dan menyedotku ke dalamnya. Membayangkan demikian, aku bergetar ngeri.
Mama komat-kamit membaca doa, sekarang kedua tangannya mencengkeram lenganku begitu kuatnya. Aku mengikuti Mama, meracau apapun yang aku bisa.
Rasanya belasan menit ketika perlahan kurasakan bumi berangsur-angsur diam. Kupandang wajah-wajah pias di sekitarku, sama pucatnya dengan wajahku saat ini.
Kulihat Mama yang berdiri gemetar memandang gudang kami, isinya porak-poranda.
“Ma, Papa mana?” aku baru sadar bahwa dari tadi belum melihat Papa.
“Keluar pukul tujuh tadi…”
Aku memandang sekitar, Mama berjalan ke gudang. Lalu tiba-tiba aku ingat Teuku, apa di tempatnya juga terjadi gempa? Segera aku berlari masuk ke rumah. Kuabaikan beberapa guci keramik Mama yang pecah bertaburan di ruang tamu, aku berlari menuju kamar.
Satu kali panggilanku tak tersambung, kocoba lagi, masih belum tersambung. Aku berteriak kencang ketika mendengar suara Teuku pada panggilan kelima.
“Mungil… di sini gempa!” seruku kencang.
“Jayen…” lalu bunyi ribut koneksi yang buruk.
“Halo, Mungil… aku gak dengar apa-apa…” kembali aku berseru sambil berlari keluar dari kamar.
“…ru…man…gar…tiang lis…han… Krrrkk… kirkkk…”
Yang kudengar adalah suara Teuku yang terpenggal-penggal dan bunyi tak jelas. “Mungil…” panggilku.
Lalu
TUT TUT TUT TUUUTTT
Rasanya aku ingin membanting hape sialan di tanganku ketika berkali-kali kucoba menghubungi Teuku lagi setelahnya namun selalu gagal.
“Edgar, bantuin Papa di gudang!” papaku memanggil.
“Arrrggh…”
***
Banda Aceh luluh-lantak diterjang air pasang, ribuan orang meninggal dunia.
Begitulah yang kudengar. Kehebohan terjadi dimana-mana. Televisi menayangkan gambar tanpa jeda. Aku tak peduli. Di sudut kamar, aku masih terus memencet tombol panggil di hapeku. Masih terus melakukannya, meski aku tahu bahwa yang kulakukan adalah kesia-siaan.
Banda Aceh luluh-lantak. Ribuan orang tewas.
Aku tak ingin mempercayai dua kalimat itu, aku tak ingin mempercayai berita itu. Masih sambil berlinangan, kubanting benda ditanganku hingga hancur berantakan. Tak berbentuk lagi.
Kuharap Tuhannya menjaganya.
***
Bencana Nasional. Berita berkoar-koar demikian. Indonesia menjadi sorotan dunia, Aceh menjadi destinasi utama lembaga kemanusian di belahan dunia manapun. Semuanya tumpah-ruah menuju ke ‘rumah’ Teuku.
Aku tak ingin memadamkan asa yang masih berkelip-kelip kecil di hatiku. Aku tak ingin berhenti berharap bahwa Mungil-ku baik-baik saja di sana. Tapi kenyataan juga tak mungkin bisa kubantah.
Kami sudah berjanji akan bertemu kembali di Padang Bulan.
Aku mulai putus asa.
***
Jika saja tak dilarang keras oleh Papa, aku sudah akan menumpang truk bantuan yang menuju ke Aceh. Transportasi begitu sulit diperoleh. Mobil-mobil travel penuh hingga ke atap-atapnya. Tak ada celah untuk pergi.
Aku ingin mencari Teuku. Aku ingin menemukan Mungil-ku. Meski takdirnya harus pedih, aku ingin menemukannya di antara jasad-jasad kaku di sana…
Namun aku tidak berada di sana. Aku meringkuk gemetar di sudut kamarku yang terasa kian suram.
***
Kehilangan itu adalah sayat pedih
Dan remuk hancur
Dan derak patah
Dan nanah luka
Kehilangan itu adalah kehampaan
Dan kekosongan abadi
Dan keputus-asa-an panjang
Dan kesendirian tak ber-sudah
Kehilangan itu adalah aku
Dan diriku yang mati rasa
Dan hatiku yang hilang cahaya
Dan jiwaku yang serasa lepas…
Aku harus ikhlas menelan kenyataan pahit. Bahwa aku tak akan melihat Teuku lagi sampai kapanpun. Jumlah korban terus bertambah, tak ada harapan bagiku. Tak ada yang bersisa dari daerah yang berada di pesisir pantai, Lampulo begitu dekat dengan pantai. Aku berhenti berharap.
Dan kehilangan meleburku hingga jadi abu.
***
Kisaran, 01 Januari 2005
Aku berada di alun-alun kota medan. Teuku melompat-lompat girang di sampingku sambil mendongak langit yang dipenuhi nyala kembang api. Dia begitu ceria, begitu hidup… logat cadalnya memenuhi pendengaranku, sosoknya memuaskan pandanganku…
Saat pagi tiba, Mama bertanya, apakah aku menangis dalam tidurku malam tadi?
***
Padang Bulan, mulai Februari 2005
Aku melihat Teuku dimana-mana. Di kedai makan Aceh langganannya, di kampusnya, di sepanjang jalan Dr. T. Mansur saat pulang pergi kuliah, di kantin, di angkot yang melintas, di becak manapun yang berpapasan denganku, di dalam mobil travel, di mesjid dekat kos tempat dia beribadah hari Jumat, di sekitar Katedral Medan. Aku melihatnya setiap hari di boncengan motorku, di dalam kamarku, di seluruh sudut rumah kos. Aku menemukannya di gerbang ketika hendak pergi dan pulang, berdiri bersama koper besarnya. Aku melihatnya setiap saat, dia ada dimana-mana.
***
Padang Bulan, Juni 2005
Aku menatap miris pada barang-barang dalam kamar Teuku. Sudah sejauh ini, tak ada siapapun yang datang kemari mengklaim bahwa barang-barang itu milik kerabat mereka, Teuku Phonna Darussalam. Tak ada seorang pun. Teuku seakan tak pernah kemari untuk diketahui siapapun di sana. Teuku seakan tak pernah lahir untuk ditelusuri jejaknya di sini oleh siapapun di sana yang tahu dia. Tak ada, Teuku terhapus hilang dari ingatan entah siapapun itu di sana.
Namun dia tidak pernah akan terhapus dari ingatanku, tak akan pernah. Kurebahkan diriku di atas ranjang tempat dia biasa berbaring. Kupeluk gulingnya dengan mata yang mulai basah.
Besok kamar ini akan ditempati orang lain. Pemilik kos baru saja memberikan kunci duplikat kamar Teuku padaku. ‘Dia paling dekat denganmu, tolong urus barang-barangnya, ya.’
Aku mulai membuka seprei dan sarung bantal, juga guling. Kulipat rapi dan kumasukkan dalam koper. Kukeluarkan baju-baju Teuku dari dalam lemari. Pekat. Hitam adalah warnanya. Gambaran dirinya ketika mengenakan baju-baju itu dapat kuingat semuanya. Ada baju muslim yang sempat kupakai juga di sini, peci rajutnya, sajadahnya, denim-denimnya yang begitu kecil, baju almamaternya, jaketnya, semuanya. Kini lemari itu kosong, isinya sudah kembali masuk ke koper besar tempat mereka berada ketika dibawa kemari dulu.
Kusapu mataku sebelum beranjak ke meja belajar. Teuku membawa pulang Laptopnya tika itu, kusentuh mesin printernya, berdebu. Buku-bukunya juga diselimuti abu tipis. Tangan yang biasa menjamah mereka tak ada lagi. Air mataku kembali meluncur deras ketika menatap kitab sucinya yang berdiri sepi di sudut meja, aku rindu suara Teuku ketika membacanya. Teramat sangat rindu. Kumasukkan benda-benda di atas meja belajar itu bergabung dalam kardus.
Sekarang aku terpaku menatap bola bisbol yang bersanding dengan toples kaca berisi burung kertas di dalamnya. Kedua benda itu diletakkan pada satu-satunya rak yang ada di meja.
‘Siapa tahu ke depan nanti aku bisa jadi pemain tenis kayak Roger Federer…’
‘Warna-warninya berkilau, aku kira gulali…’
‘Toples kaca juga bikin burung-burung ini tampak artistik di dalamnya… mereka jadi lebih cantik…’
Kalimat-kalimat Teuku seakan kudengar lagi kini, begitu jelas. Aku mendekap kedua benda itu di dadaku. Rasanya begitu menyesakkan. Dia pergi terlalu pagi, bahkan matahari belum naik sempurna. Usianya genap tujuh belas…
Kini aku memasukkan sepatu-sepatu Teuku dalam kardus lainnya. Ukurannya begitu mungil, semungil nama yang kuberikan untuknya. Beberapa sandalnya juga kugabung dalam kardus sepatu.
Aku beralih pada poster-poster yang disebutnya sebagai kaligrafi yang tertempel di beberapa bagian dinding kamar. Dulu Teuku pernah membacakan bunyinya satu-satu untukku. Sekarang, aku melepaskan lembar itu satu-satu dengan perasaan hampa.
Kosong.
Bahkan setelah identitas Teuku telah tersembunyi di dalam koper dan kardus, aku masih bisa melihatnya bergerak aktif di dalam kamar ini. Nyatanya, identitas Teuku yang tersimpan dalam diriku tak akan pernah bisa kusembunyikan.
***
Aku hanya mengeluarkan baju muslim dan peci rajut dari dalam koper, kugantung dalam lemari bergabung dengan baju-bajuku. Sepasang sepatunya juga kuletakkan bersama beberapa pasang sepatuku.
Toples berisi burung kertas dan bola bisbol kusandingkan di dekat sarung tangan yang belum sempat kuberikan, di satu sudut meja belajarku. Di sana juga ikut menggeletak kotak yang masih rapi berbungkus kertas kado. Hadiah ulang tahun Teuku yang tak sempat diterimanya. Kado itu masih terbungkus rapi, bukan karena aku masih berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa memberikannya pada Teuku. Namun ia masih berbungkus rapi karena aku tak punya daya untuk merobek bungkus, dan mengeluarkan isinya yang sempat kukatakan pada Teuku akan menjadi kejutan. Aku tak punya daya untuk melihat isinya yang kupilih dengan hati gembira di sebuah toko di Kisaran yang kukunjungi pertama dan terakhir kalinya tika itu.
Baju muslim warna hitam dan peci rajut berwarna sama di dalam kotak yang masih terbungkus rapi di atas meja belajarku, tak akan pernah menjadi kejutan…
***
AKU hidup bersama bayang dan memoriku tentang Teuku sampai pendidikanku selesai tahun 2008. Aku tidak pindah kos, barang-barang Teuku masih terawat baik dalam kamarku. Kadoku yang tak tersampaikan juga masih di tempatnya walau kertas pembungkusnya mulai usang.
Papaku menangis haru ketika aku diwisuda. Mama sesengukan saat aku berujar, ‘Andai Teuku juga bisa memakai toganya…’ Lebih dari yang aku tahu, Teuku juga telah meninggalkan kenangan baik dan menorehkan rasa kehilangan di hati mamaku ketika dia pergi.
***
Penghujung tahun 2008 aku diterima bekerja di sebuah bank swasta di Kota Medan. Kupindahkan semua barang-barangku dan Teuku ke rumah kontrakanku yang baru.
Lembar hidupku boleh saja berganti sejak saat itu, tapi ingatanku akan masa yang telah lewat bertahun ke belakang tidak serta-merta terkikis. Teuku masih hidup dalam diriku.
Setiap datangnya bulan puasa, aku juga masih melakukan beberapa hal yang pernah kulakukan bersama Teuku. Setiap tibanya tanggal lahirku, aku akan melepas rindu pada baju kaus yang pernah dihadiahkannya untukku yang sengaja tidak kupakai lagi sejak dia tiada, kusimpan bersama baju muslimnya. Pun begitu ketika tiba tanggal lahirnya, ketika orang-orang mengenang musibah dahsyat di tanggal yang sama, aku tenggelam dalam sesaknya kenangan bersama Teuku, berteman dengan identitasnya yang masih kusimpan.
Lalu bila natal tiba, aku melihat diriku dan Teuku sama-sama menghias pohon cemara sambil tertawa-tawa.
Dan pergantian tahun menjadi titik hampa yang kulewati bersama sepi.
***
Kota Medan, pertengahan 2012
Akhir-akhir ini aku sering melihat Teuku ketika tidur. Dia berdiri di atas hamparan luas rumput yang menghijau, tersenyum padaku sambil melambai. Wajahnya begitu cerah, mata bundarnya masih sama seperti yang kuingat, rambutnya juga, hanya saja terlihat lebih rapi. Tak ada kata, dia hanya berdiri memandang dan melambaikan tangan sambil tersenyum.
Ketika paginya aku terbangun, benda pertama yang aku ingat adalah toples berisi burung kertas yang berada di nakasku. Burung kertas buatan kami berdua.
Setelahnya aku akan teringat kata-kataku sendiri yang pernah kuucapkan padanya.
‘Meskipun cantik, ia hanyalah burung kertas, ia boleh punya sayap, tapi tetap tak bisa terbang…’
Seperti perasaan tak terkatakan yang masih kusimpan dalam hatiku hingga kini. Perasaan bernama cinta itu begitu cantik, begitu indah. Tapi cintaku diam, tidak menuju kemana-mana lagi. Burung kertas itu seperti aku. Meski aku punya cinta yang masih begitu kuat, namun cinta itu tak mungkin melesat kemanapun. Aku tertahan. Cintaku sudah terkurung di satu titik, tak mungkin bisa tersampaikan lagi, buat Teuku.
***
Kota Medan, 26 Desember 2012
Ketika Teuku muncul dalam tidurku lebih sering dengan gambaran yang sama, aku mulai mengerti satu hal. Melepaskan. Ya, delapan tahun aku telah hidup bersama kenanganku, dan kini dia ingin aku melepaskannya.
Pagi ini saat terbangun, aku merenung dalam-dalam akan gambaran berulang yang selalu sama dalam tidurku. Maka kemudian kumantapkan hatiku. Kuyakinkan diri bahwa aku telah sampai di ujung garis. Lalu kuputuskan, aku akan mengunjungi Teuku di hamparan luas rumput menghijau tempat dia berdiri tersenyum sambil melambai kepadaku.
Aku akan ke sana untuk pertama kalinya…
***
Ulee Lheue, 31 Desember 2012
Aku menatap hampa pada burung-burung kertas yang sudah kutaburkan di atas rumput hijau tempatku duduk berjongkok sejak belasan menit lalu. Toples yang menjadi wadahnya juga turut kuletakkan di atas rumput.
“Aku sudah melepaskanmu, Mungil… aku sudah bisa mengikhlaskanmu…”
Aku menyeka mata. Kususurkan jemariku di atas rumput, menyentuh burung-burung kertas yang baru saja kutaburkan.
‘Terima kasih untuk telah jadi pelindungku selama ini…”
‘Mungkin kamu gak sadar bahwa keberadaanmu bersamaku telah melindungiku di negeri orang. Aku merasakan itu, aku merasa terlindungi dengan adanya kamu…’
Kembali aku merefleksi masa yang pernah kulewati bersamanya. Dari awal aku melihatnya di gerbang rumah kos, sampai rekaman wajahnya yang melongok dari kaca mobil travel. Saat itu aku merasakan perpisahan kami beda. Siapa mengira, dia yang menangis sambil melambai dari pintu mobil ternyata menjadi penglihatanku yang penghabisan akan sosoknya, bahkan aku merasa sudah benar-benar berpisah dengannya ketika sesengukan di atas motorku waktu itu. Begitu juga ketika kami berbicara lama di telepon saat hari jadinya.
Takdir sudah menunjukkan tanda-tanda dengan begitu jelasnya, manusia yang tak jeli membaca.
‘Aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu…’
“Aku juga menyayangimu teramat sangat, Mungil…”
Angin sore berhembus damai di sini, aroma pantai membaur di udara. Satu kali dulu aku pernah membaui aroma yang sama di sini, ketika Teuku membawaku memutari Ulee Lheue dengan motor bebeknya.
“Tadi aku mengunjungi Lampulo… tempat rumahmu dulu… ah, aku masih bisa melihatnya meski sekarang ada bangunan baru di sana…” kuseka mataku, “Rasanya aku melihat Tuwah dan yang lainnya menyambut kita di teras…” aku tertawa pendek.
Senja mulai turun. Aku sudah terpekur cukup lama di atas rumput hijau yang menjadi satu-satunya tujuanku di sini.
“Mungil, dulu kamu pernah mengatakan padaku hal yang belum pernah kamu katakan sebelumnya… bahwa kamu merasa terlindungi dengan adanya aku. Sekarang, aku juga akan mengatakan hal yang belum pernah kukatakan sebelumnya padamu, meski aku pernah berpikir bahwa mungkin kamu tahu…” aku berucap lirih. “Aku mencintaimu, Mungil. Aku mencintaimu…” nafasku tercekat, aku mendongak sebelum meneruskan ucapan. “Aku pikir, suatu saat aku bisa mengatakan langsung. Tapi ternyata aku salah… aku baru bisa mengatakan sekarang setelah sekian tahun lamanya… setelah kamu di sini…”
Sebentuk kedamaian menelusup dalam rongga dadaku, aku merasa begitu ringan sudah melisankan setelah menyimpannya bertahun-tahun. “Aku yakin Mungil sudah bahagia di sana… jangan khawatir, Jayen juga bahagia di sini…”
Aku menoleh pada kubah mesjid di arah matahari terbenam, suara orang membaca kitab suci Teuku mulai mengalun dari speaker-nya.
“Mungil, aku sudah harus pulang…” kususurkan lagi jemariku di atas rumput. “Jika penghujung tahun depan aku masih hidup, aku pasti mengunjungimu lagi…” aku tersenyum, “Mungkin dengan membawa serta bola tenismu… tenang saja… masih banyak benda yang bisa kubawa sebagai kawanku jika tahun depan dan tahun depan dan tahun depannya lagi aku masih ada…”
Aku mendongak menatap langit yang sudah kelabu seluruhnya, lalu kubawa pandanganku ke arah barat yang memerah. “Mungil, aku belajar ikhlas… aku sudah ikhlas… meski aku tak bisa lupa, tapi aku sudah melepaskanmu…”
Kuraup wajahku lalu bangkit berdiri. Kupandang lagi burung-burung kertas di atas rumput sebelum mengambil langkah. Aku lega kini, aku percaya, inilah yang diinginkan Teuku.
Kulangkahkan kaki menuju gerbang. Sebelum beranjak keluar, aku berdiri dan kembali menyapu seluruh hamparan hijau di dalam sini dengan mataku. Pandanganku berhenti pada papan tanda bertuliskan ‘KUBURAN MASSAL’ dengan huruf besar yang terbaca begitu jelas bahkan dari jauh, diikuti kalimat ‘TAMAN MAKAM SYUHADA KORBAN TSUNAMI DESEMBER 2004’ yang tertulis dengan huruf lebih kecil di bawahnya. Papan ini terpancang demikian jelasnya, sebagai tanda. Layaknya prasasti. Aku mendesah. Taman Makam Syuhada, Teuku adalah Syuhada… aku tahu itu sebutan yang baik. Dia telah berada di tempat yang layak, dengan sesama Syuhada.
Suara adzan magrib berkumandang tepat ketika aku keluar melewati gerbang hijau, pintu indah rumah Teuku sekarang…
TAMAT

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Bagus banget cerita Nya.itu kisah nyata apa fiktif .sampe nangis baca Nya

Unknown mengatakan...

Cerita yg indah, seperti bener2 nyata dan mengalir apa ada nya, tidak seperti dikarang2, sampe nangis ngebaca nya. Makasih buat pengarang nya udah menciptakan cerita yg begitu indah ini

Posting Komentar