A Gift From The Heart



By : Shan
Suatu siang yang tampak berawan di Kota Bandung hari itu. Terlihat seorang pria dewasa berkacamata tengah duduk seorang diri di pojok Taman Kota. Dari penampilannya dapat ditarik kesimpulan bahwa ia adalah seorang dokter muda,terlihat jelas dari jas putih yang ia kenakan khas seorang dokter dan sebuah tas hitam kecil seperti koper bertengger disebelahnya. Sejak datang ke tempat itu ia hanya diam saja, sesekali mengedarkan pandangan ke setiap penjuru taman. Sesekali menengadahkan tangan menyambut daun-daun yang jatuh berguguran. Ia kenal betul tempat itu. Tak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu bertahun-tahun yang lalu. Ia menatap ke langit, diantara rerimbunan pohon-pohon akasia besar ia masih dapat melihat awan yang berarak beriringan mengukir siluet wajah orang yang dulu juga ia kenal. Sebuah daun jatuh keatas kepalanya,ia hendak membersihkan namun ada tangan lain yang lebih dulu menyentuhnya. Sang dokter muda terlihat sedikit terkejut melihat pemilik tangan itu kemudian ia tersenyum manis sekali lalu mempersilahkan tamu nya itu untuk duduk.
“Aku ingin menceritakan sesuatu.. mau mendengarkanku?” ujar si dokter muda memecah kesunyian dan hanya di respon oleh sebuah anggukan.
***
“Sampai kapan kamu mau ngeliatin aku kaya gitu terus?”
Mata peonix itu akhirnya terbuka juga. Memamerkan irish hitam-nya yang selalu indah menurutku. Ia mendelik jengah saat mendengar jawabanku yang hanya tertawa geli menjawab pertanyaannya. “Apa aku begitu mempesona ya ducky? Bahkan saat tidur sekalipun?” ia mulai lagi. Aku tertawa lebih keras dari sebelumnya,ia jengkel,bangun dari tidurnya dan menjitak kepalaku gemas membuatku sedikit meringis.
“Sakit tau!” protesku. Ia malah menjulurkan lidahnya meledek. Aku jadi kesal sendiri karena tingkah konyolnya itu,aku gigit saja lengannya,karena aku ga bisa menyentuh puncak kepalanya. Ia terlalu tinggi buatku. Bukan karena aku pendek,aku cukup tinggi kok dikalangan siswa dikelasku, tapi memang dia-nya aja yang ketinggian, maklum saja ia salah satu atlet basket sekolahku.
Ia berteriak keras sekali,sambil menjauhkan kepalaku dari lengannya. Akhirnya karena kasihan aku lepas gigitanku. Ia beringsut menjauhi aku sambil terus memegangi tangannya. Aku melirik kearahnya,deretan gigiku tercetak jelas di lengannya yang memerah. Ia manyun saja. Aku nyengir tanpa merasa bersalah.
“Sakit tau!” kali ini ia yang protes,aku menjulurkan lidahku-membalas ledekannya. “Kebiasaan deh gigit-gigit. Emang kamu vampir apa?!” ia mengomel,persis ibu-ibu galak yang lagi marahin anaknya.
“Abis kamu jitakin aku!” jawabku ga mau kalah.
“Kamu-nya nyebelin!”
“Kamu sih ke-Pede-an!”
“Biarin sih! Aku kan cowo kamu! Emang ada larangannya gitu ga boleh narsis di depan pacar sendiri?”
Dan jurus terakhirpun aku keluarkan,“Ih.. pulang sanah! Udah malem tau! Ngapain sih dirumah orang terus,pulang sanah! Udah hampir tengah malem nih..”
“Hah?eh... ducky..kamu ngusir aku..ducky..kok gitu. Kamu beneran marah ya? maaf deh.. maaf ya?” Nah,berhasil kan? aku tea di lawan.
“Udah sana pulaaaang.. aku mau tiduurr...sanaa dasar gentooong..pulang sanaaaa...” Aku mendorong tubuh besarnya menuju ke pintu. Berat banget lagi! dia masih sempet-sempetnya mohon mohon minta maaf meskipun sedang aku geret paksa. Dengan susah akhirnya perjuangankupun berhasil, sambil mengatur nafas yang ngos-ngosan dengan sisa tenaga aku hendak menutup pintu tapi-
Tapi pintu-nya ditahan si gentong, “Ducky..jangan marah ya..”
“Hemm..he emmm..” aku mengangguk.
“Kalo ada apa apa,panggil aku ya..” aku mengangguk lagi. “Kalo aku ga keluar juga,kamu pecahin kaca kamar aku aja, kamar kita kan berhadapan,terus rumah kita kan hampir dempet pasti bisa lah yah. Aku pasti langsung dateng kok” Lagi-lagi aku mengangguk mengiyakan.
Ia menangkup kedua pipi ku ditangannya yang besar menjadi satu. Membuat bibirku monyong, “Jawab atuh sayang,ngangguk wae jiga guguk-gugukan nu aya di dasboard mobil aku.” Aku melotot mendengar ejekan dengan logat khas sundanya seperti biasa. Ia mengernyit,entah takut entah geli, kemudian- CUUUUUUUUUPPP begitu kurang lebih bunyinya. Akal sehatku terasa dicabut beberapa saat. Si gentong mencium bibir ku di depan rumahku sendiri. Mukaku terasa memanas. Tak lama ia melepaskan ciuman sepihak kami,aku yang shock luar dalam hanya bisa bersandar di daun pintu. “Malah diem..mau lagi?” sebelum ia sempat nyosor, aku buru-buru membanting pintu menyelamatkan diri. Dari luar sempat terdengar ringisan pelan darinya,aku terkikik geli. Lalu terdiam sejenak mengingat kejadian barusan. Muka-ku kian memanas,aku malu banget, “Bukannya ga mau lagi,tapi kamu-nya gitu..kaya bercanda..aku jadi males.” lirihku dalam hati.
Dia-si Gentong-pacarku, Yama namanya pemuda tampan tanpa celah yang telah merenggut paksa hatiku sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia temanku sejak kecil..cinta pertamaku.,juga kekasihku. Rumah kami bersebelahan,dan kamar kami juga berseberangan. Setiap malam saat aku tidak bisa tidur,aku selalu memanggil Yama, memintanya untuk menemaniku mengobrol diatas balkon sampai aku mengantuk. Tidak peduli tengah malam sekalipun ia tetap akan ada untukku. Wajah-nya tak pernah bosan untuk kulihat, kulit bagai porselin dan mata yang sepeti bulan sabit ketika tersenyum. Aku suka,suka sekali. Tapi tingkahnya yang luar biasa jahil terkadang membuatku ga tahan. Terlepas dari sifatnya yang kekanak-kanakan aku sangat menyayangi-nya,dan aku tau Yama juga begitu.
Aku masih ingat saat menyatakan cinta padanya. Dihari ulangtahun sekolah kami setahun lalu. Aku menarik Yama melewati kerumunan siswa-siswi lain yang sedang asyik ditengah lapangan menikmati acara musik sekolah,membawanya ke loteng paling atas. Disini jarang sekali ada yang datang,jadi aku bisa mengutarakan perasaanku dengan tenang. Aku gugup sekali waktu itu,jantungku berdetak begitu cepat seperti mau loncat kesana-kemari. Yama hanya diam saja memandangiku yang tengah merunduk,akhirnya dengan tekad bulat dan keberanian yang dikuat-kuatin serta mental baja jika ditolak nanti. Aku berhasil mengatakannya meskipun terbata-bata dan sedikit...gitu...
“Yama aku..aku mau..aku.. aku mau...”
“Mau pup?”
“Iyah.. eh..eh bukan,bukan mau pup. Aku mau ngomong..serius nih..aku mau bilang..”
“Mau bilang kamu mau pup?”
“Bukan!! kamu teh kalo mau pup yaudah sanah. Jangan ngomongin pup mulu!”
“Yaudah aku mau pup dulu kalo gitu,kebelet dari tadi soalnya.”
Tapi serius,meskipun udah bubar ‪#‎apasih‬? Aku berhasil kok ngomong sama Yama begitu dia selesai pup. Saat dia buka pintu WC aku langsung bilang deh, “Yama.. aku suka sama kamu dari dulu..aku ga tau musti gimana lagi.. kalo mau nabok aku sampe bonyok abis ini aku siap kok.. siap banget malah,paling kamu diomelin sama mamah aku..pokoknya Yama intinya mah.. mau ga jadi pacar aku?” udah gitu ajah. Aku ga sanggup ngomong apa apa lagi. Beruntungnya karena waktu itu ga ada seorangpun yang ada di kamar mandi sekolah kecuali aku dan Yama. Saat itu Yama kaget banget kelihatan saat dia mundur beberapa langkah ngejauhin aku sambil nutup mulut dengan tangan kanannya. Aku langsung menunduk lemas,gagal menyembunyikan rasa kecewa yang tiba-tiba berhamburan keluar. Mataku mulai berair. Aku ga boleh nangis-seenggaknya di depan Yama. Gak boleh nangis. Tiba-tiba Yama narik aku kedalam salah satu bilik kamar mandi dan ngunci pintu-nya rapat-rapat. Aku cuma bisa nunduk,siap-siap mau dipukul sama Yama.
“Aku gak nyangka.. kamu berani juga ya ternyata..aku..dari lima tahun yang lalu udah suka sama kamu. Tapi aku ga berani buat ngomong. Aku takut..takut banget kamu ngejauhin aku. Aku ga bisa jauh-jauh sama kamu. Wisnu..aku suka banget sama kamu. Aku mau jadi pacar kamu.”
Gitu kata Yama. Dan resmi lah kami jadi sepasang merpati ‪#‎eh‬ kekasih maksudnya. Dikamar mandi sayangnya kita ga ngapa-ngapain. Gak ngelakuin this and that yang sering aku impiin sampe tumpeh-tumpeh kalo malam. Gak pengen juga sih-tapi boong. Yama cuma meluk aku..lama banget. Rasa-nya waktu berhenti berputar saat itu juga. Aku bisa dengar suara detak jantungnya yang gak kalah ngajak ributnya sama aku. Aku senang banget. Impianku jadi kenyataan. Jadi milik pribadi Yama.
Bahkan setelah setahun berlalu aku masih sering deg-deg an sendiri saat ketemu Yama,entah dengar suaranya,entah liat dia tertawa,entah saat dia meluk aku,entah juga saat dia berani nyium aku. Dia punya alasan buat bikin jantung aku jadi ga karuan detaknya. Cuma dia yang punya alasan itu.
“..hmmm..kemana sih..” Daritadi aku menunggu Yama datang, biasanya si gentong sejak jam tiga tadi udah nongkrong dikamarku, tapi sudah hampir jam lima sore dia belum juga datang. “Apa dia marah soal semalam?Tapi masa sih dia marah?Dia gak mungkin marah. Duuh..Yama kemana sih.. Yama cepatan datang dong..” suara hatiku mulai keluar-keluar. Buru-buru aku telfon nomornya tapi ternyata gak aktif. Aku jadi semakin gak tenang.
“Ducky.....bangun.. aku pinjam handuk..sayang banguun..aku pinjem handuk...”
Aku tertidur. Ternyata aku tertidur di sofa saat sedang menunggu Yama. Mataku mengerjap-ngerjap agar terbiasa pada cahaya terang yang berada tepat diatas kepalaku. Aku melihat kesekeliling. Kemudian memandang takjub kearah Yama yang tengah berdiri gemetar kedinginan disampingku. Tanpa berkata apa apa lagi aku segera berlari mengambil handuk dan membantu Yama mengeringkan tubuhnya. Baju-nya basah semua. Aku melirik kearah jendela,hujan deras rupanya. Kasihan sekali dia.
“Kamu ga bawa payung? Yama menggeleng cepat,giginya bergemerutukan menahan dingin. Aku jadi semakin iba padanya. Aku merengut cemas. Gimana jika dia sakit?Aku ga mau Yama sakit.
“Cemberut wae senyum atuh..” ujar Yama pelan.
“Takut kamu sakit..” aku menghela nafas panjang masih sambil mengeringkan tubuh Yama dengan handukku. Sekilas aku melihatnya tersenyum tipis.
“Peluk aku atuh..bentar aja..janji ga macem-macem..pelis banget..aku kedinginan nih...” Peluk dia bilang? Aku menengadah menatapnya ragu,ia juga menatapku. Sorot matanya hangat sekali. Dipandangi seperti itu wajahku terasa memanas. Aku mendekat maju padanya kemudian memeluk pinggangnya posesif menyandarkan kepalaku didadanya. Aku bisa menghirup aroma Yama dari jarak sedekat ini. Jantungku mulai ga bisa diatur detaknya.
“Coba aja kamu ga pendek gini. Pasti enak dipeluk..” seloroh Yama sesaat kemudian. Kesal karena diledek aku berjinjit lalu menggigit bahunya keras-keras. Ia berteriak mencoba menjauhkan kepalaku dari tubuhnya. “Wisnu kebiasaan deh!” raung Yama,ia memegangi bahunya dengan ekspresi wajah yang hampir sama persis seperti semalam saat aku menggigit lengannya. Aku melempar handuk kemukanya, “Keringin sendiri sanah!” bentakku sambil berjalan ke dapur.
“Mau kemana? Aku bercanda kok..jangan marah ducky..”
“Aku tau! Mau bikin teh biar kamu ga kedinginan lagi!”
“....”
“....”
“Makasih.. Akhir-akhir ini kamu kok pucet ya?” ujar Yama setelah aku meletakkan segelas besar teh manis hangat dihadapannya,ia sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana training paling besar yang aku punya.
“Masa sih?” aku malah balik bertanya,Yama mengangguk-menyeruput teh manisnya.
Akhir-akhir ini memang badanku terasa gak enak. Bukan akhir-akhir ini,yang benar beberapa bulan ke belakang. Cepat lelah, gampang memar,suka mual. Bahkan yang paling parah dua hari yang lalu aku muntah darah. Aku ga tau aku ini kenapa, aku gak mau menganggap serius juga ga pernah bilang ke siapa-siapa, sekalipun ke orangtuaku.
“Kamu ngelamun lagi...” dan juga susah konsentrasi,aku jadi sering ngelamun. “Kamu sakit?” aku menggeleng menjawab pertanyaan Yama. “Ke dokter yuk? Aku anterin..”
“Enggak.. aku ga apa apa..” aku mengelak.
Perutku rasanya semakin aneh saja. Sejak tadi pagi aku menahannya,tapi aku udah ga kuat lagi. Cepat-cepat aku berlari menuju kamar mandi. Wastafel..wastafel aku butuh benda itu. Aku mau muntah. Tapi ternyata bukan isi perutku yang keluar. Melainkan darah kental kehitam-hitaman. Banyak sekali. Lebih banyak dari dua hari yang lalu. Tubuhku gemetar hebat,kakiku kesemutan,jika ga berpegang pada sisi wastafel pasti aku terjatuh. Aku terbatuk-batuk. Darah itu keluar-lagi. Tanganku yang jadi wadahnya. Aku menengadah menatap cermin didepanku. Wajahku pucat sekali. Aku kenapa ya Tuhan?
Pintu kamar mandi terbuka. Bodoh! aku lupa menguncinya. Aku segera mengelap sisa darah disekitar bibirku kemudian menyembunyikan kedua tangan serta wastafel sekalian di belakang tubuhku. Yama masuk,ia terlihat begitu cemas.
Yama mulai mendekat padaku,“Kamu kenapa?”. Aku menggeleng kuat,“Kamu.. ga pulang?udah.. gak hujan kan?” jawabku berusaha mengalihkan pembicaraan. Perutku makin gak karuan rasanya.
“Aku ga mau pulang..kita ke dokter dulu baru aku pulang yah?” Aku menggeleng lagi, “Aku gak apa- uhugh!! hugh!!” aku jatuh tersungkur. Yama berlari menerjangku, berteriak meminta pertolongan, bertanya apa aku baik-baik saja. Aku diam ga mampu menjawab. Semua terasa berputar kemudian gelap sama sekali. Hal terakhir yang aku dengar adalah suara Yama yang terisak panik memanggil namaku.
Sirosis adalah suatu kondisi di mana jaringan hati yang normal digantikan oleh jaringan parut (fibrosis) yang terbentuk melalui proses bertahap. Jaringan parut ini memengaruhi struktur normal dan regenerasi sel-sel hati. Sel-sel hati menjadi rusak dan mati sehingga hati secara bertahap kehilangan fungsinya. Bila pasien mengalami perdarahan usus sehingga muntah darah, atau mengeluarkan darah melalui tinja, atau tinja menjadi hitam, dokter mungkin akan segera melakukan tindakan untuk mengatasinya. Berbagai teknik bedah dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi risikonya lebih lanjut.
Dalam kasus yang parah di mana jaringan parut meluas dan hati nyaris tidak bisa berfungsi, maka transplantasi hati mungkin adalah satu-satunya pilihan.
“Transplantasi hati satu-satunya cara agar anak bapak dan ibu bisa bertahan. Itupun peluangnya.. semakin hari semakin kecil. Mungkin jika ditangani lebih cepat-..”
Samar-samar aku mendengar suara seorang pria sedang berbicara. Aku mengernyit,dan perlahan-lahan membuka kedua mataku. Sinar terang berwarna putih langsung menguasai ruangan ini,aku mengerjap-ngerjapkan mata berinteraksi. Suara si pria terhenti tepat ketika mataku terbuka. Mataku mencari ke sumber suara,rupanya mereka. Papa,mama,serta seorang pria lanjut usia yang aku yakini adalah seorang dokter.
“Jadi aku sakit parah ya?” kataku sambil berusaha untuk bangun,aku tak mampu menahan rasa ingin tau. Mama terlihat terkejut mendengar pertanyaanku. Aku bisa lihat airmata tadi sempat turun dikedua pipinya. Ia mendekat padaku kemudian memelukku erat seraya membisikkan, “It’s ok honey,it’s ok..it’s gonna be ok..I’ll be with you.” Sementara papa membawa keluar dokter yang tadi bercakap-cakap dengan mereka.
Bukan jawaban itu yang aku inginkan. Aku kembali berbaring, badanku sakit semua rasanya, mataku terpejam. Airmataku meleleh turun. “Wisnu sakit parah yah ma?” bisikku nyaris tak bersuara. Saat aku kembali membuka mata mama juga ikut menangis, “Kata dokter... ya. Tapi kata Mama enggak. Anak Mama kuat kok. Mama tau itu. Wisnu-nya Mama kuat.” Aku tau beliau sedang berbohong atau hanya berusaha menghiburku, aku tau betul kebiasaannya,beliau tidak mau menatap mataku. Malah beralih membetulkan selimutku yang tidak seharusnya dirapikan.
“Jadi kamu kena sirosis hati? Aku mengangguk meng-iyakan menjawab pertanyaan Yama. Sejak dirawat dirumah sakit sampai hari ini-tiga hari setelah keluar,aku belum bilang apa-apa sama pacarku itu tentang sakit ini. Aku menengadah menatap sosok yang kini duduk di meja belajarku,dihadapanku. Hari ini dia tampan sekali. Bukan hari ini saja..setiap hari dia memang selalu tampan. Tapi aku gak pernah mengakuinya. Bagaimana jika aku..ga bisa lebih lama ngeliat dia lagi..Aku menggelengkan kepala kuat,mencoba agar gak menangis.
“Parah ga? Tanya Yama polos.
Ternyata dia gak tau apa-apa tentang sirosis hati, “Enggak kok..” jawabku sekenanya.
“Masa sih?kok kamu sampe pingsan gitu? Keluar darah juga dari mulut kamu..aku takut banget waktu itu.”
“Beneran.. Cuma lebih parah dari diare. Sedikit.”
Ia mengernyit, “diare? Kamu boong ya ducky?”
Aku jadi tertawa. Yama bodoh juga ya ternyata. Dia beneran gak tau atau lupa sih? Waktu itu kan kita berdua pernah nonton film Heart di bioskop. Masa dia ga inget sakitnya si Luna pemeran utama yang nyaris bikin dia sesenggukan di akhir film.
“Kenapa ketawa?Aku lagi serius Wisnu.” Aku berhenti tertawa,Yama benar-benar lagi serius. Biasanya kalo lagi bercanda dia pasti manggil aku dengan sebutan ~ ducky.
“..aku sekarat..kata dokter.” Yama diam tak bergeming,ia terlihat mencerna kalimatku. “Aku sekarat..”ulangku lagi,kali ini airmataku juga ikut turun. Aku tersenyum kecut masih sambil menatap Yama. Yama berjalan ke arahku,kemudian duduk dihadapanku. Ia menghapus setiap tetes yang turun dari sudut mataku.
“Kamu gak sekarat ducky,pasti ada jalan keluarnya..ada aku disini. Kamu tenang aja..kamu ga perlu khawatir..”
***
Lima bulan berlalu sejak vonis dokter yang membuat keluarga kami dibayangi-bayangi oleh duka nestapa. Dalam waktu yang sesingkat itu perubahan besar-besaran terjadi dalam hidupku. Tubuhku jadi ringkih sekali. Dalam seminggu aku absen sekolah hampir setengahnya. Orangtuaku jadi lebih sering ada dirumah,walaupun gak setiap hari,tapi mereka selalu ada saat aku harus chek-up di rumah sakit. Aku jadi akrab dengan jarum suntik yang dulu aku takuti. Aku juga jadi akrab dengan para suster dan beberapa dokter dirumah sakit langgananku itu. Setiap kali aku menatap cermin ada bayangan orang yang tidak ku kenal disana. Bayangan seorang pemuda dengan wajah pucat seperti mayat. Setiap saat aku katakan bahwa itu bukan aku,tapi saat itu juga aku menyadari bahwa itu adalah aku.
Aku dan Yama baru aja menyelesaikan Ujian Nasional dua minggu yang lalu. Setelah perundingan panjang yang dibuat oleh mama dan papa, mereka memutuskan agar aku menunda kuliahku. Aku ga bisa nolak meskipun mau. Aku sadar diri. Aku ga bakalan kuat. Sementara Yama,dia memutuskan untuk menjadi dokter. Aku sempat tertawa geli mendengar cita-citanya yang berubah sekitar tiga hari yang lalu. Dan aku ga bisa berhenti tertawa saat membayangkan Yama menjadi seorang dokter. Gak cocok banget! Badannya kan besar,dia lebih cocok jadi atlet basket atau gulat sekalian. Tapi dia bersungguh-sungguh. Untuk menyembuhkan aku katanya. Aku cuma bisa tersenyum saja mendengar alasannnya.
Hubunganku sama Yama juga berubah. Yama masih rajin kerumahku setiap hari,dia juga sering nganterin aku ke rumah sakit,tapi Yama jadi lebih berhati-hati padaku. Gak kasar kaya dulu. Dia gak pernah menjitak kepalaku lagi. Gak pernah ngejar aku kalau lari,malah menyuruhku untuk berhenti,takut aku kelelahan. Gak pernah bergulat lagi dikasurku. Bahkan dia juga gak pernah nyium paksa aku lagi seperti kebiasaannya dulu. Diperlakukan seperti itu aku bukannya senang,malah sedih. Aku gak tau kenapa. Kalau seperti itu aku jadi lebih sadar bahwa aku ini orang sakit yang lagi sekarat dan menunggu ajal datang.
“Ducky..duduk yuk..” Aku menggeleng menolak ajakannya, “Ini bukan tempat biasa kita duduk Tong..itu disana tempatnya! Ayo jalan lagi..”kataku sambil menarik tangan Yama memaksanya mengikuti keinginanku.
“Tapi kamu pucet..jangan cepet-cepet Wisnu!” Ia mulai berteriak saat aku berlari gak sabar.
“Yama!” bentakku sambil menatap tajam pada Yama, membuatnya jadi bungkam. Aku benci diperlakukan seperti orang sakit.
Disinilah kami berada. Taman Kota. Setiap hari Sabtu kami berdua selalu ada ditaman ini. Bangku paling pojok disudut taman ini adalah tempat favorit kami. Disini jarang sekali ada orang yang lewat. Suasananya sepi sekali,begitu damai,aku suka tempat ini. Biasanya aku dan Yama mengobrol berjam-jam lamanya,sampai matahari terbenam kami baru pulang.
Sejak mulai duduk tadi Yama hanya diam saja. Dengan raut wajah serius matanya menerawang ke depan tanpa memperhatikanku. Apa dia marah?
“Gentong....”
“Hmm..”
“Kamu marah bukan? Dia menggeleng tanpa berpaling padaku membuatku jadi sedih sekali. “Jangan..diemin aku gitu..aku..maafin aku atuh..” ucapku penuh sesal.
Terdengar helaan nafas panjang dari Yama sebelum ia menjawab kalimatku, “Aku gak marah kok ducky..aku takut.. kamu susah banget dibilanginnya. Batu.” Ia terkikik,kepalaku jadi sasarannya ia menjitakku lagi tapi kali ini pelan sekali. Aku juga ikut tertawa lega lalu menyandarkan kepalaku di bahunya. Kami diam menatap daun yang berguguran disekitar kami. Perutku mulai aneh. Akhir-akhir ini semakin sering bahkan disertai dengan rasa sakit yang menusuk.
“Kamu gak mau nyium aku? Disini ga ada orang loh. Biasanya kamu nyium tanpa izin aku. Tapi sekarang gak pernah lagi.” Kataku memecah kesunyian seraya mengangkat kepala dari bahu Yama.
Ia sedikit terkejut,terlihat dari sorot matanya dan saat ia menelan ludah kalut. Pandangannya beralih pada bibirku,seakan ingin menerkamku tapi ia tahan sekuat tenaga. Ia malah kembali berbalik menatap lurus kedepan mengabaikan aku yang menunggunya. Aku mendesah kecewa, “Kamu takut ketularan ya?” lirihku. Aku sedih banget.
Yama bedecak kesal. Kini ia menatapku tajam, “Apaan sih?! Jangan ngawur kamu Nu. Kalo aku takut,aku udah ninggalin kamu dari awal aku tau!”
“Terus kenapa?”
Tatapannya melunak saat aku bertanya dengan muka sedih, “Kenapa kamu masih aja sok kuat sih?” raut wajahnya berubah jadi seperti ingin menangis.
“Kalo cuma dicium aku kuat kok!” jawabku sambil nyengir lebar.
Yama diam gak menjawab malah menarik tanganku pelan berhadapan dengannya, ia memegang belakang kepalaku dan mempersempit jarak diantara kami. Jantungku mulai berontak,aku gugup luar biasa. Mataku kututup rapat-rapat. Aku bisa merasakan nafasnya sekarang. Lalu ada sebuah bibir lain yang menyentuh bibirku. Lembut sekali. Aku membuka mataku. Mata Yama terpejam. Aku mulai membuka mulutku perlahan dan berusaha mengatakan, “Aku..kuat kan..” Yama meremas rambutku membuat mulutku lebih terbuka,lidahnya masuk,mengabsen deretan gigiku,kemudian mengajak lidahku bergulat sebelum akhirnya aku mendengar dengan samar, “Diamlah sayang..” he is a good kisser i swear. Aku hampir kehabisan nafas,Yama gak mampu mengendalikan diri lagi, Ia ga mau berhenti, tapi perutku kian bergolak,sakit. Aku mencengkram kuat punggung kaos Yama. “Yama..”erangku pelan. Aku hampir terbatuk,Yama mengakhirinya cepat. Ia memutuskan belang saliva yang kami ciptakan. Warnanya..merah..
Aku memegang bibir Yama dengan tangan gemetar hebat. Warnanya juga merah... Perutku semakin sakit,aku terbatuk beberapa kali,Yama memegangiku. Darah itu keluar lagi. Warna merah itu ternyata memang aku penyebabnya. Aku mengamati kedua tanganku yang berlumuran cairan kental itu lalu beralih menatap Yama putus asa.
“Kamu mau alasan kalo lipstik kamu berantakan? kaya Luna saat ciuman sama Farrel? Ga bisa sayang.. Aku tau kamu ga punya lipstik.” seloroh Yama,ia tersenyum tapi airmatanya jatuh turun satu persatu. Deras sekali. Ini pertama kalinya aku melihat Yama menangis.
Aku tertawa pelan tapi aku juga ga mampu menahan untuk ga menangis. Yama membawaku ke pelukannya,memelukku erat. “Aku gak mau mati...” lirihku nyaris tanpa suara.
“Iya sayang..iya..”bisik Yama
***
Tuhan ga akan memberikan cobaan lebih jika umatNya ga mampu. Ungkapan itu memang benar adanya. Setelah menunggu hampir tujuh bulan lamanya. Mukjizat itu datang. Orangtuaku menemukan seorang pendonor. Namanya Bayu. Ia penderita kanker otak stadium empat yang juga sedang menunggu ajal. Kondisinya lebih parah dariku. Ia gak bisa kemana-mana. Hanya dirumah sakit setiap hari. Saat pertama kali bertemu dengannya aku mengucapkan beribu-ribu terimakasih. Ia hanya diam. Tapi dia juga ikut tersenyum seraya mengangguk. Aku seperti terlahir kembali hari itu.
Tapi cobaan gak berakhir sampai situ aja ternyata.
“Kata dokter peluang operasi kamu berhasil cuma 35%?” Yama mengulang kalimat yang baru saja aku katakan. Ia menghela nafas panjang,wajahnya penuh tanya,ia menggeser tempat duduknya mendekati tempat tidurku. Aku dirawat dirumah sakit empat hari yang lalu setelah lagi-lagi ditemukan pingsan oleh kedua orangtuaku. Aku mengagguk meng-iyakan.
“Pendonornya kelamaan..” ucapku memberi menjawab kebingungan Yama.
“Aneh deh itu dokter..”
Aku mengernyit mendengar komentar Yama, “Aneh?”
“Aneh lah. Main vonis ajah. Bikin orang pesimis hidup tau ga. Harusnya dokter itu memotivasi pasiennya. Bukannya malah nakutin. Emang dia Tuhan bisa nentuin waktu hidup manusia? Aku sih kalo jadi dokter ga akan kaya gitu.” Kelakar Yama membuatku tertawa.
“Emang dokter Yama ini mau jadi dokter yang gimana sih?” ujarku gak serius.
“Ya..yang baik..yang pengertian..yang keren. Yang We O We deh pokoknya.”
Aku ngakak banget mendengar kalimatnya yang terakhir, We O We? Yama juga ikut tertawa geli. Akhirnya aku berhenti tertawa setelah merasa perutku mulai sakit, “Gimana bimbel kamu?”
“Lancar sih.. ducky..kamu ga pengen ikut SBMPTN juga?”
Aku tersenyum kecut,bisa lulus aja aku udah bersyukur banget, malah punya impian lolos Universitas Negri. “Enggak..”jawabku singkat
“Bohong!”
“Iya emang bohong! Aku pengen ikut. Tapi mana bisa nembus?kemarin-kemarin kan aku jarang masuk sekolah. Terus gak ikut bimbel juga. Gak akan lolos deh.”
“Ducky...”
“Apa?”
“Sebenernya aku udah daftarin kamu juga kemarin. Abis aku gak tahan. Jangan marah yah? Kabar baiknya kita seruangan loh. Semoga aja duduknya juga deketan yah.” Mataku membulat mendengar ucapannya,Yama nyengir innocent malah sambil memamerkan dua jarinya di pipi. Imut banget,heuh 
“Yama...”lirihku lesu.
“Jurusannya sama kaya aku. Di Universitas yang sama pula. Pendidikan dokter. Dokter Wisnu. Dokter Yama. Widiiih...”
“Yama ih...”
“Ducky bisa kok..kamu kan pinter..pasti bisa..”
“Tapi gak sepinter kamu..”
“Tapi kemarin nilai Un kamu terbaik se-sekolah sayaang..aku aja kalah. Udah ah jangan ngebantah terus. Mulai besok pulang bimbel,aku bakalan bawa buku-buku soal kesini. Kita belajar bareng. Masih sempet kok,kan ujiannya masih sebulan lagi. Kamu boleh nanya apapun yang kamu ga tau. Aku bakalan ajarin sebisa aku. Oke?” Yama mengacak rambutku pelan,ia tersenyum tulus. Aku gak tau harus bilang apa lagi. Beruntung banget aku kenal dia,lebih beruntung lagi karena aku pacarnya. Aku menganguk setuju akhirnya.
“Nah gitu dong..aku pulang ya ducky..udah hampir maghrib. Aku belum ijin tadi sama mamah mau mampir. Kamu ga apa apa kan sendirian?”
“Ga apa apa kok,bentar lagi juga orangtua aku dateng.”
“Yaudah deh..”
Aku mengangguk,Yama malah memperhatikanku,aku jadi gak enak diliatin gitu, “Apa?”
“Kiss doong..aku mulu yg nyium kamu..”
Wajahku memerah. Yama mendekatkan wajahnya padaku sambil menutup mata. Duh..aku harus gimana.. Buru-buru aku cium keningnya saja. Gak sampai lima detik aku langsung berbaring ngumpet dibawah selimut.
“Apaan tuh?Kaya kepentok pintu..”protes Yama. “Ducky..yang bener dong..”
Masih berada didalam selimut aku menjawabnya,“Gak mau ah..malu tau gentong! Udah sana katanya mau pulang...”
“Yaudah deh aku pulang..bye ducky..”
LOH!
Udah?begitu aja?tumben dia gak maksa lagi. Aku kecewa sedikit-boong-banyak! Penasaran kenapa Yama begitu kalem,aku membuka selimutku. Tapi-
CUUUUUUUPPPPP! Ternyata Yama belum pergi,dia malah berdiri disampingku dengan setengah badan menunduk diatas kepalaku. Kebiasaannya belum ilang! Cium paksa-lagi.
“GENTOOOOOOOOOOONG!!!”
***
Kabar baik-juga buruk itu- datang seminggu kemudian. Sore hari ketika aku sedang mengerjakkan soal-soal SBMPTN yang Yama berikan seperti biasa. Telepon rumahku berdering. Aku sendiri yang mengangkatnya. Dari rumah sakit. Bayu sekarat. Benar-benar sekarat. Aku bisa di operasi besok sore. Airmataku turun,rasa senang bercampur sedih. Aku bergegas menelpon orangtuaku mengabarkan berita ini, bersamaan dengan kedatangan Yama. Senyum gak pernah lepas dari wajah Yama yang tampan setelah aku memberitahukannya juga.
“Besok kamu bakalan sembuh ducky..Tapi besok aku harus try out di tempat les dulu. Jadi ga bisa nemenin kamu dari pagi. Apa aku bolos aja?”
“Enggak..gak usah ga apa apa lagi kan ada mama sama papa aku..kamu tenang aja....Gentong..janji sama aku yuk.” Aku mengacungkan jari kelingkingku di depan wajah kami.
“Ayo..janji apa?” Yama menautkan jarinya padaku.
“Kamu tau kan peluang berhasilnya operasi ini cuma 35%, malah kemarin turun jadi 30%?” Yama mengagguk, “Kalau operasinya gagal..terus aku..meninggal..kamu ga boleh sedih lama-lama. Cuma seminggu. Janji? Kalo kamu ngelanggar janji ini,aku bakalan jadi jurig yang ngehantuin kamu seumur hidup. Janji?”
“Janji apaan tuh?!” Yama melepaskan tautan kelingking kami, ia berdecak kesal.
“Ih..Yamaa..janji doong..ayo janji!” aku menarik tangan kanannya lagi,kali ini aku pegangi, aku tautkan kembali jari kami. Yama menatapku tajam, “Ayo janji!” ia diam saja.
“Yama please..” aku merengek.
“Ya..” aku tersenyum lebar. “Ya saya sih no,ga tau mas Anang. Ga mau ah. Konyol banget janjinya. Ga mau pokoknya.” Senyumku memudar,disuruh janji dia malah bercanda. Aku tarik tangannya,aku gigit! Biarin! Biar tau rasa. Dia berteriak seperti biasa.
“Wisnuuuuuuuu!!!!” aku berlari menyelamatkan diri ke taman belakang rumahku,dia mengejar dan berhasil mendapatkanku. Ia memelukku dari belakang. Sangat erat lalu menyandarkan dagunya di bahuku. “Kalo janji..kamu ga akan pernah jatuh cinta sama cowo lain selain aku,kamu mau janji?”
Yama memutar badanku berhadapan dengannya. Ia mengacungkan jari kelingkingnya sambil tersenyum lembut juga mengagguk tanda setuju, “Janji!” ikrarnya. Aku menyambut jarinya. Yama telah berjanji.
“Kalau jatuh cinta sama cewe boleh kok. Aku malah seneng.” Lanjutku. Yama ga menjawab,ia malah mencium pipiku singkat.
“Denger ya ducky-bebek-jelek-punya aku. Kamu pasti bisa kok ngelewatin ini semua. Kalau kamu cuma punya 30% -kata dokter. Aku bakal nambahin yang 70% nya. Jadi kan 100% kamu bisa sembuh. Aku bakalan berdoa yang khusyuk sama Tuhan. Aku tau Dia pemurah banget,pasti doa ku dikabulin. Meskipun harus ditukar pake nyawa aku juga..ga apa apa.”
“Jangan ngomong sembarangan gentong!” aku berjinjit menjitak kepalanya.
Ngomong apa dia barusan. Aku gak suka cara ngomong Yama yang kaya gitu. Terdengar begitu sedih. Aku juga gak suka liat ekspresi wajah sedihnya itu. Aku ga suka.
Dan hari itu pun tiba. Lima belas menit lagi aku akan masuk dioperasi. Aku duduk sendirian di sebuah bangsal. Orangtuaku sedang berbicara dengan keluarga Bayu diluar sana. Yama belum juga datang. Dia bilang akan sedikit terlambat. Entah karena apa. Dia gak jawab lagi saat aku tanya alasannya. Tapi dia berjanji akan datang sebelum aku masuk kamar operasi. Aku semakin resah saat seorang perawat masuk, mengingatkan sepuluh menit lagi dia akan menjemputku,aku disuruh bersiap-siap katanya. Aku segera menelfon Yama. Tapi ga ada jawaban. Aku melirik ke jendela. Hujan deras. Tiba-tiba aku jadi sadar betapa bergantungnya aku pada Yama.
BRAAKK!!!
Pintu bangsal terbuka. Itu Yama. Ia datang. Aku berlari hendak menerjangnya tapi dia melarangku. Tubuhnya sedikit kotor,dia terlihat pucat,dan berantakan.
“Jangan sentuh..aku kotor..nanti kamu ikut kotor. Aku ga sempet ganti baju tadi.” Lirihnya pelan.
“Ga apa-apa. Aku mau meluk kamu..bentar aja..” aku berjalan mendekat,tapi Yama malah mundur menjauhiku.
“Gak bisa Ducky..nanti aja kalo kamu selesai operasi terus sembuh.. kamu baru boleh meluk aku.” Aku merengut. Aku gak pernah minta dia buat peluk aku. Sekalinya meminta dia malah menolak.
Krieeeeett...
Pintunya terbuka lagi. Kali ini perawat yang tadi datang. Ia mengajakku untuk ikut bersamanya. Ia keluar dan menunggu di luar bangsal. Aku menatap Yama. Ia juga menatapku.
“Kalau aku ga selamat-“
“Aku ga akan jatuh cinta sama cowo lain.”
“Kamu ga boleh sedih lama-lama,atau-“
“Atau kamu bakalan jadi jurig terus nakutin aku kan? Iya kan? Aku inget janji aku sayang...”
Aku mengangguk. Ia ingat semua janjinya padaku. Ini bukan perpisahan kan Yama? Kenapa kamu kelihatan sedih banget sih. Aku berjalan menuju pintu ia terus menatapku. Aku sudah memegang engsel pintu, “Yakin gak mau peluk atau cium aku dulu?” aku bertanya lagi. Ia menggeleng. Airmatanya jatuh satu-persatu. “Kamu-“ aku hendak bertanya ada apa.
“Aku cinta kamu Wisnu. Cinta banget sama kamu Ducky..”
Aku tersenyum mendengar kalimatnya. Aku berjanji ini bukan perpisahan Yama. Aku akan berjuang buat kamu. Aku pasti bisa meluk kamu lagi nanti. Aku pasti bisa bertahan. Pasti bisa.
Dengan diantar kedua orangtuaku memasuki ruang operasi. Jarum infus sudah ada dilenganku setelah sebelumnya dipasang oleh perawat tadi. Mataku mencari sosok Yama. Ternyata ia ada di sana. Disudut lorong. Jarak kami cukup jauh. Tapi aku bisa melihat ia sedang tersenyum sambil menatap padaku. Tatapannya berbeda. Masih sehangat dulu tapi juga sedingin es. Aku ga suka tatapan itu. Tenang Yama! Ducky pasti bisa kok melewati ini semua.
***
“Yama mana?”
“. . . . .”
“Mama..Yama dimana?”
“. . . .”
***
I dream
We sail with a yacht
Sailed the oceans, acrossed the sea
Heading to the island of dreams
Every morning we can see the sun rising in the east
Every night we can see the sunset in the west
I know how much you love them
So I brought you here
To the island of dreams, just you and i
One day we walked down the beach
Waiting for the sunset as usual
Together we looked at the ocean west
At that time, you look so beautiful, dear
Then you turned to me
You hold me
Kissing my eyes
***
Tuhan..ini mimpi bukan?Ini mimpi kan..mimpi terburuk yang aku punya. Ini pasti hanya mimpi. Pasti mimpi.. Siapapun..tolong... bangunkan aku dari mimpi ini. Aku gak kuat. Aku gak bisa.. Yama.. tolonglah jangan bercanda..
***
But you're releasing our grasp
And began to walk away
I asked, "where are you going?"
You just keep quiet
Trying to chase but still can not
Scream your name but you're not still turned to me
Begging you not to go, hope you come back to me
In the twilight, you turned to me
You just keep quiet and waving your hands
Once again I say don’t go
But you are keep going, very far away
Suddenly I woke up
My eyes were wet
Tears of sadness
My heart melted rumble
Turns out I had a dream
It's really a dream, dear.
I began to cry
Through the window of my room I look at the sky
There are many stars there
***
Dengan kaki gemetar aku berjalan. Berat sekali rasanya. Aku masih percaya ini semua adalah mimpi buruk semalam..paling buruk yang pernah aku alami. Airmataku menetes deras seperti hujan mengiringi setiap langkahku. Saat menatap tempatnya sekarang aku lemah tak berdaya. Aku jatuh tersungkur bersimpuh menatapnya. Kamu benar. Aku bisa memelukmu sekarang. Aku bisa memelukmu. Tapi kenapa kamu jadi begitu dingin.. kamu bahkan gak bisa membalas pelukanku.. kamu bahkan gak pernah menemuiku lagi...Yama.. hentikan lelucon kejam ini. Aku mohon. Berhenti sekarang atau aku akan marah selamanya. Ga akan pernah maafin kamu. Hentikan sekarang..Aku mohon. Yama..aku kangen...
***
I know you're there, my love
I know you are in a place that I couldn’t reach
Now you've become a part of theirs
The stars that you used to be admire
I so miss you
Until every night I wake up from my sleep
Calling your name, hoping you talk to me
But you just keep quiet
I know you were there, in a different world to me
You said you would come by the time I call your name
But why don’t you come too?
Oh my love .. I miss you so
I was going crazy for a while longer
Because I miss you so much
Do not you miss me too?
***
Aku gak nyangka.. kamu berani juga ya ternyata..aku..dari lima tahun yang lalu udah suka sama kamu. Tapi aku ga berani buat ngomong. Aku takut..takut banget kamu ngejauhin aku. Aku ga bisa jauh-jauh sama kamu. Wisnu..aku suka banget sama kamu. Aku mau jadi pacar kamu
Kebiasaan deh gigit-gigit. Emang kamu vampir apa?
Jawab atuh sayang,ngangguk wae jiga guguk-gugukan nu aya di dasboard mobil aku.
Cemberut wae senyum atuh..
Kamu gak sekarat ducky,pasti ada jalan keluarnya..ada aku disini. Kamu tenang aja..kamu ga perlu khawatir..
Jangan cepet-cepet Wisnu!
Ya..yang baik..yang pengertian..yang keren. Yang We O We deh pokoknya.
Janji!
Aku ga akan jatuh cinta sama cowo lain.
Atau kamu bakalan jadi jurig terus nakutin aku kan? Iya kan? Aku inget janji aku sayang...
Aku cinta kamu Wisnu. Cinta banget sama kamu Ducky.
Waktu itu hujan turun deras sekali. Yama tertabrak mobil. Di dekat tempat bimbelnya. Motornya tergelincir. Dia..meninggal ditempat.
Aku bakal nambahin yang 70% nya
Meskipun harus ditukar pake nyawa aku juga..ga apa apa
Ga ada siapa-siapa diruangan itu. Cuma mas Wisnu aja sendirian.
Jangan sentuh..aku kotor..nanti kamu ikut kotor. Aku ga sempet ganti baju tadi.
Bangku ini kosong? Peserta atas nama Yama Nareswara? Kemana dia? Ada yang tau?
Yama tertabrak mobil. Di dekat tempat bimbelnya. Motornya tergelincir. Dia..meninggal ditempat.
Meskipun harus ditukar pake nyawa aku juga..ga apa apa
Aku cinta kamu Wisnu. Cinta banget sama kamu Ducky.
***
“Begitu ceritanya..” Ujar sang dokter muda mengakhiri pembicaraan panjang mereka. Ia menghela nafas panjang, melepas kacamata lalu duduk bersimpuh didepan lawan bicaranya. Kemudian merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sana. Sang dokter membuka kotak kecil itu. Isinya sepasang cincin perak bermahkotakan berlian diatasnya. Ia hendak melamar gadis pujaannya itu.
“Aku tau.. kamu bukan cinta pertamaku. Bahkan aku gak nyangka bisa jatuh cinta sama kamu. Tapi percayalah,kamu wanita pertama buatku. Juga yang terakhir. So, would you be mine and take me the way i am?Would you?Please..”
“Kak Wisnu...”
Ya..Dokter muda itu adalah aku. Wisnu. Aku juga mengikrarkan janji yang sama dengan Yama. Meskipun ia belum sempat mendengarnya. Aku telah berhenti menyerah sejak delapan tahun yang lalu. Gak mudah untuk bangkit. Gak mudah juga untuk melupakan Yama mungkin ga akan pernah bisa. Tapi aku tetap bangkit, beberapa bulan ini hatiku tertambat pada juniorku dulu semasa kuliah. Namanya Yashinta. Ia cantik sekali. Wanita tercantik setelah ibuku. Gadis berkerudung yang telah membuatku jatuh cinta.
Aku menatap teduh ke arah Yashinta,penuh harap. Ia mengangguk. Gadis itu setuju menikah denganku. Aku tersenyum lega sekali. Dari sini dapat kupandangi awan yang berarak beringringan mengukir siluet wajah seseorang yang ku kenal. Yama. Ia berkedip padaku.
TAMAT~
##########################
Ini sebuah cerpen pembangun jiwa yang khusus aku persembahkan buat salah satu member CeKape
Kisah nyata dengan rombakan besar-besaran di sana-sini.
BTW ada yang bawa Tissue? Kepake gaaa? wkwkwk
RCL RCL RCL yang buanyaaaaak bgt yah. Anti komentar cabe 
Oh iya hampir lupa makasih buat min ‪#‎Mayo‬ yg udah bantuin nerjemahin puisi abal-abal aku. Dasar ketua osis keren! 

JEALOUS Part 8


By: Kim Hye So.

Pulang kuliah, Ines mengundang Seger untuk main ke rumahnya. Ines tahu, kakaknya nanti sore akan mengunjungi temannya yang menikah, mama dan papanya akan keluar kota, karena besok pagi akan ada ziarah dan acara selamatan di rumah salah satu famili. Makanya ia mengundang Seger. Memanfaatkan waktu kosong. Apalagi hatinya sedang berbunga-bunga.

Gadis cantik yang untuk pertama kalinya jatuh cinta itu, merasa senang karena kencan pertama ia anggap sukses. Ia tak menyangka kalau semuanya akan berjalan lancar. Semula ia mendengar dongeng dari sahabatnya, mengenai sang kakak. Lalu secara iseng ia menawarkan diri untuk menjadi kekasih Seger. Lelaki yang sedang patah hati itu.

Rama yang merasa iba dengan kakaknya, menantang Ines untuk berani mendakati sendiri sang kakak, tanpa bantuannya.

Itulah awalnya, sehingga secara iseng pula ia mencoba untuk berkenalan dengan Seger. Siapa sangka akan berjalan dengan mulus dan lancar? Bahkan yang tidak ia duga, ia jatuh cinta sungguhan.

Sebaliknya Seger merasa sakit namun tak berdaya setiap kali melihat Galih begitu dekat dengan Lana. Namun ia sadar, ia telah memperlakukan Lana dengan tak semestinya. Sehingga ia kehilangan kepercayaan pria manis bertutur kata lembut dan selalu penyayang itu. Lana yang ternyata adalah anak seorang pengusaha sukses, siapa menduga? Sebab penampilan Lana selalu sederhana seperti mahasiswa lain yang tak pernah glamor. Dan malah kelihatan seperti orang kampung. Rupanya Seger benar-benar salah menilai orang.

Kini ia harus menerima kenyataan bahwa Lana bukan saja tidak menerima cintanya lagi, tetapi Lana juga menerima lelaki lain yang ternyata sangat disegani dan dihormati oleh banyak mahasiswa. Tak ada yang mau memusuhi Galih. Bahkan semua menyalahkan dirinya. Termasuk Imam.

Kini seorang yang lain sudah ia dapatkan, walaupun seorang gadis. Ia bukan saja ingin melarikan cintanya, tetapi ia bisa menghibur dirinya dengan Ines yang lebih agresif. Ia ingin melupakan Lana, meski ia sadar itu tak mudah. Kesalahannya pada Lana sebetulnya adalah sebenarnya ia terlalu cemburuan dan suka memarahi Lana di berbagai tempat. Tanpa melihat siapa Lana. Tentu saja Lana tersinggung.

Namun ia juga tak mau larut. Cinta bukan hanya milik Lana seorang. Masih banyak pria maupun gadis lain yang bisa ia cintai. Iapun merasa cocok dengan kehadiran Ines di saat yang tepat. Disaat ia butuh seseorang untuk menghibur kesedihannya.

Senja itu, seperti janji mereka, Seger menyusuri jalanan di kota. Ia mencari alamat Ines, karena ini adalah pertama kalinya ia datang ke rumah Ines. Gang demi gang ia telusuri. Dan akhirnya menemukan sebuah rumah di sudut dengan halaman yang teduh.

Sebuah rumah yang tenang, di sebuah jalan yang cukup lebar dan bukan tempat umum. Ines menyambut dengan hangat.

"Jauh ya mas?"

"Lumayan..."

"Lewat mana tadi?"

"Lewat gang depan situ tadi..."

"Ya, memang relatif tenang sih. Nyasar nggak mas tadi?"

"Lumayan, nyasar tiga kali. Tapi untung kamu bilang tak jauh dari restaurant besar itu. Jadi semacam ada arah, kemana mobil itu ku jalankan. Yang penting tidak terlambat kan?"

"Tepat kurang satu menit..."

"Kalau enggak mencari-cari sudah datang setengah jam yang lalu."

"Wah, aku malah baru mandi."

"Kok rumah kamu sepi?"

"Kakakku sedang mengunjungi temannya yang menikah di kota sebelah. Mungkin menginap satu malam, maklum, main band di sana. Oh ya, kakakku kuliah di kampus yang sama dengan kita lho."

"Oh ya?"

"Tapi ia sudah hampir lulus. Habis ujian, wisuda, selesai..."

"Begitu ya?"

"Mas kenal?"

"Tidak, siapa namanya?"

"Rikas..."

"Tidak tahu. Lain kali kenalkan aku padanya!"

"Iya, kapan-kapan..."

"Aku jarang mengikuti kegiatan kampus sehingga jarang kenal dengan kakak tingkat. Tapi bukan suatu keharusan kita mengenal, bukan? Aku juga tidak tahu siapa saja aktifis kampus yang suka demo! Aku tak tahu."

"Aku malah senang punya kenalan lelaki yang tidak terkenal. Biarkan saja tidak terkenal, yang penting aku kenal."

"Orang tuamu kemana?"

"Lagi pulang ke kampung, dua hari. Ada pertemuan keluarga, sambil berziarah ke makam eyang..."

"Jadi kau sendiri?"

"Makanya temani aku makan malam, atau kalau perlu menginap disini mas..."

"Kalau menemani aku setuju. Tapi kalau menginap, aku tidak enak."

"Takut?"

"Bukan, lain kali saja. Kalau sudah ada keluargamu, jadi lebih enak suasananya. Sekarang kita mau kemana?"

"Tidak usah kemana-mana. Ke lantai atas saja. Kita ngobrol disana."

"Di kamarmu?"

"Iya, santai saja. Rama sering kok main ke rumahku. Kita ngobrolnya juga disana. Kalau di ruang tamu, kesannya terlalu resmi."

"Baiklah..."

"Ayo!"

Dengan manja Ines menarik tangan lelaki itu. Seger belum pernah menerima perlakuan mesra dari Lana seperti itu. Kemanjaan yang tidak menjemukan. Andaikata Lana mesra kepadanya, mungkin ia sendiri tidak akan mudah jenuh dengannya, bagaimanapun Lana adalah orang pertama yang ia cintai dengan setulus hati atau bisa dikatan kalau Lana adalah cinta pertamanya.

Sikap Seger yang murung membuat Ines mengerutkan kening.

"Masih ingat mantan kekasih ya?"

"Ah tidak, kan sudah ada kamu Nes."

"Yang benar? Apa aku bisa menggantikannya?"

"Iya..."

"Sungguh?"

"Kamu butuh bukti?"

"Bukti apa?"

"Ya bukti atas menyatunya perasaan kita."

"Apa itu?"

"Kamu pernah dicium mantan kamu?"

"Hihihihihi, pacaran saja belum pernah."

"Yang benar?"

"Iya, sumpah!"

"Bagaimana jika aku bilang cinta ke kamu, dan aku minta tolong ke kamu untuk membantu aku melupakan kesedihanku ini Nes. Aku mohon bantu aku Nes, agar aku bisa kembali percaya diri!"

"Dengan cara apa?"

"Kehangatan dan kelembutanmu."

"Emmmh, malu..."

"Ines...." panggil Seger mendesah.

"Ya?"

"Bolehkah aku mencium mu?" wajah Ines langsung bersemu.

"Kenapa?"

"Mas serius mau mencintaiku?"

"Bagaimana denganmu sendiri?"

"Aku... Aku tidak tahu. Mungkin aku jatuh cinta pada Mas Seger."

"Benarkah kau cinta padaku?"

"Iya..."

"Boleh aku menciummu?"

"Emmmh..." Ines tampak berpikir

"Kenapa?"

"Malu..."

"Kamu sudah pernah dicium belum sih?" Tanya Seger tidak sabar.

"Belum..."

"Mau kucium?" Ines mengangguk

"Sini! Duduk dekat denganku!"

"Aku tutup pintu dulu." Ines yang ternyata masih pemalu, menutup pintu kamarnya. Lalu melangkah ke arah tangan Seger yang mengembangkan tangannya.

Kedua tangan telah tersambut. Dan Seger yang jiwanya sedang bringas, haus dan butuh hiburan tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Kapan lagi ia bisa bercumbu dengan gadis cantik kalau tidak saat itu? Mengingat selama ini dia masih terkungkung oleh belenggu perasaannya pada Lana. Selama ini dengan Lana mencium juga jarang, karena Lana jarang memberi kesempatan.

Sementara tangan Seger menarik lembut dan Ines jatuh di pangkuan lelaki itu. Seger langsung merangkul dengan hangat.

Perlahan lelaki itu menyentuh dagu Ines. Senyum gadis itu bergetar. Maklum, ini pertama kali ia berpelukan dengan seorang laki-laki. Waktu SMA dulu, ia memang pernah naksir seorang pria. Namun hanya sebatas itu saja. Ketika mereka lulus, merekapun berpisah tanpa ada kesan spesial.

Maka ketika sentuhan lembut itu begitu romantis, ia memejamkan matanya. Merasakan pagutan lembut bibir Seger. Lelaki berdarah Inggris yang menciumnya dengan sangat mesra dan lembut. Akhirnya mereka berdua lupa diri. Perbuatan yang tidak seharusnya mereka lakukan.

JEALOUS Part 7


By: Kim Hye So.
Anak muda biasanya spontan, lugu dan apa adanya. Mereka jujur mengungkapkan perasaan. Begitu juga dengan Ines yang relatif masih muda. Apalagi ketika masih SMA, ia memang belum pernah jatuh cinta.
Kepergiannya dengan Seger yang memang berwajah tampan, berkulit bersih, dengan senyum yang menggoda, membuat gadis yang masih remaja dan nol akan pengalaman itu bermanja ria.
Memasuki sebuah rumah makan, ia menggandeng mesra tangan lelaki yang bersamanya itu. Jam satu siang itu rumah makannya cukup ramai.
Namun begitu ruangan rumah makan itu cukup luas. Masih ada meja dan kursi yang kosong. Salah satu yang kosong dan terlihat jelas adalah meja di depan sepasang anak muda yang lain. Semula kedua anak muda itu asyik makan. Namun ketika Lana dan Galih melihat Seger menggandeng perempuan cantik melangkah ke arah mereka, selera makan mereka turun drastis.
Begitu juga Seger. Ketika melihat Lana dan Galih menatapnya tajam, ia mengurungkan langkah.
"Nes..!" bisik Seger
"Ya?"
"Kita makan di rumah makan yang lain saja ya? Disini penuh!"
"Itu ada meja kosong."
"Kau lihat pria di belakangnya menatap kita, kau tataplah matanya!"
"Ya, aku melihatnya..."
"Dialah yang menyakiti aku, lelaki bertubuh tinggi besar. Kalau kita tetap makan disini, selera makanku akan hilang. Kau mengerti?"
"Ya, jadi dia...?"
"Iya..."
"Tak begitu tampan."
"Sudahlah, hatiku akan sakit jika terus melihat wajahnya."
"Lalu pria muda di sampingnya itu siapa? Kenapa memandangi kita juga?"
"Entahlah, mungkin temannnya." Ines mengangguk paham.
"Sudahlah! Kita cari rumah makan yang lain. Ke sekitar pusat kota saja!"
"Makin jauh dong mas?"
"Tak masalah bukan?"
"Baiklah,"
Seger mengajak Ines keluar dari rumah makan itu. Mereka kemudian keluar dari pelataran parkir yang masih penuh itu.
Sementara Lana dan Galih menarik nafas panjang. Lana menunduk.
"Dek...!"
"Ya?"
"Adek nggak apa-apa kan?"
"Enggak."
"Dasar playboy! Baru saja putus, sudah dapat gandengan baru." Geram Galih
"Kasihan gadis itu. Tampaknya ia masih sangat muda. Dan mudah-mudahan Mas Seger mau belajar dari kekurangan masa lalu dan menyayangi gadis itu. Atau gadis itu akan meninggalkannya."
"Atau gadis itu akan menjadi korban?"
"Sudahlah kak, kita tidak usah ikut campur. Hak Mas Seger jika memang ingin mencari ganti."
"Tapi, sepertinya aku pernah kenal gadis itu."
"Oh ya?"
"Ia adik dari temanku, yang sebentar lagi wisuda bersamaku. Ia masih semester dua kalau tidak salah."
"Kalau begitu yang mengenalkan pasti Rama. Tapi ya sudahlah, kakak tidak perlu mencampuri urusan mereka. Biarkan saja. Siapa tahu setelah kejadian kemarin Mas Seger berubah? Atau setelah kejadian kemarin Mas Seger bisa menyayangi gadis itu."
"Kamu terlalu sabar dek. Tapi aku setuju, kita tidak perlu ikut campur urusan mereka. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku hanya sedih saja."
"Sedih?"
"Baru dua malam lalu Mas Seger minta maaf padaku, dan ingin kembali kepadaku. Hari ini ia malah menggandeng orang lain, atau seorang wanita lebih tepatnya."
"Itulah dia, maunya menang sendiri. Tapi, tidakkah kamu ingin kembali padanya?"
"Tidak kak, tidak sama sekali. Aku sudah senang kok bisa jauh darinya. Bukan dia lelaki yang ku harapkan saat ini."
"Lalu siapa?"
"Entahlah. Masih sakit untuk bicara soal cinta. Masih membeku perasaan ini."
"Begitukah?"
"Iya.."
"Ya sudah, ayo kita lanjutkan makan kita!"
"Aku kehilangan selera. Aku akan habiskan yang dipiringku saja. Tapi kakak santai saja ya? Tak usah ikut-ikut aku! Percayalah, aku akan temani kakak."
"Jadi nggak enak"
"Jangan ikut-ikutan nggak enak kak! Ini hanya soal perasaanku saja."
Makan siang itu jadi kurang berselera. Sementara berkali-kali Galih menghembuskan nafas beratnya.
"Kak...!"
"Ya?"
"Sebaiknya kakak segera membeli mobil untuk inventaris kakak."
"Tidak usah, biar kakak pakai mobil dagangan saja..."
"Aku tidak mau seperti itu. Biarkan dagangan untuk dijual saja. Kakak pilih sebuah mobil yang mesinnya bagus, untuk kakak pakai selamanya. Aku ingin orang memandang kakak. Bukan melihat mobil kakak gonta-ganti. Orang-orang akan menilai negatif, kalau kakak gonta-ganti mobil. Sebab orang akan tahu kakak tidak punya apa-apa, karena itu mobil dagangan. Beli dan pakai saja mana yang kakak suka."
"Okay, tenang saja..."
"Kak, ada yang sedang ingin ku perjuangkan saat ini."
"Apa?"
"Kehidupan dan usaha kita."
"Bagaimana dengan hubungan kita?" Lana tercengang. Dan dugannya tentang Galih sepertinya benar.
"Jadi kakak...? Seorang...?" Galih mengangguk.
"Apakah lelaki miskin ini berhak jatuh cinta? Apakah boleh aku mencintai seseorang yang memang aku cintai?"
"Ya why not? Tapi siapa dia? Katakan dengan jujur tanpa candaan kak! Siapa gadis yang membuat hati kakak jatuh cinta? Serius!" Ancam Lana sambil tersenyum. Meskipun sebenarnya jantungnya berdetak sangat cepat. Harap-harap cemas dengan jawaban Galih.
"Kan sudah jelas tadi.."
"Ahh kakak! Siapa? Serius dong!"
"hhaaaahhh..." Galih menghela nafas panjang.
"Why? Ada apa kak?"
"Aku lelaki miskin."
"Bukankah tergantung sifat orangnya. Siapa?" tanya Lana. Entah mengapa ia merasa cemas. Takut, kalut khawatir. Semua rasa campur aduk jadi satu.
"Dia bukan gadis, wanita atau perempuan. Dia seorang pria lebih tepatnya. Dia manis, sabar dan penyayang. Dia sekarang sedang bersamaku. Dek, pantaskah kakak mencintai kamu." Lana terdiam. Tak seberapa lama lalu dia tersenyum.
"Mengapa tidak? Sebentar lagi kakak jadi pengusaha. Sebentar lagi rumah dan bengkel kakak juga jadi bagus."
"Kamu nggak malu?"
"Tak ada yang harus malu. Namun, kadang manusia itu kan tidak boleh menyerah begitu saja dengan keadaan. Saat usaha kakak sukses dan berjalan dengan baik, sudah sangat pantas kakak untuk melamar bukan...?" kalimat terakhir diucapkan Lana dengan pelan, hati-hati dan sedikit ragu.
"Apakah karena itu kamu membantu kakak?"
"Aku bukan hanya sekedar membantu, aku juga senang jika punya usaha. Aku tak mau besok sekedar menerima warisan saja. Tapi aku ingin kita sukses lebih dahulu."
"Begitukah?"
"Ada hal lain, aku tidak ingin orang menghina kakak lagi."
"Oh ya?"
"Aku sayang kamu Mas..."
"Benarkah?" dalam hati Galih sangat senang. Panggilan Lana terhadapnya pun diganti menjadi Mas. Sebagai panggilan sayang pikirnya.
"Ya, tetapi aku tahu, aku sudah kecewa dengan seorang lelaki. Awas saja kalau Mas juga membuatku kecewa!" kata Lana tegas namun dengan nada yang terlihat bercanda.
Galih terperangah, betapa serius Lana memperhatikan dirinya. Sebagai seorang lelaki, ia tidak mau terlalu sentimentil. Ia lebih senang melihat sisi baik dari niat tulus Lana. Makanya ia langsung menggenggam jari pria manis itu. Tanpa perduli jika ada orang yang akan melihat hal itu. Pipi Lana merona.
"Sayang...."
"Iya Mas...?"
"Mas nggak mungkin menyakiti kamu."
"Benarkah?"
"Aku sayang kamu..."
"Makasih mas."
"Mari kita buktikan, bahwa kita tidak hanya bisa pacaran saja, kita juga bisa menghidupi diri sendiri."
"Itu yang ku mau Mas..."
Mereka saling pandang. Lalu selera makan pun kembali menjadi lebih nyaman. Sampai kemudian mereka meninggalkan rumah makan itu dan melupakan pertemuan sekilas dengan Seger.
"Bagaimana Mas menilai lelaki seperti Seger?"
"Menurutku kamu harus bersyukur karena telah lepas darinya. Kebahagiaan itu kan relatif. Namun apa gunanya mencintai lelaki, kalau kamu hanya merajut sakit perasaan terus menerus?"
"Mas benar. Padahal masih ada lelaki yang jauh lebih pantas untuk aku cintai..."
"Siapa?"
"Mas lah, sipa lagi...?"
"Ya asal kamu tidak malu saja mencintai lelaki miskin." desah Galih
"No matter."
Galih dan Lana tertawa santai. Siang itu, dua hati telah terpaut. Ya, hanya sebatas itu saja. Sebab hubungan mereka memang belum apa-apa. Mereka baru memulainya.
Namun setidaknya dengan nilai tulus telah membuat mereka mampu melupakan kenangan pahit. Setidaknya bagi Lana, kini ada tempat dimana ia bisa mencurahkan segalanya. Karena Galih bukan Seger. Karena lelaki ini mampu menjadi teman berbagi cerita yang baik.