Sang Mantan (CERPEN)


Author: Lian48
WARNING: sedikit bau bau adegan dewasa. Yaoi, cerpen, romance.
Happy reading \^0^/
-Reno POV-
“Hei disana ada banyak pohon tumbang, kita cari tempat duduk di sana.” Saran Ari si ketua regu. Kami dari komunitas pecinta alam melakukan camping di hutan, kumunitas kami terdiri dari berbagai mahasiswa di kampus-kampus yang berbeda sehingga memperluas jaringan kami. Tanpa terduga aku bertemu kembali dengan sahabatku saat SMP, Dimas.
Dimas hanya tersenyum ketika dia duduk di seberangku, aku mengangguk. Dia jauh lebih tampan dari pada dulu, bahkan sekarang dia memiliki badan yang atletis. Saat aku asik memperhatikan Dimas mendadak aku dikejutkan oleh siraman air, “Woi!!!” teriakku kasar.
Kulirik di samping ada Gio yang memegang air botol dan dia terjatuh, dia kembali bangkit dengan jalan terpincang, dia berusaha mengelap wajah dan dadaku yang basah, “Gak usah!!” bentakku. Aku tidak suka dia terlihat perhatian di depan umum, memalukan, aku takut karena dia kekasihku.
“Re-Reno.. kau pasti haus...” tanyanya sambil menyodorkan air mineral dengan tangan bergetar, aku menatapnya tajam.
“Gak...” ucapku dingin dan menepis tangannya hingga air tadi tumpah. Dia menghela nafas berat akan jawabanku itu, aku hanya merokok sambil menghembuskan asapnya dengan beban. Rupanya Gio tadi berusaha memberiku minum sehingga dia berjalan tergesa-gesa dan jatuh.
Dia tertunduk dengan wajah suram, aku lirik dia yang mengenakan kaos pendek dan celana putih, membuat luka di sikut dan lututnya bisa aku lihat. Aku jadi merasa sangat bersalah, aku terlalu sering kasar dengannya. “Ikut aku..” perintahku pada Gio. Dia mengangguk antusias.
Aku mengajaknya ke belakang pohon yang cukup besar dan jauh dari kerumunan anak-anak, aku dorong Gio ke pohon itu, dia terlihat tegang akan tindakanku, aku mendekatkan wajah dengannya, hidung kami bersentuhan, aku mengecup lembut pipi chuby-nya kemudian aku membungkuk, aku mengecup lututnya dengan lembut, “Maaf, kau jadi terluka.” Desisku penuh penyesalan.
Gio tersenyum lebar dengan wajah memerah, dia menggeleng, ikut membungkuk kemudian memeluk leherku dengan gemas. Gio tidak banyak bicara, dia pemalu tapi aku sangat menyayanginya, aku suka semua yang ada di dia, tubuhnya yang mungil, wajahnya yang imut, aromanya yang halus meskipun berkeringat seperti sekarang, dia membuatku bergairah, aku menggesekkan hidungku pada pipinya, turun ke lehernya, aku melumat lehernya perlahan tapi aku sangat terkejut saat mendengar suara Dimas, “Ehem... kita harus melanjutkan perjalanan..”
Tubuhku kaku seketika, aku langsung mendorong Gio menjauh, Demas menangkap tubuh Gio sebelum terbanting ke tanah, Gio juga terlihat gugup. “Gio kau duluan ke rombongan, aku mau bicara dengan Dimas.” Perintahku.
Gio hanya mengangguk, tubuhnya masih sedikit bergetar, aku juga menatap bingung tapi Dimas langsung merangkulku, “Bro kau terlihat ketakutan, ada apa?” tanyanya dengan senyuman menyebalkan seolah tak tau apa-apa.
“Kau lihat yang tadi kan? Aku harap kau bisa menyimpannya dan pura-pura gak terjadi apa-apa.” Pintaku, berusaha berkompromi.
“Ummm gimana ya... aku mau saja, tapi ada syaratnya. Bagi Gio dong denganku.” Ucapnya santai.
Aku langsung mencengkram kerah baju Dimas kemudian mendorongnya ke pohon, “Kau jangan macam-macam dengan BF-ku Dim,”
Dimas tertawa dan menepuk-nepuk dadaku, “Kau gak berubah ya, masih jadi sobatku yang tempramen. Berarti Gio cowok yang hebat dong.” Aku menatap mata sinis Dimas, ada yang aneh dari sosok sahabatku ini.
“Kau gay juga, Dimas?” tanyaku.
Dimas menaikkan keningnya, “Begitulah..”
Aku menggeleng, “Kau gak pernah cerita.”
Dimas tertawa mengejek, “Waktu SMP aku belum menyadarinya, kau juga kan. Tapi tanpa sengaja kita pernah melakukan hal menyimpang kan dulu, ingat ciuman pertamamu, Reno..” Dimas mengusap bibirku dengan jempolnya, aku sedikit merinding. Yeah.. aku baru sadar jika dulu aku pernah tertarik dengannya hanya saja dulu aku tidak mengerti tentang perasaanku dan tidak pernah mengakuinya.
“Eniwei, Gio itu hebat.. aku merindukan tubuhnya...” desis Dimas yang sontak membuat mataku membulat, kucengkram lebih kuat kerahnya.
“Maksudmu apa hah?!!!” bentakku kesal.
“Tanyakan saja dengan Gio.” Dimas kembali menatapku dengan tatapan memuakkan. Ada apa dengannya, dia terasa asing di mataku, aku merasa dia sainganku disini.
“Gak usah berbelat-belit!!!” aku meraung muak.
Dimas menarik leherku, “Tampan, berikan aku satu ciuman terlebih dahulu.” Godanya.
Aku langsung mendorongnya dan menjaga jarak, dia terlihat seperti seorang maniak sekarang, aku hanya menggeleng tidak mengerti.
-Gio POV-
Satu kata untuk hari ini, Lelah.. ya bagaimana tidak, Reno memerintahkanku membawa tas besarnya sehingga aku memiliki dua beban di belakang dan juga depan tubuhku. Hari ini Reno lebih sensitif dari pada biasanya, dia terlihat seperti gadis yang kena PMS dan terus membuatku serba salah.
Saat yang lain sibuk membuat tenda, aku tidak bisa lagi menggerakkan tubuhku, aku hanya bersendar di pohon sambil menatap lututku yang terluka karena jatuh tadi, haah aku sangat ceroboh. Obat merah yang aku minta dari ketua tadi segera aku aku oleskan pada lukaku, tapi saat Reno memanggilku, dengan sigap aku berdiri, “Gio! Ambilkan minuman..”
Aku gelabakan mencari minuman, dengan cepat aku berlari ke arah Reno yang sedang membuat tenda. Aku menatapnya lekat, dia sangat sexy dengan keringat yang ada di tubuh coklatnya yang terukir indah, bicepnya membuatku gemas ingin memeluk lengannya. Aku malah melayang dalam hayalanku dan lagi-lagi kena semprot Reno, “Malah bengong lagi! Bantuin bikin tenda kek!”
Aku meremas tanganku, “Ta-tapi.. aku gak bisa..”
“Semuanya aja gak bisa! Bisamu apa sih! Jadi cowok gak berguna.” Ucapannya terlalu tajam, dadaku terasa sesak, sering hal seperti ini aku rasakan tapi aku hanya bisa memasang wajah datar dan mengangguk lemah mingiyakan segala tuduhannya, padahal hatiku menangis.
Tapi dari belakang ada yang merangkulku, “Hei hei.. jangan terlalu kasar, aku tidak suka kekasih yang tidak bisa menghargai kekasihnya. Karena kau akan menyesal sepertiku, suatu hari nanti.” Ternyata suara Dimas.
Padahal suara Dimas pelan seolah berbisik tapi itu cukup membuat Reno gelabakan, “Kau benar-benar ya Dim! Lepasin dia sekarang!”
Dengan suara lantang Dimas menjawab, “Gio kita teman kan, kenapa Reno pelit sekali sih. Memangnya Gio apamu Reno?” ucapan itu sukses membuat anak-anak yang lain mengalihkan perhatian pada kami. Reno hanya bisa terdiam sambil menggenggam tinjunya.
“A-aku mau mandi duluan... kak Ari dimana sungainya?” tanyaku pada ketua.
Aku lihat kini Dimas yang menolong Reno yang membuat tenda, Dimas suka sekali menggodanya. Ini mengkhawatirkanku, “Gak jauh dari sini dek, kamu jalan aja lurus kesana..” ucap kak Ari sambil menunjuk ke arah kanan. Aku mengangguk, mengambil peralatan mandi sebelum akhirnya pergi ke sungai.
Paling nyaman memang mandi di saat sepi seperti ini, aku kurang terbiasa mengekspose badanku di keramaian, aku malu. Aku mengusap badanku dengan sabun meski pun badanku terendam air sungai hingga dada. Airnya sangat sejuk di sore yang panas dan melelahkan, membuatku tenang dan menghayalkan masa lalu.
Waktu itu aku masih kelas dua SMA, salah satu temanku yang kaya raya mengadakan pesta ulang tahun yang sangat mewah di suatu hotel, aku cukup canggung disana karena tidak terlalu akrab dengan mereka. Tapi Tran nama temanku yang sedang berulang tahun itu menarikku, dia mengajakku ke tengah aula, aku benar-benar malu.
Disana dia menghadapkanku dengan seorang pemuda yang lebih dewasa denganku, “Hei aku tantang kalian berdua untuk berlomba minum.” Ucapnya.
Aku mengerutkan kening khawatir saat melihat jejeran gelas di atas meja, ini minuman keras, “Aku gak bisa.”
“Jangan pengecut Gio... kau pasti bisa.” Bujuk Tran sambil merangkulku. “Kamu gak mungkin mempermalukan dirimu di depan umum kan?” bisik Tran.
Aku menatap sekitar, sangat ramai, rasanya kepalaku pusing, aku berada di tengah-tengah keramaian, aku malu.. aku bingung dan dengan mantab aku memutuskan menerima tantangan itu. Aku yang masih polos dan tidak pernah menyentuh minuman keras dibuat mual, dengan menahan nafas aku terus menenggak minuman itu, berusaha mengalahkan lawanku namun hanya lima gelas kemampuanku. Aku benar-benar pusing, aku berjalan tak keruan, mataku berkunang-kunang dan ketika aku sadar aku harus dikejutkan dengan kenyataan bahwa aku tidur di suatu kamar hotel, tanpa mengenakan pakaian dan ada seorang lelaki di sampingku.
Aku histeris, aku ketakutan, apalagi saat merasakan panas dan perih pada anusku aku semakin ketakutan, “Hei tenang... semuanya baik-baik saja..” bujuknya sambil mengusap kepalaku.
“Jangan sentuh!!!” aku benar-benar geli dengan tubuhku sendiri, aku menepisnya berkali-kali saat dia berusaha menyentuhku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi yang pasti tubuhku di penuhi bercak merah dan itu membuatku semakin panik. Tanpa memperdulikan sakitku, aku kabur.
Kupikir saat itu semuanya berakhir, ternyata kami kembali bertemu di sekolah. Dia sangat antusias akan kehadiranku, terus mengejarku setiap saat. Ternyata namanya Dimas, kakak kelasku.
Awalnya aku selalu menepis kehadirannya, dia menakutkan. Tapi lama kelamaan, aku luluh. Dia pemuda yang sangat ramah dan ceria, yang terpenting dia tidak mudah menyerah mendapatkan hatiku. Dia orang pertama yang mengenalkanku akan cinta. Aku terlalu pemalu untuk mendekatkan diri untuk bersosialisasi dengan orang lain sehingga tidak memiliki pengalaman cinta.
Tapi Dimas, dia orang yang membuatku merasa berarti, aku hanya pemuda dengan tampang pas-pasan tapi dia yang tampan mau mendekatiku, aku merasa seperti cinderella dibuatnya. Dia mewarnai hari-hariku, sosoknya yang menyenangkan tidak pernah membuatku bosan dan di dekatnya adalah candu.
Tapi satu yang membuatku lelah dalam hubungan kami, dia maniak sex. Aku benar-benar lelah mengabulkan tiap permintaan bercintanya, pagi, malam bahkan di toilet sekolah pun dia memperkosaku. Saat aku menolak, tidak segan-segan dia memukuliku. Dia bilang eranganku adalah daya tarik yang tidak dimiliki lelaki lain, aku sangat ekspresif.
Aku semakin ketakutan dengan sikap Dimas yang semakin psikopat tiap harinya, dia terlalu posesif, aku tidak boleh mengobrol dengan siapapun, dia akan menghajarku sampai aku sekarat di rumah sakit berkali-kali.
Aku sering memutusinya, tapi dia menangis bahkan tidak segan bersujud di depanku, mengungkapkan betapa dia mencintaiku, dia tidak ingin berpisah, dia bisa gila tanpaku. Aku kembali luluh, tapi dia kembali mengulangi kesalahan yang sama. Sehingga aku tidak lagi memberinya kesempatan, dia sangat murka, dia nyaris membunuhku malam itu, “Kau gila Dimas!!! Bebaskan aku! Aku sudah tidak sanggup..” lirihku dengan air mata yang berkucuran.
Dia meraih sebuah botol, dia pecahkan sehingga membuat ujungnya runcing, dia menatapku dengan wajah datar dan juga air mata yang berlinangan, “Kau tau kan aku tidak bisa hidup tanpamu, Gio... kau segalanya!!!” bentak Dimas.
Aku mundur secara perlahan, “Kau pasti bisa Dimas, aku mohon ayo kita jalani hidup masing-masing.” Bujukku dengan nada lembut.
“Kalau aku gak bisa memilikimu, maka gak akan ada orang lain yang bisa. Ayo kita mati bersama.. haha..” dia tertawa mengerikan.. dia benar-benar mengerikan.
Dia menerjangku, membuat bahuku tergores, aku menendangnya, aku terus berlari berusaha mencari pintu tapi semua terkunci, aku mengambil kursi untuk menghancurkan jendelanya tapi Dimas kembali berteriak, “Gio!!! Kalau kamu pergi aku bakalan bunuh diri!!! Aku serius...” ancamnya. Bukan hanya sekedar ancaman karena dia benar-benar menggores nadinya dengan kaca membuat lantai berlimbahan darah.
Aku panik, tapi aku tidak iba meskipun dia merintih-rintih dalam sekaratnya, aku hanya menelepon ambulans ke alamat ini kemudian melarikan diri. Aku langsung pindah sekolah dan rumah, aku berusaha menghilang dari kehidupan Dimas walaupun sangat menyesakkan. Tapi semua demi keselamatanku. Aku tidak menyangka cinta bisa segila ini.
Sedangkan Reno adalah seniorku di kampus, tidak ada yang special dari pertemuan kami. Dia hanya kaka tingkat yang sangat judes saat ospek, sangat hobi membullyku, tapi dia memanfaatkan kepanitiaan ospeknya untuk mendapatkan nopeku, menghubungiku setiap hari, walaupun saat di depan umum dia sangat galak, tapi jika berduaan dia sangat romantis. Dia hanya terlalu takut akan image gay-nya terbongkar.
Dia menyatakan cinta padaku, aku tidak menolak karena aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Lebih setahun aku kesepian dan kurasa saatnya aku membuka lembaran baru. Tapi melihat perlakuan Reno aku seolah djavu dengan pengalamanku dulu bersama Dimas. Entah sampai kapan tubuhku mampu menerima perlakuan kasarnya, mungkin aku masocist, kali ini aku menikmati perilaku kasarnya dan mampu bertahan lebih setahun dengan keadaan seperti ini.
Tapi aku dan Reno tidak pernah melakukan hubungan sex, aku tidak tau apa alasannya, aku sering menggodanya tapi dia seolah menahan diri walau aku menyadari pedangnya sudah mengacung angkuh. Apapun perlakuannya, aku mencintainya, apapun darinya. Karena dengan bertambahnya kedewasaanku aku belajar bahwa cinta itu bukan sesuatu yang beralasan, aku tidak akan pernah menemukan yang sempurna.
Jika aku mencintai karena rupa, maka cinta itu menghilang ketika kami menua...
Jika aku mencintai karena sikap, maka cinta itu bisa menghilang ketika sikapnya berubah...
Pada kenyataannya, hati dan sikap manusia bisa berubah kapan pun.
Aku mencintai Reno apapun dia.
SPLASSSH!!!
Aku sangat terkejut dan tersadar dari lamunan saat ada seseorang muncul di depanku ketika aku mandi di sungai, “Hei... lama banget mandinya, onani ya..” tanyanya dengan senyum nakal.
“Dimas..” desisku sambil berusaha beranjak bangkit. Dia menahan bahuku.
“Buru-buru banget sih hehe... hei kau tidak merindukanku? Sudah lama kan kita tidak bernostalgia.” Dia merangkulku dan tersenyum hangat, selalu sok manis.
“Aku kedinginan. Bolehkah aku selesaikan mandinya sekarang?” tanyaku sesopan mungkin.
Dimas menatapku nakal, dia meraih pinggangku, “Gak ah.. aku masih kangen.. kamu gak kangen?” Dia menarikku semakin merapat.
Aku merinding, aku terhipnotis akan sosoknya, dadanya yang terbentuk indah, bicepnya yang kokoh, dia memiliki body yang sama sexy dengan Reno, aku bisa merasakan tangan Dimas kini meremas bongkahan pantatku, aku memejamkan mata karena tidak bisa bereaksi sedikit pun, saat bibir lembabnya menyentuh leherku, tamat sudah riwayatku! Aku ereksi.
“Brengsek!!!” aku terhenyak mendengar makian Reno, dia melompat ke sungai dan menghantam Dimas dengan bringas, Dimas tidak melawan. Sepertinya Reno tidak puas menyerang Dimas, kini dia berusaha menyerangku tapi Dimas menahan tangan Reno dengan cepat.
“Aku yang salah, jangan sakiti orang yang pernah aku cintai.” Ucap Dimas dingin.
“Maksudmu!!! Ada apa dengan kalian hah!!!” Reno benar-benar murka, aku hanya bisa menangis ketakutan.
Dimas mengecup tangan Reno yang dia tahan tadi, dengan kasar dia tarik tangannya. Dia menatap kesal Dimas tapi dia tidak merespon lagi, dia mengangkat pinggangku ke daratan dan dia kembali murka saat melihat kejantananku, “Kau ereksi?!!!” bentaknya.
“Ma-maaf.. aku tidak bisa mengendalikan..” ringisku. Reno hanya menggeleng, rahangnya yang maskulin itu mengencang, dia ambil handukku untuk menutupi kejantananku kemudian menyeretku kasar ke tenda.
-Reno POV-
Rasanya mataku panas, dan benar saja aku menangis sekarang. Aku hanya duduk membelakangi Gio saat duduk di dalam tenda, rasanya suaraku tercekat, bahkan sekedar bertanya apa hubungannya dengan Dimas saja aku tidak mampu, aku ingin menggerang dan meraung karena sakit yang menerkam dadaku. Ada rahasia besar antara kekasihku dan sahabatku. Tapi apa?
“Reno...” lirih Gio. Dia memelukku dari belakang, tangannya menempel di dadaku, saat dia menggesek-gesekkan kepalanya di tengkukku aku menjadi lebih tenang, sifat manjanya membuatku kembali mendingin, aku menggenggam tangannya yang ada di dadaku. “Maafkan aku, Reno.. Dimas mantanku, Cuma mantan. Aku sama sekali tidak berniat yang bukan-bukan, aku Cuma mencintaimu. Kau percaya kan?”
“Apa buktinya?” tantangku.
Gio menggeliat ke depanku, duduk di pangkuanku, dia shock saat melihat mataku yang basah. Tangan mungilnya mengusap pipiku dan mengecup kelopak mataku, “Aku akan lakukan apapun yang bisa membuatmu senang..” ucapnya lembut.
Aku hanya mengangkat satu alisku, menatap bingung. Gio memainkan jarinya di dadaku, menatapku dengan mata manisnya, dan kurasa pisangku mulai bereaksi ketika dia menggerakkan bokongnya yang ada di atasku. Gaah!! My naugthy Gio, pertahananku runtuh, aku terpaksa menjamahnya saat itu. Dan benar-benar jadi moodbooster buatku.
Benar kata orang, jika duduk bersama tidak bisa mendinginkan amarah, bagaimana dengan tidur bersama?
Malam yang panas ini sukses membuat tubuhku pegal semua, padahal langit mulai terang, aku juga bisa mendengar banyak krasak-krusuk orang-orang mulai beraktifitas di luar tenda. Tapi rasanya pagi ini aku terlalu nyaman dengan poisisiku, dimana Gio tidur di atas dadaku, tangannya yang mengalung di leherku, sangat hangat. Aku meraih tangannya, kukecup lembut, haha bau amis.
Dia menggeliat, membuat senjataku bergesekan dengan kulitnya, aku sedikit merinding, aku mencium kepalanya gemas, “Aku mencintaimu Gio...” desisku lembut.
“Eenghh.. aku juja...” lirihnya dengan suara halus dan setengah sadar, menbuatku terkekeh.
Camping terus berlanjut, dimana kami melakukan penanaman pohon, penjelajahan, pentas seni, dan juga memberi penghargaan pada peserta camping terbaik. Aku merasa hubungan kami agak diberatkan semenjak kehadiran Dimas, dengan agresif dia selalu menggoda kami. Tapi entah kenapa, hal itu membuatku semakin care dengan Gio. Aku menjaganya sepenuh hati, aku takut kehilangannya, aku berusaha menahan diri bertindak semena-mena dengannya.
Aku berusaha memperbaiki sikapku karena aku tau Dimas orang yang seru dan baik, aku takut Gio membandingkan sikap kami, yang tentu saja aku kalah segala-galanya dari Dimas, aku lakukan apapun yang terbaik sepanjang camping. Aku selalu menggandeng tangan Gio kemana pun, aku sudah tidak perduli dengan ucapan orang, hanya satu yang aku takutkan, kehilangannya.
Dengan derasnya badai yang menerpa hubungan kami, kami semakin memperkokoh hubungan sepanjang camping hingga acara ini selesai. Bus yang mengantar kami pulang sudah sampai ke stasiun, aku terkejut saat keluar dari bus ada seorang pemuda manis berkulit putih sungkem dengan Dimas kemudian mengecup pipinya.
Dimas menatapku dan Gio, “Hei teman-teman!! Sini!’’ sapanya.
Aku menggenggam tangan Gio untuk mendekati Dimas, “Siapa?” tanyaku dingin. Mereka mirip, mungkin saja adik Dimas. Ah gak deh, aku bertahun-tahun menjadi sahabat Dimas tidak tau dia memiliki adik laki-laki.
Bocah ini terlihat masih SMP atau baru masuk SMA, tersenyum manis sambil sungkem kepada kami berdua saat Dimas beri kode, “Kenalkan ini Damar pacarku. Dek, kenalin ini sahabat-sahabat kakak.”
“Salam kenal kak, saya Damar..” sapanya dengan senyuman manis membuat gigi kelincinya terlihat.
Aku menatap tajam, Tceh... sudah punya pacar masih centil, “Oh ya, Gio temani Damar dulu ya bentar. Aku mau bicara empat mata dengan Reno.” Pinta Dimas. Gio hanya mengangguk.
“Maumu apa sekarang?” tanyaku ketus.
“Kau sekarang sudah dewasa, Reno..” desisnya sambil menepuk bahuku.
Aku mengangkat alis, “Terus?”
“Awalnya aku sangat senang saat bertemu kau dan Gio disini. Kalian orang yang baik, sangat serasi untuk bersatu. Tapi sikap kasarmu membuatku terganggu, sehingga aku berpikir keras untuk mencari solusi ini. aku ingin, Gio orang yang sangat aku cintai berada di tangan yang tepat. Aku menggoda kalian, karena biasanya setiap masalah pasti memiliki hikmah tersendiri. Dan bisa dilihat kan? Gangguan yang aku berikan membuatmu lebih lunak dan menyadari betapa pentingnya Gio.” Mendadak suara Dimas serak, dia tertunduk sambil menangis, dia menepuk bahuku, “Gio orang yang sangat special, dia sabar dan tulus. Perlakuanku bodohku di masa lalu membuatku kehilangannya, kau tau bagaimana perasaanku? Hancur.. aku kacau, aku nyaris mati dan gila... butuh bertahun-tahun menyembuhkan rasa sakitku, sosoknya sangat berperan kuat dalam hidupku. Kau sahabatku, orang yang sangat berarti untukku. Aku hanya ingin memberi peringatan, jangan ulangi kebodohanku di masa lalu, jangan kasar dengannya, dia rapuh, reno... dia terlalu banyak berkorban.”
Aku terhenyak, bingung bagaimana harus bereaksi. Aku hanya mengangguk mantab membuat Dimas tersenyum dan menepuk pipiku, Dimas menarikku ke tempat tadi, “Hei Gio!!” panggilnya.
Gio yang tadi asik tertawa-tawa dengan Damar mulai memperhatikan kami, Dimas meraih tangan Gio dan menyatukannya di tanganku, “Aku titip Gio, jaga dia baik-baik.. bye!!!” Dimas yang ceria langsung berlari menggandeng kekasihnya. Aku dan Gio hanya tertawa ringan.
Kutatap matanya yang sayu, dia sangat berharga. Aku pegang janjiku, pasti kujaga Gio baik-baik.
TAMAT

3 komentar:

Diko mengatakan...

Cerita yang bagus... tapi alurnya kurang panjang, tau" selese gitu .... mungkin klo dibuat cerbung bakalan menarik deh

Unknown mengatakan...

Akhir yg happy.. Aku suka... Apalagi dengan kata" yg ini..
Jika aku mencintai karena rupa, maka cinta itu
menghilang ketika kami menua...
Jika aku mencintai karena sikap, maka cinta itu
bisa menghilang ketika sikapnya berubah...
Pada kenyataannya, hati dan sikap manusia bisa
berubah kapan pun.

Unknown mengatakan...

Yg punya line add line aku andrea_vagas

Posting Komentar