Berikan like sebelum membaca...
Cynburleigh 1823
Wangi camomile yang keluar dari kepulan asap hangat secangkir teh yang disajikan oleh Gill, pelayan pribadiku menggugah lelapku. Menggoda sekali, tapi aku tak ingin bangun. Hari ini saja, aku ingin tidur sampai hari berganti pagi kembali. Aku ingin meneruskan mimpi indahku.
"Matahari telah tinggi Tuan, bangunlah," aku merasakan bahuku ditepuk lembut. Aku hanya menggerakkan sedikit tubuhku. Tanpa membuka mata.
"Tuan muda, anda sudah sangat terlambat datang ke meja makan untuk sarapan pagi," suara Gill kembali mengganggu.
"Bisakah sampaikan pada Ayah dan Ibu untuk tidak perlu menungguku? Aku masih ingin tidur Gill!"
"Maaf Tuan, anda juga harus fitting baju untuk pesta besok," kalimat Gill barusan membuatku terpaksa membuka mataku. Pesta..
Besok adalah pesta ulang tahunku yang ke 18. Dan aku sangat benci dengan usia 18! Betapa tidak? Di pesta ulang tahun itu juga Ayah akan memilih satu orang putri dari kerajaan lain yang hadir sebagai tamu undangan untuk dijadikan calon istriku.
Ayah dan Ibuku, mereka tak pernah tau kalau aku tak menyukai putri dari belahan dunia manapun, secantik apapun dan semakmur apapun kerajaannya. Aku tak menginginkan mereka menjadi kekasihku apalagi istriku.
"Tuan, anda tau kan Ibu Ratu tidak suka menunggu?" Aku menolehkan wajahku ke arah Gill yang berdiri tepat di samping tempat tidurku. Aku menatapnya, wajah pelayan pribadiku sekaligus kekasihku.
Ya, Gill adalah kekasih tercintaku, dia adalah cinta pertamaku, kami tumbuh dan besar bersama di lingkungan istana dengan aku sebagai putra mahkota dan Gill sebagai anak kepala pelayan di istana ini. Ayahku yang seorang raja menjadikan Gill sebagai pelayan pribadiku. Gill menemaniku belajar, menunggang kuda, berlatih pedang dan juga melayani keperluan pribadiku termasuk menyiapkan pakaian yang aku kenakan setiap harinya.
Ketika aku mulai mengenal arti cinta, Gill adalah sosok pertama yang aku lihat. Aku jatuh cinta padanya, pada seseorang yang selalu ada di setiap mataku memandang, seseorang yang pertama kali aku lihat saat aku terjaga di pagiku yang dingin, dan sosok terakhir di penglihatanku saat aku ingin memejamkan mata di malam-malam lelapku.
Aku sangat mencintai Gill, di mataku hanya ada dia, aku membutakan mataku untuk semua keindahan yang dihadirkan para putri-putri kerajaan yang dikenalkan Ayah di setiap jamuan makan malam, dan juga gemerlapnya pesta dansa yang sering diadakan di istana. Gill juga mencintaiku, dan aku percaya padanya meski selama ini dia tidak pernah mengatakannya. Ya, kami saling mencintai, tanpa seorangpun tau.
Sekarang dia di dekatku, melakukan ritual yang sama setiap paginya, membangunkan aku dari tidurku. Kutarik tangannya dan dalam sekejap tubuhnya berada di atas tubuhku, wajah kami berdekatan, mata kami saling menatap. Aku bisa merasakan hangat napasnya di kulit wajahku.
"Tuan, anda tidak punya banyak waktu untuk bermain-main," Gill menundukkan wajahnya.
"Tak merindukanku, hmm?" aku mengusap pipinya. Menyusuri kulit wajahnya dengan ujung jariku.
"Anda tau jawaban hamba Tuan,"
"Aku tidak tau, jawab saja!" jariku berhenti di sudut bibirnya.
"Maaf Tuan, hamba masih harus menyiapkan air untuk anda mandi," Gill berusaha melepaskan diri dari pelukanku. Tapi tanpa morning kiss darinya, sampai matipun dia tak akan aku lepaskan.
Gill adalah ciuman pertamaku, dan aku adalah ciuman pertamanya. Naluri yang mengajarkan kami, dari yang awalnya tersedak saat pertama kali berciuman, sampai akhirnya kami saling mengakui kalau kami berdua adalah pencium yang hebat.
"No kiss for me, hmm?" tanyaku dengan nada menuntut.
"Maaf Tuan, hamba..."
"Ini perintah!" seruku tak membiarkan dia meneruskan kalimat penolakannya. Tak perlu menunggu lama, bibirnya yang merah delima sudah mengecup bibirku, melumatnya lembut. Bahkan dalam tekananpun, ciuman Gill selalu berasa sama, hangat dan penuh cinta. Ciuman selamat pagi ini seperti appetizer buatku, dan aku tak pernah melewatkannya selama 921 pagi sejak aku menyatakan cinta padanya.
"Apa yang baru saja kau minum, Gill?" tanyaku begitu ciuman kami usai. Aku merengkuh tubuhnya dan membaringkannya di bawah tubuhku.
"Maaf Tuan," Gill menggigit bibirnya, terlihat semakin menggemaskan di mataku.
"Lidahmu terasa masam," aku menatap wajahnya yang kini bersemu merah dadu.
"Secangkir teh, dan hamba belum sempat minum air putih, Tuan."
Aku mendekatkan kembali wajahku, kujilat bibir Gill, aku sangat menyukai apa yang sedang aku lakukan saat ini, meskipun terasa masam asalkan itu berasal dari mulutnya aku tetap menyukainya dengan sangat.
"Tuan muda, anda melewatkan sarapan pagi bersama Yang Mulia Raja dan Ibu Ratu,"
"Aku sedang sarapan bersamamu," dengan lembut kukecup lekukan kecil di pipinya. Gill masih seperti pertama kali aku mengenalnya dulu, dingin dan minim ekpresi. Percaya atau tidak, aku tidak pernah melihatnya tersenyum. Tapi dia sangat patuh padaku, tak akan pernah ditolaknya jika aku mengucapkan kalimat 'ini perintah' dan sesulit apapun Gill akan mengabulkannya.
"Tuan, anda membuat napas hamba sesak," Gill mengeluh dalam bisiknya, dan aku baru sadar ternyata tanganku sedang bertumpu di dadanya. Cepat-cepat aku bangun dan membebaskannya dari dekapanku.
"Aku ingin mandi Gill," kuregangkan tubuhku dengan mengangkat kedua tanganku ke atas dan ke samping.
"Baik Tuan," Gill turun dari ranjangku, masih dengan ekspresinya yang datar.
Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk memintanya mandi bersamaku, selama ini aku belum pernah melihat tubuhnya tanpa busana.
"Temani aku Gill, mandi bersamaku," pintaku sambil masih terus menatapnya yang sedang menuangkan madu di tempatku berendam.
"Maaf Tuan, hamba sudah mandi."
"Ini perintah!" aku tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun. Hampir tiga tahun kami menjalin hubungan, tapi belum pernah satu kalipun bermesraan secara intim, kami hanya berciuman, tidak lebih. Terkadang aku menginginkannya, tapi kutahan dan kulampiaskan hasratku dengan berlatih pedang. Untuk hal yang satu ini aku tidak menggunakan kalimat ajaibku, entahlah, aku tak ingin menyakitinya.
"Baik Tuan," Gill menundukkan kepalanya dalam, pemuda tampan 18 tahun di hadapanku itu terlihat merona, ada lukisan merah jambu di kedua pipinya, tapi seperti biasanya, dia tak pernah bisa menolakku. Aku tersenyum, posisiku sebagai putra mahkota membuatku memiliki kekuatan untuk menguasainya.
Pintu kamarku dibuka dari luar, Ibu berdiri di sana dengan wajah kesal.
"Nath, kau membuat Ibu dan Ayah menunggu lama!" serunya dengan tangan terlipat di depan dadanya.
"Maafkan aku Ibu, sepertinya aku tidak enak badan," dengan suara yang kubuat lemah, aku menundukkan kepalaku.
"Kau sakit Nak?" Ibu mendekatiku dan menyentuh keningku dengan punggung tangannya. Aku mengangguk.
"Suhu tubuhmu normal," kening Ibu berkerut.
"Mungkin aku terlalu letih, Bu," kulanjutkan dramaku.
"Tapi Madam Fee sudah menunggumu, kau harus mengepas baju pestamu Nath," sepertinya aktingku tidak berhasil.
"Baiklah, tapi aku ingin mandi dulu," sahutku pasrah.
"Jangan membuat semua orang menunggumu Nath, bergegaslah. Dan kau Gill, pergi buatkan minuman dan temani Madam Fee!" perintah Ibuku pada kekasihku.
Gill mengangguk kecil, masih tanpa ekspresi, lalu mengikuti langkah Ibuku. Tinggal aku yang berlalu ke kamar mandi dengan wajah masam. Aku harus melupakan keinginanku untuk mandi dan menikmati tubuh Gill.
★★★★★
Alunan musik dansa mulai terdengar di ballroom istana. Aku masih berada di dalam kamarku, Gill sedang membantuku mengenakan pakaian pesta, wajahnya datar saja, tanpa ekspresi, sedangkan aku berkali-kali harus menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. Aku gelisah, aku benci pesta dansa malam ini, bukan pestanya, tapi hasil dari pesta itu nantinya. Sesuai tradisi, Ayah akan memilih beberapa orang Putri, tiga atau empat orang, dan satu dari mereka yang bisa menemukan keberadaanku di tengah pesta, berarti dia adalah calon pengantin untukku. Dan aku akan datang dengan menggunakan topeng, berbaur bersama para putra mahkota kerajaan tetangga yang hadir sebagai tamu kehormatan istana.
"Sudah selesai Tuan, turunlah ke lantai dansa dan jemput takdirmu," Gill menatapku, aku bisa melihat tatap sedih di matanya.
"Takdirku adalah kau Gill, bukan yang lain," dengan penuh keyakinan aku mengucapkan kalimat itu, meski harus aku akui suaraku terdengar gemetar.
"Berhentilah melawan takdir Tuan, kekuatan kita sangat terbatas," Gill meraih tanganku, dan meletakkan di telapak tanganku sebuah topeng dengan bulu-bulu di bagian atasnya.
"Kalau begitu beri aku kekuatan yang lebih banyak lagi! Katakan kalau kau mencintaiku!" perintahku dengan suara lemah. Gill belum sempat mengatakan apapun ketika pintu kamarku dibuka dari luar.
"Kau sudah siap Nath? Pesta sudah dimulai, bergegaslah turun! Dan kau Gill, kalau sudah selesai membantu Nath berpakaian, segeralah pergi ke ballroom untuk membantu Ayahmu melayani tamu yang datang!" Gill mengangguk pelan.
Ibu cantik sekali dengan gaunnya yang sangat indah. Tapi kehadirannya selalu mengganggu kemesraanku dengan Gill.
"Kau berhutang satu kata cinta padaku," bisikku lirih tak ingin terdengar Ibuku.
Gill hanya menatapku datar, menundukkan kepalanya memberiku hormat lalu melangkah mundur kemudian berbalik pergi. Demi Tuhan, aku ingin sekali menangis kalau saja Ibuku tak ada di sini. Dengan cepat kupakai topeng yang menutupi seluruh wajahku, aku ingin sekalian menyembunyikan mataku yang mulai basah kelopaknya.
★★★★★
Ketika Cupid melemparkan panahnya, tak ada satu orangpun yang dapat mengelak. Begitu juga aku. Ketika panah cinta menusuk jantungku, aku tidak pernah menduga harus jatuh cinta pada seorang lelaki, pada seorang pelayan. Dan sekalinya jatuh cinta, aku tak ingin berpaling, aku tak ingin yang lain, tak ada yang bisa menggantikan Gill di hatiku, dia tak bisa dibandingkan dengan siapapun, bahkan bidadari surga sekalipun.
Berdiri di tempatku saat ini, aku bisa melihat riuhnya pesta. Semua terlihat menikmati suasana, berdansa dengan berganti-ganti pasangan. Dari balik topengku aku malah mencari sosok Gill di antara mereka yang berada di ballroom istana. Tapi tak kutemui. Dengan hati remuk redam aku melangkah menuju lantai dansa berbaur dengan para tamu undangan, dan merengkuh pinggang seorang puteri yang jelita dengan balutan ball gown berwarna maroon untuk berdansa bersamaku.
Hanya beberapa langkah saja, seorang pangeran dari kerajaan lain sudah mengambil pasangan dansaku. Akupun memilih pergi menuju meja tempat jamuan yang menghidangkan minuman dan makanan ringan. Aku mengambil segelas sampagne, menyesapnya sedikit. Kembali mataku beredar mencari sosok Gill, harusnya tak sulit menemukan pelayan di antara mereka, karena hanya pelayan yang tidak memakai topeng pesta.
Tapi tak aku temukan wajahnya, wajah yang menyejukkan ketika aku sedang gundah. Meski tanpa senyum, meski wajahnya selalu tanpa ekspresi, matanya yang sebening telaga selalu membuatku tenang.
"Mau berdansa denganku?" seorang pemuda dengan postur tubuh yang tinggi tegap mengulurkan tangannya. Meski wajahnya memakai topeng, tapi aku tak akan salah mengenalinya karena aku sangat mengenal suaranya yang parau tapi seksi itu. Juga cincin besar bermata ruby yang hanya dimiliki satu orang saja di seluruh kerajaan wilayah timur, tampak mencolok di jemarinya yang terulur di depanku.
"Kau datang Grey?" aku mengabaikan uluran tangannya.
"Aku tak akan mungkin melewatkan pesta di mana aku bisa bertemu denganmu Nath," tangannya masih belum ia turunkan. Aku menatapnya malas dari balik topengku. Prince Grey adalah putra mahkota dari kerajaan Elevanza, dan bukan rahasia lagi, aku mengetahui kalau Prince Grey adalah seorang gay. Beruntungnya dia karena ayahnya tidak mempermasalahkan penyimpangannya. Aku iri padanya karena aku tidak seberuntung dia, aku tidak berani mengakui hal ini pada ayahku.
"Ayolah Nath, berdansa denganku," masih belum putus asa, Grey bertahan dengan sikap santunnya.
"Ajaklah putri dari kerajaan tetangga, lihatlah mereka bertaburan di lantai pesta." mataku masih mencari wajah Gill.
"Tapi aku ingin berdansa denganmu Nath, mungkin ini untuk yang terakhir kali karena setelah pesta ini usai, kau akan bersanding dengan salah satu putri cantik itu kan?"
Aku menghembuskan napas kesal, Grey tak pernah bosan mencari perhatianku, dia juga tak pernah bosan dengan penolakanku. Tapi kali ini aku ingin sekali saja membuatnya senang, dia benar, setelah pesta ini berakhir, seorang putri terpilih akan menjadi calon istriku, dan pangeran tampan di hadapanku ini pasti tak akan menggangguku lagi. Huuft, memikirkan seseorang akan menjadi calon istriku membuat lambungku mencelos parah. Kuraih uluran tangannya, dan aku mendengar dia tertawa sambil langsung memeluk pinggangku. Kami berdansa mengikuti alunan melodi berirama lembut. Aku membayangkan berdansa dan tenggelam di dalam dekapan Gill dan menari sambil berciuman. Gill, kau di mana?
Baru beberapa menit menyatukan langkah kaki dengan Grey, mataku bersirobok dengan Ayah yang menatapku tajam. Aku lupa Ayah sangat tidak menyukai Grey karena pangeran tampan ini adalah seorang gay. Aku menunduk, berusaha mencari cara agar bisa lepas dari dekapan Grey yang sangat kuat.
Ketika tangan Grey menarik tanganku dengan gerakan memutar, aku mengambil kesempatan ini untuk menari dengan yang lain. Seorang putri dengan gaun berwarna biru yang berdiri di dekatku tanpa pasangan dansa dan sedang menatapku dari balik topengnya langsung mendapat uluran tanganku. Dia menyambut tanganku, dan tanpa ragu dilingkarkannya kedua tangannya di leherku. Tubuhnya tinggi, rambutnya pirang, dari jarak sedekat ini aku bisa mencium wanginya yang lembut. Aku menghirupnya, entahlah wanginya membuatku tenang.
Perlahan aku memeluk pinggangnya yang ramping dan mulai berdansa mengikuti irama. Tanpa sadar aku merapatkan tubuhnya ke dadaku. Baru kali ini aku tidak merasakan risih berpelukan dengan seorang wanita selain Ibuku. Tapi begitu aku sadar, aku merasa ada yang janggal ketika tubuhnya menyatu dalam dekapanku. Dadaku berdebar kencang, rasa yang sama ketika aku ada dalam dekapannya. Aku tersenyum dan memeluknya semakin erat.
"Aku mencarimu sejak tadi, Gill." kubenamkan wajahku di lekukan lehernya.
"Anda mengenali hamba, Tuan?" Gill berbisik di telingaku.
"Bahkan dengan mata terpejampun aku akan mengenalimu Gill,"
Diam. Kami menari tanpa suara, hanya hati kami yang menyenandungkan melodi indah berpadu pilu.
"Tak ingin buka topengmu? Kau pasti cantik, gaun siapa itu?" bisikku sambil tertawa kecil.
"Ini gaun milik Ibu hamba Tuan,"
"Kau sengaja datang untuk menari denganku Gill?" tanyaku senang.
"Hamba tidak ingin berhutang Tuan, hamba datang kemari untuk mengatakan kalau hamba mencintai Tuan, sangat mencintai Tuan,"
Aku tertegun, ini pertama kalinya Gill mengatakan cinta padaku. Ternyata seindah ini rasanya mendengar seseorang yang kita cintai juga mencintai kita.
Tanganku terulur ingin membuka topengnya, tapi Gill mencegahku.
"Jangan Tuan, bagaimana jika ada yang melihat hamba?" nada cemas dari suara Gill mengurungkan niatku. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Semua sedang asik dengan pasangan dansanya, aku juga melihat Ayah dan Ibuku sedang berbincang dengan para tamu undangan.
Dengan cepat aku menarik tangan Gill dan membawanya ke balik pilar besar yang bisa menyembunyikan tubuh kami berdua jika kami menyelinap di sana.
"Kita aman di sini," aku membuka topengku dan juga membuka topeng yang dikenakan Gill.
"Tuan," suara Gill masih terdengar cemas.
Aku tak membiarkan Gill menunjukkan rasa cemas lebih banyak, kubungkam mulutnya dengan bibirku, kulepaskan hasrat rinduku dengan menciumnya. Gill tak berubah, bahkan di saat sedang khawatirpun, ciumannya tetap terasa manis. Aku lupa sedang berada di mana, aku lupa hari ini adalah penentuan takdirku, aku terlena dalam lumatan bibir Gill yang basah dan hangat.
"Aku mencintaimu Gill," bisikku di sela kecupan kami yang menggila. Gill hanya menguatkan dekapannya sebagai balasan kalimat cintaku.
Waktu, berhentilah berputar aku mohon..
"Nath! Apa yang sedang kau lakukan?" seruan yang sangat aku kenali membuatku terkejut dan tanpa sadar bibir Gill tergigit olehku. Gill langsung menarik kembali topengnya. Ada badai di dadaku saat melihat Ibuku menatap tajam Gill yang menunduk.
"Ibu!" perhatianku terbagi, antara melihat Ibuku dan tetesan merah yang mengalir turun dari balik topeng Gill. Ya Tuhan, aku menyakiti orang yang sangat aku cintai!
"Siapa dia Nath, putri dari kerajaan mana?" tanya Ibuku sambil mendekati Gill yang kini aku lindungi di balik tubuhku.
"Putri dari kerajaan Hilanzia, Yang Mulia. Dia kekasihku..." suara parau yang seksi milik Grey terdengar di belakangku. Aku menoleh, dan melihat Grey menggamit tangan Gill dan merangkulnya. Demi lucifer, Grey seperti malaikat di mataku saat ini, karena setelah Grey datang, Ibuku tak lagi menatap Gill setajam tadi.
"Kekasihmu? Sejak kapan kau menyukai seorang wanita Grey?" tanya Ibu yang di balas gelak tawa dari bibir Grey.
"Sejak putramu mau berdansa denganku, Yang Mulia Ratu Elora." Grey tertawa lagi. Dikedipkannya matanya padaku, aku menunduk masih dengan gemuruh badai di dadaku.
"Jika dia benar kekasihmu, jangan biarkan anakku merebutnya dari pelukanmu Prince Grey," Ibu menatap ke arahku, aku tau Ibu sedang menyindirku.
"Tentu saja Yang Mulia," Grey membungkuk memberi hormat pada Ibuku.
"Nath, Ayahmu sudah memilih tiga putri jelita untuk menjadi calon istrimu, kembalilah ke tempat pesta karena satu dari mereka akan mencari dan mengenalimu," kalimat Ibu barusan membuat badai di dadaku membentuk pusaran yang cepat atau lambat pasti akan menelanku.
Aku diam, tapi kakiku ingin berlari.
Aku membisu, tapi hatiku berteriak pilu.
Melihatku hanya diam, Ibu mengulurkan tangannya, memakaikan kembali topengku dan menarik tanganku menuju tempat pesta berlangsung.
Aku menengok ke belakang, ke tempat Gill berdiri dalam rangkulan tangan Grey. Entahlah, aku tidak tau harus berterima kasih atau malah harus menghajar Grey dan mematahkan iganya karena telah lancang mendekap kekasihku dalam rangkulan tangannya. Yang pasti, aku mengikuti Ibu dengan langkah yang terasa seperti sedang berjalan menuju tiang hukuman mati.
★★★★★
Berdiri bersama Prince Thiery dan Prince Siena yang wajahnya tertutup topeng, aku seperti menunggu giliran di penggal oleh sang algojo. Sementara di ujung sana, tiga orang putri pilihan Ayahku akan memilih masing-masing satu orang pangeran di antara kami dan yang memilihku berarti dia adalah calon istriku.
Aku memejamkan mataku, bayangan harus berpisah dengan Gill membuatku ingin menangis.
Seorang putri dengan gaun berwarna putih mendekatiku, dia mengulurkan tangannya, aku tak bisa melihatnya karena dia juga mengenakan topeng yang menutupi seluruh wajahnya sepertiku.
Prince Thiery dan Prince Siena juga sudah menerima uluran tangan dua putri yang lainnya. Ibuku langsung memberi kalungan bunga pada putri raja di hadapanku sebagai tanda dialah putri terpilih karena telah mengenaliku dalam balutan topeng.
Ayahku bertepuk tangan dan diikuti tepukan dari seluruh tamu undangan yang hadir sebagai ucapan selamat karena Ayah telah mendapatkan satu orang putri untuk dijadikan menantu pertama di istana Cynburleigh.
Semua tamu yang hadir bersorak memintaku berdansa dengan sang putri. Akhirnya dengan langkah ragu aku merengkuh putri pilihan turun ke lantai dansa. Pesta kembali dimulai, semua ikut bergembira dan menari bersama.
"Namaku Cherish, aku putri dari kerajaan Faylinn, suatu kehormatan bisa bersanding denganmu, Prince." dia membuka topengnya, aku seperti sedang melihat bidadari surga di hadapanku. Sangat cantik, tanpa cela sedikitpun. Kulit wajahnya seperti pualam, dan bibirnya yang merekah menghadirkan senyum yang menambah indah wajahnya yang sempurna. Tapi, secantik apapun bidadari di hadapanku ini, tetap saja hanya ada wajah Gill di kelopak mataku.
Aku hanya mengangguk kecil.
"Tak ingin membuka topengmu, Prince? Aku ingin sekali melihat serupawan apa calon suamiku, yang namanya masyhur di kerajaan wilayah barat karena ketampanannya ini," Cherish tersenyum dengan semburat merah jambu yang terlukis di pipinya.
"Maaf Princess, biarkan topeng ini tetap di wajahku sampai pesta ini usai, aku ingin menatapmu dari balik topengku." kataku lirih yang disambut dengan anggukan dan senyuman malaikatnya.
"Baiklah Prince, apapun untukmu." dilingkarkannya tangannya ke leherku, lalu melangkah pelan mengikuti irama lagu.
Dia tak pernah tau, tak seorangpun kubiarkan tau alasan kenapa aku tak ingin melepas topengku.
Air mataku telah jatuh satu-satu.
★★★★★
Senja tampak merona di antara persiapan pesta pernikahanku, sang putra mahkota kerajaan Cynburleigh dengan putri Cherish dari kerajaan Faylinn. Besok pagi, akan ada pernikahan di istana ini. Dan di antara keriuhan penuh warna bahagia dari seluruh penghuni istana, aku malah sedang frustasi dan berteriak seperti orang gila di taman istana.
"Aku benci menjadi 18 tahun Gill! Aku benci terlahir sebagai putra mahkota! Aku benci menjadi bagian dari tradisi Cynburleigh yang memuakkan ini! Aku benci menjadi aku Gill! Aku benci!!!" tangisku pecah, aku meraung tak terkendali, kucengkeram bahu Gill yang berdiri di hadapanku. Gill hanya diam, tapi bisa aku rasakan matanya yang biru juga menahan pilu.
"Prince, bukankah beberapa tahun yang lalu hamba pernah mengingatkan agar menyiapkan hati untuk hari ini?" diusapnya punggungku, mungkin berusaha menenangkan aku meski aku bisa merasakan tangannya gemetar.
"Gill, bahkan seribu tahun lagipun aku tak akan pernah siap berpisah darimu! Mengertilah!" teriakanku mulai bercampur tangis.
"Lalu apa yang anda inginkan Prince? Menentang perintah Yang Mulia Raja? Membatalkan rencana pernikahan anda? Atau anda ingin mengakui hubungan terlarang kita? Anda ingin kita berdua dihukum pancung? Begitukah?" Gill menguraikan pelukannya, ditatapnya mataku dalam dan aku melihat ada bening di kelopak matanya yang berebutan ingin tumpah.
Aku tertegun, baru kali ini aku melihat sosok pemberani seperti Gill menangis. Dengan cepat kuhapus air matanya yang mengalir seperti anak sungai.
"Jangan menangis Gill, aku mohon jangan biarkan aku melihat air matamu!" dengan panik aku mengusap wajahnya yang basah. Kulihat Gill mengatupkan rahangnya, aku tau dia sedang menahan kepedihan yang sama.
"Ayo kita lari Gill! Bawa aku lari dari sini!"
Spontan Gill membelalakkan matanya yang indah. Dia tak menyangka aku akan mencetuskan ide gila ini.
"Apa anda sudah gila Tuan? Lari dari sini? Hamba bahkan tidak yakin kita bisa melewati pintu gerbang istana ini tanpa anak panah tertancap di jantung kita!" seru Gill tertahan. Ada cemas luar biasa di wajahnya yang tampan.
"Ya, aku sudah gila! Jadi bawalah aku pergi sejauh mungkin dari sini jika kau tak ingin aku menjadi semakin gila!" aku berteriak lagi.
"Tuan, hamba tidak ingin anda menderita jika tinggal jauh dari istana, hamba tidak ingin anda menjadi seorang pelarian dan setiap hari di kejar puluhan prajurit seperti seorang pesakitan!"
"Lebih baik menderita sebagai seorang pelarian tapi aku denganmu Gill, daripada aku tinggal di neraka bernama istana ini tapi kau tak ada!"
"Tuan, aku mohon jangan seperti ini,"
"Kenapa takdir tak berpihak padaku Gill? Kenapa? Sungguh aku tak bisa mencintai orang lain lagi selain kau Gill!" aku meluruh, lelah dalam isak tak bersudah.
"Bukankah kisah kita adalah bagian dari takdir? Bangunlah Tuan, ada banyak cara untuk kita tetap saling menatap meski dari kejauhan sekalipun," Gill merengkuh tubuhku, dipeluknya aku dalam dekapannya.
"Gill, malam ini tidurlah denganku, aku tak ingin sendirian," aku memohon dengan mataku.
"Kau akan tidur sendirian, karena Gill si pengkhianat ini akan tidur di balik jeruji besi dan akan menerima hukuman mati!" suara keras bernada murka membuat aku dan Gill terkejut dan terpaksa mengurai pelukan kami.
"Ayah!" aku tercekat, tenggorokanku terasa kering. Gill menjatuhkan diri di depan ayahku, berlutut dengan kedua kakinya.
"Hamba memang sepantasnya dihukum mati Yang Mulia," Gill menundukkan kepalanya dalam.
"Kau memalukan Nath! Apa yang ada di dalam pikiranmu? Seorang putra mahkota macam apa kau ini? Kau ingin menghancurkan keturunan kerajaan kita dengan menjadi pecinta sesama jenis? Kau sudah gila Nath! Dan Ayah yakin kau dipengaruhi oleh pelayan busuk ini! Dia pantas dihukum mati!" suara Ayahku menggelegar.
"Ayah, Gill tidak bersalah, aku mohon jangan hukum dia, aku yang memaksanya untuk mencintai aku Ayah, Gill tidak bersalah!" aku berlutut di samping Gill.
"Pengawal! Seret pelayan ini ke dalam penjara! Dan siapkan hukuman pancung untuknya besok pagi!" perintah Ayahku pada dua orang pengawal yang langsung menarik Gill dan menyeretnya dengan paksa.
"Giiiiiill..!" teriakku sambil berlari ke arahnya. Tapi dua orang pengawal ayahku yang lain langsung menghadangku dan tidak membiarkan aku mendekati Gill. Gill menoleh ke arahku, dan tersenyum. Gill tersenyum! Ya Tuhan, setelah hampir seribu hari menjadi kekasihku, baru kali ini aku melihat Gill tersenyum. Air mataku menetes dengan liar. Gill tersenyum dengan indahnya, dan aku ingin melihatnya lagi. Aku ingin memiliki senyum Gill! Tuhan, berpihaklah padaku kali ini saja, aku mohon satukan aku dengan Gill, aku tak ingin yang lain.
★★★★★
Jutaan bintang malam ini menerangi jalanku menuju ruang bawah tanah tempat Gill berada. Seorang petugas penjara mengantarkan aku setelah di depan pintu gerbang ruang bawah tanah tadi aku berlutut memohon padanya agar diijinkan menemui Gill.
"Gill!" seruku di depan pintu besi yang terkunci rapat, aku tak bisa menemui Gill secara langsung karena tahanan yang akan dihukum mati, ruangannya terkunci dan hanya kepala penjara yang memegang kuncinya.
"Tuan! Tuan! Kenapa anda datang ke tempat yang hina ini? Pergilah Tuan, jangan sampai nanti anda celaka!" Gill membalas seruanku. Dia belum tidur.
"Gill, kau baik-baik saja?"
"Hamba baik-baik saja Tuan, kembalilah ke istana, pergilah!"
"Gill, bertahanlah, Ayah sudah memaafkan aku, beliau bilang akan melepaskanmu setelah upacara pernikahanku usai. Maafkan aku Gill, aku terpaksa menikahinya besok pagi karena aku tidak ingin kau dihukum mati, maafkan aku Gill!" aku meratap di balik pintu yang memisahkan antara aku dan Gill.
"Tuan, maafkan hamba karena membuat anda menderita. Sekarang kembalilah, ini bukan tempat yang baik untuk seorang mulia seperti anda,"
"Aku akan tidur di sini, aku ingin temani kau Gill, mendekatlah!"
"Jangan Tuan! Hamba mohon, pergilah!"
"Ini perintah!" teriakku parau menahan tangis.
"Tuan,"
"Mendekatlah Gill,"
"Hamba di sini Tuan,"
"Letakkan tanganmu di sini!" aku mengetuk pintu besi mengerikan ini.
"Ya, Tuan."
"Pejamkan matamu Gill, rasakan aku." aku meletakkan telapak tanganku, menahan isak agar tak jatuh. Terpisah dengan cara seperti ini rasanya sangat menyakitkan. Aku tak bisa membayangkan betapa dinginnya lantai di dalam sana.
"Hamba bisa merasakan tangan kita bersentuhan Tuan,"
"Gill, aku mencintaimu."
"Tuan,"
"Panggil aku Nath, aku bukan tuanmu, aku kekasihmu!"
"Nath,"
"Panggil aku lagi Gill, panggil aku lagi..!" aku mulai terisak.
"Nath, aku juga mencintamu Nath, sangat mencintaimu," suara Gill terdengar seperti bisikan.
"Bertahanlah Gill, besok aku yang akan menjemputmu!"
"Aku akan bertahan untukmu, Nath."
"Sekarang tidurlah, aku memelukmu." aku lalu terdiam.
Aku akan terjaga sepanjang malam Gill, aku akan menjagamu. Seperti selama ini kau selalu menjaga tidurku. Besok setelah pesta usai, kita akan bertemu lagi Gill, Ayah hanya akan mengasingkanmu, itu janjinya jika aku tidak membatalkan pernikahanku. Seperti yang pernah aku dengar, cinta butuh pengorbanan Gill, dan ini pengorbananku untukmu. Tersenyumlah Gill, ini perintah, bisikku dalam hati.
★★★★★
Takdir sedang menjemputku. Dia datang sebagai luka. Tak bisa kutolak, karena hidupku sendiri adalah persembahan untuk takdir.
Berdiri di depan altar, bersama dengan Pendeta Arlo aku menunggu calon pengantin wanitaku.
Aku berharap sedang berada di pesta topeng saja, karena aku bisa menyembunyikan wajahku di balik topeng seperti waktu itu. Aku ingin menangis, harusnya aku menikah dengan Gill, bukan dengan yang lain. Tak ada yang bisa menggantikan posisi Gill di hatiku, tak akan pernah ada.
Iringan calon pengantin datang. Princess Cherish bersama ayahnya Raja Faylinn berjalan menuju altar. Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih, calon pengantinku tampak cantik jelita. Tapi aku tetap tak tertarik padanya. Aku sedang memikirkan Gill.
Sesampainya di depan altar, Princess Cherish menatapku dengan senyumannya yang menawan. Aku menatapnya datar.
Prosesi pernikahan akan dimulai, aku dan Princess Cherish berlutut untuk mengucapkan janji suci pernikahan. Lututku terasa gemetar, dadaku bergemuruh. Terasa sesak, sakit. Aku ingat Gill.
Pemberkatan belum selesai, tiba-tiba Princess Cherish berdiri. Aku terkejut dengan apa yang dia lakukan. Aku ikut berdiri dan menatapnya tak suka, aku ingin upacara ini cepat selesai karena setelah ini aku harus menemui Gill, aku telah berjanji akan menjemputnya.
"Maaf, sebelum membacakan janji suci ini, ada yang ingin aku sampaikan terlebih dahulu pada Tuan," Princess Cherish menatapku dalam dan kubalas dengan tatapan tajam.
"Apa itu?" tanyaku tak senang. Sementara tamu undangan yang hadir mulai mengeluarkan suara dengan berbisik-bisik satu sama lain.
Dia tak menjawab, malah menarik tanganku keluar dengan langkah tergesa. Aku mengikutinya dengan hati bertanya. Kuabaikan panggilan dari Ayah dan Ibuku, juga seruan bernada heran dari para tamu undangan.
Sesampainya di halaman gereja, aku melepaskan genggaman tangan Princess Cherish dengan kasar.
"Jangan membuat upacara pernikahan kita berlangsung lama!" seruku kesal. Princess Cherish hanya tersenyum, lalu meraih kembali tanganku yang tadi aku lepaskan.
"Pergilah Tuan, bukankah seseorang sedang menunggumu?"
"Apa maksudmu?" keningku berkerut.
"Aku tidak ingin membuatmu terpaksa menikahi aku, Prince Grey telah menceritakan semua tentangmu. Sekarang pergilah, temui cintamu. Jangan sampai kau menyesal karena telah membuatnya menunggu terlalu lama."
"Prince Grey?"
"Ya, dan sekarang dia menunggumu di belakang istana, dia akan membantumu lari dari istana ini, cepatlah Tuan, waktumu tak banyak, sementara itu aku akan mencari cara agar mereka tak terlalu curiga!"
Ya Tuhan, inikah takdirku kini? Aku tersenyum dan memeluk bidadari di hadapanku.
"Terima kasih Princess, sampai matipun aku tak akan melupakan kebaikanmu dan Grey."
"Bergegaslah Tuan, semoga kau bahagia." Princess Cherish mendorong bahuku. Aku mengangguk dan langsung berlari menuju tempat di mana kekasihku berada.
Gill, tunggu aku!
★★★★★
Sesampainya di ruang bawah tanah, aku melihat dua orang penjaga sedang berlutut di depan ruangan Gill yang pintunya kini telah terbuka.
"Gill, aku datang!" seruku tak dapat menyembunyikan kebahagiaanku. Aku langsung masuk ke dalam ruangan penjara yang lembab itu.
"Gill!" Aku memanggilnya. Tapi Gill hanya diam. Tubuhnya telungkup di dekat tembok.
"Gill, aku datang Sayang!" aku mengguncang tubuhnya. Sementara dua penjaga penjara yang kini berdiri di sampingku hanya diam dan tertunduk menatap tubuh Gill.
"Gill?" aku merengkuh dan membalikkan tubuhnya. Terasa kaku.
"Aaaaaaaaaah!! Giiiiill...!" aku histeris melihat Gill berlumuran darah. Sebuah belati kecil tergeletak di dekatnya. Aku terus mengguncang tubuh Gill.
"Dia mati Tuan," penjaga penjara mengatakan kalimat yang membuatku takut, aku merasakan dingin seketika.
"Giill....! Bangun Gill, aku datang menjemputmu Gill, aku mohon bangunlah! Aaaaaaaaaargh!" aku meraung sambil memeluk tubuh Gill yang kaku dan dingin.
"Dia meninggalkan pesan Tuan," penjaga itu berkata lagi. Aku mendengarnya seperti bisikan. Entahlah, aku seperti tak mendengar apapun, aku hanya mendengar detak jantungku yang bergemuruh penuh badai.
"Gill..!! Banguuuun! Jangan tinggalkan aku Gill..!" Kuciumi wajah penuh darah milik Gill.
"Gill, bangun..! Ini perintah!" seruku lemah. Biasanya aku langsung mendengar Gill berkata, "Baik Tuan" tapi kenapa kali ini Gill hanya diam? Apa aku tak lagi berarti di matanya?
Aku menatap kosong wajah Gill yang tetap tampan meski kini terlihat pasi.
Kenapa mendahului aku Gill? Tak inginkah kau menjemput takdir bersamaku? Aku tak bisa tanpamu Gill, tanpamu semua pasti tak akan lagi sama.
Mataku menatap dinding penjara yang kusam. Ada goresan dengan tinta darah milik Gill, pesan untukku. AKU MENCINTAIMU TUAN, TERSENYUMLAH...
Air mataku menetes satu-satu.
Aku tak ingin sendirian. Tanpamu apalah artiku?
Kuambil belati yang telah merampas takdir kekasihku. Kuhunjamkan kuat-kuat tepat di jantungku.
Tunggu aku, Gill..
END
Wangi camomile yang keluar dari kepulan asap hangat secangkir teh yang disajikan oleh Gill, pelayan pribadiku menggugah lelapku. Menggoda sekali, tapi aku tak ingin bangun. Hari ini saja, aku ingin tidur sampai hari berganti pagi kembali. Aku ingin meneruskan mimpi indahku.
"Matahari telah tinggi Tuan, bangunlah," aku merasakan bahuku ditepuk lembut. Aku hanya menggerakkan sedikit tubuhku. Tanpa membuka mata.
"Tuan muda, anda sudah sangat terlambat datang ke meja makan untuk sarapan pagi," suara Gill kembali mengganggu.
"Bisakah sampaikan pada Ayah dan Ibu untuk tidak perlu menungguku? Aku masih ingin tidur Gill!"
"Maaf Tuan, anda juga harus fitting baju untuk pesta besok," kalimat Gill barusan membuatku terpaksa membuka mataku. Pesta..
Besok adalah pesta ulang tahunku yang ke 18. Dan aku sangat benci dengan usia 18! Betapa tidak? Di pesta ulang tahun itu juga Ayah akan memilih satu orang putri dari kerajaan lain yang hadir sebagai tamu undangan untuk dijadikan calon istriku.
Ayah dan Ibuku, mereka tak pernah tau kalau aku tak menyukai putri dari belahan dunia manapun, secantik apapun dan semakmur apapun kerajaannya. Aku tak menginginkan mereka menjadi kekasihku apalagi istriku.
"Tuan, anda tau kan Ibu Ratu tidak suka menunggu?" Aku menolehkan wajahku ke arah Gill yang berdiri tepat di samping tempat tidurku. Aku menatapnya, wajah pelayan pribadiku sekaligus kekasihku.
Ya, Gill adalah kekasih tercintaku, dia adalah cinta pertamaku, kami tumbuh dan besar bersama di lingkungan istana dengan aku sebagai putra mahkota dan Gill sebagai anak kepala pelayan di istana ini. Ayahku yang seorang raja menjadikan Gill sebagai pelayan pribadiku. Gill menemaniku belajar, menunggang kuda, berlatih pedang dan juga melayani keperluan pribadiku termasuk menyiapkan pakaian yang aku kenakan setiap harinya.
Ketika aku mulai mengenal arti cinta, Gill adalah sosok pertama yang aku lihat. Aku jatuh cinta padanya, pada seseorang yang selalu ada di setiap mataku memandang, seseorang yang pertama kali aku lihat saat aku terjaga di pagiku yang dingin, dan sosok terakhir di penglihatanku saat aku ingin memejamkan mata di malam-malam lelapku.
Aku sangat mencintai Gill, di mataku hanya ada dia, aku membutakan mataku untuk semua keindahan yang dihadirkan para putri-putri kerajaan yang dikenalkan Ayah di setiap jamuan makan malam, dan juga gemerlapnya pesta dansa yang sering diadakan di istana. Gill juga mencintaiku, dan aku percaya padanya meski selama ini dia tidak pernah mengatakannya. Ya, kami saling mencintai, tanpa seorangpun tau.
Sekarang dia di dekatku, melakukan ritual yang sama setiap paginya, membangunkan aku dari tidurku. Kutarik tangannya dan dalam sekejap tubuhnya berada di atas tubuhku, wajah kami berdekatan, mata kami saling menatap. Aku bisa merasakan hangat napasnya di kulit wajahku.
"Tuan, anda tidak punya banyak waktu untuk bermain-main," Gill menundukkan wajahnya.
"Tak merindukanku, hmm?" aku mengusap pipinya. Menyusuri kulit wajahnya dengan ujung jariku.
"Anda tau jawaban hamba Tuan,"
"Aku tidak tau, jawab saja!" jariku berhenti di sudut bibirnya.
"Maaf Tuan, hamba masih harus menyiapkan air untuk anda mandi," Gill berusaha melepaskan diri dari pelukanku. Tapi tanpa morning kiss darinya, sampai matipun dia tak akan aku lepaskan.
Gill adalah ciuman pertamaku, dan aku adalah ciuman pertamanya. Naluri yang mengajarkan kami, dari yang awalnya tersedak saat pertama kali berciuman, sampai akhirnya kami saling mengakui kalau kami berdua adalah pencium yang hebat.
"No kiss for me, hmm?" tanyaku dengan nada menuntut.
"Maaf Tuan, hamba..."
"Ini perintah!" seruku tak membiarkan dia meneruskan kalimat penolakannya. Tak perlu menunggu lama, bibirnya yang merah delima sudah mengecup bibirku, melumatnya lembut. Bahkan dalam tekananpun, ciuman Gill selalu berasa sama, hangat dan penuh cinta. Ciuman selamat pagi ini seperti appetizer buatku, dan aku tak pernah melewatkannya selama 921 pagi sejak aku menyatakan cinta padanya.
"Apa yang baru saja kau minum, Gill?" tanyaku begitu ciuman kami usai. Aku merengkuh tubuhnya dan membaringkannya di bawah tubuhku.
"Maaf Tuan," Gill menggigit bibirnya, terlihat semakin menggemaskan di mataku.
"Lidahmu terasa masam," aku menatap wajahnya yang kini bersemu merah dadu.
"Secangkir teh, dan hamba belum sempat minum air putih, Tuan."
Aku mendekatkan kembali wajahku, kujilat bibir Gill, aku sangat menyukai apa yang sedang aku lakukan saat ini, meskipun terasa masam asalkan itu berasal dari mulutnya aku tetap menyukainya dengan sangat.
"Tuan muda, anda melewatkan sarapan pagi bersama Yang Mulia Raja dan Ibu Ratu,"
"Aku sedang sarapan bersamamu," dengan lembut kukecup lekukan kecil di pipinya. Gill masih seperti pertama kali aku mengenalnya dulu, dingin dan minim ekpresi. Percaya atau tidak, aku tidak pernah melihatnya tersenyum. Tapi dia sangat patuh padaku, tak akan pernah ditolaknya jika aku mengucapkan kalimat 'ini perintah' dan sesulit apapun Gill akan mengabulkannya.
"Tuan, anda membuat napas hamba sesak," Gill mengeluh dalam bisiknya, dan aku baru sadar ternyata tanganku sedang bertumpu di dadanya. Cepat-cepat aku bangun dan membebaskannya dari dekapanku.
"Aku ingin mandi Gill," kuregangkan tubuhku dengan mengangkat kedua tanganku ke atas dan ke samping.
"Baik Tuan," Gill turun dari ranjangku, masih dengan ekspresinya yang datar.
Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk memintanya mandi bersamaku, selama ini aku belum pernah melihat tubuhnya tanpa busana.
"Temani aku Gill, mandi bersamaku," pintaku sambil masih terus menatapnya yang sedang menuangkan madu di tempatku berendam.
"Maaf Tuan, hamba sudah mandi."
"Ini perintah!" aku tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun. Hampir tiga tahun kami menjalin hubungan, tapi belum pernah satu kalipun bermesraan secara intim, kami hanya berciuman, tidak lebih. Terkadang aku menginginkannya, tapi kutahan dan kulampiaskan hasratku dengan berlatih pedang. Untuk hal yang satu ini aku tidak menggunakan kalimat ajaibku, entahlah, aku tak ingin menyakitinya.
"Baik Tuan," Gill menundukkan kepalanya dalam, pemuda tampan 18 tahun di hadapanku itu terlihat merona, ada lukisan merah jambu di kedua pipinya, tapi seperti biasanya, dia tak pernah bisa menolakku. Aku tersenyum, posisiku sebagai putra mahkota membuatku memiliki kekuatan untuk menguasainya.
Pintu kamarku dibuka dari luar, Ibu berdiri di sana dengan wajah kesal.
"Nath, kau membuat Ibu dan Ayah menunggu lama!" serunya dengan tangan terlipat di depan dadanya.
"Maafkan aku Ibu, sepertinya aku tidak enak badan," dengan suara yang kubuat lemah, aku menundukkan kepalaku.
"Kau sakit Nak?" Ibu mendekatiku dan menyentuh keningku dengan punggung tangannya. Aku mengangguk.
"Suhu tubuhmu normal," kening Ibu berkerut.
"Mungkin aku terlalu letih, Bu," kulanjutkan dramaku.
"Tapi Madam Fee sudah menunggumu, kau harus mengepas baju pestamu Nath," sepertinya aktingku tidak berhasil.
"Baiklah, tapi aku ingin mandi dulu," sahutku pasrah.
"Jangan membuat semua orang menunggumu Nath, bergegaslah. Dan kau Gill, pergi buatkan minuman dan temani Madam Fee!" perintah Ibuku pada kekasihku.
Gill mengangguk kecil, masih tanpa ekspresi, lalu mengikuti langkah Ibuku. Tinggal aku yang berlalu ke kamar mandi dengan wajah masam. Aku harus melupakan keinginanku untuk mandi dan menikmati tubuh Gill.
★★★★★
Alunan musik dansa mulai terdengar di ballroom istana. Aku masih berada di dalam kamarku, Gill sedang membantuku mengenakan pakaian pesta, wajahnya datar saja, tanpa ekspresi, sedangkan aku berkali-kali harus menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. Aku gelisah, aku benci pesta dansa malam ini, bukan pestanya, tapi hasil dari pesta itu nantinya. Sesuai tradisi, Ayah akan memilih beberapa orang Putri, tiga atau empat orang, dan satu dari mereka yang bisa menemukan keberadaanku di tengah pesta, berarti dia adalah calon pengantin untukku. Dan aku akan datang dengan menggunakan topeng, berbaur bersama para putra mahkota kerajaan tetangga yang hadir sebagai tamu kehormatan istana.
"Sudah selesai Tuan, turunlah ke lantai dansa dan jemput takdirmu," Gill menatapku, aku bisa melihat tatap sedih di matanya.
"Takdirku adalah kau Gill, bukan yang lain," dengan penuh keyakinan aku mengucapkan kalimat itu, meski harus aku akui suaraku terdengar gemetar.
"Berhentilah melawan takdir Tuan, kekuatan kita sangat terbatas," Gill meraih tanganku, dan meletakkan di telapak tanganku sebuah topeng dengan bulu-bulu di bagian atasnya.
"Kalau begitu beri aku kekuatan yang lebih banyak lagi! Katakan kalau kau mencintaiku!" perintahku dengan suara lemah. Gill belum sempat mengatakan apapun ketika pintu kamarku dibuka dari luar.
"Kau sudah siap Nath? Pesta sudah dimulai, bergegaslah turun! Dan kau Gill, kalau sudah selesai membantu Nath berpakaian, segeralah pergi ke ballroom untuk membantu Ayahmu melayani tamu yang datang!" Gill mengangguk pelan.
Ibu cantik sekali dengan gaunnya yang sangat indah. Tapi kehadirannya selalu mengganggu kemesraanku dengan Gill.
"Kau berhutang satu kata cinta padaku," bisikku lirih tak ingin terdengar Ibuku.
Gill hanya menatapku datar, menundukkan kepalanya memberiku hormat lalu melangkah mundur kemudian berbalik pergi. Demi Tuhan, aku ingin sekali menangis kalau saja Ibuku tak ada di sini. Dengan cepat kupakai topeng yang menutupi seluruh wajahku, aku ingin sekalian menyembunyikan mataku yang mulai basah kelopaknya.
★★★★★
Ketika Cupid melemparkan panahnya, tak ada satu orangpun yang dapat mengelak. Begitu juga aku. Ketika panah cinta menusuk jantungku, aku tidak pernah menduga harus jatuh cinta pada seorang lelaki, pada seorang pelayan. Dan sekalinya jatuh cinta, aku tak ingin berpaling, aku tak ingin yang lain, tak ada yang bisa menggantikan Gill di hatiku, dia tak bisa dibandingkan dengan siapapun, bahkan bidadari surga sekalipun.
Berdiri di tempatku saat ini, aku bisa melihat riuhnya pesta. Semua terlihat menikmati suasana, berdansa dengan berganti-ganti pasangan. Dari balik topengku aku malah mencari sosok Gill di antara mereka yang berada di ballroom istana. Tapi tak kutemui. Dengan hati remuk redam aku melangkah menuju lantai dansa berbaur dengan para tamu undangan, dan merengkuh pinggang seorang puteri yang jelita dengan balutan ball gown berwarna maroon untuk berdansa bersamaku.
Hanya beberapa langkah saja, seorang pangeran dari kerajaan lain sudah mengambil pasangan dansaku. Akupun memilih pergi menuju meja tempat jamuan yang menghidangkan minuman dan makanan ringan. Aku mengambil segelas sampagne, menyesapnya sedikit. Kembali mataku beredar mencari sosok Gill, harusnya tak sulit menemukan pelayan di antara mereka, karena hanya pelayan yang tidak memakai topeng pesta.
Tapi tak aku temukan wajahnya, wajah yang menyejukkan ketika aku sedang gundah. Meski tanpa senyum, meski wajahnya selalu tanpa ekspresi, matanya yang sebening telaga selalu membuatku tenang.
"Mau berdansa denganku?" seorang pemuda dengan postur tubuh yang tinggi tegap mengulurkan tangannya. Meski wajahnya memakai topeng, tapi aku tak akan salah mengenalinya karena aku sangat mengenal suaranya yang parau tapi seksi itu. Juga cincin besar bermata ruby yang hanya dimiliki satu orang saja di seluruh kerajaan wilayah timur, tampak mencolok di jemarinya yang terulur di depanku.
"Kau datang Grey?" aku mengabaikan uluran tangannya.
"Aku tak akan mungkin melewatkan pesta di mana aku bisa bertemu denganmu Nath," tangannya masih belum ia turunkan. Aku menatapnya malas dari balik topengku. Prince Grey adalah putra mahkota dari kerajaan Elevanza, dan bukan rahasia lagi, aku mengetahui kalau Prince Grey adalah seorang gay. Beruntungnya dia karena ayahnya tidak mempermasalahkan penyimpangannya. Aku iri padanya karena aku tidak seberuntung dia, aku tidak berani mengakui hal ini pada ayahku.
"Ayolah Nath, berdansa denganku," masih belum putus asa, Grey bertahan dengan sikap santunnya.
"Ajaklah putri dari kerajaan tetangga, lihatlah mereka bertaburan di lantai pesta." mataku masih mencari wajah Gill.
"Tapi aku ingin berdansa denganmu Nath, mungkin ini untuk yang terakhir kali karena setelah pesta ini usai, kau akan bersanding dengan salah satu putri cantik itu kan?"
Aku menghembuskan napas kesal, Grey tak pernah bosan mencari perhatianku, dia juga tak pernah bosan dengan penolakanku. Tapi kali ini aku ingin sekali saja membuatnya senang, dia benar, setelah pesta ini berakhir, seorang putri terpilih akan menjadi calon istriku, dan pangeran tampan di hadapanku ini pasti tak akan menggangguku lagi. Huuft, memikirkan seseorang akan menjadi calon istriku membuat lambungku mencelos parah. Kuraih uluran tangannya, dan aku mendengar dia tertawa sambil langsung memeluk pinggangku. Kami berdansa mengikuti alunan melodi berirama lembut. Aku membayangkan berdansa dan tenggelam di dalam dekapan Gill dan menari sambil berciuman. Gill, kau di mana?
Baru beberapa menit menyatukan langkah kaki dengan Grey, mataku bersirobok dengan Ayah yang menatapku tajam. Aku lupa Ayah sangat tidak menyukai Grey karena pangeran tampan ini adalah seorang gay. Aku menunduk, berusaha mencari cara agar bisa lepas dari dekapan Grey yang sangat kuat.
Ketika tangan Grey menarik tanganku dengan gerakan memutar, aku mengambil kesempatan ini untuk menari dengan yang lain. Seorang putri dengan gaun berwarna biru yang berdiri di dekatku tanpa pasangan dansa dan sedang menatapku dari balik topengnya langsung mendapat uluran tanganku. Dia menyambut tanganku, dan tanpa ragu dilingkarkannya kedua tangannya di leherku. Tubuhnya tinggi, rambutnya pirang, dari jarak sedekat ini aku bisa mencium wanginya yang lembut. Aku menghirupnya, entahlah wanginya membuatku tenang.
Perlahan aku memeluk pinggangnya yang ramping dan mulai berdansa mengikuti irama. Tanpa sadar aku merapatkan tubuhnya ke dadaku. Baru kali ini aku tidak merasakan risih berpelukan dengan seorang wanita selain Ibuku. Tapi begitu aku sadar, aku merasa ada yang janggal ketika tubuhnya menyatu dalam dekapanku. Dadaku berdebar kencang, rasa yang sama ketika aku ada dalam dekapannya. Aku tersenyum dan memeluknya semakin erat.
"Aku mencarimu sejak tadi, Gill." kubenamkan wajahku di lekukan lehernya.
"Anda mengenali hamba, Tuan?" Gill berbisik di telingaku.
"Bahkan dengan mata terpejampun aku akan mengenalimu Gill,"
Diam. Kami menari tanpa suara, hanya hati kami yang menyenandungkan melodi indah berpadu pilu.
"Tak ingin buka topengmu? Kau pasti cantik, gaun siapa itu?" bisikku sambil tertawa kecil.
"Ini gaun milik Ibu hamba Tuan,"
"Kau sengaja datang untuk menari denganku Gill?" tanyaku senang.
"Hamba tidak ingin berhutang Tuan, hamba datang kemari untuk mengatakan kalau hamba mencintai Tuan, sangat mencintai Tuan,"
Aku tertegun, ini pertama kalinya Gill mengatakan cinta padaku. Ternyata seindah ini rasanya mendengar seseorang yang kita cintai juga mencintai kita.
Tanganku terulur ingin membuka topengnya, tapi Gill mencegahku.
"Jangan Tuan, bagaimana jika ada yang melihat hamba?" nada cemas dari suara Gill mengurungkan niatku. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Semua sedang asik dengan pasangan dansanya, aku juga melihat Ayah dan Ibuku sedang berbincang dengan para tamu undangan.
Dengan cepat aku menarik tangan Gill dan membawanya ke balik pilar besar yang bisa menyembunyikan tubuh kami berdua jika kami menyelinap di sana.
"Kita aman di sini," aku membuka topengku dan juga membuka topeng yang dikenakan Gill.
"Tuan," suara Gill masih terdengar cemas.
Aku tak membiarkan Gill menunjukkan rasa cemas lebih banyak, kubungkam mulutnya dengan bibirku, kulepaskan hasrat rinduku dengan menciumnya. Gill tak berubah, bahkan di saat sedang khawatirpun, ciumannya tetap terasa manis. Aku lupa sedang berada di mana, aku lupa hari ini adalah penentuan takdirku, aku terlena dalam lumatan bibir Gill yang basah dan hangat.
"Aku mencintaimu Gill," bisikku di sela kecupan kami yang menggila. Gill hanya menguatkan dekapannya sebagai balasan kalimat cintaku.
Waktu, berhentilah berputar aku mohon..
"Nath! Apa yang sedang kau lakukan?" seruan yang sangat aku kenali membuatku terkejut dan tanpa sadar bibir Gill tergigit olehku. Gill langsung menarik kembali topengnya. Ada badai di dadaku saat melihat Ibuku menatap tajam Gill yang menunduk.
"Ibu!" perhatianku terbagi, antara melihat Ibuku dan tetesan merah yang mengalir turun dari balik topeng Gill. Ya Tuhan, aku menyakiti orang yang sangat aku cintai!
"Siapa dia Nath, putri dari kerajaan mana?" tanya Ibuku sambil mendekati Gill yang kini aku lindungi di balik tubuhku.
"Putri dari kerajaan Hilanzia, Yang Mulia. Dia kekasihku..." suara parau yang seksi milik Grey terdengar di belakangku. Aku menoleh, dan melihat Grey menggamit tangan Gill dan merangkulnya. Demi lucifer, Grey seperti malaikat di mataku saat ini, karena setelah Grey datang, Ibuku tak lagi menatap Gill setajam tadi.
"Kekasihmu? Sejak kapan kau menyukai seorang wanita Grey?" tanya Ibu yang di balas gelak tawa dari bibir Grey.
"Sejak putramu mau berdansa denganku, Yang Mulia Ratu Elora." Grey tertawa lagi. Dikedipkannya matanya padaku, aku menunduk masih dengan gemuruh badai di dadaku.
"Jika dia benar kekasihmu, jangan biarkan anakku merebutnya dari pelukanmu Prince Grey," Ibu menatap ke arahku, aku tau Ibu sedang menyindirku.
"Tentu saja Yang Mulia," Grey membungkuk memberi hormat pada Ibuku.
"Nath, Ayahmu sudah memilih tiga putri jelita untuk menjadi calon istrimu, kembalilah ke tempat pesta karena satu dari mereka akan mencari dan mengenalimu," kalimat Ibu barusan membuat badai di dadaku membentuk pusaran yang cepat atau lambat pasti akan menelanku.
Aku diam, tapi kakiku ingin berlari.
Aku membisu, tapi hatiku berteriak pilu.
Melihatku hanya diam, Ibu mengulurkan tangannya, memakaikan kembali topengku dan menarik tanganku menuju tempat pesta berlangsung.
Aku menengok ke belakang, ke tempat Gill berdiri dalam rangkulan tangan Grey. Entahlah, aku tidak tau harus berterima kasih atau malah harus menghajar Grey dan mematahkan iganya karena telah lancang mendekap kekasihku dalam rangkulan tangannya. Yang pasti, aku mengikuti Ibu dengan langkah yang terasa seperti sedang berjalan menuju tiang hukuman mati.
★★★★★
Berdiri bersama Prince Thiery dan Prince Siena yang wajahnya tertutup topeng, aku seperti menunggu giliran di penggal oleh sang algojo. Sementara di ujung sana, tiga orang putri pilihan Ayahku akan memilih masing-masing satu orang pangeran di antara kami dan yang memilihku berarti dia adalah calon istriku.
Aku memejamkan mataku, bayangan harus berpisah dengan Gill membuatku ingin menangis.
Seorang putri dengan gaun berwarna putih mendekatiku, dia mengulurkan tangannya, aku tak bisa melihatnya karena dia juga mengenakan topeng yang menutupi seluruh wajahnya sepertiku.
Prince Thiery dan Prince Siena juga sudah menerima uluran tangan dua putri yang lainnya. Ibuku langsung memberi kalungan bunga pada putri raja di hadapanku sebagai tanda dialah putri terpilih karena telah mengenaliku dalam balutan topeng.
Ayahku bertepuk tangan dan diikuti tepukan dari seluruh tamu undangan yang hadir sebagai ucapan selamat karena Ayah telah mendapatkan satu orang putri untuk dijadikan menantu pertama di istana Cynburleigh.
Semua tamu yang hadir bersorak memintaku berdansa dengan sang putri. Akhirnya dengan langkah ragu aku merengkuh putri pilihan turun ke lantai dansa. Pesta kembali dimulai, semua ikut bergembira dan menari bersama.
"Namaku Cherish, aku putri dari kerajaan Faylinn, suatu kehormatan bisa bersanding denganmu, Prince." dia membuka topengnya, aku seperti sedang melihat bidadari surga di hadapanku. Sangat cantik, tanpa cela sedikitpun. Kulit wajahnya seperti pualam, dan bibirnya yang merekah menghadirkan senyum yang menambah indah wajahnya yang sempurna. Tapi, secantik apapun bidadari di hadapanku ini, tetap saja hanya ada wajah Gill di kelopak mataku.
Aku hanya mengangguk kecil.
"Tak ingin membuka topengmu, Prince? Aku ingin sekali melihat serupawan apa calon suamiku, yang namanya masyhur di kerajaan wilayah barat karena ketampanannya ini," Cherish tersenyum dengan semburat merah jambu yang terlukis di pipinya.
"Maaf Princess, biarkan topeng ini tetap di wajahku sampai pesta ini usai, aku ingin menatapmu dari balik topengku." kataku lirih yang disambut dengan anggukan dan senyuman malaikatnya.
"Baiklah Prince, apapun untukmu." dilingkarkannya tangannya ke leherku, lalu melangkah pelan mengikuti irama lagu.
Dia tak pernah tau, tak seorangpun kubiarkan tau alasan kenapa aku tak ingin melepas topengku.
Air mataku telah jatuh satu-satu.
★★★★★
Senja tampak merona di antara persiapan pesta pernikahanku, sang putra mahkota kerajaan Cynburleigh dengan putri Cherish dari kerajaan Faylinn. Besok pagi, akan ada pernikahan di istana ini. Dan di antara keriuhan penuh warna bahagia dari seluruh penghuni istana, aku malah sedang frustasi dan berteriak seperti orang gila di taman istana.
"Aku benci menjadi 18 tahun Gill! Aku benci terlahir sebagai putra mahkota! Aku benci menjadi bagian dari tradisi Cynburleigh yang memuakkan ini! Aku benci menjadi aku Gill! Aku benci!!!" tangisku pecah, aku meraung tak terkendali, kucengkeram bahu Gill yang berdiri di hadapanku. Gill hanya diam, tapi bisa aku rasakan matanya yang biru juga menahan pilu.
"Prince, bukankah beberapa tahun yang lalu hamba pernah mengingatkan agar menyiapkan hati untuk hari ini?" diusapnya punggungku, mungkin berusaha menenangkan aku meski aku bisa merasakan tangannya gemetar.
"Gill, bahkan seribu tahun lagipun aku tak akan pernah siap berpisah darimu! Mengertilah!" teriakanku mulai bercampur tangis.
"Lalu apa yang anda inginkan Prince? Menentang perintah Yang Mulia Raja? Membatalkan rencana pernikahan anda? Atau anda ingin mengakui hubungan terlarang kita? Anda ingin kita berdua dihukum pancung? Begitukah?" Gill menguraikan pelukannya, ditatapnya mataku dalam dan aku melihat ada bening di kelopak matanya yang berebutan ingin tumpah.
Aku tertegun, baru kali ini aku melihat sosok pemberani seperti Gill menangis. Dengan cepat kuhapus air matanya yang mengalir seperti anak sungai.
"Jangan menangis Gill, aku mohon jangan biarkan aku melihat air matamu!" dengan panik aku mengusap wajahnya yang basah. Kulihat Gill mengatupkan rahangnya, aku tau dia sedang menahan kepedihan yang sama.
"Ayo kita lari Gill! Bawa aku lari dari sini!"
Spontan Gill membelalakkan matanya yang indah. Dia tak menyangka aku akan mencetuskan ide gila ini.
"Apa anda sudah gila Tuan? Lari dari sini? Hamba bahkan tidak yakin kita bisa melewati pintu gerbang istana ini tanpa anak panah tertancap di jantung kita!" seru Gill tertahan. Ada cemas luar biasa di wajahnya yang tampan.
"Ya, aku sudah gila! Jadi bawalah aku pergi sejauh mungkin dari sini jika kau tak ingin aku menjadi semakin gila!" aku berteriak lagi.
"Tuan, hamba tidak ingin anda menderita jika tinggal jauh dari istana, hamba tidak ingin anda menjadi seorang pelarian dan setiap hari di kejar puluhan prajurit seperti seorang pesakitan!"
"Lebih baik menderita sebagai seorang pelarian tapi aku denganmu Gill, daripada aku tinggal di neraka bernama istana ini tapi kau tak ada!"
"Tuan, aku mohon jangan seperti ini,"
"Kenapa takdir tak berpihak padaku Gill? Kenapa? Sungguh aku tak bisa mencintai orang lain lagi selain kau Gill!" aku meluruh, lelah dalam isak tak bersudah.
"Bukankah kisah kita adalah bagian dari takdir? Bangunlah Tuan, ada banyak cara untuk kita tetap saling menatap meski dari kejauhan sekalipun," Gill merengkuh tubuhku, dipeluknya aku dalam dekapannya.
"Gill, malam ini tidurlah denganku, aku tak ingin sendirian," aku memohon dengan mataku.
"Kau akan tidur sendirian, karena Gill si pengkhianat ini akan tidur di balik jeruji besi dan akan menerima hukuman mati!" suara keras bernada murka membuat aku dan Gill terkejut dan terpaksa mengurai pelukan kami.
"Ayah!" aku tercekat, tenggorokanku terasa kering. Gill menjatuhkan diri di depan ayahku, berlutut dengan kedua kakinya.
"Hamba memang sepantasnya dihukum mati Yang Mulia," Gill menundukkan kepalanya dalam.
"Kau memalukan Nath! Apa yang ada di dalam pikiranmu? Seorang putra mahkota macam apa kau ini? Kau ingin menghancurkan keturunan kerajaan kita dengan menjadi pecinta sesama jenis? Kau sudah gila Nath! Dan Ayah yakin kau dipengaruhi oleh pelayan busuk ini! Dia pantas dihukum mati!" suara Ayahku menggelegar.
"Ayah, Gill tidak bersalah, aku mohon jangan hukum dia, aku yang memaksanya untuk mencintai aku Ayah, Gill tidak bersalah!" aku berlutut di samping Gill.
"Pengawal! Seret pelayan ini ke dalam penjara! Dan siapkan hukuman pancung untuknya besok pagi!" perintah Ayahku pada dua orang pengawal yang langsung menarik Gill dan menyeretnya dengan paksa.
"Giiiiiill..!" teriakku sambil berlari ke arahnya. Tapi dua orang pengawal ayahku yang lain langsung menghadangku dan tidak membiarkan aku mendekati Gill. Gill menoleh ke arahku, dan tersenyum. Gill tersenyum! Ya Tuhan, setelah hampir seribu hari menjadi kekasihku, baru kali ini aku melihat Gill tersenyum. Air mataku menetes dengan liar. Gill tersenyum dengan indahnya, dan aku ingin melihatnya lagi. Aku ingin memiliki senyum Gill! Tuhan, berpihaklah padaku kali ini saja, aku mohon satukan aku dengan Gill, aku tak ingin yang lain.
★★★★★
Jutaan bintang malam ini menerangi jalanku menuju ruang bawah tanah tempat Gill berada. Seorang petugas penjara mengantarkan aku setelah di depan pintu gerbang ruang bawah tanah tadi aku berlutut memohon padanya agar diijinkan menemui Gill.
"Gill!" seruku di depan pintu besi yang terkunci rapat, aku tak bisa menemui Gill secara langsung karena tahanan yang akan dihukum mati, ruangannya terkunci dan hanya kepala penjara yang memegang kuncinya.
"Tuan! Tuan! Kenapa anda datang ke tempat yang hina ini? Pergilah Tuan, jangan sampai nanti anda celaka!" Gill membalas seruanku. Dia belum tidur.
"Gill, kau baik-baik saja?"
"Hamba baik-baik saja Tuan, kembalilah ke istana, pergilah!"
"Gill, bertahanlah, Ayah sudah memaafkan aku, beliau bilang akan melepaskanmu setelah upacara pernikahanku usai. Maafkan aku Gill, aku terpaksa menikahinya besok pagi karena aku tidak ingin kau dihukum mati, maafkan aku Gill!" aku meratap di balik pintu yang memisahkan antara aku dan Gill.
"Tuan, maafkan hamba karena membuat anda menderita. Sekarang kembalilah, ini bukan tempat yang baik untuk seorang mulia seperti anda,"
"Aku akan tidur di sini, aku ingin temani kau Gill, mendekatlah!"
"Jangan Tuan! Hamba mohon, pergilah!"
"Ini perintah!" teriakku parau menahan tangis.
"Tuan,"
"Mendekatlah Gill,"
"Hamba di sini Tuan,"
"Letakkan tanganmu di sini!" aku mengetuk pintu besi mengerikan ini.
"Ya, Tuan."
"Pejamkan matamu Gill, rasakan aku." aku meletakkan telapak tanganku, menahan isak agar tak jatuh. Terpisah dengan cara seperti ini rasanya sangat menyakitkan. Aku tak bisa membayangkan betapa dinginnya lantai di dalam sana.
"Hamba bisa merasakan tangan kita bersentuhan Tuan,"
"Gill, aku mencintaimu."
"Tuan,"
"Panggil aku Nath, aku bukan tuanmu, aku kekasihmu!"
"Nath,"
"Panggil aku lagi Gill, panggil aku lagi..!" aku mulai terisak.
"Nath, aku juga mencintamu Nath, sangat mencintaimu," suara Gill terdengar seperti bisikan.
"Bertahanlah Gill, besok aku yang akan menjemputmu!"
"Aku akan bertahan untukmu, Nath."
"Sekarang tidurlah, aku memelukmu." aku lalu terdiam.
Aku akan terjaga sepanjang malam Gill, aku akan menjagamu. Seperti selama ini kau selalu menjaga tidurku. Besok setelah pesta usai, kita akan bertemu lagi Gill, Ayah hanya akan mengasingkanmu, itu janjinya jika aku tidak membatalkan pernikahanku. Seperti yang pernah aku dengar, cinta butuh pengorbanan Gill, dan ini pengorbananku untukmu. Tersenyumlah Gill, ini perintah, bisikku dalam hati.
★★★★★
Takdir sedang menjemputku. Dia datang sebagai luka. Tak bisa kutolak, karena hidupku sendiri adalah persembahan untuk takdir.
Berdiri di depan altar, bersama dengan Pendeta Arlo aku menunggu calon pengantin wanitaku.
Aku berharap sedang berada di pesta topeng saja, karena aku bisa menyembunyikan wajahku di balik topeng seperti waktu itu. Aku ingin menangis, harusnya aku menikah dengan Gill, bukan dengan yang lain. Tak ada yang bisa menggantikan posisi Gill di hatiku, tak akan pernah ada.
Iringan calon pengantin datang. Princess Cherish bersama ayahnya Raja Faylinn berjalan menuju altar. Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih, calon pengantinku tampak cantik jelita. Tapi aku tetap tak tertarik padanya. Aku sedang memikirkan Gill.
Sesampainya di depan altar, Princess Cherish menatapku dengan senyumannya yang menawan. Aku menatapnya datar.
Prosesi pernikahan akan dimulai, aku dan Princess Cherish berlutut untuk mengucapkan janji suci pernikahan. Lututku terasa gemetar, dadaku bergemuruh. Terasa sesak, sakit. Aku ingat Gill.
Pemberkatan belum selesai, tiba-tiba Princess Cherish berdiri. Aku terkejut dengan apa yang dia lakukan. Aku ikut berdiri dan menatapnya tak suka, aku ingin upacara ini cepat selesai karena setelah ini aku harus menemui Gill, aku telah berjanji akan menjemputnya.
"Maaf, sebelum membacakan janji suci ini, ada yang ingin aku sampaikan terlebih dahulu pada Tuan," Princess Cherish menatapku dalam dan kubalas dengan tatapan tajam.
"Apa itu?" tanyaku tak senang. Sementara tamu undangan yang hadir mulai mengeluarkan suara dengan berbisik-bisik satu sama lain.
Dia tak menjawab, malah menarik tanganku keluar dengan langkah tergesa. Aku mengikutinya dengan hati bertanya. Kuabaikan panggilan dari Ayah dan Ibuku, juga seruan bernada heran dari para tamu undangan.
Sesampainya di halaman gereja, aku melepaskan genggaman tangan Princess Cherish dengan kasar.
"Jangan membuat upacara pernikahan kita berlangsung lama!" seruku kesal. Princess Cherish hanya tersenyum, lalu meraih kembali tanganku yang tadi aku lepaskan.
"Pergilah Tuan, bukankah seseorang sedang menunggumu?"
"Apa maksudmu?" keningku berkerut.
"Aku tidak ingin membuatmu terpaksa menikahi aku, Prince Grey telah menceritakan semua tentangmu. Sekarang pergilah, temui cintamu. Jangan sampai kau menyesal karena telah membuatnya menunggu terlalu lama."
"Prince Grey?"
"Ya, dan sekarang dia menunggumu di belakang istana, dia akan membantumu lari dari istana ini, cepatlah Tuan, waktumu tak banyak, sementara itu aku akan mencari cara agar mereka tak terlalu curiga!"
Ya Tuhan, inikah takdirku kini? Aku tersenyum dan memeluk bidadari di hadapanku.
"Terima kasih Princess, sampai matipun aku tak akan melupakan kebaikanmu dan Grey."
"Bergegaslah Tuan, semoga kau bahagia." Princess Cherish mendorong bahuku. Aku mengangguk dan langsung berlari menuju tempat di mana kekasihku berada.
Gill, tunggu aku!
★★★★★
Sesampainya di ruang bawah tanah, aku melihat dua orang penjaga sedang berlutut di depan ruangan Gill yang pintunya kini telah terbuka.
"Gill, aku datang!" seruku tak dapat menyembunyikan kebahagiaanku. Aku langsung masuk ke dalam ruangan penjara yang lembab itu.
"Gill!" Aku memanggilnya. Tapi Gill hanya diam. Tubuhnya telungkup di dekat tembok.
"Gill, aku datang Sayang!" aku mengguncang tubuhnya. Sementara dua penjaga penjara yang kini berdiri di sampingku hanya diam dan tertunduk menatap tubuh Gill.
"Gill?" aku merengkuh dan membalikkan tubuhnya. Terasa kaku.
"Aaaaaaaaaah!! Giiiiill...!" aku histeris melihat Gill berlumuran darah. Sebuah belati kecil tergeletak di dekatnya. Aku terus mengguncang tubuh Gill.
"Dia mati Tuan," penjaga penjara mengatakan kalimat yang membuatku takut, aku merasakan dingin seketika.
"Giill....! Bangun Gill, aku datang menjemputmu Gill, aku mohon bangunlah! Aaaaaaaaaargh!" aku meraung sambil memeluk tubuh Gill yang kaku dan dingin.
"Dia meninggalkan pesan Tuan," penjaga itu berkata lagi. Aku mendengarnya seperti bisikan. Entahlah, aku seperti tak mendengar apapun, aku hanya mendengar detak jantungku yang bergemuruh penuh badai.
"Gill..!! Banguuuun! Jangan tinggalkan aku Gill..!" Kuciumi wajah penuh darah milik Gill.
"Gill, bangun..! Ini perintah!" seruku lemah. Biasanya aku langsung mendengar Gill berkata, "Baik Tuan" tapi kenapa kali ini Gill hanya diam? Apa aku tak lagi berarti di matanya?
Aku menatap kosong wajah Gill yang tetap tampan meski kini terlihat pasi.
Kenapa mendahului aku Gill? Tak inginkah kau menjemput takdir bersamaku? Aku tak bisa tanpamu Gill, tanpamu semua pasti tak akan lagi sama.
Mataku menatap dinding penjara yang kusam. Ada goresan dengan tinta darah milik Gill, pesan untukku. AKU MENCINTAIMU TUAN, TERSENYUMLAH...
Air mataku menetes satu-satu.
Aku tak ingin sendirian. Tanpamu apalah artiku?
Kuambil belati yang telah merampas takdir kekasihku. Kuhunjamkan kuat-kuat tepat di jantungku.
Tunggu aku, Gill..
END
0 komentar:
Posting Komentar