Kado -Oneshoot-


By: Choi Ha Soo
“Hai…”
Tomy tiba-tiba muncul di hadapanku, mengumbar senyumnya. Nyengir memamerkankan gigi gisulnya, menambah wajah putihnya kelihatan lebih ganteng.
“Gendut, kemana saja?” Gendut, begitulah aku menyapanya.
Bukan karena perutnya mblendung. Atau badanya yang menyerupai gajah tapi karena dia selalu memanggilku kerempeng. Tak salah sebenarnya dia menggunakan panggilan itu karena aku memang kurus. Tapi tak tahu mengapa aku merasa harus membalasnya dengan memanggilnya “gendut”. Aku mengenal dia lewat jejaring sosial dan tidak aku sangka ternyata kita belajar di universitas yang sama. Aku bertemu cowok ini di forum diskusi yang sekarang diketuai oleh dia sendiri. Semangatnya yang luar biasa membuatku penasaran apakah lelaki yang sama-sama BELOK seperti aku ini mengenal cinta juga?, Kadang aku berfikir tidak. Sebab setiap aku duduk bersamanya tak pernah sekalipun bicara selain tentang teori akademik atau membahas sesuatu yang seharusnya jadi tema diskusi yang serius. Hari ini sepertinya ada maksud lain dia menemuiku setelah beberapa hari ini aku tidak melihat wajahnya. Aku lihat fotonya memakai jas almamater terpampang di poster besar mendampingi calon presiden BEM.
“Aku boleh minta bantuanmu kan?”. Tanyanya kemudian. Raut mukanya berubah jadi serius, dari mulutnya juga tidak keluar kata kerempeng seperti biasanya.
“Temanmu pernah bilang, kamu punya forum bahasa inggris. Benar?”
“Ya, meski anggotanya hanya dari teman-teman sedaerahku. Aku ikut belajar di situ. Tumben menanyakan hal gak penting macam ini!”. Sengaja aku tinggikan nada bicaraku pada kata gak penting untuk menyindirnya.
Sebenarnya aku tahu apa yang ia inginkan dalam situasi sekarang, dia pasti minta dukungan suara kami dalam PEMILWA besok.
“Dalam pemilihan besok…” Dia diam sejenak.
“I know what you want, tapi aku tak bisa memastikan”. Aku tak membiarkan ia melanjutkan bicaranya karena aku benar-benar tahu apa yang dia inginkan.
“Jam empat nanti kita ada pertemuan, silahkan kamu bilang sendiri di hadapan mereka. Soal mereka akan memilih kamu atau tidak itu hak mereka tak bisa dipaksakan”. Jelasku.
“Hari ini aku terlalu sibuk, kamu yang memperkenalkan kami pada mereka. Plissss!, aku butuh bantuanmu”. Tomy memelas di hadapanku.
“plisss”. Katanya lagi, seraya menggerak-gerakkan tanganku. Baru sekali ini dia menyentuhku. ~#~
Dalam hati nuraniku, aku tak mendukung sama sekali Tomy akan jadi calon yang terpilih nantinya. Bukannya aku meragukan kemampuannya, Tapi yang menjadi pasangannya adalah orang yang tidak konsistent dalam kuliahnya. Mengurus diri sendiri saja kerepotan bagaimana mau memimpin kita, Batinku. Tapi itulah politik dalam kampus kami, kuantitas akan mengalahkan kualitas. Seberapa cerdaspun lawannya takkan mengalahkan kandidat dari pergerakan yang sudah mendominasi. Kalau dia jadi wakil presiden BEM artinya dia pasti akan lebih sibuk dan tak mungkin memiliki waktu lagi untukku. Itu alasan lain kenapa aku tak mengharapkan ia akan terpilih. Huh,, kenapa aku berfikir harus selalu bertemu dengannya? Apakah yang sebenarnya aku rasakan, inikah yang dibicarakan orang-orang? Cinta. Mungkinkah?. Aku merasa kesepian setelah beberapa hari ini aku tak jumpa dengannya. Awalnya aku hanya merasa membutuhkan kehadirannya karena pikirku akan sulit mencari orang yang seantusias Tomy dalam beradu argumen. Masih ingat betul aku ketika ia membawaku dalam pergulatan serius pada pandangannya terhadap kenyataan rakyat miskin di indonesia. Dia lebih suka menyalahkan sistem pemerintahan yang kurang memperhatikan sumberdaya manusia, jelasnya. Dan aku berpandangan lain, kita harus sadari juga kalau kemiskinan juga dikarenakan pribadi masyarakat yang kurang kreatif. Tidak bisa memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di negara kita ini. Dia memojokkanku dengan pertanyaan sederhana
“apa yang akan kamu lakukan, untuk membela hak rakyat itu” kata itu selalu membayangiku. Entah kenapa hal ini kuanggap sebagai tantangan darinya.
Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang tak pernah aktif di organisasi ekstra yang katanya memperjuangkan hak rakyat. Demo adalah salah satu jalannya.
“Demo itu bertujuan untuk menyuarakan keluhan rakyat, keinginan rakyat, hak rakyat, yang harus diperjuangkan!” katanya.
Tapi aku bilang “percuma, pemerintah sedang terjangkit “wabah tuli”. Demo mahasiswa yang mengorbankan nyawa, merusak gedung, membuat jalan macet. Banyak rakyat yang justeru jadi korban, mereka takkan peduli”.
“Perjuangan memang butuh pengorbanan” sangkalnya.
Andai saja para wakil rakyat memiliki pemikiran sama denganmu, Tomy, mengutamakan kepentingan rakyat daripada pribadi atau golongan. Kalau saja para pemuda yang akan menjadi penerus bangsa memiliki tujuan sama denganmu, menjunjung tinggi hak-hak rakyatnya. Negara ini akan menjadi Negara yang benar-benar merdeka, bagi rakyatnya, serta di mata dunia. Tanah sorga bagi penghuninya.
~#~
Apa yang aku takutkan terjadi pula. Sejak pemilihan itu, Tomy sama sekali tak menghubungiku apalagi menemui. Beberapa kali aku kirim pesan via sms-pun tak pernah ada balasan. Aku mencari dia kemana-mana. Bahkan tiga hari ini, saat kutanya temannya, dia tidak masuk kelas. Benar-benar keadaan telah berubah. Sekali aku melihatnya melintas di depan kampus, tapi belum sempat aku memanggilnya ia sudah ngacir bersama orang yang terpilih menjaadi president BEM. Sesibuk itukah dia? Tahun baru kemarin bahkan dia tak mengucapkan selamat tahun baru atau apapun. Hari ini seharusnya dia mengundangku dalam pesta ultahnya. Nampaknya aku sudah tak terlihat sama sekali di matanya sekarang. Aku merindukan dia. Banyak hal yang ingin aku katakan. Banyak hal yang meskinya dia tahu, tentang aku bukan teori atau diskusi. Tapi sekarang dia tak ada, bagaimana aku menceritakannya. Kalau saja angin bisa menyampaikan pesan, akan ku titipkan kata cinta untukknya. Aku merenung sejenak, berpikir apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku berharap sikap acuhnya saat ini bukan karena dia marah denganku. Atau dia bosan melihatku. Tapi karena dia benar-benar sibuk. Telah kucoba hubungi ponselnya, tidak aktif. kuputuskan memgirim sms “Tomy, selamat ulang tahun semoga apa yang kau cita-citakan akan tercapai. Amiiin”.
~#~
Jam sembilan malam ponselku berdering, tak kusangka Tomy menelponku. Ia minta maaf karena tidak bisa mengundangku ke pesta ultahnya, Karena dia tidak mengadakannya. Dia mengikuti pendakian ke puncak gunung Semeru yang diadakan oleh teman-temannya di organisasi. Untungnya dia juga setuju saat kuajak jalan-jalan besok ke kebun Teh. Malamku menjadi sangat panjang saat itu, jam pun berdetak begitu lambat. Pikiranku melesat sampai kekebun teh itu, memperkirakan apa yang akan terjadi. Merancang kata-kata, bagaimana aku akan mengatakan perasaanku. Membayangkan bagaimana ekspresinya saat mendengarnya. Adakah cinta yang sama dihatinya?
“Hari ini tidak ada bahasan akademik, ok?”. Aku memulai kata yang telah aku persiapkan semalam.
“Aku ingin tahu tentang kamu lebih banyak”.
“Oke, aku juga pingin tahu siapa kamu”. Suaranya terdengar lesu, tak seperti yang sering aku dengar di hari-hari sebelumnya.
Mungkin karena kecapekan kemarin, atau mungkin dia bergadang semalaman sepertiku.
“By the way, belum telat kan aku ucapkan selamat tahun baru, juga selamat ulang tahun, semoga tahun ini menjadi tahun keberuntunganmu”.
“Kadonya?” Tomy mencoba memecahkan ketegangan suasana. Kayaknya dia tahu aku sangat gugup.
“Ups, ketinggalan kayaknya di rumah”. Aku berusaha mencairkan kekakuan sikapku. Kemudian aku pelan-pelan mengambil kado yang telah kubawa di dalam tas.
“Boleh kubuka sekarang?”. Kubiarka ia membuka kado yang kuberikan.
Tapi sebenarnya bukan itu yang akan kuberikan, karena aku telah kirimkan hadiah ulang tahun yang sebenarnya kerumahnya. Sedangkan kotak yang sedang dibukanya adalah kosong. Aku mulai melihat perubahan aneh di wajahnya saat kotak itu terbuka. Tomy menoleh ke arahku.
“What????, Bian,,,, krem…..peng!”. dia berhasil kubuat benar-benar kesal.
Dia memukul lenganku, kemudian aku memegang tangannya, menariknya, membuat matanya berhadapan denganku.
“Kamu tahu? hatiku kosong, sunyi, tak berarti tanpamu. Seperti kotak itu. Aku pernah berpikir cowok super serius, kutu buku kayak kamu tak punya cinta. Tapi aku cinta kamu. Aku berharap kamu punya perasaan yang sama. Beberapa hari tidak melihatmu, aku benar-benar merasa kehilangan. Aku merindukanmu. Aku membutuhkanmu. Tomy, maukah kamu jadi pacarku?”. Pertapaanku semalaman merangkai kata-kata itu berhasil.
Kata demi kata mengalir begitu saja. Tapi aku masih menunggu jawaban dari Tomy. Dia masih diam berjuta bahasa. Beberapa saat dia menatapku.
“Bian,, tahukah kamu berapa lama aku tersiksa karenamu?, menunggu kamu mengatakan ini semua?, Aku mencintaimu, aku juga tak bisa jauh darimu”. Akhirnya, di awal bulan Maret ini kiamat sudah kesendirianku.
Hari-hari selanjutnya akan kami jalani bersama. Berbeda dalam berbagai pandangan tapi satu dalam cinta. Perselihan bukan sebuah tembok besar yang menghalangi pertemuan hati antara aku dan Tomy. Karena pada dasarnya kita memiliki tujuan yang sama “Peduli pada masyarakat”. Kubiarkan dia tetap dalam pendiriannya untuk berkecimpung dalam dunia politik. Dan aku akan terjun langsung dalam social masyarakat. Itulah komitmen dalam hubungan kami.
~the end~

0 komentar:

Posting Komentar