Lite Hemmelig (Lomba Cerpen Gay bertema Kerajaan)


By: Harumi Kitara
Like sebelum baca!
Kau menghela napas dalam-dalam.
Sesaat setelah pintu dibuka dan pelayan membungkuk hormat padamu, kau turun dari kereta dengan tubuh tinggi tegapmu menjulang ke langit malam. Iris kelabu sedingin esmu menatap tajam di balik tipisnya lensa kacamata, menelusuri tiap detil istana yang berdiri tegap di hadapanmu. Setiap obor dinyalakan, setiap lilin digantung tinggi-tinggi dengan hiasan rumbai-rumbai kristal―memberikan nuansa klasik yang megah. Lantai marmer putih terlihat kontras dengan karpet merah yang dihampar, namun senada dengan pilar-pilar putih penopang atap berbentuk kubah yang terbuat dari batu alam―sedangkan pintu kayu raksasa berukiran rumit dibuka lebar-lebar, mengundangmu masuk ke dalam. Kau berjalan dengan pasti, sepatu hitam mengkilatmu menggemakan suara berat dari setiap langkahmu. Satu per satu pelayan yang menyambut kehadiranmu membungkuk memberi hormat, mengantarmu ke ballroom istana megah itu.
Di dalam istana, permadani-permadani dengan berlian yang disisipkan di dalamnya digantung tinggi-tinggi, guci-guci mahal mahakarya seniman terkenal di letakkan di sisi kanan-kirimu, sedangkan bendera lambang Kesultanan Evren―seekor kuda bersayap hitam―menghiasi langit-langit istana. Kau hanya tersenyum simpul―menarik sedikit sudut bibirmu saat beberapa tamu yang lain turut memberi hormat saat berpapasan denganmu. Para wanita bergaun mewah dan bersanggul tinggi saling berbisik tentangmu―ada yang menyatakan kekagumannya, ada juga yang berisi pujian padamu. Walaupun kau bersikap dingin pada mereka, kau tetap terlihat menarik bagi mereka semua.
Dengan kemeja putih berkerah yang dilengkapi dasi hitam dan jasdouble-breast putih beraksen pita hitam memanjang di setiap pinggirannya, serta mantel merah berbordir lambang Kerajaan Niflheimer yang tersampir di pundakmu―siapa yang tak kan jatuh hati padamu? Belum lagi wajah dengan rahang kuat, tulang pipi tinggi, rambut hitam kebiruan dan hidung yang mancung, terbalut kulit putih pucat tanpa cela, serta iris kelabumu yang tajam seperti sebilah pedang yang mengkilat di bawah sinar rembulan―dilindungi kacamata berbingkai hitam yang memperelok penampilanmu―tentu para wanita bersedia bertekuk lutut padamu.
Lalu kau masih memiliki satu senjata lagi―senyum menawanmu.
Sebagai Grand Duke dari Niflheimr―negeri penguasa daratan utara―yang terkenal dengan sebutan negeri musim dingin abadi, tentu kau terkenal sebagai pria yang dingin nan sulit dijangkau. Namun itulah daya tarikmu sebagai ‘Pangeran Es dari Utara’―siapapun akan berlomba-lomba mencairkan hatimu yang beku.
Ratusan bahkan ribuan wanita sudah mengantri untuk mencoba menarik perhatianmu, namun kau tak memberikan mereka bahkan hanya sebuah lirikan yang mereka idamkan. Puluhan putri raja kau tolak―bahkan putri tercantik sedunia, Putri Magnolia Aldergrahn dari Kerajaan Nibelugenlied kau tolak mentah-mentah. Dan dari sanalah kau mendapat gelarmu itu―Pangeran Es.
Kau juga terkenal sebagai pemimpin yang jarang tersenyum, pemimpin yang paling netral, dan kau juga diakui sebagai pemimpin terkuat. Otakmu cerdas, kau terkenal berhati-hati dan selalu memikirkan segalanya matang-matang―satu hal yang menjadi pertimbangan enam penguasa besar lainnya untuk tidak semena-mena mengganggu negerimu. Dan oleh sebab itu kau disegani oleh siapapun, walaupun usiamu masih terbilang sangat muda.
Ballroom istana sudah dipenuhi ribuan tamu dari berbagai negara. Warna-warni pakaian mereka menjadi salah satu peramai nuansa merah putih ballroom―bergerak secara melingkar mengikuti alunan musik klasik khas Bacchylides yang dibawakan. Sultan Bilgi dari Kesultanan Evren―penguasa daerah selatan―sekaligus pemilik istana megah ini datang secara langsung untuk menyambutmu di depan pintu ballroom. Perutnya yang buncit dan jenggotnya yang panjang membuatmu merasa terganggu saat dia berjinjit untuk memelukmu dengan hangat. Pakaian sutra berwarna emas pucatnyaserta berbagai macam perhiasan di tangan dan lehernya berkilau di bawah sinar lampu, membuatmu harus memicingkan mata untuk tetap menatapnya. “Saya sangat senang Anda datang ke pesta pernikahan putri saya ini, Yang Mulia tuan Arne Gylfaginning ...” ucapnya padamu sembari memberikan hormat padamu. Kau balas menunduk hormat, meletakkan tangan kananmu di dekat dada kirimu sambil sedikit membungkukkan badan. “Terima kasih atas undangan Anda, Yang Mulia. Saya turut berbahagia atas pernikahan putri keempat Anda dengan Pangeran MahkotaDionysios dari Bacchylides.”
Sultan Bilgi tertawa mendengar ucapanmu itu, “Anda akan tetap diundang karena Anda adalah teman dekat Pangeran Dionysios ...” ujarnya dengan senyuman lebarnya, “... walaupun Anda sudah mematahkan hati putri kecilku berkali-kali, tuan Gylfaginning ....” Kau hanya balas tersenyum kecil, sudah menduga Sultan Bilgi masih belum memaafkan dirimu karena sudah mematahkan hati kecil Putri Ayla Bilgi―putri tercinta sang raja selatan. Dia sebenarnya gadis yang baik dan cantik, kau mengakui hal itu, namun sayangnya kau tak mencintainya sedikitpun―kau hanya menganggapnya sebagai teman dekatmu―dan kau tau sahabatmu, Pangeran Dionysios Heliodoros Agana dari Bacchylides mencintainya setulus hati―mana mungkin kau menyakiti perasaan sahabatmu? Terlebih Kesultanan Evren dan KerajaanBacchylides sudah bertahun-tahun terlarut dalam permusuhan―kau juga menggunakan pernikahan mereka ini sebagai pemersatu kembali kedua kerajaan yang bersikap netral itu.
Dan nyatanya kau berhasil.
Sultan Bilgi mengantarmu menemui kedua mempelai, berjalan di sampingmu sambil membicarakan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan yang lain yang masih terlarut dalam perang dingin. Kau tak begitu memperhatikan ucapannya, matamu terus menelusuri ruangan besar yang berisi ribuan orang dari kalangan bangsawan, seolah-olah sedang mencari sesuatu―
―atau seseorang, lebih tepatnya.
Tatapanmu beralih pada dua orang yang tengah berdiri di tangga mahogani berlapis karpet beludru merah saat Sultan Bilgi menepuk pundakmu dan berkata, “Saya akan meninggalkan Anda berbincang dengan kedua pengantin secara pribadi, tuan ....”
Kau mengangguk, “Terima kasih, Yang Mulia,” jawabmu padanya.
Kau membiarkan raja selatan itu pergi meninggalkanmu dengan dua orang yang mulai menuruni tangga. Keduanya menggunakan pakaian yang terlihat sangat kontras―sang mempelai pria menggunakan kemeja putih polos dilengkapi cravat hitam, jas double-breast berkerah tinggi berwarna merah marun dengan garis emas di pinggirannya, mantel hitam disampirkan di pundak, sepasang sepatu boots putih bertali hitam di atas lutut, dan juga sabuk kulit cokelat melilit pinggangnya, serta sebuah topi kecil berwarna hitam diletakkan agak ke kanan dengan pita dan mawar merah sebagai aksennya―sedangkan mempelai wanita menggunakan gaun sutera berwarna putih khas wilayah dataran gurun selatan yang mewah serta perhiasan berkilauan dari mutiara dan batu permata―memperlihatkan dua kebudayaan yang sangat berbeda. “Arne!” seru sang pangeran muda menghampirimu, merentangkan lengannya lebar-lebar untuk memelukmu. Dionysios tersenyum lebar saat kau balas memeluknya, mata hijau daunnya berkilat bahagia. “Kupikir kau tidak akan datang, kawan!” komentarnya sembari menepuk-nepuk pundakmu.
Kau tertawa kecil, “Aku akan datang seperti janjiku, kau tak perlu khawatir ...” ujarmu meyakinkannya, “Lagipula kau mengundang selruh raja dari tujuh negeri―bagaimana aku bisa mengatakan tidak?” Sang pangeran Bacchylides kembali tersenyum lebar mendengar lelucon tidak lucumu. Manik kelabumu beralih pada pengantin wanitanya. “Saya sangat senang dapat melihat Anda pada malam ini, Yang Mulia Gylfaginning ...” ujar Putri Ayla yang baru saja sampai pada anak tangga terakhir sembari membungkuk hormat, matanya memperlihatkan kebahagiaan palsunya, “... bisa kita berbicara sebentar, Yang Mulia?”
Dionysios menatapmu penuh arti mendengar permintaan istri barunya, namun mengangguk mengiyakan setelahnya. Putra MahkotaKerajaan Bacchylides itu berjalan meninggalkan kalian berdua dengan sebuah senyum getir, berjalan menjauh seolah-olah mencari pelayan yang berkeliling membawakan minuman. Kau masih menatap punggung sahabatmu yang semakin menghilang di antara tubuh para undangan, tak berani menatap pada putri keempat Sultan Bilgi di sampingmu itu. Putri Ayla berdeham kecil, mencoba menarik perhatianmu. Dan kaupun pada akhirnya menatapnya, melihat luka yang sangat dalam pada mata amber keemasan itu.
Sang putri berujar, “Saya tidak dapat melakukan ini, Yang Mulia ...” dengan lirih.Matanya mulai tergenangi airmata. “Seberapapun saya mencoba, saya tetap tak bisa melupakan Anda―dan berhenti mencintai Anda.” Tangan sang putri bergetar, menarik lengan jas putihmu dengan putus asa. “Saya takut menyakiti hati Pangeran Dionysios―tapi saya juga tak bisa membohongi perasaan saya sendiri ....”
Kau berusaha untuk tidak menghela napas―
―‘Ah ... sudah kuduga, segalanya akan seperti ini ....’
Kau masih menatap wajah putri yang nyaris menangis itu dengan ekspresi datarmu, iris metalikmu menatapnya tanpa perasaan. Kau berujar, “Kau pasti bisa,” dengan dingin, memaksanya untuk meyakininya, “kau pasti bisa berhenti mencintaiku dan―”
“―Tidak, Yang Mulia, saya tak sanggup―”
“―kau pasti bisa karena Dionysios benar-benar mencintaimu, dan dia akan terus berusaha ...” potongmu masih tak berperasaan, matamu menatap tajam pada sang putri, “... jika kau pikir kau akan bahagia bersamaku―orang yang kau cintai―maka kau salah. Aku tak mencintaimu dan aku tak ingin berusaha. Dan mungkin saja aku akan melakukan hal yang sama padamu jika kau memaksaku untuk mencintaimu, Ayla ....”
Airmata sang putri pada akhirnya jatuh begitu saja, membasahi pipi kemerahan yang mulai ternodai hitam mascara yang ia kenakan. Mulutnya terbuka sedikit, hendak menyanggahmu, namun suaranya tercekat hingga dia tak dapat mengatakan apapun. Kau menghela napas dalam, mencoba menghilangkan emosi yang menyelimuti hatimu dan melepaskan genggaman sang putri dari lengan jas putihmu. Kau menyeka airmata sang putri dengan jemari bersarung tangan putihmu, “Dengarkan aku, Ayla. Dionysios telah berusaha untuk menerimamu apa adanya―dan dia terus berusaha membuatmu menerimanya. Kau mungkin tak bahagia sekarang, namun aku yakin kau akan bahagia setelah kau bersamanya. Jika kau berusaha untuk menerimanya, tentu saja ....”
Putri Ayla tampaknya masih keras kepala. “Mengapa Anda tak melakukan itu juga padaku, Yang Mulia?”
Dan kau menjawabnya dengan santai, “Tidak. Aku tak bisa.”
“Apakah karena Anda sudah mencintai orang lain?”
Kau tersenyum kecil pada Putri Negeri Padang Pasir itu, “Ya, mungkin saja kau benar .... Aku tak tau.”
Putri Ayla mengerutkan keningnya, “Mungkinkah itu Putri Magnolia dari Nibelugenlied?” tanya sang putri dengan penasaran. Kau tertawa kecil mendengar nama putri kerajaan timur yang disebut-sebut sebagai putri tercantik sedunia itulah yang menjadi tebakan pertama sang Putri Selatan. “Aku menolaknya tiga tahun yang lalu ...” jawabmu dengan santai. Sang putri semakin penasaran.
“Tidak juga dengan Putri Mei Han dari Li Sao dan Putri Isabelle dari Charlemagne,” ujarmu sebelum sang putri mulai menyebutkan satu per satu nama putri tercantik dari tujuh negara, “Aku juga sudah menolak mereka beberapa bulan yang lalu ....”
Putri Ayla hendak bertanya kembali, namun Raja Agana dari Bacchylides tiba-tiba datang menghampiri kalian berdua. “Oh, Yang Mulia Gylfaginning,” sapa sang raja penguasa lembah tengah itu sembari memberi hormat padamu, “Saya tidak tau Anda sedang berbicara dengan Putri Ayla ...” tambah Raja Agana lagi membuatmu tersenyum kecil. Kau membalas hormatnya, “Senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia Agana. Saya juga sudah selesai berbicara dengan Putri Ayla.”
“Hahaha ...” tawa sang raja berambut pirang pucat itu, “tidak perlu seperti itu, tuan. Saya tidak terbiasa jika Anda tidak menyebut saya dengan sebutan paman Agana seperti dulu ....”
Kau tersenyum lagi, kali ini dengan perasaan bersalah, “Saya mengerti, namun saya rasa sebagai Grand Duke dari Niflheimr, tidaklah sopan bagi saya untuk menyebut Anda dengan paman Agana, Yang Mulia ....” Dan Raja Agana mengangguk mendengar ucapanmu itu. Mata hijau zaitunnya menyipit, memperlihatkan keriput yang menghiasi sudut matanya saat dia tersenyum padamu dengan lebar, “Saya mengerti. Semua terasa sulit bagi Anda setelah kematian mendiang ayah Anda―Yang Mulia Lukas Gylfaginning―bahkan Anda sudah lama tak berkunjung ke Bacchylides semenjak kematian beliau ...” ujarnya dengan nada sedih, “saya, ayah Anda dan juga Raja Francis Bruguière dulu juga bersahabat, namun kami semakin menjauh setelah upacara penobatan kami datang ...” tambah sang raja, mengingat masa mudanya dulu, “dan saya berharap Anda tidak seperti kami yang dulu―tetap berteman dengan Dionysios, putra saya.” Raja Agana tersenyum penuh harapan padamu, matanya menjelaskan perasaan yang tak dapat diungkapkannya, membuatmu ikut tersenyum padanya. “Ya, Yang Mulia. Saya berjanji ...” ucapmu dengan penuh percaya diri, membuat sang raja penguasa lembah tengah itu lega.
Putri Ayla yang sedari tadi terdiam merasa sangat malu setelah mendengar ucapan Raja Agana. Sepertinya putri bungsu Sultan Bilgi itu mulai mengerti bagaimana hubungan persahabatan yang telah kau bangun bersama Pangeran Dionysios. Raja Agana mengajakmu menemui para penguasa dari lima kerajaan yang lain, meninggalkan Putri Ayla mencari suami barunya yang tak terlihat sedari tadi.
Kau mengikuti langkah raja bertubuh kurus namun tinggi itu mengelilingi ruangan ballroom. Yang pertama kalian temui adalah raja Feng Lin Bang dari Kerajaan Li Sao―yang menguasai daratan terbesar di wilayah tenggara―beserta putrinya, Putri Feng Mei Han. Lalu kalian bertemu dengan Raja Olaf VI dariKerajaan Charlemagne―yang berada di kepulauan barat laut, dan juga Raja Aldergrahn dari Nibelugenlied beserta kedua putrinya. Mereka tengah membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi, sama sekali tak menyinggung masalah politik dan perang dingin, membuatmu sedikit merasa kurang nyaman.
.... Kau memang dianggap sempurna, namun bersosialisasi adalah cela dalamkesempurnaanmu.
Putri Magnolia yang masih menyimpan perasaan padamu terus mencoba mendekatimu secara malu-malu, mencoba menyenggol lenganmu saat dia berdiri tepat di samping kananmu. Wajah cantik seperti bonekanya tampak dihiasi rona merah, rambut kemerahannya digelung tinggi, senada dengan gaun merah darah yang ia gunakan. Iris biru lautnya berkilau cemerlang, dihiasi bulu mata lentik dan hidung mancungnya, sedangkan bibirnya berwarna merah alami. Tak salah jika putri dari dataran tinggi wilayah timur ini disebut-sebut sebagai putri tercantik sedunia.
Namun kau tak memberikan respon apapun padanya, membuatnya menekuk wajah dan mulai bosan kau diamkan seperti itu. Sang putri terang-terangan mendengus sebal, namun kau biarkan saja dia seperti itu. Kau mengacuhkan ucapan para penguasa yang lain, iris kelabumu masih menelusuri ruangan ballroom yang semakin lama semakin dipenuhi orang―
―Kau masih tak menemukannya.
“Selamat malam, Yang Mulia Gylfaginning ....”
Mata setajam elangmu beralih pada pemuda yang berdiri di sampingmu, memperhatikannya dari sudut matamu. Ah ... rupanya dia. Dengan rambut pirang platinum-nya berkilauan di bawah sinar lampu layaknya untaian benang emas, dan matanya yang biru cerah seindah langit pagi tanpa awan menatapmu dengan tatapan tak terbaca, bibir tipisnya menarik sebuah seringaian tipis.
Itu dia.
Pangeran MahkotaKerajaan Belenus―Pangeran Rosaire Bruguière.
Matamu memicing tajam melihat sikap kurang sopannya padamu, sedangkan bibirmu membentuk lekukan tipis ke arah atas. Kau balas menatapnya dengan tajam. “Pangeran Rosaire, senang dapat melihat Anda di sini ...” sapa Sultan Bilgi saat melihat kehadiran tiba-tiba pangeran kerajaan barat itu, “Jika saya boleh tau, dimana Raja Brugui―”
“Ayahanda sedang sakit hari ini, Yang Mulia. Beliau menitipkan salam untuk Anda dan kedua mempelai ...” potong sang Pangeran Negeri Matahari sembari tersenyum manis. ‘Pembual ...’ batinmu saat melihat senyum palsu sang pangeran. Pangeran Rosaire kembali menatapmu cukup lama, sebelum akhirnya menatap Putri Magnolia yang masih berdiri di sampingmu. Senyum palsunya kembali mengembang di wajahnya, “Ah, Putri Magnolia ... senang bisa bertemu dengan Anda di sini ...” ucapnya dengan nada manis, meraih tangan sang putri dan mengecupnya sembari berlutut, “bagaimana jika kita berdansa malam ini? Kurasa Anda bosan berlama-lama berdiri di samping Pangeran Es ini ...” tanyanya masih belum melepaskan tangan sang putri, menyinggungmu secara langsung. Dia melemparkan sebuah lirikan padamu, namun kau hanya diam saja dan masih menatapnya dengan tajam. Para penguasa yang lain ikut terdiam, merasakan auramu yang mulai berubah menjadi sangat menyeramkan.
Itulah yang terjadi ketika Pangeran Es bertemu musuhnya―Pangeran Matahari.
Sang Putri dari Timur mengangguk malu-malu, sedikit ragu, namun akhirnya mengikuti sang Pangeran Matahari menuju lantai dansa. Para penguasa yang lain beralih memperhatikan bagaimana keduanya berdansa dengan indah di antara para pasangan yang turut menari di sana, mengomentari betapa cocoknya mereka berdua. Kau hanya diam saja, secara diam-diam turut memperhatikan keduanya dengan wajah masam, tanganmu menggenggam erat pada gelas tinggi berisi wine-mu, dan aura yang kau keluarkan membuat segalanya terasa dingin dan mencekam.
Jujur saja kau tak menyukainya―Pangeran Rosaire yang itu―karena sikapnya yang senang mempermainkan orang lain hanya dengan pesonanya. Dikenal dengan julukan lainnya yaitu ‘Penakluk Wanita dari Barat’, Pangeran Rosaire adalah kebalikan dari dirimu yang selalu dijadikan rivalnya. Dia tidak setinggi dirimu―yang berdiri dengan tegap pada enam kaki dua inchi―dan dia tak memiliki kharisma sepertimu. Namun dia memiliki sifat yang ramah dan menyenangkan, terkenal dengan bibir manis yang dapat merangkai kata-kata dengan sedikit aksen kental, apalagi saat dia mulai menggunakan bahasa ibunya―bahasa terindah sedunia. Senyumnya pun hangat dan menawan―memperlihatkan bagaimana kesempurnaan hidupnya sebagai Pangeran Matahari―berbeda dengan senyumanmu yang dingin dan misterius.Namun kau tau ada sisi tidak bahagia di balik manik azure-nya. Kau tau dia berbohong dan kau tau dia sama sekali tidak bahagia.
―Setidaknya kau tak punya tatapan itu di matamu ....
“Uhh ... permisi ....”
Kau hanya melirik pada sumber suara. Putri Magenta―saudari kembar Putri Magnolia yang sangat pemalu―terkejut melihatmu balas menatapnya dengan tajam, menundukkan kepalanya dalam-dalam.“M-maukah Anda berdansa dengan saya, Yang Mulia?” tanyanya dengan malu-malu, tubuh sedikit bergetar ketakutan. Ah, benar ... kau ingat dia adalah pengagum rahasia Pangeran Rosaire. Namun kau tau wajahnya selalu memerah saat berbicara padamu dan kau mulai ragu dia juga memiliki perasaan tersembunyi padamu dari caranya menatapmu. Kau masih menatap sang putri berambut pirang kemerahan itu dengan tatapan tajam, sebelum akhirnya meletakkan gelas wine-mu di meja terdekat. “Tentu ...” jawabmu kemudian, singkat. Sang putri menatapmu dengan wajah tak percaya, mata birunya berbinar tatkala kau mengulurkan tanganmu padanya.
Tangannya benar-benar bergetar saat kau menggenggamnya, dan kau tau putri itu nyaris pingsan saat kau menariknya ke lantai dansa. Kau berbisik di dekat telinganya, “Kuharap kau bisa waltz ...” membuat wajahnya merah luar biasa. Sang putri mengangguk dengan cepat, mata biru sapphire di balik kacamata bulatnya berusaha untuk tak menatapmu.
Kalian berdansa mengikuti alunan musik yang lembut, menyatu dengan para pedansa yang lain―namun sang putri yang terlalu gugup bergerak dengan kaku dan membuat segalanya menjadi sulit. Kau tersenyum kecil padanya, “Tenanglah. Lupakan segalanya dan percayalah padaku―aku akan membimbingmu, ikuti saja langkahku, Putri ...” ucapmu mencoba menenangkannya. Sang putri berwajah manis itu menganggukkan kepalanya sekali lagi, mendekatkan diri padamu dan menggenggam tanganmu lebih erat. Kali ini dia memberanikan diri untuk menatapmu. Kau terus menatapnya dan menghipnotisnya dengan iris kelabumu, sedangkan langkah kakimu teratur dalamwaltz yang membuat gaun biru muda sang putri bergoyang dengan anggun. Para pedansa yang awalnya memenuhi ballroom menyingkir satu per satu hanya untuk melihat penampilanmu dan putri kedua Kerajaan Nibelugenlied, berdecak kagum melihat bagaimana kalian bergerak dengan sangat indah mengikuti alunan lagu.
Putri Magenta sendiri tak pernah melepaskan tatapannya padamu, wajahnya kemerahan dan ia tidak lagi gugup. Saat sang putri mengalihkan perhatiannya darimu, kau mencuri pandang pada satu-satunya penantangmu malam itu―Pangeran Rosaire dan pasangannya, Putri Magnolia.
“Uhm ... maaf ...” sela Putri Magenta saat dirinya memergokimu sedang beradu tatap dengan pangeran wilayah barat itu, “... mengapa Anda terus menatap Pangeran Rosaire seperti Anda sangat membencinya? Bukankah dulu Anda terkenal bersahabat dekat dengannya?” tanya sang putri penasaran. Kau tersenyum kecil mendengarnya, “Ya, itu dulu. Sebelum dia melakukan kesalahan besar ...” jawabmu padanya, masih menatapnya dengan tatapan mautmu. Sang putri tak bertanya lagi setelahnya.
Musik semakin mencapai puncak, putaran semakin cepat dan langkah membentuk harmoni tersendiri. Kau dapat melihat keahlian Pangeran Rosaire dalam dansa Viennese waltz, membuatmu turut mengubah gerakan menjadi lebih lambat, lebih klasik dan lebih romantis. Senyummu kembali kau ukir saat sang putri dalam dekapanmu menyadari perubahan tempo dalam gerakanmu―secara tak langsung menyuruhnya diam dan tak bertanya apapun.
Saat kalian mulai berputar di tengah ruangan mengikuti musik yang semakin cepat, Pangeran Rosaire membisikkan sesuatu padamu. Suaranya sangat lirih, hingga hanya kau yang dapat mendengar ucapannya. Sang Pangeran Matahari pun tersenyum padamu saat melihatmu sejenak terpaku mendengar bisikannya. Kaupun balas tersenyum kecil padanya, “Elsker deg også[1].”
“Huh?”
Kau beralih menatap Putri Magenta yang kebingungan, masih dengan senyum misteriusmu. “Tidak ada,” ucapmu padanya, hanya dibalas dengan tatapan bingungnya. Setelah musik benar-benar selesai, kau mencium punggung tangan sang putri sambil berlutut―begitupula dengan Pangeran Rosaire. Suara tepuk tangan bergemuruh di dalam ballroom istana Kesultanan Evren, puas dan kagum melihat penampilanmu dan juga Pangeran Rosaire. Raja Aldergrahn langsung menyambut kalian dengan sangat hangat―sepertinya terlalu percaya diri salah satu putrinya mendapatkan hati dari dua pangeran paling terkenal di dunia ini. Namun kau jelas-jelas tau apa yang akan menjadi jawaban dua pangeran terkenal itu―sebuah kalimat ‘tidak’ yang diucapkan secara dingin―membuatmu mendengus pada ironi yang kau buat sendiri.
Putri Magenta membungkuk hormat padamu, “Terima kasih, Yang Mulia. Anda membuat saya sangat senang malam ini ...” ujarnya masih dengan wajah tersipu malu. Kau hanya mengangguk kecil membalasnya, dari sudut matamu kau dapat melihat Putri Magnolia terus mendengus kesal dan menekuk wajahnya―tidak suka. Putri Magenta tersenyum sekali lagi padamu sebelum akhirnya berlari menuju ayahnya, yang masih berbicara dengan para penguasa yang lain.
Kau menghela napas, menyelinap dan berjalan keluar dari ballroom menuju ke arah balkon yang sepi. Kau meletakkan tanganmu di atas pinggirannya, menatap bulan yang menggantung tinggi di langit gelap tak berbintang. “Hei, Arne!” panggil seseorang dari arah belakangmu, mencoba menarik perhatianmu.
“Rosaire ....”
Pangeran Rosaire kembali memasang senyum manisnya, berjalan ke arahmu dengan dua gelas wine di tangannya. Ia menawarkan salah satu gelas padamu. “Dansa yang sangat bagus, eh?” tanyanya dengan nada khasnya―sarkastik. Kau mengambil gelas dari tangannya, “Terima kasih ...” ucapmu dengan datar, masih memasang wajah masammu. Pangeran Rosaire terkekeh pelan, berdiri di sampingmu dengan nyaman, walaupun kau terlihat tak ingin diganggu olehnya. Sang Pangeran Matahari bergumam kecil, “Jadi, bagaimana kehidupanmu setelah menjadi Grand Duke di Niflheimr?”
“Seperti biasa, tidak ada yang berubah ...”
“Begitukah?”
Kau meliriknya dengan tajam dari sudut matamu, sedangkan Pangeran Matahari itu malah balas menyeringai padamu. Kau bertanya padanya, “Apa maumu?” dan dia bergumam, “Bukan sesuatu.” Alismu semakin bertautan, iris kelabumu menuntut penjelasan darinya. Pangeran Rosaire tertawa pelan, mencoba menurunkan tensi yang terus meningkat di antara kalian berdua. “Kau tegang sekali, Arne. Sebegitukah kau membenciku, eh?” tanyanya dengan nada mempermainkannya, dilengkapi oleh aksen Perancisnya. “Ya, aku tau itu salahku, tapi berhentilah bersikap seperti anak kecil, Arne. Kau menakutiku ....”
“Dan kau tau sebetapamarahnya aku padamu ...”
Dia menganggukkan kepalanya seolah-olah dia benar-benar mengerti, “Ya, ya, ya .... Maafkan aku, oke?” tanyanya, mencoba meyakinkanmu. Namun dengan nada suaranya yang sarkastik, kau masih belum yakin dia tulus mengucapkannya. Kau memiringkan sedikit kepalamu dan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi khasmu. Pangeran Rosaire tertawa melihatmu mencoba menakutinya.“Kau tau aku tak mempan untuk kau intimidasi, ingat?” tanyanya, mencoba mengingatkanmu pada fakta itu. Kau menghela napas dan membuang muka. “Hei, Arne ... bagaimana jika kita meminjam ruangan pada Sultan Bilgi dan menghentikan ini dengan anggar? Seperti waktu kita kecil dulu?”
“Kau yang bilang padaku untuk berhenti bersikap seperti anak kecil, Rosaire.”
“Ya, aku tau. Tapi, tidak ... bukan itu maksudku, Arne ....” Kau masih menatapnya dengan tajam dari sudut matamu, wajahnya mulai menampilkan keseriusan. “Aku serius minta maaf padamu, oke?” tanyanya lagi, kali ini benar-benar serius, “Dan bisakah kau berhenti merajuk seperti itu, mon chèri[2]?” Pangeran Rosaire menatapmu dengan mata biru langitnya yang terlihat membesar―wajahnya sudah menyerupai wajah anak anjing terlantar.
Dia benar-benar ahli dalam memanipulasi orang lain.
Kau menghela napas dan mengangguk menyetujui usulannya.Dan ia tersenyum lebar padamu―dengan senyuman yang terkenal sehangat sinar mentari pagi.
Tak salah jika dia disebut Pangeran Matahari.
Ia menarik tanganmu menuju ruangan ballroom dan menemui Sultan Bilgi. Sang Sultan hanya tertawa melihat kalian mulai akur kembali, memberikan sebuah kunci keemasan menuju ruang rekreasi. “Haruskah kupanggilkan Dionysios untuk menjadi wasit kalian?” tanya Raja Agana pada kalian, menggoda dengan maksud bercanda. Pangeran Rosaire hanya tertawa mendengar candaan Raja Lembah itu, tersenyum lembut padanya, “Tidak perlu, Yang Mulia. Saya hanya ingin memperbaiki ini semua dengannya―berdua ....”
“Kuharap tidak ada salah satu dari kalian yang akan terluka.”
“Oh, jangan khawatir, Yang Mulia. Kami tidak akan saling membunuh. Benar, ‘kan, Arne?”
Kau mengangguk kecil, mengiyakan ucapannya, namun wajahmu datar seperti biasanya. Raja Agana tersenyum lembut dan berkata, “Senang bisa melihat kalian kembali akur. Kalian berdua adalah teman terbaik Dionysios―dan dia sangat sedih saat tau kalian mulai bermusuhan ....” Wajah sang Raja menampakkan kesedihan, namun ada kilat penuh harap dalam tatapannya. Pangeran Rosaire tersenyum lembut dan tulus padanya, sebelum akhirnya memberikan hormat pada seluruh penguasa yang ada di sana―diikuti denganmu yang turut membungkuk hormat―sebelum akhirnya menarikmu keluar dari ballroom dan berjalan setengah berlari di koridor istana.
Kau memperhatikannya dari iris kelabu bagai awan badaimu, wajahmu datar tanpa ekspresi saat dia terus menarik lenganmu menuju ruang rekreasi. Pangeran Rosaire menggunakan mantel putih panjang berkancing emas serta celana panjang putih―membuat helaian emasnya terlihat sangat kontras dan berkilau. Belum lagi permata emerald bagaikan hamparan rumput hijau yang menghiasi cravat¬-nya, terlihat sangat cocok dengan iris biru langitnya. Dan dia memiliki wajah yang tampan, namun dihiasi senyum hangat penuh makna ambigunya―terasa sangat cocok dengan sifatnya yang tak mudah ditebak.
Namun kau tau, seringaian pemberontaklah yang paling cocok dengannya ....
Sang pangeran menyadari kau terus memperhatikannya, menarik sebuah senyum misterius yang tak dapat kau deskripsikan. Setelah ia membuka kunci pintu mahogani bercat cokelat tua itu, ia menarik sebuah senyum manis khasnya, membukakan pintu untukmu layaknya seorang pangeran yang baik. Kau hanya memicingkan matamu padanya, kembali menanyakan dalam diam motif yang ia sembunyikan, namun terus dihiraukan olehnya. Menghela napas, akhirnya kau menyerah dan masuk dalam ruangan yang sangat luas itu.
Ruangannya cukup gelap―tidak ada satupun lilin yang dinyalakan―hanya sinar rembulan yang masuk melalui jendela sajalah yang menjadi sumber cahaya. Dan ruangan itu terdiri dari dua lantai―bagian atas lebih banyak perabotan dan meja untuk bermain catur, sedangkan yang di bawah dibiarkan kosong untuk dijadikan tempat berlatih dansa atau bermain anggar. Kau bergeming saat suara pintu ditutup rapat-rapat dan dikunci oleh sang Pangeran Matahari, diam saja saat ia berjalan menuju dua buah sabel yang dipajang di atas perapian. Pangeran Rosaire menyeringai kecil padamu, memperlihatkan dua pedang yang langsung berkilau di bawah sinar rembulan. “Walaupun kita menggunakan sabel, kuharap kau tak berniat membunuhku, Arne ...” ucapnya sembari melempar salah satu pedang tipis itu padamu.
Kau menangkap sabelasli itu dengan satu tangan, menatap mata pedangnya yang berkilat tajam, haus akan darah. Kau mendengus kecil, “Aku disebut ‘Pemimpin Terkuat’ bukan untuk sebuah candaan. Berharap saja aku tidak menusuk matamu, Rosaire ...” balasmu pada ucapannya dengan datar, dibalas dengan tawa kecil olehnya. Pangeran Rosaire mengangguk menyetujui ucapanmu, berjalan dengan santai menuju dirimu―matanya terus memperhatikan penampilanmu dari ujung kepala hingga ujung kaki, “Kuharap begitu ...” bisiknya dengan lirih di telingamu, saat dia sangat dekat dan menepuk pelan pundakmu. Kalian mulai berdiri saling membelakangi di tengah ruangan, mengangkat pedang setinggi dada dengan tubuh berdiri tegap nan angkuh―siap bertanding. Pangeran Rosaire berkata, “Kita akan melangkah maju setiap aku menghitung. Dan dalam hitungan kelima kita akan berbalik, dan mulai. Kau mengerti?”
Diammu dianggapnya sebagai iya.
“Baiklah, satu .... Dua ....” Kau melangkah dengan tenang, mulai menjauh darinya, “Tiga .... Empat―!”
Sebelum dia berhasil berbalik dan menyerangmu, kau sudah mengangkat sabelmu setinggi dagunya, ujung pedang tajam itu menunjuk leher jenjangnya. Pangeran Rosaire langsung bergeming dari tempatnya. “Wow ...” gumam sang Pangeran Matahari, masih terkejut oleh serangan mendadakmu. Iris birunya melebar menatap ujung pedang yang begitu dekat dengan lehernya, sedangkan pedangnya jatuh begitu saja di lantai. Kau mendesis, “Kau tidak akan pernah bisa menipuku, Rosaire ...” membuatnya tertawa gugup. “Aku tau itu,” ujarnya, “kau adalah satu-satunya yang tak pernah termakan tipuanku, Arne ....”
Kau menurunkan pedangmu, memasang wajah masammu padanya. Matamu menatap manik biru langitnya dengan dalam, kembali mencoba mencari maksud tersembunyi dari indahnya lautan sebiruazure itu. Pangeran Rosaire kembali menyeringai padamu, seolah-olah membaca apa yang tengah kau pikirkan, “Kau tak perlu serius seperti itu, Arne ...” ucapnya dengan santai, berjalan mendekat ke arahmu. Namun sekali lagi kau menyerangnya―nyaris menusuk mata kirinya, jika saja dia tidak segera menghindar dari seranganmu itu. Pipinya yang mulus tergores sedikit, darah mulai mengalir dari luka tipis itu. “Heh?” gumannya dengan seringaian tipis khasnya, menyingkirkan pedang yang masih berada di samping wajahnya. Tangannya lalu menyusap darah di pipinya, sebelym akhirnya mencoba meraih pipi kananmu. Kau menepis tangannya yang ternodai darah, menggenggam pergelangan tangannya dan menatapnya dengan tajam. “Apa maumu, Rosaire?” tanyamu pada akhirnya, lelah mengikuti permainannya. Sang Pangeran MahkotaKerajaan Belenus itu hanya menatapmu dengan tatapan inosen, membuatmu semakin kesal.
“Aku sedang berusaha minta maaf padamu, kau tau?”
“Dengan caramu mempermainkanku?” tanyamu kesal, “Cih! Omong kosong ....”
Pangeran Rosaire mendengus kecil, tangannya yang bebas meraih pundakmu, “Aku tau. Karena itu maafkan aku ...” ucapnya dengan sangat menyesal, iris birunya berubah menjadi sendu, menatapmu dengan kepedihan yang sangat dalam, “... tapi itulah caraku menyembunyikan rahasia kecil ini,” tambahnya lagi, “aku tak bisa sepertimu yang dapat membangun dinding pembatas sesukamu―aku ini Pangeran dari Negeri Belenus, Negeri Matahari―dan mereka selalu menginginkan kehangatan dariku ....―”
“―Je pense toujours à toi, Arne[3]....” ucapnya lirih, “Tu es l’amour de ma vie[4].”
Tangannya membelai lembut pipi pucatmu, sedangkan tubuhnya mendekat, meninggalkan jarak tak lebih dari sesenti darimu. Dia menatapmu dari jarak sedekat itu dengan mata biru cemerlangnya, senyum tulusnya tak lepas dari wajah tampannya. “Je veux être avec toi por toujours[5]...” bisiknya, memelintir lidahnya dengan bahasa terindah sedunia. Kau dapat merasakan napas hangatnya menerpa wajahmu, membelai halus layaknya ciuman kupu-kupu. Dan kau masih bergeming saat dia semakin mendekat, sedikit berjinjit, mengeliminasi jarak yang tersisa. “Je t’aime[6]....” Dan dengan pernyataan itu, bibir kalian saling bertemu dalam sebuah ciuman manis―kecupan malu-malu. Pangeran Rosaire yang pertama kali melepaskan ciuman panjang itu setelah bertahan tak lebih dari satu menit, sepertinya kelelahan karena harus menyamai tinggi tubuhmu. Wajahnya mulai merona dan iris birunya berkilat seduktif, bibir plum-nya basah oleh saliva. Dia menjilat bibirnya yang sudah basah sekali lagi, lalu kembali menciummu―kali ini dengan cara menarikmu mendekat padanya. Ciuman yang tertunda itu berubah menjadi kecupan panas―lidah mulai menari dan saling bergulat untuk mendapatkan gelar dominasi. Tangannya bergerak dari pundakmu menuju leher pucatmu, menggenggam helaian sekelam malam dan menarikmu lebih dekat padanya, sedangkan tanganmu memeluknya dengan erat.
Ciuman kembali terputus oleh paru-paru yang meronta ingin segera diisi oksigen, napas yang memburu dan saliva berceceran mengalir hingga dagu. Kau kembali menatap ekspresinya yang masih terengah-engah, dengan napas hangat yang terus menerpa wajahmu. Kacamatamu berembun akibatnya―Pangeran Rosaire berinisiatif melepasnya dan menyimpannya dalam saku mantelnya, sebelum akhirnya melepaskan mantel putih panjangnya itu dan meletakkannya di atas kursi terdekat. Kemeja dan cravat-nya menyusul setelahnya, memperlihatkan tubuh langsing berotot dibalut kulit yang tampak lembut nan halus. Sempurna―ia menyeringai saat kau terus memperhatikannya. Pangeran Rosaire kembali tertawa, “Kita tidak membutuhkan banyak pakaian untuk malam ini, bukan?” tanyanya dengan wajah tak berdosa khasnya, namun suaranya berubah menjadi seduktif, membuatmu tersenyum kecil dengan maksud ucapannya. Dia melepaskan sabuk kulit yang melilit pinggangnya, lalu bergerak menuju ke arahmu. Tangannya bermain-main dengan dasi hitammu, memintamu untuk melepasnya melalui tatapannya.Kauhanya diam saja, menghapus senyummu―tak akan memberikannya apa yang ia mau semudah itu.
“Arne, buka pakaianmu. Sekarang,” perintahnya, kesal melihatmu hanya bergeming menatapnya. Pipinya mengembung sekilas sedangkan matanya menatapmu kekanak-kanakkan. Kau menyeringai tipis, “Buat aku melakukannya, Rosaire ....”
“... sudahkah aku berkata padamu untuk berhenti bersikap seperti anak kecil?”
“Kalau begitu ...” kau membetulkan dasi hitammu, “... lupakan saja.” Tanganmu menengadah padanya, “Kembalikan kacamataku ....”
“Jika kau bersikap dingin seperti itu, tidak akan ada yang mau denganmu, kau tau―?”
“―Dan karena itulah aku disebut ‘Pangeran Es’ bukan tanpa alasan.” Kau memperlebar seringaianmu saat dia tak berkutik menyahutmu. Pangeran Rosaire melipat kedua tangannya di depan dada, meletakkan berat badannya pada satu tumpuan―kaki kanannya. Dia berujar, “Ayolah, Arne. Kau benar-benar merusak suasana ...” dengan wajah ditekuk dan alis saling bertautan, benar-benar kesal dengan sikapmu.
Kau hanya mendengus mendengarnya sembari bergumam, “Terserah kau ...” sebelum pada akhirnya melepaskan mantel dan jasmu, meletakkannya dengan rapi di atas meja dekat jendela. Pangeran Rosaire bersiul kecil melihatmu mulai melonggarkan dasi yang kau gunakan, sepertinya senang kau muali mengikuti permainannya. Kau meliriknya dari sudut matamu dengan tajam. “Apa?” tanyanya masih bersikap inosens, namun seringaiannya tak berhasil ia sembunyikan.
Kau menghela napas, kembali melanjutkan pekerjaanmu―melonggarkan dasi, hingga kain hitam panjang itu terlepas dari kerah kemejamu. Saat kau melepaskan kancing mansetmu, Pangeran Rosaire bergerak diam-diam, memelukmu dari belakang, dan meletakkan dagunya di atas pundakmu. “Tu es beau[7] ...” bisiknya di bawah napas hangatnya, mendekapmu lebih erat. Kau hanya tertawa kecil mendengar pujiannya, menggenggam tangannya yang bergerak merayap di dadamu. Dengan sekali sentak, kau menariknya dan menghimpitnya di dinding, mendapatkan sebuah pekikan kecil darinya.
Keaadan kini berbalik―menguntungkanmu.
Kau mengeluarkan senyum mautmu, “Takk[8],” jawabmu dengan suara beratmu. Dia menjilat bibirnya sendiri mendengarnya, “Arne ...” panggilnya dengan lirih, “Tiens moi, embrassemoi[9]...”bisiknya dengan bahasa negaranya yang indah, “... excite moi[10] ....”
“Dengan senang hati, Yang Mulia ....”
Bibir kembali bertautan dalam sebuah ciuman panas―suara kecupan basah menggema dalam ruangan yang hanya disinari oleh rembulan yang bergerak semakin tinggi. Kau memperhatikannya―semakin memerah di setiap ciuman yang kau berikan, sedangkan iris azure-nya menuntutmu lebih. Seringaian tak dapat kau tahan, kau melepaskan ciuman itu dengan sengaja, dan mengambil satu langkah mundur. Ia tampak tak suka dengan perlakuanmu, mengerang kecil saat kau melepaskan ciuman itu dan menjauh darinya. Namun protesnya mati di tenggorokan saat kau mulai melepas kancing kemejamu satu per satu.
Matanya tak bisa berhenti menatap tubuh atletismu dengan tatapan lapar.
Kau menyeringai padanya, “Kita tidak butuh banyak pakaian, bukan?” dan dia tertawa mendengar kau terus membalikkan kata-katanya. Tangannya meraih kedua sisi wajahmu, matanya menelusuri wajah tampanmu dengan seksama. “Aku lebih suka kau seperti ini, Arne,” ujarnya, jujur, “maaf aku selalu bermain di belakangmu―tapi itulah yang harus kulakukan ....”
Kau meletakkan jarimu di bibirnya, menyuruhnya untuk berhenti berbicara. “Aku tau,” ujarmu, setengah berbisik. Dan dia tertawa kecil, melingkarkan kedua lengannya pada lehermu,“Tu me manques[11],” menarikmu wajahmu yang jauh lebih tinggi empat inchi darinya mendekat ke arahnya, “Je t’aime ...” ucapnya lagi saat jarak yang tersisa tak lebih dari satu senti. Ciuman kembali berlanjut menjadi sebuah kecupan manis, layaknya sebuah ciuman pertama. Pangeran negeri Belenus itu kembali berbisik padamu, lirih namun jelas di telingamu, “Je suis à toi pour toujours[12]....” dengan wajah yang sangat memerah.
Kau pun tersenyum padanya, “Jeg er ogsa din for evig[13]...” sahutmu padanya―
―Malam itu kembali sang dewi malam yang menjadi saksi bisu rahasia kalian.
End.
Produced By : YI, CKP, KPU

0 komentar:

Posting Komentar