SCREAM (Lomba cerpen Gay berteman kerajaan)



Author: YESI DWI PUTRI
Dirinya tahu, bahkan bisa dikatakan sangat tahu bahwa sosok yang duduk di hadapannya itu sama sekali tak mendengarkan apa yang sedari tadi ia katakan.
Dirinya tahu, bahwa sosok pangeran muda itu tengah memperhatikannya menggunakan kedua mata coklat yang memukau tersebut. Dirinya sangat tahu, namun ia ingin mengabaikan itu semua. Ia hanya berusaha untuk berpura-pura tidak menyadari semua tatapan intens yang terarahkan pada dirinya dari sang pangeran.
“–2 jam setelah ini anda akan menemui Putri Faya dari kerajaan Toriya pada acara minum teh sore, Raja berharap agar anda dapat menjaga sikap ,bagaimanapun Putri Faya adalah calon tunangan anda, Pangeran.” ujarnya penuh dengan nada kesopanan dan rasa hormat, kedua mata hitamnya terus menatap perkamen yang ada di tangannya, dimana perkamen itu berisi jadwal sang pangeran sehari penuh.
“Apa aku sudah pernah mengatakan kalau kau begitu menawan eh, Revie?” pertanyaan bernada menggoda dilontarkan oleh sang pangeran lengkap dengan sebuah seringgai yang sanggup membuat kaum hawa merona.
Revie – sang pengawal pribadi – hanya mampu menghela nafas mendengarnya, digulungnya kembali perkamen tersebut lalu menyimpannya di balik rompi yang ia kenakan.
“Sebentar lagi anda akan menghadiri kelas Tata Kerajaan, mohon agar anda segera bersiap-siap pangeran.” Tutur Revie mengabaikan pertanyaan dari sang pangeran muda yang ia kawal itu.
“Kau mengabaikan pertanyaanku Revie.” Desis sang pangeran tidak suka.
“Maaf pangeran, tetapi itu bukanlah pertanyaaan yang layak untuk anda tanyakan pada pengawal pribadi anda.” Sahut Revie setenang mungkin.
Pangeran muda itu berdiri dengan gayanya yang angkuh, di dekatinya sang pengawal yang sedari tadi berdiri beberapa langkah di depannya, secara perlahan hingga akhirnya ia benar-benar berdiri berhadapan dengan pengawal pribadinya tersebut.
“Kau berani mengaturku,eh?” bisiknya pelan namun sarat dengan bahaya.
“Sekali lagi maafkan saya pangeran, bukan maksud saya untuk mengatur pangeran, hanya saja tak seharusnya – “
“Yayaya, tak seharusnya aku mengatakan itu padamukan?” potong sang pangeran dengan cepat.
Revie tak mengatakan apa-apa, wajahnya sengaja ia tundukkan, bagaimanapun ia harus menjaga kesopanan terhadap putra mahkota kerajaan tempat ia bernaung itu.
“Kenapa kau selalu menghindar Revie?” tanya pangeran muda itu pelan, mata coklatnya menatap sendu sosok sang pengawal.
“Saya tak mengerti maksud anda pangeran.” Jawab Revie setenang yang ia bisa “Dari pada itu, 5 menit lagi kelas Tata Kerajaan akan dimulai, tidak seharusnya anda membuat guru anda menunggu pangeran.” Lanjutnya
“Rev...” panggil pangeran muda itu nyaris terdengar putus asa.
“Mohon anda segera bersiap-siap pangeran, saya akan menunggu di luar.”
“Revie...” dengan reflek pangeran muda itu meraih tangan sang pengawal saat Revie berjalan melewatinya.
Revie meghentikan langkahnya, kembali ia balikkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan sang pangeran.
“Saya permisi pangeran.” Ujarnya pelan lalu kembali berbalik dan melagkah pergi keluar membuat sang pangeran terpaksa melepaskan tangannya secara perlahan.
***
Afa merebahkan tubuhnya di atas ranjang besar yang berada dalam kamarnya, statusnya yang merupakan seorang putra mahkota membuatnya tak bisa menikmati waktu bersantai lebih lama seperti remaja desa, banyak tuntutan yang harus ia penuhi sebagai seorang pangeran, salah satunya belajar urusan Tata Kerajaan seperti beberapa menit yang lalu.
Pemuda yang sebentar lagi akan menginjak usia 18 tahun itu memijit pelipisnya, terlalu banyak pikiran yang membuat kepalanya menjadi sakit. Khususnya pemikirannya tentang sang pengawal sekaligus pelayan pribadinyaitu.
TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan pada pintu kamarnya, membuat pangeran muda itu melirik ke asal suara.
“Ini saya pangeran.” Pemberitahuan dari suara yang sudah sangat ia kenal itu membuat Afa tanpa sadar terseyum cerah.
“Masuk!” perintahnya tanpa menyembunyikan rasa senangnya.
Secara perlahan pintu besar berdaun 2 itu terbuka, menampilkan sosok sang pengawal yang kini tengah melangkah ke dalam.
Afa tak perlu repot-repot merubah posisinya menjadi duduk, hanya di depan sang pengawallah ia bisa melakukan apa yang ia inginkan sesuka hati.
“15 menit lagi, Putri Faya dari Kerajaan Toriya akan datang. Mohon agar pageran segera bersiap-siap.” Ujar Revie tenang dan penuh rasa hormat saat ia telah berdiri di dekat kaki ranjang sang pangeran.
“Rev...” panggil Afa, mengabaikan pemberitahuan dari sang pengawal tadi.
“Apa ada yang anda inginkan pangeran?” tanya Revie seraya menatap pangerannya yang kini masih berbaring.
“Kemari!” perintah Afa tegas.
Reviemengernyit bingung namun tetap ia langkahkan kakinya mendekati sang pangeran.
“Apa ada yang anda inginkan pangeran?” kembali ia ulang pertanyaannya saat dirinya sudah berdiri di tepi tempat tidur sang putra mahkota.
Dengan sekali tarikan, tubuh berlapis pakaian pengawal itu berhasil terjatuh di atas tempat tidur megah tersebut, dengan cepat tubuh itu terkurung oleh sang pangeran yang kini berada di atasnya, dengan tangan di kanan-kiri kepalanya sebagi penopang tubuh sang pangeran.
“Satu-satunya keinginanku adalah dirimu Revie, bisakah kau mengabulkannya?” tanya Afa dengan nada berbisik.
Sosok yang berada di bawahnya itu hanya diam seraya memalingkan wajahnya ke samping kiri, lebih memilih untuk memandangi pintu kokoh berwarna putih gading yang kini tertutup rapat.
Afa merendahkan wajahnya hingga sejajar dengan telinga sang lawan bicara, secara perlahan mulutnya terbuka membisikkan kata demi kata dengan nada penuh kekecewaan.
“Kau tidak bisa. Tentu saja begitu bukan?”
Revie hanya diam saja bahkan saat tangan kanan pangeran sudah beralih mejadi sentuhan di sisi kanan wajahnya, menyingkirkan helai hitam yang menutup separuh wajahnya. Jari-jari itu kini beralih menjadi sebuah belaian, dimulai dari pelipis dan berakhir didagu, dan saat sebuah usapan di sudut bibirnya terasa barulah Revie berani menoleh pada sosok yang kini masih memerangkapnya.
Seperti ada kata-kata yang tak terucap namun dapat dimengerti, sang pengawal menutup matanya secara perlahan saat sang pangeran mengikis habis jarak di antara keduanya, menyisakan dua bibir yang kini saling bertaut di dalam kesunyian sebuah ruangan yang menjadi saksi.
***
Taman itu begitu hijau oleh rerumputan serta pepohonan yang tumbuh di sana, beberapa warna lain dari bunga-bunga yang sengaja ditanampun turut menambah keindahan taman tersebut.
Perempuan anggun yang kini tengah duduk di tengah-tengah taman itu mengangkat wajahnya dari surat kabar yang ada di pangkuannya saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat, sebuah senyum kecil terpoles di bibirnya saat kedua mata emeraldnya menangkap sosok yang tengah ia tunggu kini berjalan ke arahnya.
“Pangeran Afa...” bisiknya pelan saat sosok pemuda itu semakin mendekat.
Afa berjalan dengan tegap, langkah kedua kakinya terdengar meyakinkan tanpa sedikitpun keragu-raguan, sengaja ia lewati kursi yang disediakan khusus untuknya, memilih untuk berlutut di hadapan sang putri, meraih tangan kanannya lalu mengecupnya lembut.
“Maafkan diriku yang membuat seorang putri seperti anda menunggu.” Ucapnya setelah menyudahi kecupan di punggung tangan nan lembut itu.
“Tidak apa-apa, aku tahu kau orang yang sibuk pangeran.” Sahut putri itu penuh pengertian, senyum kecil di wajahnya masih setia ia sunggingkan.
“Terima kasih atas pengertian anda putri, tapi tetap sebuah ketidaksopanan bagiku membuat anda menunggu.”
“Lupakan saja pangeran, bagaimana kalau segera kita mulai saja acara minum tehnya?” tawar sang putri.
“Tentu saja.” Setuju Afa, pangeran muda itu segera berdiri lalu beranjak menuju kursinya yang tepat berhadapan dengan kursi sang putri.
Revie yang sedari tadi berdiri di belakang kursi sang pangeran segera menuangkan teh hangat ke dalam cangkir porselen yang diletakkan di atas meja.
“Apa kau ingin bergabung dengan kami, Revie?” tanya putri Faya sebelum ia menghirup aroma teh yang menguar dari dalam cangkirnya.
“Sebuah kehormatan bagi saya putri, tapi mohon maaf saya tidak bisa. Bagaimanapun acara minum teh ini khusus disediakan untuk kalian berdua.” Jawab Revie sopan seraya sedikit menundukkan wajahnya pertanda hormat.
“Kau terlalu sopan Revie, kau adalah pengawal pribadi pangeran Afa, tapi kurasa kau lebih cocok untuk mejadi kakaknya, kudengar dari Raja, pangeran Afa hanya mau menurut olehmu”
Revie tersenyum teduh mendengar perkataan sang putri di sebrangnya.
“Dia tak cocok jadi kakakku putri...” ujar Afa setelah meneguk tehnya dengan sopan “Dia lebih cocok untuk menjadi adikku.”
“Tapi aku beberapa bulan lebih dulu lahir dari anda Pangeran.” Bantah Revie tetap dengan sopan.
“Tapi kau tetap tak cocok untuk jadi kakakku,kau tak pantas untuk jadi itu.” tegas Afa keras kepala.
Revie terdiam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum.
“Aku mengerti pangeran.”
***
“Ada apa ayah memanggilku?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Afa saat dirinya sudah berdiri di hadapan sang Raja yang tengah duduk di singgasananya, di sampingnya duduklah seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dimana wanita itu adalah seorang Ratu.
Beberapa menit lalu saat ia hendak kembali ke kamarnya, tiba-tiba saja ada seorang pelayan yang mendatanginya dan berkata kalau dirinya sudah di tunggu sang Raja.
“Bagaimana acara minum tehmu dengan Putri Faya sore tadi?” tanya sang Raja, mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan anaknya tadi.
“Baik.” Jawab Afa singkat.
“Baguslah.” Ujar Raja terdengar kega.
“Jadi, kenapa Ayah dan Ibu memanggilku?” Afa mengulangi pertanyaan pertamanya tadi.
“2 hari lagi adalah hari ulang tahunmu ya nak?” kali ini sang Ratulah yang membuka mulut, membuat Afa memandangnya.
“Ya.” Jawabnya singkat.
“Ayah dan Ibu berniat akan mengumumkan pertunanganmu dengan putri Faya pada rakyat saat pesta ulang tahunmu diselenggarakan.”
Afa mau tak mau melebarkan matanya terkejut mendengar penuturan sang Ibu, mulutnya terbuka hendak melontarkan bantahan.
“Pengumuman?! Tapi aku dan Putri Faya belum resmi bertunangan?!”
“Maka dari itu, saat ulang tahunmulah semuanya akan diresmikan.” Suara berat nan tegas milik sang Ayah merasuk ke gendang telinganya.
“Tapi aku tak pernah menyetujui pertunangan ini!” tolak Afa mulai terbawa emosi.
“Ini semua akan membawa keuntungan bagi kerajaan kita Afa, lagipula putri Faya adalah wanita yang baik.” Nasihat sang Ibu lembut.
“Lalu bagaimana dengan aku?! Aku sama sekali tak mencintainya!”
“Cinta akan datang dengan seiring waktu Afa.”
“Omong kosong!” makinya emosi, kedua mata coklatnya sudah memancarkan amarah yang tertahan.
“Afa! Jaga ucapanmu pada Ibumu!” peringat sang Raja tegas seraya memandang tajam sang anak “2 hari lagi kau akan resmi bertunangan dengan putri Faya! Tak ada protesan!” keputusan akhir terucap dari mulut sang pemimpin kerajaan, Afa membuka mulutnya hendak membantah namun tak ada satupun kata yang mampu ia keluarkan, dengan emosi pangeran muda itu berbalik lalu pergi keluar dari ruangan tersebut.
***
Revie tengah menyiapkan pakaian tidur untuk sang pangeran saat tiba-tiba sebuah tarikan di pundak membuat tubuhnya berbalik, belum usai dengan keterkejutan akibat apa yang baru saja terjadi,pengawal muda itu kembali dibuat terkejut saat sesuatu menyentuh bibirnya.
Dengan reflek Revie mendorong seseorang yang menciumnya itu, baru saja ia hendak melontarkan protesan, bibirnya kembali ditawan oleh ciuman yang kasar juga menuntut milik sang pangeran. Dirinya hendak melepaskan ciuman itu dengan cara memundurkan kepalanya, namun tangan sang pangeran yang entah sejak kapan berada di belakang menahannya, membuatnya hanya mampu melebarkan kedua mata hitamnya.
Kakinya menabrak tepi ranjang saat tubuhnya didesak untuk mundur tanpa melepaskan ciuman, punggungnya menghantam ranjang yang empuk saat tubuhnya terus di dorong hingga terjatuh.
“EMH!” Tubuhnya kembali tersentak saat merasakan tangan sang pangeran yang menyusup ke dalam pakaiannya dan menyentuh kulit dadanya.
“EMH! EMH!” pengawal muda itu memberontak akibat kebutuhan udara yang sudah mendesak, sedangkan tangan sang pangeran sudah bergerak turun ke bawah, membelai perut sang pengawal dengan sentuhan yang seduktif.
PLAK!
Sebuah tamparan di salah satu pipinya membuat gerakan tangan Afa terhenti, wajahnya menoleh ke samping akibat kuatnya tamparan yang ia terima.
Dengan cepat Revie mendorong sosok pangeran yang masih terdiam di atasnya, membuat Afa menciptakan jarak di antara mereka.
Revie segera bangkit dari posisinya, tanpa memperhatikan pakaiannya yang tampak berantakan, pengawal muda itu segera melangkah keluar dengan cepat, terlalu cepat hingga tak menyadari setetes air mata yang jatuh dari pipi sang pangeran.
***
Revie menutup pintu kamarnya dengan agak kuat, membuat suara dentuman yang cukup mengejutkan, pengawal muda itu segera naik ke atas tempat tidur dan memilih untuk meringkuk disana, wajahnya ia benamkan di atas lututnya yang sengaja ia tekuk.
Kedua tangannya yang terkulai di kanan-kirinya menggenggam erat seprai putih yang melapisi tempat tidurnya.
“Bukan seperti ini... bukan sentuhan ini...” racauya dengan suara bisikan yang nyaris tak terdengar.
Bukan ini yang ia harapkan terjadi saat ia memutuskan datang ke kerajaan dan menjadi pengawal pribadi sang pangeran. Bukan hal intim yang seperti ini.
Dia memang berharap sang pangeran mencintainya, namun bukan cinta yang seperti ini, bukan cinta dengan sentuhan-sentuhan di tubuhnya.
Dia akui dia memang mencintai sang pangeran dan berharap pangeran muda itu akan membalas cintanya, tapi bukan dengan cinta yang berbau romantisme, dirinya hanya ingin sang pangeran mencintainya layaknya saudara. Hanya itu.
***
Gelap, suasana saat ini masih terlalu gelap dan juga dingin, ayam-ayam belum ada yang terbangun dan berkokok, begitu pula dengan sang mentari yang masih sangat enggan untuk beranjak dari tempat peristirahatannya.
Revie memandang sosok yang berdiri di hadapannya dengan rasa hormat yang tulus, sebuah kereta kuda lengkap dengan kusirnya berdiri di belakangnya, saat ini memang ia tengah berada di luar istana.
“Apa kau yakin dengan keputusanmu Revie?” pertanyaan dari sosok didepannya itu membuat Revie tersenyum teduh.
“Tentu, Baginda Raja.” Jawabnya.
“Tapi apa alasanmu tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke desamu?” tanya Raja lagi dengan nada sedikit mendesak.
“Saya sudah merasa cukup di sini Yang Mulia, saya juga sudah merasakan rindu dengan kampung halaman.” Tutur Revie tetap dengan nada penuh hormatnya.
Sang Raja menghela nafas, tampaknya sudah tak mungkin lagi untuk menahan kepergian pemuda di hadapannya itu.
Semalam, pemuda yang merupakan pengawal pribadi anaknya itu dengan tiba-tiba menemuinya di singgasana, dan mengatakan kalau akan kembali ke kampung halaman pagi-pagi sekali.
“Terima kasih atas kereta kuda yang anda siapkan, Yang Mulia.” Ujar Revie berterima kasih.
“Tidak perlu sungka Revie.” Sahut sang Raja.
“Kurasa saya harus pergi sekarang, Yang Mulia.”
“Revie...” panggil Raja dengan nada teduhnya.
“Ya? Yang Mulia?”
“Jangan pernah sungkan meminta bantuanku, bukan sebagai rakyat pada Rajanya, tapi sebagai anak pada ayahnya.”
Revie terdiam sejenak mendengar perkataan sang Raja, lalu tersenyum tulus dan menyahut pelan.
“Aku mengerti.”
“Hati-hati.” Pesan sang Raja mengakhiri obrolan singkat keduanya.
“Ya.”
Revie segera berbalik lalu naik ke dalam kereta kudanya, meninggalkan sang Raja yang masih setia menatap kepergiannya.
***
Afa mengerang saat merasakan cahaya menembus tirai kelopaknya, secara perlahan pangeran muda itu membuka matanya,mengerjab beberapa kali untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk.
“Pagi Pangeran, maaf mengganggu tidur anda, hanya saja setengah jam lagi jadwal anda akan segera dimulai.”
Sebuah suara yang asing di telinganya membuat Afa mendudukkan dirinya di atas ranjang lalu menoleh ke asal suara, keningnya mengernyit saat melihat sosok orang lain yang asing di matanya.
“Kau siapa?” pertanyaan bernada tajam mengalir dari belah bibir sang pangeran.
“Maafkan atas kelancangan saya memasuki kamar anda pangeran, perkenalkan nama saya adalah Julian, pengawal pribadi anda yang baru.”
Afa melebarkan kedua matanya terkejut saat mendengar 6 kata terakhir yang disampaikan oleh sosok bernama Julian itu.
Pangeran muda itu tak perduli apa yang akan dikatakan oleh pengawal pribadinya yang baru, bahkan ia tak perduli pada pakaiannya yang masih mengenakan piyama tidur, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah segera bertemu dengan ayahnya.
Afa menerobos ruang singgasana ayahnya dengan emosi yang meluap dalam dadanya, nafasnya memburu akibat amarah yang meluap.
“Ada apa dengan pakaianmu itu Afa?” pertanyaan itu terlontar dari mulut sang Raja yang tengah menyesap teh paginya.
“Kemana Revie?! Kenapa ayah mengganti pengawalku?!” tanya Afa sedikit menggeram, mengabaikan pertanyaan dari sang Ayah.
Raja tetap menyesap tehnya dengan tenang, dengan gerak yang berwibawa diletakkan kembali cangkir tehnya di atas tatakan yang ada di meja di sebelahnya.
“Revie kembali ke kampung halamannya.” Ujar sang Raja berhasil membuat anaknya membelalakkan matanya akibat terkejut.
“Revie... apa?” sebuah pertanyaan bernada tak percaya keluar dari mulut Afa.
“Dia kembali ke desanya pagi-pagi sekali”
“Tapi kenapa?!” suara Afa meninggi tanpa sadar.
Raja tak mengatakan apapun,hanya memandang lurus sang anak. Iapun bertanya-tanya alasan sesungguhnya kenapa Revie memutuskan untuk pergi secara tiba-tiba, ia yakin ada alasan lain yang mendasari kepergian pengawal anaknya itu.
“Kenapa dia pergi tanpa mengatakan apapun padaku?! Apa dia marah padaku?!” tanpa sadar Afa meraung kesal, menarik rambutnya yang biasa tertata rapi.
“Apa yang kau lakukan padanya?!” pertanyaan tegas dari sang Raja membuat Afa tersentak, ditatapnya sang Raja yang juga tengah menatapnya dengan tajam.
“Aku menciumnya!” jawab Afa lantang tanpa setitikpun keraguan.
“Kenapa kau lakukan hal bodoh seperti itu?!” raung sang Raja marah.
“Karena aku menyukainya! Aku mencintai Revie!”
“Apa?!” teriak Raja seraya berdiri tiba-tiba, membuat cangkir teh di atas meja terjatuh dan terguling ke bawah, membuat karpet halus yang mejadi alas lantai itu berbecak air teh yang tumpah “Kau tak boleh melakukan itu!”
“Kenapa?! Apa karena dia laki-laki?! Aku tidak perduli dengan hal itu!” Afa tampak terengah setelah mengatakan itu semua.
“Bukan hanya itu saja!”
“Lalu apa?!” tanya Afa semakin emosi.
“Revie adalah kakakmu!” satu pernyataan yang dilontarkan penuh emosi oleh sang Raja membuat Afa membatu, matanya memancarkan ketidak percayaan yang kentara sekali.
“Ini tidak lucu Yah!” bantah Afa dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.
“Karena ini memang bukan candaan.” Ujar Raja setenang yang ia bisa “Revie adalah anakku dari wanita yang kucintai sebelum aku menikah dengan Ibumu.”
Kembali tubuh Afa terhenyak mendengar pengakuan sang ayah, tanpa mengatakan apapun, tanpa mendengarkan semua panggilan ayahnya, pangeran muda itu segera berbalik dan berlari pergi dari sana.
***
Revie memandang keluar dari jendela kereta kudanya, mata hitamnya menatap jejeran pohon hijau yang tumbuh di pinggiran jalan setapak yang kereta kudanya lalui, ditatapnya langit biru yang diisi oleh gumpalan-gumpalan awan putih.
Helaan nafas mengalir dari belah bibir mantan pengawal itu...
“Tak apa, ini yang terbaik...” bisiknya nyaris terbawa angin karena begitu pelannya.
Dipejamkan kedua mata hitamnya, merasakan belaian angin yang menyapu wajahnya.
***
Raja dan Ratu menatap nanar sang anak yang berdiri di hadapan mereka, pangeran muda itu hanya diam semenjak datang ke ruang singgasana beberapa menit lalu.
“Besok malam adalah pesta ulang tahunmu sekaligus pengumuman akan pertunanganmu dengan putri Faya, jadi beristirahatlah, jadwalmu besokpun akan dikosongkan, persiapkan dirimu sebaik mungkin.” Saran sang Raja yang merupakan sekaligus perintah yang tak ingin dibantah.
Afa mengangguk pelan tanda setuju, tanpa mengatakan sepatah katapun.
“Sekarang kembalilah ke kamar mu dan beristirahat.”
“Baik.” Sahut Afa pelan, terlalu pelan sampai-sampai nyaris tak terdengar, pangeran muda itu berbalik lalu keluar dari ruangan tersebut meninggalkan kedua orang tuanya dalam diam
“Apa tak apa-apa?” taya sang Ratu, kekhawatiran tertera jelas di setiap kata-katanya.
“Ini yang terbaik.” Jawab sang Raja seraya memejamkan matanya.
***
Revie tersenyum lebar saat melihat gerbang kampung halamannya, kepalanya melongok keluar jendela saat kereta kudanya sudah melewati gerbang, dapat ia lihat para penduduknya yang sudah memulai aktivitas mereka di pagi hari, beberapa ibu-ibu yang kebetulan melihatnya tersenyum dan melambai padanya, tak lupa juga dengan sapaan hangat yang ia terima.
Rasanya tak percuma dengan lelah di tubuh akibat perjalanan yang memakan waktu 24 jam lebih itu. Apalagi saat mengingat seseorang yag sudah hampir 2 tahun ia tinggalkan itu, seseorang yang selalu tersenyum teduh menyambutnya, seseorang yang selalu setia meminjamkan pundak dikala dirinya lelah akan kehidupan dan butuh sandaran.
Kereta kuda itu berhenti di depan sebuah rumah dimana ada toko yang berdiri di sebelahnya. Seseorang yang sebelumnya hendak membuka toko membalikkan tubuhnya saat mendengar suara kereta kuda yang mendekat, keningnya mengernyit heran melihat kereta kuda yang berhenti di depan rumahnya itu.
Revie turun dari keretanya, dapat ia lihat raut terkejut tertera jelas di wajah pemuda yang berdiri beberapa langkah di depannya.
“Aku kembali Rayan.” Ucap Revie pelan namun terdengar begitu menenangkan di telinga pemuda yang dipanggil Rayan itu, tanpa ada kata-kata yang terucap, keduanya sama-sama melangkah maju lalu memeluk satu sama lain, melepas rindu yang sudah membuncah di dada.
“Akhirnya... akhirnya kau kembali Revie...” bisik Rayan, di letakkan dagunya di atas tumpukan rambut pemuda dalam pelukannya itu.
“Aku tak akan pergi lagi Rayan, tak akan pernah.” janji Revie terdengar seperti gumaman karena wajahnya yang terbenam di dada Rayan.
Keduanya tak berkata apa-apa lagi, hanya diam dan merasakan kehadiran satu sama lain yang sudah lama sekali saling merindu.
***
Afa memandang langit malam dari jendela kamarnya, diabaikan perintah sang Ayah agar segera beristirahat, saat ini ia hanya ingin seperti ini, sendiri dan mengingat sosok yang sudah merenggut hatinya namun mencampakkan begitu saja.
Sosok yang ia cintai sebagai seorang kekasih namun nyatanya memiliki satu darah yang sama dengannya, sosok yang tak bisa ia raih hanya untuk dirinya sendiri karena mereka bersaudara.
Afa memejamkan kedua matanya dan tersenyum pedih, besok dan segalanya akan berakhir. Dirinya akan terikat dengan status pertunangan yang sama sekali tak ia kehendaki.
“Kita bersaudarakan Revie? Lalu kenapa saat aku menciummu untuk pertama kalinya kau tak menolak?” bisik Afa tanpa membuka kedua matanya, bibirnyapun masih menyunggingkan senyum pedih yang memiliki banyak makna di dalamnya.
“Kita ini saudarakan Revie? Hanya saudara? Iyakan Kak?”
Setelahnya hanya ada jeritan putus asa yang terdengar, jeritan yang menyiratkan luka yang tertera dalam jiwanya, jeritan yang akan mengakhiri semuanya, jeritan yang datang bersamaan dengan sebuah pisau yang menancap di dada kirinya.
END

0 komentar:

Posting Komentar