My Name Is... (Lomba Cerpen Gay Bertemakan Kerajaan)


By : Kai ShadowChrive Noisseggra
Berikan Like sebelum baca..
Jangan jadi pembaca gelap yaa 
Namaku…ah, sebaiknya aku tidak memberitahukan siapa namaku, jadi kuganti kalimat perkenalannya. Aku cowok cakep berusia 17 tahun, bersurai hitam panjang yang kuikat kuncir kuda, tinggiku 175 cm dan kulitku seputih susu. Kurang cakep apa aku coba? Kecuali fakta bahwa yang menggodaku kebanyakan malah cowok dan bukannya cewek, ya karena factor kulitku yang sehalus porselen, juga rambut panjangku ini sehingga sekilas aku terlihat seperti cewek, padahal aku cowok sejati! Bukannya aku tak mau memotongnya atau apa, aku cuma belum punya uang untuk sekedar pergi ke salon dan memotong rambutku, kalau kupotong sendiri bisa-bisa berantakan dan kecakepanku berkurang. Ah, ngomong-ngomong soal itu, apa aku belum cerita kalau keluargaku sangat miskin sehingga aku tidak punya uang sekadar untuk pergi ke salon? Yeah, kurasa belum. Aku tinggal dengan ibuku dan kami hidup miskin, makanya tahun ini ibu menyuruhku mendaftar menjadi pasukan militer kerajaan supaya aku punya penghasilan tetap. Aku langsung meng-iya-kan perintahnya—yang sempat membuatnya tercengang karena biasanya aku selalu membangkang—bukan karena aku memang jadi anak penurut, tapi aku memimpikan hidup sebagai prajurit istana yang sudah pasti akan membuat tubuhku kekar, dan tidak akan ada siapapun lagi yang menganggap kalau aku wanita kekekeke
~My Name Is…~
Saat ini aku tengah berbaris antre dengan rapinya untuk mendaftar menjadi prajurit, sepertinya tahun ini cukup banyak yang mendaftar sehingga antriannya paaaanjaang. Dan saat itulah aku melihat sosok itu melintas.
Dengan surai keperakannya yang bagai purnama, serta tubuh tegapnya seolah bisa melindungi siapapun yang ada di dekapannya, serta tatapan mata purple nya yang tajam. Begitu menawan, begitu mempesona. Seandainya aku seorang gadis aku pasti sudah berteriak ‘kyaaaa kyaaaa’sambil menyerukan ‘Pangeran Alfa, I Lop U Pul’ dan sebagainya. Sayangnya aku seorang cowok sejati, jadi aku malah menatap sinis ke arahnya dan berkata pada diriku sendiri.
“Heh, lihat saja nanti. Aku pasti bisa lebih keren dari dia begitu aku menjadi prajurit dan membentuk tubuhku.”
Kulihat Pangeran Alfa tersenyum ke arahku, sebuah senyum manis setengah mengejek, dan…ia menghampiriku? Tunggu tunggu, jangan bilang kalau tadi ucapanku pada ‘diri sendiri’ terlalu keras sampai-sampai Pangeran Alfa bisa mendengarnya. Mampus! Kalau ini sih aku bakal dibunuh bahkan sebelum menjadi prajurit dan membentuk tubuhku. Mana ada orang yang lolos setelah menjelek-jelekkan pangeran?
“Aaa—…” aku ingin mengucapkan sesuatu untuk meluruskan ucapanku atau meminta maaf, tapi tak ada kalimat muncul dari bibirku. Aku makin panik saat Pangeran Alfa semakin mendekatiku, keringatku bercucuran semakin deras saat kulihat kilat cahaya di mata para pengawal yang sudah pasti siap melaksanakan titah apapun yang keluar dari mulut pangeran.
“You—…” ucap pangeran.
“Aa—…anno…” aku semakin panik. Mungkin kakiku sedikit gemetaran. Sedikit. Oke, garis bawahi itu. Sedikit. Tapi aku benar-benar panik!
“Who are you?”
“I’m Horny.”
Snap!
Mampus! Gara-gara panik aku keceplosan mengucapkan namaku. Padahal aku sudah menyiapkan nama samaran yang bagus untuk mendaftar menjadi prajurit. Dan…aku mengerjap beberapa kali dan menepuk dahi saat melihat reaksi pangeran Alfa. Membatu—tak bergerak se-inchi-pun—dengan mata tak berkedip. Melihat itu aku jelas harus meluruskan kesalahpahaman ini.
“Aa—anu, maksudku, namaku Horny. Oke? Horny—bertanduk—well, bukan berarti aku memiliki tanduk atau apa, itu hanya nama yang diberikan ayahku sebelum dia meninggal, dia sangat menyukai tanduk binatang dan mengoleksinya, jadi…kau mengerti maksudku kan?” aku menjelaskan panjang lebar, tapi langsung menatap putus asa saat melihat Pangeran Alfa masih tidak bergerak. Tentu saja. Dia pasti seperti orang kebanyakan yang mengartikan kata horny bukan sebagai ‘bertanduk’, tapi sebagai…ehm, kau tau lah. Apa? Kau tidak tahu? Sepolos apa kau ini. Ba—baiklah, kuberitahu, tapi jangan minta aku mengulanginya lagi. Well, horny bisa diartikan ‘terangsang’. Aa—…oke, aku mengatakannya. Mungkin sebaiknya aku menyensornya menjadi ter*ngsang. Tapi percuma, aku sudah mengucapkannya di depan.
“Pangeran Alfa—…” aku melambaikan tanganku di depan wajahnya. Tak ada reaksi, yang bereaksi justru para prajurit kerajaan yang kini menatapku garang dan tangan yang sudah siap mencabut pedang di pinggang mereka. “Pa—pangeran…” aku mulai panik lagi. Aaarrgh! Bagaimana aku tidak panik kalau—…
“Huuaaaaaaa!!!!” aku berteriak saat tiba-tiba tubuhku tak menyentuh tanah lagi, Pangeran Alfa tiba-tiba membopongku di pundaknya. “Pangeran! Apa yang kau lakukan?!!!” aku meronta.
“Kalian semua,” ucap Pangeran Alfa pada para pengawalnya sambil berjalan memanggulku. “Jangan ada yang mengganggu kami.”
“HHAAAAAHHHHH??????!!!!!!!” jeritku
“Baik, Pangeran!” sahut para prajurit.
“Apanya yang ‘baik, pangeran!’. Teme! Turunkan aku! Apa yang kau pikirkan huh!!!” aku terus meronta dan bahkan menendang Pangeran Alfa, tapi dia sama sekali tak terpengaruh dan terus membopongku. Aku semakin risih saat di sepanjang jalan kulihat banyak orang menatap ke arah kami dengan wajah merona sambil bisik-bisik bahkan tersenyum mesum.
“Gyaaaaa!!!! The hell with it! Turunkan aku Pangeran brengseekkk!!!” omelku sepanjang jalan, tapi ia terus membawaku entah ke mana.
“Tenang saja manis, aku akan menurunkanmu,” ucap Pangeran Alfa.
“Jangan sebut aku manis! Aku bukan—…Aarrghh!” ia benar-benar menurunkanku di…RANJANG! Aku langsung menatap sekeliling dan berani taruhan—dengan diriku sendiri—kalau ini kamar Pangeran Alfa.
“Nah, manis. Ayo kita mulai,” Pangeran Alfa merangkak di atas tubuhku sambil membuka pakaian atasnya.
“Mulai apanya, Baka! Minggir kau!” hardikku.
“Eh? Tipe Tsundere ternyata,” Pangeran Alfa malah menyeringai senang. “Bukannya tadi bilang kau sedang horny, tapi sekarang pura-pura menolak.”
“Aku tidak pura-pura menolak! Aku memang MENOLAK! Aku tidak sedang horny, dan yang paling penting, aku bukan perempu—…”
“Ah, sudahlah, ayo main-ma—…” Pangeran Alfa meraba dadaku dengan tangannya, aku sudah nyaris menendangnya kalau ia tidak tiba-tiba saja mematung dan langsung bungkam.
“Eh?” cengoknya.
Aku Cuma bisa speechless. Biar deh dia mengerti tanpa harus kujelaskan.
“Eehh?”
“…” aku masih diam.
“Eeeeeeeehhhhh??????”
“Kalau sudah mengerti cepat turun dari tubuhku brengsek!!” kali ini aku menonjok mukanya. Beneran nonjok! Sampai dia terjatuh dari ranjang.
“KAU COWO—…” … “APA NGGAK SADAR DARI MENDENGAR SUARAKU???!!” potongku sebelum dia menyelesaikan teriakan histerisnya. “Cih! Walaupun penampilanku seperti ini tapi suaraku nge-bass kayak cowok pada umumnya. Harusnya kau sadar dong! Lagipula mana ada cewek mendaftar jadi prajurit kerajaan!”
“Ooke, biar aku berpikir,” Pangeran Alfa memijit dahinya.
“NGGAK USAH PAKE MIKIR SEGALA!!” dan aku kembali terbelalak saat Pangeran Alfa bangkit dan kembali berusaha merayap di atas tubuhku dan berkata :
“Nggak peduli deh, aku Cuma mau membantu orang yang lagi horny.”
BUAAAKKK!!!
Kali ini aku mendaratkan telapak kakiku ke wajahnya lalu turun dari ranjang dan berjalan kesal menuju pintu.
“Tu-tunggu-tunggu,” cegah Pangeran Alfa. “Kau bilang tadi ingin menjadi prajurit istana kan? Bagaimana kalau aku mengangkatmu menjadi pengawal pribadiku yang mengawalku kemanapun aku pergi?”
“Kutolak!” jawabku langsung.
“Tapi kau bisa bertemu denganku setiap hari loh…”
“Nggak butuh!”
“Gaji nya lima kali lipat dari prajurit biasa.”
“Nggak terlalu peduli.”
“Badanmu bakal jadi kekar kayak Minotaurus.”
Cring!
Aku langsung melepaskan kenop pintu dan berlutut hormat layaknya ksatria menemui rajanya.
“Penawaran diterima.”
~My Name Is…~
Kau tau Minotaurus? Itu loh prajurit bertubuh manusia banteng, kan ototnya gede banget tuh. Kalau jadi prajurit pengawal pangeran bisa punya otot kayak gitu aku sih oke oke saja, dan kulihat para prajurit pengawal pangeran yang lainnya juga bertubuh kekar, jadi kurasa Pangeran Alfa tidak berbohong. Tapi yang mengganggu pikiranku di waktu senggang ini sambil mengasah pedang malah si Minotaurus. Sekarang aku jadi tidak yakin kalau nama prajurit banteng itu Minotaurus, Centaurus, atau malah Brontosaurus. Dan dia itu prajurit atau Laksamana perang, pemain gladiator atau malah dewa perang? Well, pertanyaan nggak berguna memang, sudah kubilang aku sedang senggang, jadi pertanyaan yang muncul malah pertanyaan konyol, atau mungkin aku memang tidak punya pertanyaan berbobot di otakku. Yah, apapun deh, pokoknya aku bakal dapat tubuh kekar dan aku—…
“Ke-te-mu…”
“Gyyaaaaaaa…!!!!” aku langsung berteriak sambil merinding disko saat tiba-tiba seseorang memeluk pinggangku dari belakang. “Pa-Pangeran Alfa—…apa yang kau…”
“Astaga, sebegitu histerisnya kau bertemu denganku. Apa kau sudah sangat merindukan pangeran tampan in?” ucapnya seraya menyandarkan kepalanya di pundakku, menghirup aroma tubuhku dari sana yang membuatku semakin merinding dan membuat wajahku memanas.
“Apanya yang merindukanmu Teme! Cepat lepaskan aku!” aku berusaha melepas tangannya sekaligus berusaha menekan nafsu ku untuk menodongkan pedang yang barusan kuasah. Karena kalau itu terjadi, aku bisa-bisa dipecat, aku baru saja menjadi prajurit beberapa hari dan baru mulai latihan sejak itu, jadi badanku masih kerempeng. Jangan sampai aku dipecat!
“Kau sudah selesai latihan?” tanya pangeran tanpa memedulikan tuntutanku.
“Baru saja selesai! Ada apa?”
“Temani aku mandi yuk…”
Snap!
“Ogah!!” aku menyentakkan pelukannya kasar. “Kau sebaiknya mulai mencoba menggoda CEWEK! Jangan menggodaku terus! Apa kata rakyatmu kalau sampai tahu ternyata pangerannya homo!”
“Ah, tapi setelah bertemu denganmu entah kenapa aku tidak tertarik sama cewek lagi,” cengirnya.
“Grrr…berpikirlah rasional sedikit pangeran, aku cowok loh. Cowok! Aku punya benda yang menggantung di antara selangkanganku, sama sepertimu!”
“Masa sih? Coba lihat dong…” ucapnya riang dan malah memeluk lenganku dan menyeretku pergi.
“Gyyaaaaa Teme! Sesekali dengarkan aku brengseekkkk!!”
Dan…disinilah aku sekarang. Di kamar mandi super mewah milik pangeran dan tengah mengagumi kemewahannya. Tunggu! Kenapa aku sempat-sempatnya mengagumi?! Ada hal lain yang harus kucemaskan! Tentu saja si pangeran sinting yang kini tengah melucuti bajunya dan bersiap memasuki kolam air panas. Aku langsung berbalik sambil memegangi hidung saat kulihat tubuh Pangeran Alfa mulai polos.
“Honey-chan, ayo kemari. Kita berendam bersama,” ajaknya menggoda. Aku malah kesal, aku biasanya benci banget kalau ada yang memanggil namaku—Horny—tapi bukan berarti aku senang kalau ada yang menggodaku dengan panggilan sarap macam honey.
“Aku belum ingin mandi!” alasanku.
“Kalau gitu gosok punggungku deh.”
Ggrrr…
Entah kenapa pangeran satu itu pintar banget nyari hal lain supaya aku mematuhinya. Sedikit canggung dan wajah memanas, aku melangkah mendekati Pangeran Alfa yang kini tengah tersenyum manis ke arahku. Ia sudah berendam di kolam, bersandar ke tepiannya. Tubuhnya yang basah benar-benar…aduh, kok akau deg-degan sih! Aku menggelengkan kepalaku keras. Sadar man, dia itu cowok! Cowok!
“Nah, gosok yang benar ya…” senyumnya.
Sedikit cemberut, aku mengambil handuk basah yang ada di tepian kolam, lalu mulai menggosok punggungnya. Aku sadar, tanganku sedikit gemetar saat menyentuh kulit Pangeran Alfa—well, meski lewat handuk—dan entah sadar atau tidak, detak jantungku berpacu lebih cepat.
“Bagaimana latihanmu hari ini?” tanya Pangeran Alfa. Aku tahu dia berusaha mengobrol, harusnya aku menanggapinya. Aku kan bisa bilang, ‘latihan hari ini oke banget, aku yakin dalam waktu dekat tubuhku bakal jadi bagus’, tapi aku tak mengatakan sepatah katapun. Mungkin aku tidak sadar, tapi gerakanku benar-benar menunjukkan kalau aku grogi. Terlebih karena wajahku benar-benar terasa memanas saat tanpa sengaja mataku menatap ke bagian bawah tubuh Pangeran Alfa yang terendam air. Aku—…
“Ah,” tanpa sadar suara itu meluncur dari bibirku saat Pangeran Alfa bangkit dari kolam dan mendorong tubuhku sampai terbaring ke lantai. Ia merangkak di atas tubuhku tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh indahnya, tangannya yang kokoh mengunci kedua tanganku di samping tubuh.
“Dewa benar-benar tidak adil ya…kenapa ia menciptakan makhluk seindah kau sebagai laki-laki.”
Aku tidak begitu mengerti ucapannya, mungkin karena jantungku berpacu menjadi tiga kali lebih cepat dan siap meloncat ke tenggorokanku, mungkin karena aku merasakan sentuhan jemari Pangeran Alfa menggenggam erat jemariku, atau mungkin karena aku merasakan sesuatu yang lembut dan basah menyapu bibirku…
~My Name Is…~
Aku bengong di kamarku, bulan purnama di luar sana benar-benar sebulat mulutku yang tengah melompong. Aku…
APA YANG SUDAH KULAKUKAN!!!
Aku mengacak-acak rambutku frustasi saat mengingat kejadian tadi sore.
“A—apa maksudnya…aku dan Pangeran Alfa…berci-ci-cium—…Aaarrgghhh!!! Arienai daro? Arienai! Arienai! Tidak mungkiiinnnnn!!!!” aku berguling-guling di ranjangku sambil menggigit bantal. Benar-benar deh…
Setelah capek berguling-ria, aku berbaring tenang sambil mendongak menatap jendela besar di atas ranjangku. Bulannya benar-benar indah, cahaya peraknya sangat anggun, membuatmu tak ingin melepaskan tatapanmu darinya. Samar aku megingat perasaan ini, cahaya keperakan…ah, ya, seperti rambut Pangeran Alfa…
Blush…
Wajahku tiba-tiba saja memanas, dan aku langsung menarik bantal untuk menutupi sebagian wajahku saat sebuah pemikiran terlintas di benakku. Pangeran Alfa…kurasa akan sangat indah kalau aku bisa menyaksikan sosok Pangeran Alfa di bawah sinar bulan. Aku bangkit, kurasa aku akan mengajaknya keluar. Tapi bayangan ciuman itu kembali muncul yang membuatku malah membenamkan wajahku di bantal. Tapi aku benar-benar ingin melihatnya di bawah sinar bulan!
Nekat! Aku menuju kamar Pangeran Alfa, mengetuk, dan kudengar suaranya menanyakan ‘siapa’.
“Aku,” jawabku dan sedetik kemudian dia sudah membukakan pintu.
“Aw aw, Honey-chan, ada apa malam-malam begini? Ayo masuk, apa kau igin ehm ehm denganku?” sapanya dan menarikku masuk.
“Mana mungkin, bodoh!” hardikku.
“Aish, lalu apa?” dia membawaku duduk di tepi ranjang.
“Etto…” aku menggaruk pipiku yang tidak gatal. “Mau keluar tidak? Bulan purnama loh…” aku tercengang saat melihat wajah senyumnya menghilang.
“Ee…umm, well, aku sudah mengantuk. Mungkin lain kali,” ucapnya.
“Mengantuk apanya? Kau masih kelihatan segar tuh!” aku berjalan menghampiri jendela dan berniat membukanya. “Lihatlah di luar, bulannya sangat in—…” ucapanku terhenti saat tangan Pangeran Alfa menekan pintu jendela, mencegahku untuk membukanya. Ia tertunduk sehingga aku tidak bisa melihat tatapan matanya. Meskipun bibirnya menyunggingkan senyum, aku tidak yakin apa ekspresinya saat ini juga benar-benar tersenyum seperti bibirnya.
“Ada…apa…?” sedikit ragu aku bertanya, menatapnya.
“Well, aku Cuma ingin berduaan dengan Honey-chan tanpa ada yang mengintip, hehe,” cengirnya yang langsung membuatku mengomel lagi. Meski dalam hati aku sedikit sanksi apa itu memang alasan yang sebenarnya.
.
.
“Honey-chan,” sapa Pangeran Alfa riang keesokan paginya saat aku berjaga di pintu. “Rajin sekali. Bakal jadi istri yang baik nih.”
“Pangeran, sebaiknya kau bersiap-siap. Hari ini akan ada tamu dari Kerajaan Jheld kan?” kesalku tanpa memedulikan ucapannya.
“Hm…temani aku ganti baju ya…”
Snap!
Rasanya aku ingin menonjok pangeran satu ini.
“Hehe bercanda bercanda, kau tidak perlu bertampang membunuh seperti itu. Ah, tapi aku punya satu permintaan,” ucapnya sebelum membalikkan badannya. “Nanti kau yang jadi pengawal pribadiku saat aku menemui ratu dari Jheld itu ya…”
~My Name Is…~
Rombongan dari Jheld sudah tampak di kejauhan, aku mendampingi Pangeran Alfa di singgasananya. Suara rakyat dan para prajurit terdengar semakin jelas saat rombongan itu tiba di pintu istana, well, akhirnya aku tahu kenapa mereka begitu antusias. Pasalnya, rombongan Jheld itu terdiri atas cewek-cewek cantik dengan pakaian ketat dan terbuka.
“Wow, gedhe banget,” ceplos salah seorang prajurit saat melihat cewek-cewek itu. Aku Cuma bisa sweatdrop, gak nyadar apa kalau dia ada di hadapan Pangeran serta Ratu kerajaan Arthreza ini?
“Pssstt…” pangeran Alfa memanggilku, aku sedikit mencondongkan tuubuh ke arahnya. “Tenang saja, aku lebih suka yang kecil kok,” dan ia dengan sembunyi-sembunyi mengelus bokongku.
“Teme!!!” aku membentak sambil mengacungkan pedangku padanya, tapi langsung sadar posisiku saat hampir seluruh mata tertuju padaku, aku cepat-cepat menyimpan pedangku kembali. Cemberut, sementara Pangeran Alfa tampak cengengesan menatapku.
Singkat cerita, penyambutan untuk Kerajaan Jheld berjalan lancar, pangeran banyak tingkah ini juga sepertinya bisa menjaga sikap untuk tidak terlalu mengacau. Mungkin karena ada baginda ratu—ibunda pangeran—yang mendampinginya.
“Aku turut berduka cita atas ayahmu, ia benar-benar seorang raja yang hebat,” ucap putri dari kerajaan Jheld, Lucy, saat jamuan makan malam besar-besaran di istana.
“Tidak masalah, aku sudah mulai terbiasa. Yeah, itu kan sudah dua tahun yang lalu,” balas pangeran Alfa.
Yeah, terlalu terbiasa sampai penyakit sinting menghampirinya, batinku. Ngomong-ngomong, aku sedang menuangkan anggur ke gelas pangeran. Kau tahu? Dia benar-benar menugasiku menjadi ‘pengawal pribadi’ yang mendampinginya kemanapun, dia sama sekali tak mengizinkanku bergantian berjaga di istana dengan pengawal lainnya.
“Aku sangat menantikan pelantikan Anda menjadi Raja Arthreza,” ucap Putri Lucy.
“Yeah, aku a—…” ucapan Pangeran Alfa terhenti saat Lucy melingkarkan tangannya di lengan pangeran, dan bisa kulihat ia sengaja menekan dadanya yang padat berisi ke lengan pangeran.
Ugh! Apa-apaan dia itu! Tunggu, kenapa aku sewot?
Aku langsung memalingkan wajahku, tapi sebelumnya aku sempat melihat seringaian Pangeran Alfa.
“Ne~ Putri Lucy, mau berdansa denganku?”
Apa?! Apa!! Kenapa dia mengajaknya berdansa?? Apa-apaan nada menggodanya itu?! Kenapa dia menggunakan nada itu pada cewek sialan itu? Biasanya dia melakukannya padaku!!
“Tentu saja, pangeran.”
Dasar cewek kegatelan!! Jangan sentuh Pangeran Al—…tunggu tunggu, kenapa aku tensi sendiri. Aku memijit pelipisku saat kulihat mereka mulai berdansa mengikuti music yang mengalun lembut. Dan entah kenapa aku tidak bisa, atau mungkin tidak berani, menatap mereka. Tapi tetap saja aku mencuri pandang. Dan sekilas aku melihat tangan Pangeran Alfa berusaha meraih dada dan bokong Putri Lucy.
What the Hell!! Dia bilang ‘lebih suka yang kecil’, tapi sekarang apa huh!!!
Uh! Lagi-lagi aku baru sadar. Apa yang aku lakukan? Kan suka-suka dia mau apa? Chee, malah bagus kalau dia menemukan cewek dan berhenti menggodaku! Dan aku melangkah pergi, tidak mampu melihat kemesraan mereka berdua.
Aku keluar dari istana, suasana tidak terlalu ramai dan agak gelap, karena memang jamuannya Cuma di dalam istana. Saat melintasi taman, aku melihat beberapa gadis Jheld yang tampaknya mau ke aula istana, aku mendengar mereka mengobrol.
“Hihi Putri Lucy hebat, dia akan menaklukkan pangeran ganteng itu malam ini.”
“Iya, dengan obat ini sang pangeran pasti tidak akan bisa menolak.”
“Benar benar, eh, Putri Lucy bilang akan mengajak kita melakukan ‘itu’ dengan pangeran kalau kita berhasil meminumkan obat ini padanya kan?”
“Ya, dia kan sudah janji. Hihihi ayo, aku sudah tidak sabar.”
Aku terbelalak mendengar ucapan mereka, lalu dengan langkah tergesa aku kembali memasuki istana lewat jalan yang sedikit memutar supaya mereka tidak curiga kalau aku sudah mencuri dengar. Aku langsung mencari Pangeran Alfa, tapi tidak menemukannya. Aku juga tidak melihat gadis-gadis yang tadi membicarakan soal obat itu.
“Kau tahu di mana Pangeran Alfa?” aku mulai bertanya pada sejumlah prajurit, tapi tak ada yang mengetahuinya.
“Kalau Pangeran Alfa tadi aku melihatnya bersama Putri Lucy,” jawab seorang pengawal Jheld yang kutanyai.
“Mereka kemana?” tanyaku cepat.
“Kurasa mereka masuk ke istana lebih ke dalam.”
Aku bisa menebaknya. Pasti kamar pangeran! Aku melangkahkan kakiku, tapi prajurit itu mencekalku.
“Jangan mengganggu mereka,” ucapnya seraya menatapku tajam. Aku menyentakkan pegangannya dan melanjutkan langkah, dia menghadangku dan mengacungkan pedang.
“Minggir,” ucapku.
“Heh, kau ha—…”
Slash!
Hanya sedetik aku sudah menyabetkan pedangku kepadanya. Aku berhasil melukai perutnya, tapi aku sengaja tidak memberikan luka dalam. Aku langsung pergi dengan langkah cepat. Dari kejauhan masih bisa kudengar ia mengatakan ‘kau sudah menjadikan Jheld sebagai musuhmu! Kau tidak akan lolos!’. Cih! Aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanyalah Pangeran Alfa. Ya, hanya dia!
Brrraakkk!
Aku mendobrak pintu kamar Pangeran Alfa yang terkunci. Dan aku terbelalak melihat pemandangan yang ada. Pangeran Alfa terbaring tak berdaya dengan tubuh bagian atas yang sudah polos, dan di sekelilingnya beberapa gadis sudah nyaris telanjang tengah menyentuhnya. Ya! Menyentuhnya! Gadis-gadis itu terkejut melihatku dan langsung berteriak mengusir saat aku malah berjalan ke arah mereka.
“Apa yang kau lakukan! Pergi dari sini! Pengawal! Pengawal!” teriak Lucy.
Grab!
Aku mencengkeram lengannya kuat. “Get the hell out of here!” ucapku penuh penekanan lalu dengan kasar melemparnya dari ranjang.
“Putri Lucy … Putri Lucy…” yang lain segera pergi dari ranjang dan memapah Lucy. “Kau akan menerima akibatnya!” ancam Lucy sebelum meninggalkan kamar, tapi aku tidak peduli. Aku beralih menatap Pangeran Alfa yang setengah duduk bersandar di kepala ranjang. Aku mendekatinya, nyaris menyentuhnya saat kudengar suara kikikan kecil.
“Hihi…hihihi…hahahaha,” Pangeran Alfa tertawa sementara aku hanya bisa terbelalak menatapnya.
“Kau…kau baik-baik saja?!!!” tukasku.
Ia menyeringai menatapku, lalu melingkarkan kedua tangannya ke leherku dan menarikku turun.
“Kecemburuan ini adalah hadiah terbaik,” ucapnya dan nyaris meraup bibirku kalau aku tidak langsung mendorongnya kasar dan melepaskan diri. Aku menatap marah padanya.
“Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku,” ucapku dingin lalu berlalu pergi dari hadapan pangeran.
Apa-apaan dia itu!!! Setelah aku begitu menghawatirkannya, dan ini yang kudapatkan!! Memangnya dia siapa boleh mempermainkan perasaan orang lain!!
“Honey, tunggu!” kudengar suara pangeran dan suara langkah mengejarku, tapi tanpa menoleh aku malah melangkah makin cepat. Melesat ke bagian belakang istana dimana kulihat beberapa prajurit berkumpul dengan tampang sedikit panik.
“Babi hutan itu besar sekali, hampir seperti banteng!”
“Kita harus memburunya sebelum dia merusak pesta di istana.”
“Tapi bukankah tadi dia sudah lari ke hutan? Untuk apa mengejarnya?”
“Siapa yang menjamin dia tidak akan kembali? Apalagi setelah mencium bau makanan di istana, bisa saja dia malah kembali bersama koloni nya.”
“Biar aku yang mengejar,” ucapku tepat saat Pangeran Alfa berhasil menyamakan langkahnya denganku.
“Eh, tapi…”
“Aku Cuma akan menakutinya sampai dia tidak akan kembali ke istana lagi,” tegasku dan langsung menyambar panah dan menunggangi seekor kuda. Aku langsung memacu kuda itu ke arah hutan, sesaat sebelumnya, kulihat Pangeran Alfa mematung memandang kepergianku, tak bergerak sedikitpun dengan mata terbelalak. Oh yeah, tetaplah di sana pangeran brengsek! Dan kembalilah ke istana untuk melanjutkan mencumbu gadis-gadis itu.
Aku memacu kudaku menuju kegelapan hutan, cahaya bulan tak menyentuh tanah akibat rimbunnya pepohonan. Tapi aku tidak takut, aku membawa senjata, aku ahli berburu, atau mungkin…perasaan marah lah yang menyetirku supaya tidak takut dan menggebah kudaku seenaknya.
“Cih!” decihku kesal dan mengeratkan peganganku pada tali pengandali kuda yang kupegang, lalu menyentaknya sehingga laju kudaku makin cepat. Aku benar-benar marah saat ini, mungkin bukan karena Pangeran Alfa menipuku, tapi ingatan akan tubuhnya yang disentuh oleh orang lain. Entah kenapa aku sangat kesal memikirkannya.
Aku melihat sekelebat bayangan hitam di kejauhan, kurasa itu babi hutannya. Aku menuju bayangan itu, dan ternyata memang benar. aku cukup terkejut dengan ukuran babi hutan itu yang begitu besar, jauh dari bayanganku. Ia menyadari kehadiranku, aku menyiapkan panah dan mengambil jarak lebih dekat. Ia melakukan gerakan mendadak, berbalik dan berlari ke arahku. Aku siap membidik, tapi yang panik malah kudaku, ia berdiri dengan kedua kakinya sambil meringkik keras, aku terlempar dari punggungnya, terbanting keras ke akar pohon besar di belakangku.
“Argh!” erangku, kulihat kudaku kini kabur entah kemana, dan aku jelas dalam bahaya saat kulihat babi itu tak mengurangi kecepatannya menerjang ke arahku. Aku segera bangkit, tapi lalu terjerembah lagi dengan kaki yang terasa begitu sakit. Rupannya aku terkilir. Aku terbelalak tak berdaya menatap mau yang menghampiriku. Hingga…
Jleb!
Craaasshhh! Darah segar memancar dari mata babi itu yang kini tertancap sebuah anak panah. Babi itu meraung keras, lalu kabur dengan cepat menuju kegelapan hutan. Nafasku masih tersengal dan jantungku masih berdetak tak karuan saat kudengar langkah mendekat. Aku terbelalak saat melihat sosok Pangeran Alfa menghampiriku, kudanya dengan setia mengikuti di belakangnya, dan yang membuatku tercengang adalah karena dia masih tak mengenakan pakaian atasnya. Dia masuk ke dalam hutan yang udaranya tentu lebih dengin ini tanpa mengenakan pakaian? Dan aku kembali terbelalak saat ia jatuh di atas lututnya dan menyandarkan seluruh berat tubuhnya padaku, bisa kurasakan tubuhnya gemetar.
“Pangeran…” lirihku sembari berusaha mendekap tubuhnya yang gemetar.
“Aku…” lirihnya dengan suara parau. “Aku benci gelap!”
Deg!
Jantungku seolah berhenti berdetak. Jadi…ia takut gelap? Dan dia memasuki hutan tanpa cahaya ini demi mengejarku? Tunggu…apa itu alasannya malam itu dia menolak saat kuajak keluar? Dia…tidak suka pada kegelapan malam.
“G—Gomen…” lrihku seraya mendekap tubuhnya, membenamkan wajahku di pundaknya. “Gomen…nasai…” aku mendekapnya erat, hingga beberapa saat kemudian aku merasakan angin semilir dari arah belakang. Mungkinkah…
“Pangeran,” aku membawanya bangun dengan kakiku yang terkilir ini, kupaksakan melangkah dan berpura-pura seolah tidak sakit.
“Aku tidak ingin bergerak sampai matahari muncul,” rajuknya.
“Ayolaahhh…” rayuku seraya merangkulnya menuju asal hembusan angin tadi.
“Aku benci bergerak dalam gelap! Kegelapan itu menyakitkan!” ia menutup wajahnya dengan salah satu telapak tangannya. “Kau tidak akan tahu apa ada orang atau tidak, semua suara seolah lenyap ditelannya, seandainya kau melihat cahaya pun kau tidak tahu seberapa dekat atau seberapa jauh cahaya it—…” ucapannya terhenti saat aku menghentikan langkah, atau mungkin karena merasakan semilir angin yang menerpa tubuhnya.
“Hihi,” aku tersenyum menatapnya, ia melepas tangannya dari wajah, lalu menatap ke depan dan perlahan menatap takjub saat melihat tempat terbuka di hadapannya. Sebuah padang rumput dengan bunga berwarna ungu yang seolah menyala karena memantulkan cahaya bulan, juga kunang-kunang yang berterbangan memenuhi udara.
“Disini tidak gelap,” cengirku.
Kami berjalan ke arah cahaya itu, lalu duduk di rerumputan menikmati semilir angin. Aku melepas mantelku dan memakaikannya pada Pangeran Alfa, tapi dia menolaknya.
“Kau saja,” ujarnya.
“Setidaknya aku kan masih pakai baju, tidak sepertimu!” omelku.
“Biar saja,” senyumnya, memakaikan kembali mantelku tapi lalu bergelung nyaman di pangkuanku. “Di sini hangat.” Wajahku langsung memerah karena sikapnya itu. Dia ini benar-benar ahli dalam membuat jantungku bekerja dua kali lipat. Aku menatapnya…sinar bulan benar-benar begitu indah saat menyentuh rambutnya, menyentuh tubuhnya…seolah tubuhnya berbalut cahaya. Tanpa sadar tanganku terulur untuk meraih surai keperakannya, bisa kulihat dia sedikit terkejut, tapi lalu menikmati belaianku di rambunya. Beberapa saat kemudian ia meraih jemariku, mengecupnya.
“Menikahlah denganku,” ucapnya tanpa kuduga.
“Ha—hah? Hahaha kau ini apa-apaan, tidak lucu tauk. Aku ini cowok, kau tidak akan dapat anak dariku.”
“Aku tidak bercanda!” tukasnya. Ia bangkit, lalu membaringkan tubuhku di rerumputan, mengunci kedua tanganku di samping tubuh seperti yang biasa ia lakukan. Aku menatap ke dalam matanya, tak ada kebohongan di sana. “Aku mencintaimu…ini pertama kalinya bagiku mencintai seseorang begitu dalam,” ia menundukkan wajahnya, menyapukan bibirnya ke kulit leherku yang sensitive.
“Ah…” tanpa sadar suara itu muncul dari bibirku.
“Sebentar lagi aku akan diangkat menjadi raja, dan aku harus sudah punya permaisuri. Maukah kau…?” bisiknya intens di telingaku.
Ingin sekali aku mengatakan iya. “Kau gila…” tapi malah kata itu yang meluncur dari mulutku.
“Yeah, kurasa aku memang sudah gila,” ia mengangkat tubuhnya sedikit, menatapku, tersenyum. Sangat manis. Sinar rembulan yang menerpanya benar-benar membutakanku. “Aku mencintaimu…” bisiknya lembut dan kembali mencium tanganku. Aku tak bisa mengucapkan sepatah katapun, tapi mataku tak lepas dari tatapan matanya. “Katakan padaku bagaimana perasaanmu terhadapku,” pintanya.
Aku masih diam, hingga tanpa sadar aku sudah berada dalam rengkuhannya, menikmati setiap sentuhan tubuhnya pada tubuhku, membiarkan bibirku terus mendesah dan menyerukan namanya, tenggelam dalam kenikmatan yang ia berikan kepadaku. Hingga saat aku tak mampu lagi menahan puncak hasratku, aku mendekapnya begitu erat, dan meneriakkan namanya saat pertahanan terakhirku roboh.
“…—aku mencintaimu,” bisikku saat nafas kami mulai teratur dan dia menimpakan seluruh berat badannya padaku, mendekapku erat tanpa memisahkan penghubung terdalam tubuhnya dari tubuhku.
“..aku mencintaimu…” bisikku berulang-ulang.
.
.
.
~Owari~

0 komentar:

Posting Komentar