The November (Oneshoot)


By: Beh
Pernahkah kamu merasa dicampakkan? Ataukah menjadi bagian yang tidak pernah dianggap? Terbuang? Menyendiri? Bahkan terisolasi dari teman teman sekitar?
Aku berjalan terburu buru menyusuri jalan kota Medan yang ramai dipagi hari. Ratusan kendaraan motor lalu lalang di jalanan. Tentu sangat menyulitkan diriku yang 10 menit lagi harus tiba di kantor. Untung saja kosan ku sangat dekat dengan kantorku.
Aku mulai mengisi absen lalu duduk dengan manis di mejaku. Menyalakan komputer dan mengerjakan pekerjaanku segera mungkin. Itulah aktivitas yang sudah aku lakoni selama 2 tahun ini. Sungguh membosankan namun aku tidak punya pilihan lain.
Tak sengaja mataku menangkap kelender, menunjukkan tanggal hari ini, 18 November. Aku tersenyum. lalu rasa itu kembali hadir. Rasa yang benar benar ingin aku lupakan. Mungkin mataku mulai berkaca kaca. Aku segera menghapusnya. Aku tak ingin rekan kerjaku melihatku mewek dipagi hari. Aku lalu melanjutkan pekerjaanku meskipun bayang bayang itu tetap menghantui pikiranku.
***
“Tada...” Ricky mengagetkanku yang tengah melamun memandangi tetesan hujan di jendela. Aku melihat ia membawa satu mapan berisi potongan ayam dan minuman soda. Ya, kami janjian ingin makan malam disalah satu KFC di kota Medan. “Mikirin apa?” tanyanya sambil membagi potongan ayam dan nasi tersebut.
Aku tersenyum. “Hal yang gak penting.” Jawabku seadanya. Aku mulai menikmati makananku tanpa memperdulikan Ricky lagi.
Aku mengenal Ricky dari sebuah broadcast yang dikirim temanku. Awalnya aku hanya menganggapnya biasa saja. Namun seiring berjalannya waktu, aku dan dia menjadi dekat, mungkin disebabkan oleh chatting yang tidak pernah absen dari ponsel kami. Bawaanya cukup dewasa, berkulit putih dan berwajah oriental. Aku, mencintainya. Sangat!
Makan malam itu kami lalui tanpa cerita cerita seperti biasa. Aku sibuk dengan pikiranku begitupun dia. Janggal? Tidak. Kami memang jarang bercerita ketika makan.
Usai makan ia mengajakku ke sebuah mall untuk menghabiskan waktu. Lagi lagi kami saling diam. Hingga ia membuka suara, “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya.
Aku menatapnya. “Aku tak ingin ini semua berlalu.” Jawabku melihatnya yang sedan berkonsentrasi menyetir mobil.
“Emangnya kenapa?” raut wajahnya bingung mentapku.
“Apakah kita akan seperti mereka mereka yang hanya berakhir dengan kesakitan?”
Dia menggenggam tanganku erat. Aku paling suka momen seperti ini. “Kau percaya padaku?”
Aku mengangguk. “Tentu.” Jawabku terus menatapnya.
***
“Happy birthday Honey.” Ujarnya memberi kejutan.
Aku shock ketika melihat kue dengan sebuah lilin kecil yang menyala. “So sweet.” Jawabku terharu. Dia memelukku erat. “Thanks honey.” Ujarku senang. Ini adalah ulang tahun pertama ku diarayakan bersamanya.
“Ayo make a wish sebelum lilinnya meleleh.” Ujarnya.
Aku mengangguk. Aku berdoa kepada Tuhan. Memohon segala sesuatu yang kabarnya bisa terkabul saat hari ulang tahun. Aku tersenyum. Amin. Ujarku. Aku meniup lilin itu hingga padam. Aku tersenyum. ia mengeluarkan sebuah bingkisan kecil. Sepertinya kado untukku.
“Bukalah.” Ujarnya. Aku membukanya. Sebuah jam tangan. Sangat indah sekali. Aku ternganga. Itu pasti mahal namun jujur, aku menyukainya. aku memeluknya dan mengucapkan terima kasih berulang ulang. Dia membalas pelukanku. Lalu wajahnya mendekat ke arahku, aku sudah mengerti akhir dari semua ini dan aku mempersiapkan diriku untuk itu.
***
Suasana mall sungguh ramai. Aku berjalan terburu buru. Kulihat Ricky di ujung koridor. Aku segera menyusulnya. “Hai.” Sapaku sambil terengah-engah. Dia tersenyum lalu merangkulku dan kami berjalan menuju bioskop.
Dia menggenggam tanganku. Entahlah, aku tidak terlalu suka dengan film perperangan dengan alien. Sesekali aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Sesekali dia mengelus elus kepalaku. Aku sangat menyenangi ketika ia melakukan ini. Suasanya bioskop sangat gelap tentu aku sangat leluasa bermanja-ria dengannya di ruang umum.
Usai menonton film, kami bertolak ke sebuah rumah makan. Kami menghabiskan waktu makan malam kami disana. Dia terus membahas hal hal yang tak penting menurutku namun entah kenapa aku sangat tertarik mendengar semuanya.
Diluar restaurant, terdapat sebuah penjaja kaki lima yang menjual aksesoris. Aku tertarik melihat aneka kalung kalung yang unik. Tak lama ponselku berbunyi, dari mama. Aku berjalan menjauh dan mengangkatnya, hanya sekedar menanyakan kabar dan kondisi terkini alias kangen kangenan. Kurasa ada sekitar 10 menit aku menyusul Ricky yang menunggu bosan di depan mobil. Aku berjalan kearahnya. “Yuk.” Ujarku.
Kami masuk ke dalam mobil. “For you...” ujarnya memberikan seutas gelang yang terbuat dari untaian tali dengan berbagai macam warna. Tampaknya biasa saja sih. Aku menerimanya dan mencobanya di tanganku. Namun sepertinya tidak cocok karena warna gelang tali itu bewarna pink, entah dia sengaja memilih warna itu atau memang hanya tersedia warna itu saja.
Aku memindahkannya ke kaki kanan. Tampak sangat cocok. Dia tersenyum lalu kami melanjutkan perjalanan kami menuju rumah masing masing.
***
Sebuah panggilan dari Ricky. Tumben dia telepon malam malam gini. Ujarku membatin. Aku menjawabnya. “Halo...” sapaku.
“Hi. Lagi apa?” ujarnya dari seberang sana. “Aku ganggu ga?”
“Ga kok cuman baring baring aja. Kamu lagi apa?”
“Aku juga baring baring saja.” Ujarnya. “Aku ga bisa bobo. Kangen kamu.”
Aku tersenyum. “Gombal. Kayaknya baru 1 jam ga ketemu Rick.”
“Ya namanya kangen mana bisa ditolak.” Ujarnya seperti terkekeh. “By the way, kenapa kamu memakai gelang itu di kaki?”
“Entahlah aku rasa memang cocok disana. Kenapa kamu mempermasalahkan itu? Kamu ga suka ya?” tanyaku sedikit was-was.
“Ga kok itu cocok. Cuman, tolong, itu jangan dilepas, apapun yang terjadi.”
“Kenapa?” tanyaku aneh. Dia tidak seperti biasanya. “Kamu kenapa?”
“Gak kok. Lepaskan itu ketika kamu sudah benar benar tidak mencintaiku, maka aku akan benar benar pergi dari hidupmu.” Ujarnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung. “Jangan ngawur deh malam malam gini.”
“Tahun baru ini, kamu mau kemana?”
Aku diam berpikir? “Kemana ya? Paling disini saja deh soalnya tanggal 2 nya uda kerja.” Ujarku.
“Gimana kalau kita jalan ke Berastagi?” ajaknya.
“Malas ah, pasti macet.” Ujarku.
“Ayolah...” ujarnya. “Demi aku.”
Aku tersenyum. “Ok lah tapi kita agak cepat berangkatnya.” Kami terdiam sejenak. “Kamu lagi apa sekarang?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Aku sedang berpikir.”
“Apa yang kamu pikirkan?” tanyaku.
“Akankah suatu hari nanti, tanpa diriku kau akan baik baik saja?”
Aku terkejut mendengar kalimat itu. “Apa apaan. Jangan ngaco deh.”
”Aku serius. Aku ingin menjagamu hingga aku menemukan orang yang sanggup melanjutkan perjuanganku.” Ujarnya. Aku bisa mendengar nada suaranya sedikit berat.
“Kamu nangis ya Rick?” tanyaku. “Kamu kenapa bisa bahas begitu?”
“Aku takut kehilanganmu.” Ujarnya.
“Sudahlah, ini sudah malam. Sebaiknya kita bicarakan ini besok ketika ketemu.
“Ok.” Ujarnya.
Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan semua yang diucapkannya.
***
19 November, hari yang paling aku tidak sangka akan menjadi bencana dihidupku. Aku baru tiba dari kantor. Tak lama, aku mendapat sebuah bbm dari teman Ricky, Jhonny, yang mengabarkan bahwa Ricky mengalami kecelakaan kerja dan dia tidak selamat saat perjalanan ke rumah sakit.
Aku tidak percaya. Aku menelepon Ricky namun tidak ada yang mengangkat telepon itu. Entah sudah berapa kali panggilanku tidak terjawab sama sekali, menambah kekhawatiranku. Aku sangat gelisah. Jhonny mengabarkan kalau Ricky sedang dalam perjalanan pulang usai mengaudit laporan dari pabrik kantornya berkerja di Tj. Morawa dan ia mengalami kecelakaan dengan sebuah truk yang mengakibatkan tubuhnya terjepit.
Kakiku lemas membaca pesan itu. Air mataku mengalir. Aku merasa seperti baru saja menerima telepon darinya. Aku sungguh tidak percaya, hingga Jhonny menjemputku dan mengantarku ke tempat rumah duka. Aku terpukul melihat sebuah foto orang yang paling aku cintai di depan sebuah peti. Pihak keluarganya hanya tahu kalau aku adalah sahabatnya. Ia mengizinkan aku melihat jenazahnya. Dia terbujur kaku dengan luka di sekujur wajahnya. Aku tak mampu lagi menahan air mataku.
Keluarganya tampak terpukul. Para sahabat memberikan mereka support. Aku tak kuat. Hatiku hancur. Sakit. Ia berjanji akan menjagaku namun dia telah pergi. Aku bahkan belum melewatkan tahun baru bersamanya, bahkan first anniversary kami. Aku bahkan tidak percaya itu adalah dia. Aku masih mencoba menghubungi teleponnya namun tidak ada yang menjawab. Aku menangis. Masih kuingat pembicaraan kami tadi malam. Dia tidak akan meninggalkanku kalau sebelum ada yang akan menggantikannya untuk membahagiakanku.
Aku kembali menatap fotonya. Aku tidak percaya aku harus memberi doa untuknya. Ricky, panggilku membatin, Honey. Kenapa??? Apakah bahagia itu sangat mahal? Aku rela harus membayar dengan apapun asalkan tubuh dalam peti itu bisa hidup kembali. Aku rela. Kenapa bukan aku saja yang mati? Kenapa harus dia? Ricky. Panggilku lagi. Kepala terlalu berat untuk memikirkan semua ini. Semua gelap. Aku tidak tau apa yang terjadi.
Aku terbangun. Tampak Jhonny dan pacarnya menungguku. Aku tampaknya berada di rumah sakit. Bau obat obatan sangat menyengat. Aku teringat Ricky.
“Ricky mana?” panggilku spontan.
Jhonny menatapku sedih. “Dia akan dimakamkan besok siang. Persiapkan dirimu.” Ujarnya.
Makam? Ricky dimakamkan? Aku tidak percaya akan mendengar kata itu. Sungguh terlalu sakit. Aku menangis. Ricky. Kenapa? Apa kau melihatku sekarang? Bagaimana aku bisa hidup tanpamu?
Aku menatap sebuah nisan berbentuk salib yang tertulis nama Ricky. Aku memandangi gundukan tanah yang baru saja di disusun. Didalamnya terbaring orang yang sangat aku cintai. Aku tersenyum. Aku akan hidup dengan bahagia tanpamu. Dan aku tidak akan melepas gelang yang kau berikan untukku, bahkan tidak untuk sedetikpun. Tidak akan pernah. Karena aku masih mencintaimu. Ujarku membatin. Air mataku tak mampu lagi menetes. Mataku membengkak. Ricky, I LOVE YOU...
Danau toba.
Kami menghabiskan tahun baru masehi bersama rekan kerjaku. Seharusnya aku menghabiskannya bersama di Berastagi. Ledakan kembang api tak mampu menghibur suasana hatiku. Sejak kepergian Ricky aku lebih banyak diam. Aku menutup diri dengan semuanya.
Ricky, selamat tahun baru. Ujarku membatin. Hati kembali merasa seperti tersayat, mataku memanas. Aku berjalan menjauh dari keramaian dan menumpahkan semua air mataku. Tahun baru pertama kami yang seharusnya kami lalui dengan sukacita berubah menjadi dukacita..
Aku memaksa diri menghentikan tangisanku sebelum ada yang menaruh curiga padaku. Aku kembali ke kelompokku dan berpura pura menikmati pesta dengan harapan Ricky hadir disini, bersamaku, menemaniku, memelukku, membelaiku, menggenggam tanganku, seperti yang biasa ia lakukan ketika aku sedang gundah.
Tiba tiba, ada sesuatu yang terjatuh dar tanganku. Jam tangan pemberian Ricky terjatuh. Aku segera meraihnya. Kacanya retak. Hatiku hancur. Kenapa? Batinku. Namun aku tidak akan memperbaikinya karena aku tidak ingin merubah semua pemberian Ricky. Biarlah retakan kaca itu menjadi simbol hatiku yang hancur.
Aku kembali dari kantor. Berbaring di kasurku. 18 November tahun lalu aku mendengar sebuah janji darinya yang akan menjagaku dan tidak ingin meninggalkanku. Aku kembali mentap jam tangan ini. Betapa bahagianya dulu ketika aku menerima jam tangan mahal ini. Namun kini aku hanya menangis sedih melihatnya.
Ricky, kau akan selalu ada di hatiku dan hidupku. Selama gelang ini melekat di kakiku, selama itulah aku akan terus mencintamu. Seperti janjiku padamu.
“Tadi wish kamu apaan hon? Kok lama banget?” ujar Ricky penasaran dengan birthday wish ku.
“Rahasia dong kalau aku kasih tau mana jadi wish lagi.” Jawabku sewot.
Dia tersenyum. “Iya deh.” ujarnya sambil memelukku dan mencumbuiku.
Tuhan. Jika memang kebahagianku hanya ada pada hari ini saja, biarlah aku merasakan bahagia di hari ini, di hari ulang tahunku, tanpa ada sedikitpun yang mengganggu. Tuhan, terima kasih atas orang yang kau utus untuk memberikanku kebahagiaan beberapa bulan terakhir ini. Tuhan, aku bersyukur atas apa yang terjadi kemarin, hari ini dan esok hari. Tuhan, terima kasih...
Amin....
TAMAT!

0 komentar:

Posting Komentar