My Lovely Butler (Lomba Cerpen Bertema Gay)



By : Nugraha Saputra
-----
“Hey, Tuan yang tampan… mengapa kau menangis?” Terdengar suara seorang pria. Suara yang mengubah alur hati seseorang yang sedang patah hati…
-------
Chap 1 : KEDATANGAN
Theodore, biasa dipanggil Theo. Ia adalah anak semata wayang dari kerajaan Andalas. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan dilaut saat menuju keraajan Isla. Sejak kecil ia diasuh oleh kakek dan neneknya serta pelayan di kerajaannya, namun karena urusan kerajaan kakeknya jarang bersama Theo. Meskipun begitu Theo cukup mendapatkan kasih sayang layaknya seorang ibu dari neneknya namun tetap saja Theo merindukan kasih sayang seorang ibu.
Waktupun berlalu, beranjak umur 14 tahun Theo mulai akan mendapatkan pelatihan. Karena ia satu-satunya calon pemimpin kerajaan Andalas. Pagi itu kakeknya mengajak Theo ke Desa Vogel, desa yang terkenal dengan butler-butler yang handal cocok untuk melatih Theo. Untuk mencapai desa Vogel dari kerajaan Andalas harus melewati laut ke keraajaan Isla, kemudian ke kota Shibu dan menyebrangi sungai disanalah desa Vogel.
“Inilah desa Vogel, Theo.” Ucap kakeknya ketika sampai didepan papan besar bertuliskan ‘Welcome to Vogel Village’ yang terubuat dari batu diukir dengan indah… didalamnya terlihat papan berisini selembaran calon butler yang dapat dipilih serta pria-pria berkeliaran menggunakan pakaian khas butler, anak-anak bermain, serta ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian.
“Indah sekali kek.”
“Tentu… Keseburan tanah disini tak jauh berbeda dengan kerjaan kita.”
“Apa yang kita lakukan disini kakek?”
“Kakek mencari butler untukmu, Theo.”
“Hah? Aku tak mau kek… mereka hanya akan menggangu hidupku.”
“Lantas mengapa kau tak pergi ke sekolah, Theo?”
“Ahh… sekolah membosankan… aku lebih memilih bermain di kamarku.”
“Bukankah kau bisa bermain di sekolah… dan mendapat banyak teman Theo.”
“Tak mau kek, aku lebih memilih diam di kerajaan.”
“Hmm… kalau begitu kau akan diawasi oleh butler.”
“Taa-pii…”
Tak jauh dari Theo dan kakeknya berdiri terdengar suara teriakan…
“KAU HARUS CEPAT MELUNASI HUTANGMU.” Teriak seorang pria berbadan kekar, ia menunjuk tangannya kearah seorang pria yang berbadan ideal, dan menggunakan pakaian butler.
“Maaf tuan, orang tuaku tak ada di rumah… mereka pergi berlayar mencari uang untuk membayar hutang kami.” Ucap pria itu dengan lembut.
“AKU TAK PEDULI… KAU HARUS MELUNASINYA HARI INI.” Pria berbadan kekar tersebut marah makin menjadi... namun orang sekeliling hanya memperhatikan, tak ada yang menghentikan.
“Kek… dia kenapa?” Theo menggoyang-goyangkan baju kakeknya.
“Sepertinya ia butler yang terlilit hutang Theo… sekarang kau pergilah ke padang rumput disebelah sana… kakek yakin kau akan senang.”
Theo hanya menurut dan pergi kepadang yang ditunjuk kakek, sementara sang kakek mendekati pria berbadan kekar tadi…
“Aku akan membayarnya.”
“Siapa kau?” Tanya pria berbadan kekar.
“Aku adalah raja dari Andalas dan sedang mencari butler untuk cucuku… “
Pria berbadan kekar tadipun menunduk hormat… Kakekpun memberikan koper yang penuh berisi koin emas, setelah dihitung pas pria berbadan kekar itupun pergi…
“Siapa namamu?”
“Namaku Alan, Tuan.”
“Aku Theus, raja kerajaan Andalas. Mulai hari ini kau akan menjadi butler cucuku.”
“Seperti yang anda inginkan, Tuan.” Ucap Alan sambil menunduk memberikan salam.
Setelah sore, terlihat Theo berlari ke kapal...
“Theo, ini Alan dia akan menjadi butlermu.”
“Aku Alan.”
“Sudah kukatakan aku tak butuh butler kek.” Ucap Theo ketus
Kakeknya hanya terdiam dan merekapun pulang ke kerajaan Andalas.
Diruangan kakek…
“Kau kutugaskan untuk menjaga cucuku, dan melatihnya agar menjadi raja Andalas kelak.”
“Baik, Tuan.” Alan menunduk dan menekuk lutut.
“Besok kau sudah mulai menjalani tugasmu… sekarang pergilah.”
---
Keesokannya… Pagi hari…
“Theo…Theo” Alan mencoba membangunkan Theo yang tertidur pulas…
Theo tak kunjung bangun juga, akhirnya Alan membuka gorden yang menutupi jendela… sinar mentaripun menerpa wajah Theo…
“Heiii… apa yang kau lakukan.”
“Theo… waktunya sarapan…”
“Lancang sekali kau memanggil namaku.”
“Maaf… kalau begitu nona Theo.”
“Haaaaa… nona dengkulmu… aku lelaki tahu… dasar bodoh”
“Tapi kau tampak cantik.”
“Dasar gila…”
“Aku gila karnamu… nona.”
“Cih…”
“Nona… waktunya sekolah.”
“Eh!!??”
Theo kembali tidur…
“Nona, kau tak boleh tidur…” Alan menggoyang-goyangkan tubuh Theo… Theo merasa tak tenang…
“AAAhhhh….. moooooo…..” Theo teriak dan berlari ke kamar kakek dan neneknya.
PRRRAAKKK… Theo membanting pintu…
“Kakek… Nenek… Butler itu gila”
“Gila bagaimana?” sahut nenek
“Ia memanggilku nona, membangunkan ku, dan seenaknya menyuruhku sekolah.”
“Hahahahaha….” Kakek dan neneknya tertawa.
“Apa yang lucu?” Theo mengerutkan dahinya
“Itu urusanmu, Theo. Sekarang kembalilah.”
“Tapi kek… nek bantu aku.”
“nenek tak bisa melakukan apapun… namun nenek akan selalu mendukungmu.”
“Ihh… “ Theo kembali dengan wajah cemberut… dikamarnya berdiri Alan dengan senyum bahagia.
“Selamat datang… nona.”
“Berhenti memanggilku nona, atau kau kupecat.” Theo menatap tajam
“Ups… maaf.” Alan hanya menunduk
Akhirnya Theo pun mengalah, ia pun pergi ke sekolah walaupun dengan mood yang buruk. Setiap hari Alan selalu menemaninya… menunggu didepan gerbang sekolah, menyiapkan makanan, bermain, serta berpegian… Theo yang sebelumnya merasakan sedikit kesepian kini sudah terlihat lebih ceria…
Chap 2 : KEDEKATAN
Alan selalu menemani Theo… ia bagai pendamping Theo. Ia membersihkan kamar Theo, mengantarnya jalan-jalan ataupun ke sekolah… dan Alan sangat sabar menghadapi kemarahan Theo seperti makanan keasinan, Teh yang pahit, atau bahkan pakaian Theo yang robek… namun Alan selalu mencoba memperbaiki kesalahan yang dibuatnya.
Berbulan-bulan mereka semakin dekat, bagaikan kakak dan adik…
Disuatu malam, Theo dan Alan berdiri berdampingan didepan jendelanya… sambil memandangi langit….
“Kau tak seburuk yang kupikir.”
“Benarkah? Dan kau tak secantik yang kupikir.”
“Heii… aku lelaki… seharusnya tampan dong.”
“Hahaha… iya kau taa-…” Alan tertegun… entah mengapa ia merasakan deg-deg an
“Ta apa?”
“Taa… Ta.. Tampan tuan.” Ucapnya tersipu malu.
Theo memandang wajah Alan.
“Wajahmu memerah.”
“Ahh… ettoo… tidak… kok… tuan.”
“Panggil aku Theo.”
“Taa… pii…”
“Ini perintah.”
“Baik… Theo.”
.
.
.
“Ne… kau tahu cinta itu apa?” Theo memandangi langit.
“Hm… ketika kau suka dengan seseorang, melebihi yang orang lain tahu… saat bersamanya kau merasakan tak ingin waktu berjalan… kau merasakan sejuk ketika memandangi wajahnya.”
“hahaha… kau sepertinya pengalaman dengan cinta.”
“Begitulah… karena aku sedang merasakannya…”
“Benarkah?”
Alan terdiam…
.
.
“Theo…” Alan mendekatkan wajahnya ke Theo, tangannya memegangi dagunya… Theo menutup matanya seolah siap ingin dicium…
“ahh….” Alan melepas tangannya…
“Waktunya makan malam… Tuan…” ucapnya lalu turun tanpa menoleh meskipun Theo memanggilnya…
---
“Selamat ulang tahunn… Theo.” Alan berdiri disamping Theo yang tengah tertidur lelap sambil memegangi kue bertuliskan “Happy Birthday… Sweet 17… Theo”
Theo terbangun memandangi kue itu, ia tersenyum lebar… Theo memang kue, berdoa kemudian meniup lilin di kue ulang tahunnya…
“Terima kasih… kau satu-satunya yang memberikanku kehangatan… Alan” ucap Theo dengan lembut, ia ingin menangis… menangis terharu… namun Alan menghapus air mata Theo.
“Kau tak boleh menangis… ini ulang tahunmu loh, Theo.”
Theo hanya mengangguk… Theo kemudian meletakan kue diatas meja, lalu memotongnya…
“Alan… buka mulutmu…”
“Bukannya kau yang harus pertama memakannya?”
“Tidak… kau yang pertama… karena kau special...”
Alan tersipu malu… wajahnya memerah… ia pun membuka mulut dan Theo menyuapi potongan pertam kue nya… Alan langsung menutup wajah dengan tangannya…
“Wajahmu memerah… Alan...”
“Ti..ti..tidak… ini karena stroberi yang kupetik…”
“Hahaha… kau bohong…itu semua tersirat diwajahmu lagian manan bisa aku melihat wajahmu memerah dikegelapan.”
Theo lalu memegangi tangan Alan dengan kedua tangannya, ia mengalihkan tangan Alan dari wajahnya… Alan hanya memalingkan matanya….
“Ne… tatap mataku.”
“Sepertinya aku tak sanggup.” Alan merasakan deg-degan, sedikit gemetaran, wajahnya memerah.
“Tapi ini perintah…”
Alan hanya menggigit bibir bawahnya, ia mencoba memandangi Theo, namun pandangannya selalu teralihkan…
“Wajahmu juga memerah… Theo…”
“Aku tahu…” Theo memalingkan wajahnya.
“Apakah kau merasakannya?” Alan mendekatkan tangan Theo ke dadanya.
“Kau deg-degan… begitupun aku.”
Alan lalu mengangkat dagu Theo…dan… ciuman pun mendarat dibibir Theo… Alan dan Theo menutup mata, menikmati ciuman yang mereka lakukan… dikegelapan…
“Bibirmu lembut.” Alan melepas ciumannya.
Theo hanya terdiam… tak tahu harus berkata apa…
Malam itu menjadi malam yang indah bagi mereka berdua, Theo dan Alan tidur berdua dalam satu ranjang…
Chap 3 : PERPISAHAN
Di kamar kakek dan nenek Theo…
“Sayang, jangan bilang kau lupa ini hari apa?”
“hari ini hari sabtu, bukan? Mana mungkin aku melupakannya.”
“Dasar!!! Memang kau sudah menjadi kakek tua yang pikun.” Ucap nenek mendengkus
“Hahaha… hari ini ulang tahun Theo… mana mungkin aku melupakan ulang tahun cucuku.”
“Kau sudah menyiapkan sesuatu?”
---
Dikamar Theo, terlihat Theo dan Alan tidur berdampingan… dan mereka shirtless…
“Theo… bangun…” ucap Alan yang tidur menghadap Theo, ia menggoyangkan hidung Alan dengan tangannya…
“Theo… Theo… “ Alan terus mencoba membangunkan Theo, namun Theo tak kunjung bangun…
“Theo, kalau kau tak membuka matamu… akan kucium lho.”
Dalam sekejap Theo langsung membuka matanya... dan memandang Alan.
“hahaha… kutahu kau hanya berpura-pura…”
“biar…”
“Theo… apa kau merasa bahagia?”
Theo terdiam sejenak…
“Iya, aku sangat bahagia… bersamamu Alan.” Theo tersenyum, Alan membalas senyumannya…
----
“Apakah sudah siap?” terdengar suara nenek, ia sedang berada didapur bersama kakek menunggu kue yang disiapkan oleh Maid nya selesai…
“Sudah… Your majesty…”
Neneknya pun mengambil kue dan langsung berjalan kekamar Theo bersama kakek, niatnya ingin memberikan kejutan ulang tahun Theo…
Sampai didepan kamar Theo kakek pun langsung membukakan pintu kamar Theo dan…
“Surprisee… Selamat Ulang Tahun… Theo… Cucu Tersayangku…” teriak kakek dan nenek sambil membukakan pintu…
“Th--…eo” nenek terheran melihat pemandangan Theo yang sedang tertidur bersama Alan… saling memandang…
“APA YANG KAU LAKUKAN?” teriak sang kakek, mata sang kakek membesar… matanya menjadi merah…
“Kakekk…” Theo dan Alan terbangun. Theo terlihat ingin menangis, Alan hanya tertunduk…
“KAU… BUTLER SIAL… KAU KUPECAT…” kakek menunjuk Alan… Alan hanya mengangguk…
“Kek… jangan kek… aku bisa menjelaskannya…” ucap Theo lalu mendekat dan memeluk kaki kakeknya… ia memohon… matanya mengeluarkan air mata… namun kakek tak menghiraukannya…
“KELUAR…”
Alan pun keluar… ia menunduk… tak berani memandang kakek dan nenek… hanya memandang mata Theo… Alan pun berjalan… menjauh… dan hilang dari pandangan mata.
PLAKKKK… kue yang dipegang nenek terjatuh… nenek memegang jantungnya… ia terjatuh perlahan…
“PELAYAN… PELAYAN…” teriak sang kakek panik… Theo pun panik… beberapa pelayan langsung datang dan mengangat nenek kekamarnya…
---
Nenek terbaring lemas dikasurnya, Theo hanya bisa memandangi neneknya dari samping tempat tidurnya… melihat dokter kerajaan memeriksa…
“Your Majesty hanya terkena shock ringan saja… ia hanya butuh sedikit istrihat untuk memulihkan staminanya.” Ucap sang dokter lalu pergi…
Kakek hanya mendekat ke samping kanan nenek dan duduk didekatnya, bersama Theo dibelakangnya… namun Theo hanya terdiam…
Beberapa saat kemudian nenek membuka matanya…
“Sayang… sayang…” kakek memegang tangan nenek
“Nek…” ucap Theo dengan suara pelan…
.
.
.
“Theo…”
Theo pun mendekat ke nenek, kakek pun berdiri disamping Theo…
Nenek hanya mengusap rambut Theo, Theo menangis…
“Nenek… Kakek… maafkan aku…”
“Tak ada yang perlu dimaafkan Theo…” ucap sang nenek dengan lembut…
Theo hanya menangis… sambil memegangi tangan sang nenek yang terasa dingin…
“Kau berhak mencari cintamu… tak perduli siapa dan dimana…”
“Tapi nek…”
“Theo, sudah sejak orang tuamu meninggal nenek jarang melihatmu bahagia, tersenyum tulus… nenek sangat senang melihatmu begitu. Benarkan, sayang?”
Kakek hanya terdiam… Ia terihat sedikit tersenyum…
“Pergilah Theo, sebelum terlambat…”
“Pergi? Aku harus kemana nek?”
“Mencari cintamu… Theo”
Theo baru sadar kalau Alan sudah diusir… dan pasti ia kembali ke desanya untuk mencari majikan baru…
Nenek hanya memberikan senyuman, senyuman pemberi semangat… Theo pun berdiri, ia menatap nenek… melihat senyuman nenek ia pun berjalan dan menatap kakek… sang kakek hanya memalingkan wajah…
“pergilah.” Ucap sang kakek sambil menjatuhkan kantung, dengan sengaja… sebuah kantung berisi koin emas.
Theo pun pergi… mencari Alan ke Desa Vogel…
Chap 4 : PENCARIAN
Theo memulai perjalannanya dengan seekor kuda, ia juga membawa sekantung koin emas yang diberi oleh kakeknya…
Theo pun bergegas menuju pelabuhan kerajaannya, disana ia melihat sebuah kapal besar yang siap berangkat… terlihat seorang kru kapal sedang mengecek tiket penumpang…
“apakah kapal ini akan menuju Kerajaan Isla?” Tanya Theo kepada salah satu kru kapal tersebut
“Iya, mana tiketmu?”
“Aku tak punya…”
“Cih… tanpa tiket kau tak bisa berangkat…bodoh.”
Theo tak menghiraukan, ia lalu pergi mencari konter tiket, namun sayang… habis… ia pun kembali ke kru kapal tadi…
“Aku harus ke kerajaan Isla.”
“kau butuh tiket... telingamu tuli ya.”
“Sudah kubilang aku tak punya.”
“berarti kau tak bisa berlayar… pergi… kau mengganggu.”
“aku akan bayar… dengan koin 1 emas…” Theo menunjukan koin emasnya
“3 koin…”
“Oke…”
Tanpa pikir panjang, Theo memberikan 3 koin emasnya, ia pun dapat berlayar menuju kerajaan Isla… Ia tak dapat membawa kudanya, karena hewan tak diijinkan…
Sesampainya di pelabuhan kerajaan Isla, Theo terlihat bingung… melihat orang-orang lalu lalang… ia hanya terdiam sambil memegangi kantungnya yang berisi koin emas… Theo berjalan mencari kendaraan yang bisa ia gunakan… ia pun melihat sebuah kereta kuda yang membawa jerami, didepannya terlihat dua pria yang memakai pakaian agak kumuh… Theo pun mengehntikan kereta tersebut…
“Berhentiii…”
“Heiii… kau menghalangi jalan kami.” Ucap lelaki pertama
“Kau cari mati ya.” Bentak pria kedua
“kalian harus mengantarkanku ke kota Shibu… sekarang!!”
“haaaahhh… kau pikir kau siapa memerintah kami..” bentak pria kedua
Theo langsung menunjukan kantongnya dan menggoyangkannya… suara gemercik yang ditimbulkan menandakan ada uang didalam kantong tersebut.
Akhirnya Theo pun naik… diperjalanan pria kedua memberikan kode aneh kepada pria pertama… kode yang hanya dimengerti mereka berdua… namun Theo tak memerhatikan itu… ia tertidur pulas ditumpukan jerami…
“Kau sudah sampai…” ucap pria pertama
Theo pun terbangun… ia pun turun dan memberikan beberapa koin emasnya ke kedua pria tersebut…
“Ini upah kalian…”
“Hanya segini? Kau telah membuang waktu kami… sini berikan kantungnya.” Pria kedua merebut kantung Theo… namun Theo menahan kantungnya… merekapun saling tarik-menarik…
“LEPASKAN”
“TAK AKAN”
BRUKKK…. Pria kedua tersebut menendang Theo hingga jatuh… mereka pun pergi melesat, sekejap hilang dari pandangan Theo…
Theo berdiri dan membersihkan pakaiannya, ia bingung apa yang harus ia lakukan… ia pun memutuskan untuk masuk kedalam kota Shibu… hari sudah mulai gelap… Theo ingin mencari penginapan namun ia sadar tak memegang uang sepeserpun… ia pun menuju toko pakaian…
Kriing…kring… bel berbunyi menandakan ada pelanggan datang di toko pakaian tersebut…
“Aku ingin menjual pakaianku…” Theo berdiri didepan seorang wanita tua, ia tampak seperti pemilik toko pakaian…
Wanita tua itu melihat sejenak pakaian yang digunakan Theo, ia kagum…
“Aku akan berikan 5 koin emas, dan pakaian lengkap pengganti.”
“apa? Hanya 5 koin? Kau bercanda… seharusnya ini 10 koin emas..”
Wanita tua itu menggeleng-geleng…
“Aku tak mampu membayar semahal itu... kau bisa mencari toko pakaian yang lain, namun di kota ini hanya toko ini saja yang menjual pakaian.”
Theo terdiam sejenak…
“Apakah aku bisa pergi ke Desa Vogel disebrang?”
“Ya, tentu… kau harus membayar 5 koin emas…”
“5 koin emas? Lalu aku akan tidur dimana…”
Theo berdebat dalam pikirannya, apakah ia harus tidur dijalanan untuk dapat ke desa Vogel mencari Alan? atau ia harus menggunakannya untuk menginap dan mencari uang keesokan harinya… Ia terdiam…
“Aku akan memberikanmu tumpangan jika kau mau menjual pakaianmu… kuharap kau mau.”
“AKU MAU.” Ucap Theo tanpa pikir panjang
Theo pun menginap ditoko tersebut, ia pun diantar ke kamar oleh wanita tua itu… terlihat kamar itu bersih… tertata rapi… seperti kamar seorang remaja…
“Ini bekas kamar putraku, namun sayang ia telah tiada.”
Wanita tua itupun pergi…
Chap 5 : HARAPAN
Keesokan paginya Theo pamit kepada wanita tua itu… ia pun menuju pelabuhan dan memberikan seluruh koin emasnya untuk menuju Desa Vogel…
Sesampainya di desa Vogel, Theo menanyakan tempat tinggal Alan kepada penduduk yang dilihatnya… kemudia ia pun pergi menuju rumah Alan… terlihat rumah sederhana Alan bercat coklat… ia mengingat ketika Alan dibentak oleh seorang pria kekar…
Akhirnya ia pun sampai didepan rumah Alan, kemudian dibunyikan belnya…
kringg… kringgg….. kringg…
tapi tak ada jawaban, Theo terus membunyikan bel… namun tetap tak ada tanda adanya orang didalam… Theo pun membuka pintu dengan pelan dan melihat sekitar ruang... ternyata kosong, hanya terlihat peralatan rumah yang tertata rapi… ia pun naik ke lantai dua dan melihat tiga ruangan... ia membuka ruangan pertama, isinya hanya kamar yang tertata rapi yang bercat pink, sepertinya kamar ibunya... kemudian ia melihat kamar kedua, ternyata isinya hanya koleksi piringan hitam dan terdengar musik klasik dari pemutar piringan hitam itu...
‘kamar ayah Alan’ pikir Theo
Theo pun menuju kamar terakhir yang terletak agak jauh dari kamar kedua, ketika berjalan ia mendengar suara aneh... suara desahan pria yang tak ia kenal... ia pun lantas berlari dan membuka pintu ternyata Alan sedang berciuman dengan seorang pria yang tak ia kenal...
melihat itu sejenak hati Theo terasa hancur bagai sebuah kapan yang diterjang ombak besar, ia pun berlari keluar dengan wajah sedih hampir menangis...
Alan pun mengejar Theo, kemudan ditengah jalan mereka bertengar... sedikit orang
memperhatikannya... Alan menunduk memegang kaki Theo memelas kepada dan mengatakan bahwa ia amat sangat mencintai Theo…
Alan berdiri memeluk Theo... Theo sedikit tersipu namun belum terhapus kesedihannya...
kemudian datang pria tadi dan berkata,"Honey, apa yang kau lakukan?"...
serentak Theo melepas rangkulan Alan
"Shit" bentak Alan dengan suara pelan...
.
.
“Kau tak perlu memaksakan cintamu Alan…” Theo tersenyum, senyum kesedihan
Alan tertunduk...
Theo pun pergi meninggalkan Alan… menunduk dan menangis... tak memperdulikan siapa dan apa yang ada didepannya... Theo meratapi cintanya yang ternyata tak berbalas... namun ia merasa puas karena tak terjerat dalam kepalsuan cinta Alan
“Hey, Tuan yang tampan… mengapa kau menangis?” Terdengar suara lembut memanggil Theo
Theo tidak menghiraukannya… beberapa kali pria itu memanggil sampai pria itu berdiri didepannya dan Theo pun menabraknya.
"Ouch!! Kau menghalangi jalanku."
Pria itu terlihat lebih tinggi disbanding Theo, postur tubuh yang ideal, dan menggunakan pakaian khas butler…
"Aku ingin berbicara denganmu, Tuan."
"Kau menangis, Tuan?" lanjutnya…
Theo tidak menjawab dan menunduk memalingkan wajahnya dari pria itu... pria itu kemudian mendekatkan wajahnya ke Theo tapi Theo tetap mengelak...
Pria itupun memegang dagu dan tangan kiri Theo dengan tangan kananya... terlihat Theo menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya...
Pria itupun memeluk Theo dengan erat... Theo menangis didada pria itu... melepaskan apa rasanya yang hampir mati layaknya bunga yang tak mendapatkan cahaya...
Pria itupun melepaskan rangkulannya dan mendekatkan bibirnya ke Theo dan... plukk...
merekapun berciuman...
Theo pun kaget dan tak mengatakan apapun...
"Namaku Paul... dan aku mencintaimu."
'Hah? perkenalan macam apa ini?' pikir Theo
"Bagaimana kau mencintai seorang yang baru saja kau temui?" ucap Theo heran
"Kau pikir aku baru mengenalmu? aku telah menunggumu selama 3 tahun sejak kau kemari dengan kakekmu."
FLASHBACK...
Theo datang bersama kakeknya mencari butler… Karena adanya keributan, kakek Theo menyuruh Theo untuk bermain di lading rumpur Desa Vogel tersebut…
Theo pun berjalan dan menemukan ladang yang luas, dengan banyak bunga yang bertumbuhan...
disana ia bermain... dan angin yang kencang menerbangkan topinya tinggi...
"Topi kesayanganku..." teriaknya ... kemudian ia mengejarnya namun tersandung batu...
ia pun menangis...
"Hey, Tuan yang tampan." terdengar suara lembut didepan Theo...
ternyata ada seorang anak lelaki yang berdiri didepannya sambil menyodorkan topi Theo yang terbang tadi...
"Topi ku.." ucapnya bahagia, Tohe pun langsung mengambil topi nya dan memakainya dikepalanya...
anak laki-laki itu hanya tersenyum...
“kau ingin bermain?” ajak anak laki-laki itu…
mereka pun bermain bersama hingga hari sore... berlari saling berkejaran, memanjat pohon, tak sesekali mereka terjatuh karena batu di padang itu memang sering memakan korban…
.
.
Setelah lelah bermain mereka berbaring dibawah rindangnya pohon sambil melihat langit... mereka berpegangan tangan...
"Hari yang indah..." ucap Theo
"kupikir kau tak menikmatinya." ucap anak lelaki itu
"Aku menikmatinya kok."
“Aku Theo…” lanjutnya…
“Paul…”
.
*Hening...*
.
"Sepertinya aku menyukaimu." ucap Paul
"Ya... aku juga."
"Benarkah? jadi aku boleh menciummu?"
"Hah? apa yang kau maksud? bukankah kau menyukaiku sebagai teman?"
"Ya, aku memang menyukaimu sebagai teman... tapi aku akan lebih menyukaimu sebagai kekasih."
"Kau bercanda? mana mungkin bisa begitu... itu menentang hukum alam."
"Mau bagaimana lagi... sepertinya aku telah menurunkan pertahananku."
*Hening...*
.
"Bolehkan aku menciummu?" Paul memelas
Theo terdiam... ia seperti sedang berpikir.
.
"Jika kita bertemu satu kali lagi, kau boleh melakukannya."
"Baiklah... aku akan menunggumu... aku akan menjadi butler dikerajaanmu."
.
hari itupun berakhir...
-END OF FLASHBACK
"Jadi kau pria itu?" Theo heran
"Iya... kau mengingatnya saja sudah membuatku bahagia."
"Kupikir itu hanya sebuah lelucon... kau terlihat seperti butler handal."
"Setelah yang kulakukan... apa aku terlihat bercanda?"
"Tidak juga." ucap Theo sambil menghapus air matanya.
"Kau menepati janjimu..." lanjutnya...
*Hening...*
.
*Hening...*
.
Theo dan Paul tersenyum... mereka saling memandang satu sama lain
"Hey tuan yang tampan. Bolehkan aku menciummu?"
Theo terlihat memerah... ia terdiam sementara...
“Bukankah kau baru saja menciumku?”
“Tapi itu tanpa seijinmu…”
Paul menatap mata Theo, matanya yang berwarna biru langit menatap mata Theo… tatapan mata yang penuh harapan…
"Boleh... Tapi..."
.
.
.
.
"Kalau kau berjanji akan menjadi butlerku.... selamanya..."
"Aku berjanji..." ucap Paul itu tanpa ragu..
Theo dan Paul pun berciuman lagi... namun ciuman ini penuh rasa cinta dikeduanya...
-THE END-
Produced By : YI, CKP, KPU

0 komentar:

Posting Komentar