A Man In My Eyes (CERPEN)


By : Gaara Nyunyul
‪#‎choi‬
“Cerita ini kudedikasikan untuk sahabatku “Kun” yang telah pergi dan tak akan pernah kembali..! Terimakasih atas kehadiranmu di hidupku dan hidup “Pii” selama lima tahun ini, walau hanya sekejap saja.. Pii Loves Kun”
Ada banyak hal yang harus dilakukan di tempat ini, sama dengan sepercik harapan yang muncul terkadang dalam setiap mimpi yang menghantui setiap tidurku. Aku bukan orang yang hebat, yang mampu membawa namaku melambung hingga dikenal jutaan atau bahkan puluhan orang sekalipun. Aku hanya menginginkan tempat sunyi damai, tanpa ada cerita dan masalah rumit yang selalu mampir tanpa izin dalam hidupku. Kurasa aku akan menceritakan banyak hal di sini, bagaimana kehidupanku sejak kecil hingga sekarang, dengan siapa aku tinggal, bagaimana masa kecilku, juga.. bagaimana aku jatuh cinta...
Aku laki-laki. Ya, laki-laki dengan jakun di leherku, tanpa buah dada, tanpa rahim, dan tanpa hal lain yang dimiliki oleh wanita pada umumnya. Tentu, karena aku memang laki-laki. Cowok. Aku bukan lelaki spesial, sekali lagi aku hanyalah laki-laki biasa yang mengidamkan tempat damai dan tenang tanpa masalah. Tapi sepertinya tempat itu sangat mustahil untuk didapat, karena sekarang... saat ini... ada sosok lelaki lain yang sedang duduk di depanku dengan senyum dan seringai iblis khasnya. Cowok yang sangat kutakuti di dunia ini selain Ayahku, cowok yang dengan semena-mena akan melakukan apapun demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Ya.. dia semacam..... Psikopat!
“Kemarin kamu pergi ke mana?” suaranya bertanya pelan, namun nada tajam itu masih mengusik telingaku. Aku hanya membisu. Bukanya aku takut untuk bersuara namun kalau aku jawab, dia akan semakin memperpanjang masalah ini. Masalah sepele ini!
“Ke ulang tahun Nina,” jawabku cepat. Aku memang pergi ke ulang tahun salah satu temanku. Kemarin malam salah satu teman sekelasku ulang tahun yang ke tujuh belas, tentu saja aku harus menghadirinya karena dia mengundangku.
“Kenapa nggak bilang?” suaranya terdengar tajam lagi-lagi. Aku menghembuskan nafas gusar.
“Kenapa aku harus bilang semua hal yang aku lakukan?,” tanyaku lagi, kesal. “Nina kan temanku..” aku menjawab pelan, nyaris berbisik. Cowok bernama Revo di depanku ini hanya tersenyum, tidak.. dia menyeringai seperti biasanya. Aku begidik ngeri, membayangkan jiwa psikopat dan posesif mutlaknya muncul lagi.
“Kenapa kamu nggak bilang ke aku? Kamu pergi kemana kemarin, Sandy?”
“Aku beneran pergi ke rumah Nina. Dia ulang tahun kemarin. Aku nggak bilang, karena nggak mungkin aku ngajak kamu, kamu kan nggak diundang!” aku nyaris berteriak. Untung saja sekolah sudah mulai sepi, hanya tinggal beberapa siswa yang berseliweran tanpa memperdulikan pertengkaran kami. Dua orang cowok sedang bersitegang di belakang gudang sekolah? Pasti yang mereka pikirkan adalah kami sedang memperebutkan cewek. Haha... sayangnya Revo bukan cowok yang tertarik pada perempuan, bahkan secantik apapun dia.
Revo Vanial Faroshi. Dia adalah teman masa kecilku. Kami tumbuh besar bersama, sejak TK, SD, SMP, bahkan sampai SMA seperti sekarang ini. Dia selalu mengekor kemanapun aku pergi. Sedikitpun dia tak pernah membiarkan aku bebas melakukan hal yang kuinginkan sendirian. Juga, apa yang terjadi sebenarnya aku masih belum paham, mengapa sejak TK hingga sekarang dia selalu ditempatkan dalam kelas yang sama denganku. Itu yang masih jadi pertanyaanku. Apa dia merayu kepala sekolah? Apa dia menyogok kepala sekolah? Tentu saja itu bukan hal yang mustahil, Revo adalah salah satu putra tunggal dari keluarga yang sangat berada, berbeda denganku yang berasal dari keluarga yang sederhana.
“Please deh, Vo... Jangan bahas masalah ini lagi..!” aku mencoba mengakhiri perdebatan ini. Ekspresi Revo masih sama. Seringai tampak jelas di wajahnya. Aku membisu seketika.
Aku tidak tahu sejak kapan teman kecilku ini berubah seperti ini. Awalnya dia adalah anak yang manis, semua orang menyukainya. Dia anak yang baik hati, suka menolong, ramah, dan juga ceria. Sebagai anak tunggal keluarga yang sangat berada, dia pasti mendapatkan semua yang dia inginkan. Wajahnya juga tampan dan manis secara bersamaan. Aku masih belum bisa mengerti, apa yang terjadi sehingga Revo manis yang dulu selalu menjemputku dan mengunjungiku hingga menginap di rumahku berubah menjadi sosok cowok yang sangat posesif seperti ini. Terus terang aku salah paham. Ada apa dengannya? Bukankah ini terlalu berlebihan untuk sekedar sahabat? Sama-sama cowok pula...
“Jangan lakukan itu ke aku lagi...!” tatapan Revo melembut, tangan kanannya mengelus pelan pipiku. Aku beku di tempatku. Entah mengapa perlakuan Revo terkadang membuat jantungku berdegup kencang dan membuat keringat dingin mengucur keras dari keningku. Aku merasa takut pada perasaan ini. Aku hanya terdiam, lalu memalingkan wajahku, menghindari tatapan matanya.
Kami pulang bersama seperti biasanya, dengan mobil Revo tentu saja. Aku masih membisu selama perjalanan. Revo juga membisu, namun aku tahu kalau sesekali dia menoleh ke arahku. Mobil Revo memasuki halaman rumahku. Rumahku memang hanya rumah sederhana yang berada di perumahan biasa. Kakakku keluar dari dalam rumah, menyambutku seperti biasanya.
“Revo nggak mampir dulu?” kak Sany bertanya cepat. Revo tersenyum dan menggeleng pelan.
“Nggak usah, deh kak...! Lain kali aja..” Revo menolak sambil tersenyum manis. Senyuman palsu yang selalu dia tunjukkan ke orang lain, karena sebenarnya dia lebih suka menyeringai di depanku. Seperti seringaian harimau yang kelaparan. Menakutkan.
“Sekalian makan siang, yuk! Atau kamu mulai nggak level, nih makan masakan rumahan? Koki kamu di rumah pasti udah nyiapin makanan mewah..” kak Sany, kakak perempuanku satu-satunya mulai menggoda. Revo menggeleng sambil menggaruk tengkuknya.
“Iya, deh kalau kakak maksa...” Revo cengengesan dan akhirnya masuk ke dalam rumahku. Dia sudah bagaikan keluargaku sendiri. Ibuku meninggal ketika aku TK karena kecelakaan, sedangkan Ayahku sudah lama meninggal ketika aku masih dalam kandungan. Bagaimanapun, hanya kak Sany dan Revo yang kupunya sekarang. Mungkin sifat posesif Revo muncul karena dia merasa kalau aku kesepian. Yah, siapa tahu saja begitu!
Revo sudah duduk manis di meja makan sambil menuangkan nasi dan lauk pauk ke dalam piringnya dengan wajah ceria. Tangan kanannya sibuk dengan nasi di depannya, namun Blegh! Tangan kirinya tiba-tiba menarik tubuhku dan tak dapat dihindari lagi aku jatuh ke pangkuannya. Aku gelagapan, sementara wajah Revo sudah menempel erat di pipiku. Aku bengong, seiring dengan berdegupnya jantungku secara gila-gilaan. Aku sadar dan langsung melompat dari pangkuannya.
“Kamu apa-apaan?” wajahku sudah merah karena malu, namun aku menutupi rasa maluku dengan ekspresi pura-pura kesalku. Revo menyeringai lagi-lagi.
“Dari dulu juga kita sering pangku-pangkuan...!” suaranya berubah menjadi menyebalkan di telingaku. Aku kembali membisu. Aku beranjak ke kursi seberang dan akhirnya sibuk dengan makanan di depanku. Aku masih merasa kikuk untuk sekedar menatap Revo, mengingat masa kecil kami yang sangat yah.. saling peluk, saling cium, bergandengan tangan, bahkan mandi bersama. Itu dulu, ketika kami masih kecil! Untuk sementara, aku akan mencoba menutupi rasa malu ini! Perasaan apa ini? Aku mirip seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Eh, jatuh cinta? Dengan Revo? Ah, tidak!
***
Aku mengerjapkan mataku perlahan saat sinar matahari menyeruak dari sela gorden kamarku. Aku menguap dan akhirnya memaksakan diriku untuk bangkit dari tidurku. Perlahan aku meraih HP di sebelah bantalku dan membuka kunci HPku sampai mataku terbelalak kaget melihat sekitar seratus missed call dan puluhan SMS masuk ke HPku. Dari orang yang sama. Revo! Isinya juga hampir sama. “Dimana? Ngapain? Balas SMSku! Angkat teleponku!” dan SMS-SMS lainnya dengan nada yang sama. Aku mengacak gusar rambutku, sampai HPku berkedap-kedip. Panggilan. Revo.
Dengan wajah masih mengantuk aku segera menekan tombol jawab. Hal pertama yang kudengar saat menempelkan HP di telingaku adalah...
“Kamu kemana aja? Aku telepon berkali-kali, SMS berkali-kali...” suara Revo terdengar kacau di seberang sana. Aku menghembuskan nafasku kesal.
“Kamu gila atau pura-pura bego? Kamu telepon dan SMS jam berapa? Aku udah tidur, tau!” aku berteriak kencang. Suara nafas Revo terdengar gusar.
“Kamu udah bangun?” nada suaranya berubah serak.
“Ini baru aja bangun... Kenapa?”
“Aku di depan rumah kamu sekarang.” Jawaban Revo membuat mataku terbelalak kaget. Dalam sekejap aku melompat dari kasurku dan langsung membuka pintu depan. Revo berdiri di dekat mobilnya dengan wajah kusut. Tampak sekali kalau dia tidak tidur semalaman. Aku menghampirinya dan begitu melihatku berjalan ke arahnya, dia langsung menyambutku dan memelukku spontan.
“Kamu kenapa? Kamu nggak tidur semalaman dan nunggu di sini?” aku bertanya langsung. Revo mengangguk. “Ngapain?,” lanjutku tiba-tiba.
“Aku kangen kamu... Nggak boleh?” wajah Revo memelas. Wajah kusut khas orang begadang terlihat dari wajah tampannya. Bawah matanya menghitam khas orang kurang tidur.
“Kan masih bisa ketemu besoknya...” sebelum aku sempat melanjutkan ucapanku, tubuh Revo sudah ambruk menimpa tubuhku. Aku yang kehilangan kesadaran akhirnya ikut terjatuh dengan posisi badan di bawahnya. Dia menindih tubuh mungilku.
“Aku kangen kamu.. Kangen banget...” Revo mulai meracau tak jelas. Aku meraba keningnya. Panas. Pantas saja, dia demam tinggi!
***
Bayi besar itu sudah bangun dan duduk di atas kasurku sambil berselonjor kaki. Sementara itu aku duduk di sebelahnya dan sibuk menyuapi dia bubur buatanku sendiri. Revo menatapku lembut, sementara aku berkali-kali mendengus kesal.
“Lihat nih hasil ulah kamu sendiri! Sekarang kamu jadi sakit, aku juga yang repot. Bolos sekolah, lagi!” aku berteriak kencang dengan wajah kesal. Revo menatapku datar, lalu dalam sekejap seringai itu muncul lagi.
“Kamu udah bisa senyum, tuh.. berarti kamu udah sembuh..! Sana pulang!” aku mengusirnya galak walau sebenarnya aku merasa cemas dengan keadaannya. Revo menggenggam tanganku lalu memelukku erat hingga aku jatuh menimpanya.
“Hangat...” bisiknya perlahan, sebelum akhirnya dia kembali tertidur.
Aku menatap wajah damainya ketika tidur. Perlahan sekelebat rasa bersalah muncul dalam hatiku. Ada rasa ingin berada di sampingnya, walau yang dia lakukan hanya tersenyum saja ketika aku berbicara, atau dia hanya tersenyum ketika aku marah, atau bahkan ketika aku sedang sedih pun dia pasti nekat menyakiti dirinya sendiri agar dia juga ikut merasakan sakit sepertiku. Dia benar-benar seperti psikopat. Ya, psikopat yang sangat kusayangi.
Perlahan tangan Revo bergerak gelisah, namun saat dia sudah membuka matanya hal pertama yang dia lakukan adalah menarik tangaku dan memelukku erat sampai aku kehabisan nafas. Aku hanya bisa membisu melihat tingkahnya.
“Aku sayang banget sama kamu...” itu kata-kata yang muncul untuk kesejuta kalinya dari mulutnya. Aku hanya bisa membisu mendengarkan ucapannya, walau sebenarnya ada perasaan lain yang kurasakan ketika dia mengatakan itu padaku. Ada getaran yang muncul, dan itu sangat menggangguku. Aku menyayanginya, namun aku takut perasaan ini semakin dalam, karena nantinya akan banyak orang yang akan menghina dan menghujat perasaan ini. Aku hanya tidak ingin banyak orang yang menyayangiku menderita karena perasaan ini. Perasaan terlarang kepada seorang cowok sepertiku.
Mata Revo berkedip, lalu menatap mataku. Aku balik menatap matanya. Aku menghembuskan nafas kasar dan langsung berteriak kencang ke arahnya.
“Gara-gara kamu, nih aku bolos sekolah...” aku hanya menatap matanya dengan wajah kesal. Revo berkedip sekali lagi, lalu menyunggingkan bibirnya. Menyeringai. Senyum yang sangat aku benci selama ini.
“Terimakasih...” dia tersenyum sekali lagi. Aku memalingkan wajahku dan langsung melepaskan diri dari pelukannya. Aku pergi sebelum perasaanku semakin kacau. Perasaan terlarang ini muncul lagi!
***
“Kamu ngapain?” suaraku hampir delapan oktaf tingginya saat melihat Revo sedang duduk di atas kasurku sambil membuka-buka album foto masa kecilku. Dia masih belum mengganti seragamnya dengan baju bebas. Asal kalian tahu saja, dia telah memutuskan dengan sepihak kalau dia akan tinggal di sini, di rumahku! Sekamar denganku!
“Kamu dari dulu manis banget, ya?” suaranya terdengar menyebalkan di telingaku. Dia tergelak geli dan bahagia. Aku semakin kesal dengan ekspresi itu. “Balikin!!” aku kembali berteriak, melompat ke atas kasurku dan mencoba merebut album fotoku di tangannya. Namun Revo lebih gesit dariku, dia menjauhkan album fotoku dari jangkauanku.
“Aku cuma pengen mengenang masa lalu kita...” wajahnya kembali memelas, dan jangan lupakan senyum ala seringaian itu!
“Nggak ada yang bagus untuk dikenang. Dari dulu kamu nempel melulu, bosen deh sampe sekarang masih aja nggak bisa berubah..!” wajahku terlipat sempurna, khas wajah orang kesal yang sedang digoda.
“Kamu selalu memesona sejak dulu...” dia tersenyum lalu menjauhkan tanganku. Dia mendudukkan pantatnya kembali di atas kasurku. Mau tak mau aku juga menyerah dan duduk di sebelahnya. Kami menatap foto-foto itu sambil tertawa geli, mengenang masa lalu kami. Hampir semua foto itu penuh dengan foto kami berdua. Mama Revo selalu mengabadikan momen kami berdua saat itu.
“Kalau lihat foto ini, entah kenapa aku jadi mikir kalau separuh hidupku aku habiskan bareng kamu, Re...” aku menoleh, dan mendapati Revo sedang tersenyum menatapku.
“Bahkan aku bisa habisin seluruh hidupku bareng kamu...” suara Revo terdengar berbisik, membuatku merinding.
Aku membeku. Sepertinya ada hal yang perlu kutanyakan padanya. Perlu! Tentang semua perasaan ini, tentang semua kecemburuan Revo selama ini, rasa posesifnya, obsesifnya, juga tentang ucapan manisnya yang... terlalu berlebihan.
“Revo.. aku mau tanya,” ucapku perlahan. Rasa ragu mulai menyelinap dalam hatiku, apalagi saat aku mengutuk rasa gugup dan grogiku yang muncul tiba-tiba ini.
“Hmmm...?” dia tersenyum menatapku. Aku menggaruk tengkukku dan menghembuskan nafas ragu. Revo menatapku intens dan masih terus menampakkan senyumnya di depanku.
“Sebenarnya kenapa kamu harus melakukan ini semua?” aku nyaris berbisik. Aku tahu Revo paham apa yang kumaksudkan. Dia sering mengatakan kalau dia menyayangiku, mencintaiku.
“Aku sayang kamu...”
“Kamu udah sering bilang kayak gitu! Lihat, kita juga sama-sama punya jakun! Dada kita sama-sama datar, kita sama-sama cowok...”
“Lalu?”
Aku bungkam. Aku tahu, pasti begini kalau kami harus bicara serius. Apalagi akulah yang memaksanya untuk berbicara. Revo masih tersenyum di depanku.
“Ini salah...,” lanjutku akhirnya.
“Apa mencintai itu pernah salah? Aku nggak pernah menyesal udah punya rasa cinta ini buat kamu...”
Aku membisu lagi. Revo menatapku, masih dengan senyumnya. Bohong kalau aku tidak merasakan hal yang sama, namun aku berpikiran untuk menghapus perasaan ini. Selama ini hanya dia satu-satunya orang yang mengalihkan pandanganku tentang cinta. Tak pernah ada catatan cinta dalam hidupku selain catatan perjalananku dan Revo. Bahkan kami selalu menghabiskan waktu bersama, seperti pasangan kekasih lain.
Perlahan aku bangkit dari dudukku dan beranjak keluar dari kamarku. Bagaimanapun, walau hatiku juga sangat menyayanginya, namun aku masih mencoba bersikap rasional untuk tidak terjebak dalam perasaan ini. Satu hal yang pasti : Sekarang aku tahu kalau sahabatku menyayangiku lebih dari sekedar sahabat. Baik, itu cukup untuk membuktikan apa alasan di balik sikap posesifnya selama ini!
Lalu sejak hari itupun semuanya seolah berubah. Aku mulai menghindari Revo, tidak ingin berlama-lama dengannya lagi. Aku selalu pergi ketika Revo mengetuk pintu rumahku dan beralasan kalau aku punya urusan. Saat Revo bersikeras untuk ikut, aku selalu beralasan kalau aku ingin sendiri. Begitu seterusnya... hingga hari ini! Aku terlalu takut dan pengecut jika perasaan ini semakin dalam dan aku menyerahkan seluruh hatiku untuknya. Jujur, aku masih belum siap melakukannya!
“Sandy.. Sandy,,,! Kamu kenapa menjauh? Kenapa lari dari aku?” dari jarak satu meter dia berteriak kencang memanggil namaku. Aku menghentikan langkahku dan menoleh cepat.
“Jangan ikuti aku lagi...!” sakit! Sakit sekali hatiku saat mengatakannya, apalagi saat melihat seringai dan senyum yang biasanya muncul di bibir tipisnya itu kini berganti dengan lengkungan ke bawah. Raut sedih yang aku tahu pasti membuatnya menderita, karena aku juga merasakan sakit sama sepertinya!
“Kenapa? Apa kamu menghindar karena perasaanku ke kamu?” dia berteriak.
“Bukan!”
“Apa kamu benci banget ke aku?”
“Bukan!”
“Atau kamu malah jijik?”
“Bukan! Bukan! Bukan! Aku harus hapus perasaan ini ke kamu, karena aku juga ngerasain hal yang sama kayak kamu!” aku berteriak kencang, dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mataku. Rasa sakit ini sangat menyiksaku!
“Aku sayang banget sama kamu...! Bahkan aku sanggup hidup tanpa apapun, asal ada kamu...”
“Aku bukan siapa-siapa yang harus kamu pertahankan dan kamu kejar..!”
“Tapi kamu udah kayak oksigen dalam hidupku...!”
“Tolong lepaskan aku, Revo... Please..!” entah sejak kapan air mata ini menetes dari pelupuk mataku. Revo menatapku sedih, lalu dia menunduk pelan.
“Aku nggak akan pernah rela lihat kamu sama orang lain..! Bahkan seumur hidupku pun aku nggak akan pernah rela!” sebelum aku sempat membalas ucapannya, Revo sudah berbalik dan pergi dengan langkah lebar. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang melangkah menjauh. Setelah kepergiannya, aku masih mematung di tempatku. Perlahan aku melangkah, dan pertahananku jebol seketika. Aku menangis kencang. Ternyata cinta itu sesakit ini. Sakit! Apalagi saat cinta yang indah itu dianggap tabu oleh banyak orang. Semacam cinta yang dilarang...
***
3 tahun kemudian...
Aku masih terdiam di meja makan, sementara kedua orang tua asuhku sudah berangkat bekerja sejak tadi. Mereka sangat menyayangiku seperti anak mereka sendiri. Ya, karena mereka memang sudah menganggapku anak mereka sendiri karena aku mengenal mereka sejak aku masih kecil. Orang tua Revo.
Tanganku meraih koran pagi yang biasanya diletakkan di meja makan. Aku membuka halaman pertama, dan ada foto Ayah angkatku di sana. Tersenyum. Sama dengan senyum Revo. Aku tersenyum miris, apalagi saat melihat sebuah berita di potongan koran yang telah digantung pada sebuah pigura di kamar Revo, ah.. tidak.. kamarku.
“Siswa SMA kelas 2 berinisial R putra tunggal dari pengusaha terkenal di Indonesia ditemukan tewas di kamar mandinya sekitar pukul 3 sore hari. Diduga kematiannya karena bunuh diri. Korban mengiris urat nadinya sendiri hingga kehabisan banyak darah. Di samping korban telah ditemukan selembar surat tulisan tangan korban pribadi. Motif kasus ini akan diselidiki lebih lanjut lagi.”
Aku tersenyum miris, apalagi saat melihat sebuah kertas yang berlumuran darah yang telah kering dan menghitam juga tertempel di sana. Tulisan tangan yang sangat kukagumi karena begitu indah, mirip tulisan seorang wanita tercetak jelas di sana...
“Maaf.. Maaf.. Aku terlalu egois untuk membiarkan kamu meninggalkanku... Maaf.. Maaf... Aku terlalu egois untuk membiarkan kamu memilih jalanmu sendiri... Maaf.. Maaf... Aku terlalu egois untuk membiarkan kamu tetap bertahan di sisiku.. Maaf.. Maaf... Aku telah membuatmu menangis.. Karena itulah, sayang... aku akan pergi.. meninggalkan keegoisanku untuk melihatmu menderita karena aku...”
Entah berapa kali aku membaca surat itu. Terkadang ada rasa sakit, marah, kesal, benci.. tapi entah kenapa seiring waktu aku mulai menyadari kalau Revo sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena aku. Memang berat untuk melupakannya, walau hanya sekedar mencoba. Kenyataanya, hingga saat ini cowok itu masih terlihat dalam mataku. Hanya satu orang cowok yang akan mengalihkan pandanganku dulu, sekarang, dan mungkin nanti... Seterusnya! Dan sekali lagi... Aku bukan orang hebat! Aku masih diliputi rasa bersalah itu, mungkin hingga aku menyusulnya nanti...
END

0 komentar:

Posting Komentar