By: Choi Ha Soo
bagi like dan komentnya yah.. #choi
Terima kasih buat kawanku S…. yang menjadi inspirator ceritaku ini. Pengalamannya membantuku membuat cerpen ini. Dan terima kasih sudah mengijinkan saya untuk membuatnya menjadi sebuah cerpen seperti ini.
Pada suatu malam, aku masih bersusah payah untuk berusaha memejamkan mata. Sesuatu yang sangat membebaniku membuat mata dan pikiranku tak berhenti terjaga. Seperti halnya hansip yang berjaga di pos ronda dan memikirkan beberapa resolusi agar Maling tak lagi mencuri barang milik warga, dan tentu saja resolusi yang mungkin berhasil itu akan membawanya terbebas menjadi hansip full time. Pikiran tentang uang SPP selama 5 bulan yang harus kubayarkan mingu-minggu ini karena uang itu telah aku pakai untuk menyenangkan BF-ku membelikannya sesuatu yang membuatnya senang dan semakin sayang kepadaku. Tapi nyatanya hubungan kita Cuma bertahan 1 minggu? Bayangkan?? Betapa percumanya aku menyia-nyiakan uang SPP yang aku hamburkan untuk dia tapi nyatanya kulihat dia lebih memilih pindah ke rumput tetangga yang lebih hijau. Sehela nafas mengantarku tidur yang kupaksakan malam itu.
Keesokan harinya, sepulang sekolah. Aku bertemu dengan seorang temanku yang lebih senior dari aku, dia jauh lebih berpengalaman tentang urusan dunia ABU_ABU ini, namanya Rolan. Aku percaya dengannya maka dari itu aku utarakan beberapa hal yang mengganggu tidur dan hampir setiap kegiatanku. “lihat lah kecermin sesekali, kantung mata terukir jelas dibawah matamu Rud.” Katanya padaku sambil memperhatikan mataku. Kemudian aku raih saja spion motor yang berada didepanku, entah motor siapa itu aku tak peduli karena kebetulan kami berada di tempat parkir sekolah. Aku lihat dengan seksama karena memang tadi sebelum aku berangkat ke sekolah aku tak memperhatikan keganjilan di wajahku. Memang benar seperti warna tanah tandus yang kering yang tersiram air begitulah keadaannya tepat di bawah mataku yang tidak sempurna itu.
Entah akan di bawa kemana aku ini dengan Rolan, setelah selesai kuceritakan masalah yang menggangguku itu dia seperti langsung mendapatkan ide untuk menyelesaikan masalahku ini. Angin menerpa wajahku, kencang sekali Rolan mengendarai motornya. Membuat aku sedikit menyipitkan mataku dan sempat mengeluarkan air mata saking kencangnya angin menerpa wajahku. Dan entahlah bodohnya aku kenapa saat itu, aku tidak menutup kaca helmku saja. Sesaat kemudian aku tersadar Rolan membawaku ketempat yang cukup terkenal oleh kalangan sopir-sopir truk. Aku berteriak dalam hati, ini tempat “PROSTITUSI”, hampir saja aku menghentikan Rolan dan hendak bertanya maksudnya dia membawaku kemari. Namun dia sudah membawaku masuk ke sebuah gang yang tidak cukup ramai, dia berhenti di sebuah rumah kecil yang di bagian depanya terdapat warung. Di dalam warung itu terdapat televisi dan sebuah DVD lengkap dengan dua mic serta pengeras suara. Baru sadar saat aku lihat kesekeliling tempat aku berdiri saat itu, bahwa hal sama juga terdapat di tiap-tiap rumah disekitarnya. Aku masih tercengang tak percaya aku berada di tempat ini, tempat yang sangat dilarang oleh kedua orang tuaku meski mereka tidak menyampaikan secara langsung, tapi aku tahu mereka tidak ingin aku berada disini saat ini. Rolan menatapku, dan aku langsung melemparkan pertanyaanku yang sempat aku simpan tadi.
“maksud kamu ngajak aku kesini apa Lan?” tanyaku dengan ketus.
“gak ada cara lain buat ngebantu kamu selain ngajak kamu kesini” jawabnya. Aku tarik kerah seragamnya aku dorong dia ketembok,
“bawa aku keluar dari tempat ini sekarang” ancamku sambil memperkeras cengkraman pada kerah seragamnya.
Tapi seseorang mendengar pertengkaran kami saat itu, pintu rumah kecil itu terbuka. Memperlihatkan seorang yang tua dengan rambut yang beruban, tengah memakai kaos berkerah berwarna biru-kelabu. Yang ku lihat semakin lama semakin menyunggingkan senyumya seolah tak peduli dengan pertengkaranku dengan Rolan.
“kenapa masih berdiri disitu Ardi cepat ajak masuk kawanmu” ucapnya yang tampaknya tertuju pada kami.
Tapi siapa yg dimaksud Ardi disini? Sambil perlahan kulepas cengramanku di kerah seragam Rolan aku mencari-cari di sekeliling ku siapa tahu ada orang lain selain kami yang dimaksud bapak Tua itu.
“ayo masuk, percaya padaku tak akan terjadi apa-apa disini nanti” ajak Rolan padaku. Seperti sapi yang dicolok hidungnya dan aku pun ikut saja apa yang disuruh Rolan padaku.
Kami berdua masuk dirumah kecil itu, saat aku masuk disebelah kiri dan kananku terdapat 2 buah kursi panjang yang terbuat dari kayu. Disitulah bapak tua itu duduk, tetap dengan senyum yang mengembang. Sadar atau tidak aku sudah duduk di kursi sisi lain yang bersebrangan dengan kursi tempat pak tua itu duduk, aku duduk bersama Rolan tanpa dipersilahkan dulu oleh pak tua itu. Lama kami terdiam, aku menatap kebawah.
“siapa namamu nak?” pak tua itu bertanya padaku. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Rolan menjawab
“Nino pak namanya”. Aku tercengang, mendengar jawaban Rolan dan berpikir apa Rolan tengah mabuk sehingga memperkenalkan aku dengan nama “Nino”.
Pak tua itu berdehem, sambil menggaruk-garuk dibalik jenggot yang sama
putihnya dengan uban yang terdapat banyak di rambutnya.
putihnya dengan uban yang terdapat banyak di rambutnya.
“rumah kamu mana nak?” dia bertanya lagi dan kali ini dia tidak memperbolehkan Rolan menjawab.
“saya tinggal di desa Yu Mei pak” jawabku. Sejenak aku lihat raut wajah Rolan yang seperti orang menyesal. Kemudian pertanyaan – pertanyaan diajukan lagi.
“kamu Bot? Uda pernah ML sebelumnya? BF kamu anak mana?”
“saya tidak pernah melakukan hal itu pak dan saya tidak tahu maksud anda mengenai “Bot” itu apa? Seminggu yang lalu saya baru putus dengan BF saya
pak” sedikit heran aku mendengar pertanyaan itu.
pak” sedikit heran aku mendengar pertanyaan itu.
“owh bagus kalo gitu, sudah lama kamu kenal Ardi?”
Rolan menginjak kakiku dan terpaksa aku melihat kearahnya, dia mengerlingkan matanya memberi tanda dan akupun menjawab.
Rolan menginjak kakiku dan terpaksa aku melihat kearahnya, dia mengerlingkan matanya memberi tanda dan akupun menjawab.
“ss..udah pak, dia teman satu sekolah”
Setelah mendengar jawaban-jawabanku pak tua itu mengambil hand phone yang tergeletak di meja sambil berlalu meninggalkan kami.
Setelah mendengar jawaban-jawabanku pak tua itu mengambil hand phone yang tergeletak di meja sambil berlalu meninggalkan kami.
“apa dia bisa membantu aku Lan?” tanyaku, dan jujur aku tidak percaya dia bisa memberi uang sebanyak tunggakan 5 bulan SPP ku.
Belum sempat Rolan menjawab pak tua itu masuk kembali. Dia memanggil Rolan untuk bergabung dengannya di sebuah ruangan atau lebih tepatnya kamar. Kira-kira setengah jam mereka berdua berada disana, dan keluar bersamaan dengan itu seorang lelaki yang kira-kira berumur 30 tahun masuk, wajahnya oval sempurna dengan barisan rambut halus tumbuh di sekitar rahangnya menambah gagah penampilannya. Selang beberapa detik kemudian satu laki-laki lagi yang kira-kira berumur 25 tahun masuk, kali ini wajah lelaki itu tidak asing buatku aku perhatikan wajahnya dan kemudian aku baru sadar ternyata lelaki yang baru-baru ini sering memakai seragam lengkap Polisi di kantor polisi depan rumahku. Aku sulit mengenalinya dengan tidak memakai seragam polisi seperti yang biasa aku lihat. Seingatku nama yang sering tertera di seragam yang sering dipakainya adalah Wiradika tapi entah benar atau salah.
“loh kamu? Kok bisa ada disini?” sapanya padaku dan namapaknya dia kaget melihat aku berada ditempat seperti ini.
Aku tidak langsung menjawab aku lebih banyak terdiam. Dia berlalu duduk dikursi sambil matanya tidak lepas dari memandangku. Sejujurnya aku sangat terpana melihatnya ketimbang pria yang datang lebih dulu sebelum dia.
“jadi begini, ada lubang belut baru ditempatku, saya jamin lubang belut itu belum ada satupun belut yang pernah masuk karena lubang itu masih sangat sempit.
Saya berpikir apa ada belut yang menawarnya padaku untuk menyewa lubang belut itu” kata pak tua itu yang akhirnya ku tau dia bernama pak Rosyid.
Sungguh sulit aku mengartikan maksudnya dan mungkin kalian pun juga apabila berada diposisiku saat itu. Rolan menarik tanganku memaksaku untuk mengikutinya masuk ke ruangan lain dari rumah pak Rosyid itu. Dia menyuruhku duduk di sebuah kursi diruangan itu tapi dia tidak lantas ikut duduk juga padahal masih tersisa satu buah kursi lagi tepat disebelah kursi aku.
Saya berpikir apa ada belut yang menawarnya padaku untuk menyewa lubang belut itu” kata pak tua itu yang akhirnya ku tau dia bernama pak Rosyid.
Sungguh sulit aku mengartikan maksudnya dan mungkin kalian pun juga apabila berada diposisiku saat itu. Rolan menarik tanganku memaksaku untuk mengikutinya masuk ke ruangan lain dari rumah pak Rosyid itu. Dia menyuruhku duduk di sebuah kursi diruangan itu tapi dia tidak lantas ikut duduk juga padahal masih tersisa satu buah kursi lagi tepat disebelah kursi aku.
“oke jadi gini Rud, maaf aku dah ngajak kamu kesini. Tapi mendengar masalahmu aku hanya bisa membantumu menyelesaikan masalahmu disini, kamu gak mungkin jujur sama orang tua angkatmu mengenai jumlah uang yang kamu hambur-hamburkan untuk kadal itu, bisa-bisa kamu akan ditendang keluar oleh bapak angkatmu. Aku dulu juga sama seperti kamu saat ini, dan jujur nantinya kamu akan berbuat dosa yang akan menyelamatkanmu.” Rolan mengatakan itu padaku dan aku belum cukup paham apa maksud yang dia katakan. Melihat wajahku yang masih kebingungan dia kemudian menjelaskan kembali maksudnya.
“kamu akan tidur dengan salah satu pria diluar tadi Rud, mereka akan memberimu uang untuk membayar tunggakan SPPmu. Mereka akan membayar mahal untuk lubang belutmu itu” penjelasan Rolan cukup ku mengerti dan memaksaku untuk menamparnya keras-keras.
“kenapa kamu nggak bilang dari tadi kalo bakal kayak gini jadinya, aku mau pulang Lan” jawabku setelah mendengar penjelasanya. Aku melangkah hendak keluar dari rumah itu tapi Rolan menahanku.
“aku nggak mau kamu bakal dikeluarin dari rumah, uang yang kamu pakek itu amat banyak untuk ukuran anak SMA kelas 2 seperti kita”
Sementara di bagian ruang tamu tadi terdengar seperti tawar menawar dan kemudian pak Rosyid memanggilku.
“Nino sini nak akan saya kenalkan kamu dengan bapak ini yang menyempatkan singgah hanya untuk mengenalmu” panggilnya.
Rolan memelukku sebentar dan aku tak tahu harus melakukan apa, kami keluar dari ruangan dan duduk dikursi yang tadi aku duduki. Pak rosyid memperkenalkan aku dengan kedua lelaki itu dan akhirnya dugaanku benar namanya Wiradika dan yang satunya Indra. Setelah kami berkenalan pak Wira meminta ijin pada pak Rosyid untuk istirahat disalah satu kamar. Pak Rosyid beranjak kedalam kamarnya lalu keluar membawa selimut tebal berwarna merah.
“Nino berikan selimut ini untuk pak Wira” suruhnya padaku dan aku berfikir kenapa tidak dia sendiri yang memberikanya. Rolan mendorongku seakan menyuruhku mematuhi saja apa yang diperintahkan pak Rosyid. Aku ambil selimut tebal itu dari tangan pak Rosyid, aku berjalan kekamar dimana pak Wira berada. Dengan perasaan gusar tangan dingin sedingin es aku membuka pintu kamar itu. Dan kulihat pak Wira terbaring dikasur dengan telanjang dada.
“eh kamu, makasih ya” katanya saat aku memberikan selimut itu padanya.
“jangan pergi dulu aku mau ngobrol sebentar dengan kamu”
“maaf pak apa tidak sebaiknya kita bicara diluar saja, saya kira tadi bapak meminta ijin untuk istirahat kenapa sekarang bapak meminta saya menemani bapak bicara?” jawabku.
Matanya menatap tajam kepadaku dan dia kemudian menarik aku ke kasur. Dia menindihku, berat badan pak wira memang tidak gemuk dia proposional sekali badannya sebagai polisi baru. Tapi saat itu cukup membuat susah untuk bernafas dalam keadaan seperti ini. Melihat aku yang susah bernafas dia memindahkan badannya disampingku, tapi tidak melepaskan tangannya yang melingkari pinggangku.
“kenapa kamu bisa ada disini? Tidakkah bapak kamu sudah cukup kaya untuk memberimu uang jajan?” tanyanya padaku.
“maaf pak, bukan itu masalahnya…” belum selesai aku bicara pak Wira menghentikanku.
“jangan panggil pak saya rasa saya masih muda untuk dipanggil pak. Panggil saja Wira, dan bersikaplah seperti kamu dengan teman sebayamu jangan terlalu menggunakan bahasa yang formal seperti kamu berhadapan dengan ayahmu, lanjutkan ceritamu”
“iya jadi seminggu yang lalu aku membelikan sebuah Hand phone untuk Bfku karena saat itu dia berulang tahun. Sejak lama ia bilang padaku bahwa dia sangat menginginkan Hand phone itu, jadi aku belikan hand phone itu dengan menggunakan uang SPP aku. aku tidak berani untuk mengaku kepada ayah aku akan hal ini karena status ku yang sebagai anak angkat dirumah itu”
“kamu belum pantas memberikan hadiah-hadiah semahal itu kamu belum kerja, kecuali aku. Dan kamu salah berada disini untuk menyelesaikan masalahmu. Pak tua itu akan menjual kamu kepada banyak orang dan menjeratmu agar tidak lepas darinya. Karena kamu salah satu aset berharga baginya. Jujur aku bayar cukup mahal untuk lubang belutmu yang sempit itu karena aku tahu dan kenal kamu, kamu anak komandanku. Walau ternyata baru aku tahu kamu anak angkatnya.”
Kata-katanya jelas sangat membuatku kagum dan mengerti bahwa semua yang aku lakukan ini salah. Dia meraih kemejanya yang ia gantung di gantungan baju, lalu dipakainya.
“berusahalah semirip mungkin menirukan seolah seekor belut menjebol lubang belutmu yang sempit itu” suruhnya saat ia selesai mengancingkan kemejanya.
“maksud kamu?” tanyaku.
“pertama kamu menjerit agak kencang seolah lubang itu aku masukan pusakaku ini, kemudian mendesahlah pelan. Aku akan membantumu, dan aku nggak akan tega melakukan hal yang seharusnya terhadap lubang itu ke kamu” dia berbisik pelan di telinga aku.
Kemudian dengan pakaian yang lengkap dia menindihku seolah kami melakukan ML padahal hal itu tidak kami lakukan alih-alih mengelabuhi orang yang ada di luar kamar.
“menjeritlah” suruhnya.
“akhh… sakit!!!”
“oke bagus lakukan lagi berulang kali”
“akh sakit.. sakit aduh akhh akhh”
Mungkin menurut kalian ini hal bodoh yang pernah orang lakukan tapi, aku sungguh beruntung. Lubang belutku masih utuh, Desahanku kemudian beriiringan dengan desahan Wira.
“akh.. enak banget yank akh.. akh..”
“ehmm ea sayank akh akh.. “
Tak sulit untuk berpura-pura seperti ini karena aku sering melihat video bokep berikut adegan adegannya dan desahan-desahannya. Lama kami melakukan hal itu sampai terkadang kami tertawa kecil mengingat tinggkah kita ini. Kira-kira sejam kemudian Wira mendesah panjang.
“akh….” dia kemudian melepas tindihan badanya ke badanku. Dan duduk dipinggir ranjang, keringat menbasahi sekujur tubuh kami. Kami kemudian beranjak keluar kamar dan melihat 3 orang yang tadi masih duduk ditempat yang sama tapi kali ini mereka berkonsentrasi sekali menonton suatu acara di televisi. Pak Rosyid memandang kami, dan tentu memperhatikan dengan seksama sekujur tubuh aku seolah memastikan apa aku baik-baik saja.
“gmana pak lubang belutnya masih benar-benar sempit kan?” tanya pak Rosyid pada Wira.
“luarbiasa sempit,dua kali belutku muntah-muntah” jawabnya sambil tersenyum melihatku.
Wira pun berpamitan untuk pulang, sebenarnya dia menawarkan aku untuk diantarnya pulang, tapi pak Rosyid menyuruhku tinggal karena ada berapa hal yang ingin dia bicarakan kepadaku.
“ ini bagianmu No,” sambil memberikan 2 lembar uang seratus ribuan.
“terima kasih pak” jawabku
“jadi, selama tidak ada orang yang datang kesini yang menawarkan dirinya untuk menjadi “SAN SING” kamu. Kamu setiap hari harus ada disini melayani tamu yang datang. Jangan berusaha melarikan diri jika kamu tak ingin orang tua, teman-temanmu, keluargamu, tetanggamu siapapun dari kamu tahu kalo kamu seorang pelacur GAY. Besok datanglah kesini ambil uang yang kamu butuhkan dan segeralah membayar tunggakan SPPmu itu”
“SAN SING” disini diartikan seperti BF tapi dia mau membiayai segala keperluan pria simpanannya dan mau membayar mahal pada Mucikari (pak Rosyid) untuk membeli aku sadiskan?? Mendengar penjelasannya itu aku benar-benar seperti sebuah kapal kertas yang sengaja diceburkan seorang anak di sebuah selokan kotor berair hitam.
Tanpa mau mendengar jawabanku atas penjelasannya tadi, dia menyuruh Rolan mengantarku pulang. Ditengah jalan sekelebat pikiran menggantung mungkin utang-utang SPPku akan terbayar tapi bagaimana dengan nasibku sekarang. Baru sadar ternyata tempat prostitusi juga terdapat pelacur gay seperti aku sekarang.
Dan masing-masing dari kami mempunyai nama samaran. Begitupun dengan istilah lubang belut dan belut serta “SAN SING”. Sampai dirumah ibuku bertanya padaku dari mana saja aku pergi hingga sore hari baru pulang. Aku beralasan pergi ke rumah teman mengerjakan tugas kelompok.
Keesokan harinya, sepulang sekolah Rolan menungguku di ambang pintu kelas.
Dia beranjak menyusulku ke bangku tempatku duduk karena semua murid sudah pulang kecuali aku yang masih duduk dibangku ku memandang kosong kelangit-langit kelas.
Dan masing-masing dari kami mempunyai nama samaran. Begitupun dengan istilah lubang belut dan belut serta “SAN SING”. Sampai dirumah ibuku bertanya padaku dari mana saja aku pergi hingga sore hari baru pulang. Aku beralasan pergi ke rumah teman mengerjakan tugas kelompok.
Keesokan harinya, sepulang sekolah Rolan menungguku di ambang pintu kelas.
Dia beranjak menyusulku ke bangku tempatku duduk karena semua murid sudah pulang kecuali aku yang masih duduk dibangku ku memandang kosong kelangit-langit kelas.
“woy.. ngapain bengong!!” sapanya membuyarkan lamunanku, dia seperti tak berdosa membawaku ketempat itu. Aku tetap diam, dia membereskan alat-alat tulisku yang masih tergeletak dimeja. Dan kemudian menariku untuk segera menuju parkir sekolah.
“harusnya kamu lega hari ini kamu akan dapat uang itu segera” dia kembali berkata dan berusaha membuatku menjawab apa yang di katakannya, dan dia berhasil.
“tapi tidak dengan cara seperti ini Lan” jawabku sambil menghempaskan genggaman tangannya dari tanganku.
“lantas dengan cara apa lagi? Mau maling kamu??”
“bila aku sanggup mungkin lebih baik aku lakukan itu”
“wah gila bapak kamu akan mengurung sendiri dirimu di SEL, mungkin seumur hidupmu”
Kami kemudian pergi ketempat itu, yang mulai dikenalkan oleh Rolan bahwa nama tempat itu adalah “Rumah Kelabu” dan dia kembali mengingatkanku bahwa nama kami jika berada disana adalah NINO dan ARDI. Sesampainya kami di Rumah Kelabu itu aku mendengar banyak orang tengah asyik mengobrol, setelah kami masuk. 6 orang berada di ruang tengah rumah itu, seperti yang kulihat mereka tak jauh beda mungkin umurnya denganku. Mereka menyapa Ardi alias Rolan, dan menanyakan siapa aku, Rolan memperkenalkan namaku Nino, sebagian ada yang berwajah ramah dan tak sedikit menampakkan wajah bengis terhadapku. Seperti anak kucing yang kotor yang baru dipungut dari pinggir jalan.
“owh sudah datang kamu Nino, aku sudah siapkan uangnya” pak Rosyid keluar dari salah satu kamar sambil memberikan sebuah amplop kepadaku.
“bawa pulang dan simpan dirumah segera, nanti malam jam 7 kamu kesini lagi ada yang harus kamu kerjakan”
Jam 19.00 WIB, aku berangkat dari rumah. Di jalan depan rumahku Rolan sudah menungguku, kami berangkat. Sesampainya di Rumah Kelabu itu, dari luar rumah itu aku mendengar suara gaduh musik-musik yang biasa terdengar di discotic. Aku tidak yakin untuk melanjutkan masuk ketempat itu. Tapi Rolan memaksaku.
“ingat apa yang dikatakan Mucikar tadi” ancam Rolan padaku.
Kami masuk kedalam rumah itu, ramai dan penuh sesak, aku tidak tahu harus duduk dimana dan baru sadar hampir semua yang ada disana melihat kedatangan ku. Wira, aku llihat dia tengah bercengkrama dengan salah satu rekan kerjaku yang tentu belum aku kenal sebelumnya. Memandangku seolah menginginkan sesuatu.
“Nah semua, ini anggota baru kita namanya Nino.” Mucikari itu merangkulku dan memperkenalkan aku pada semua orang yang ada disana.
“buat kalian yang ingin ditemani Nino malam ini silahkan nego dengan saya”
Aku berdiri seperti anak dungu, mereka yang jadi partner kerjaku mendatangi aku dan mengajak aku berkenalan. Bukan hanya partner kerjaku lelaki hidung belang pun juga. Postur tubuh mereka bermacam-macam gendut, pendek, tinggi kurus dan banyak lagi yang lainnya. Tak lama setelah aku berkenalan dengan partner kerjaku, seseorang masuk dengan tergesah-gesah.
“apa aku sudah sangat terlambat??” tanya dia pada salah satu Genggo yang duduk disebelah pintu. “Genggo” istilah yang aku buat agar lebih mudah menyebutkan sebagai pelacur gay.
“oh tentu saja kamu belum terlambat Jimmy, apa kamu mau saya temani malam ini” tawar genggo itu pada pria yang baru datang itu.
“tentu tidak, aku diberitahu bahwa ada yang baru malam ini”
“sini Jim, ini yang baru namanya Nino” teriak genggo yang kebetulan tadi habis berkenalan dengan ku.
Jimmy menatapku, entah dia tertarik denganku atau tidak dia malah berlalu menjauh dan masuk ke kamar mucikari itu berada. Menurut teman genggoku dia salah satu putra kedua dari bupati yang sedang menjabat di kotaku saat ini. Tak heran usianya masih muda mungkin 20 tahun, meskipun usiah masih 20 tahun tapi bapaknya sudah memegangi dia pekerjaan di perusahaan milik bapaknya. Dan kata mereka Jimmy sangat jarang datang kesini, itupun hanya sekedar ngobrol dengan mucikari. Banyak genggo yang berebut untuk dapat menemaninya, namun Jimmy tak semudah itu dirayu.
“Nino, masuk sini cepat” mucikari memanggilku untuk masuk ke kamar itu. Saat aku masuk Jimmy tengah duduk disalah satu kursi.
“Jimmy mau kamu menemaniny malam ini”
Sumpah perasaanku jadi kalut apa ini saatnya lubangku dijebol? Sejenak aku lihat
Jimmy dia lumayan cakep tinggi dan matanya indah sekali. Lamunanku buyar ketika dia tersenyum melihatku memperhatikannya.
Sesaat kemudian tanganku dibimbingnya untuk masuk ke salah satu kamar di rumah itu. Semua genggo melihat kami dan aku sadar Wira pun juga melihatku, di beranjak berdiri setelah melihat kami hendak masuk ke sebuah kamar.
Sumpah perasaanku jadi kalut apa ini saatnya lubangku dijebol? Sejenak aku lihat
Jimmy dia lumayan cakep tinggi dan matanya indah sekali. Lamunanku buyar ketika dia tersenyum melihatku memperhatikannya.
Sesaat kemudian tanganku dibimbingnya untuk masuk ke salah satu kamar di rumah itu. Semua genggo melihat kami dan aku sadar Wira pun juga melihatku, di beranjak berdiri setelah melihat kami hendak masuk ke sebuah kamar.
“STOP!!! Tunggu dulu, kalian mau apa?” sesaat kemudian Wira menghadang kami.
“maaf apa urusan anda, ingin tahu apa yang akan kami lakukan didalam sana” jawab Jimmy.
“berapa uang yang kamu bayar untuk dia?” sela Wira lagi.
“sungguh itu sebuah rahasia dan tak pantas untu dikatakan disini”
“jangan masuk dulu sebelum aku kembali kesini”
Wira berlalu dari kami dan aku dapat melihat dengan jelas dia berlari menuju kamar mucikari itu. Tak lama kemudian dia dan mucikari itu keluar.
“saya sangat mohon maaf sekali untuk hal ini Jimmy, ternyata Wira memberi lebih banyak uang kepada saya, dan sangat terpaksa ijinkan Nino bersama Wira malam ini” saat mendengar penjelasan mucikari itu terlukis warna merah wajah dari Jimmy.
“aku tak percaya orang ini bisa mengalahkanku, aku naikkan harga 2 kali lipatnya dia” jawab Jimmy
“tapi aku berani 5kali lipatnya kamu” jawab Wira kemudian.
“ oke pakai dia malam ini, dan ku kira apa spesialnya dia sich?” jawab Jimmy mengalah.
Jimmy melepaskan pegangan tangannya dari tanganku, dan mendorongku ke arah Wira sambil berkata “ malam ini kau bisa memilikinya tapi tidak untuk hari-hari berikutnya” sambil berlalu keluar rumah kelabu. Semua mata genggo-genggo melihat kejadian ini tampak seperti orang tercengang melihat film horor dimana tokoh utamanya mati dibunuh hantu-hantu itu.
Wira menarikku dan membawaku kekamar cepat-cepat, dia mendorongku ke kasur menindihku mencium bibirku dengan ganasnya seperti ayam yang kelaparan. Selagi dia menciumku baju celana kami terlepas dengan tarikkan tangannya. Kami berdua telanjang, Wira melihatku sejenak dia kemudian berkata.
“Aku sayang sama kamu Nino, dan dengan segala caraku nanti. Aku tidak akan begitu saja membiarkan dia (Jimmy) mengambil kamu sepenuhnya”
Dia kembali melumat habis bibirku, sekujur tubuhku dijilatinya aku tercengang tak percaya membiarkan setiap usapan lembut lidahnya yang menyapu bibirku.
Tatapanku kosong dan tak percaya apa yang tengah aku lakukan ini. Tiba-tiba Wira mengangkat kedua kakiku seperti mencari-cari tangannya ia. kami berhubungan badan. seperti yang pernah aku tonton di video biru.
Tatapanku kosong dan tak percaya apa yang tengah aku lakukan ini. Tiba-tiba Wira mengangkat kedua kakiku seperti mencari-cari tangannya ia. kami berhubungan badan. seperti yang pernah aku tonton di video biru.
00.15 Wib, mataku belum terpejam, rasa perih melanda di lubangku. Aku menangis pelan, diriku kini begitu hina sekarang.
Disekolah semua berjalan seperti drama, aku segera membayar uang SPPku diloket pembayaran. Terpikir apa aku beruntung? Masalah uang dan cinta memang benar bisa membalikkan semuanya. Yang rajin jadi malas, yang baik jadi jahat, yang berani jadi penakut atau bahkan sebaliknya. Seperti biasa, aku harus datang pukul 7 malam di rumah kelabu, genggo-genggo disana sedang menunggu pelanggan, disini kami menjalani hidup ini seperti air yang mengalir menuruni bukit menuju satu tujuan sampai kami tercebur kedalam sesuatu yang memaksa kami menemukan arah baru. Aku dekati salah saru genggo yang ternyata dia adalah salah satu keponakan mucikari kita di rumah kelabu ini. Aku tanya kenapa dia bisa berada disini di menjawab orang tuanya tidak mampu membiayainya dan dia terpaksa dititikan disini, salah satu yang kuingat dari dia bahwa orang tuanya berkata “ ada anak yang pintar, ada anak yang bodoh. Kau anak yang baik, tapi kau termasuk yang bodoh. Kau tak akan bisa hidup sendiri di dunia ini. Aku akan mengirimu ketempat dimana orang akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan. Lakukan apa yang mereka suruh dan kau akan selalu terurus.
Kebanyakan genggo disini memiliki cerita suram sendiri yang membawa mereka ke jalur ini. Tapi sedikit kah kalian sadar mereka sudah menderita ditambah lagi teman-teman yang dulu mereka kenal perlahan menjauh dari mereka. Sahabat mereka sama seperti mereka hanya nasib yang membedakan kita.
Kebanyakan genggo disini memiliki cerita suram sendiri yang membawa mereka ke jalur ini. Tapi sedikit kah kalian sadar mereka sudah menderita ditambah lagi teman-teman yang dulu mereka kenal perlahan menjauh dari mereka. Sahabat mereka sama seperti mereka hanya nasib yang membedakan kita.
Aku lihat kesekeliling Wira tak ada disini, mungkin dia piket jaga di kantor polisi. Aku lihat lagi Jimmy jga tidak ada disini mungkin dia sibuk dengan perusahaannya. Setealah pikiranku melayang kearah mereka berdua aku tak sadar betapa riuh para genggo menyambut seseorang, dan ternyata dia Jimmy. Begitu terkenalnya dia dikalangan genggo dirmah kelabu ini.
“hey, ayo ikut bersamaku” sapa Jimmy seraya menggandengku. Aku kira dia akan melakukan hal sama seperti yang dilakukan Wira kepadaku, tapi Jimmy mengajakku ke tempat mucikari itu ada. Kami berdua duduk di depan mucikari itu, Jimmy memulai pembicaraan.
“pak, ehm.. saya bermaksud mengajukan diri untuk menjadi SAN SING Nino pak” ujar Jimmy pada mucikari itu.
“apa kamu yakin?”
“yakin, yakin sekali”
“Nino keluar sebentar” suruh mucikari itu. Aq tidak benar-benar tahu apa yang mereka berdua bicarakan tapi aku dengar beberapa nominal uang yang mereka sebutkan. Kemudian Roland datang kepadaku.
“bentar lagi kamu bakal bebas bro!!” sapanya sambil menepuk pundakku dengan tangan kirinya.
“maksudnya??”
“Jimmy bakal jadi SAN SING kamu, kamu g perlu ada disini lagi”
“yang bener?”
“ia bener, sayang Wira nggak ada disini. Kalo ada disini, mungkin dia akan berebut dengan Jimmy untuk mendapatkan kamu. Belakangan ini dia sering sms aku cari tahu tentang keadaanmu, tapi sayang dia sekarang nggak bisa datang”
Tak lama kemudian mucikari itu memanggilku.
Tak lama kemudian mucikari itu memanggilku.
“No mulai sekarang kamu nggak usah kesini lagi, kamu uda jadi milik Jimmy sekarang”
Aku bingung dengan perasaanku, harus bahagia kah? Tapi terlintas dibenakku, tentang Wira apa yang dikatakan Roland padaku tadi benarkah? Setelah bincang-bincang pendek tadi aku hendak keluar dengan Jimmy tapi saat kami hendak keluar Wira datang tampangnya yang menyesal terukir jelas.
Keesokan harinya sepulang dari sekolah aku duduk dibangku kosong yang ada di alun-alun kota. Berkutat dengan laptopku, menulis beberapa cerita tentang hidupku kemudian aku sadar tentang Wira dia seakan lagu yang hanya pernah ku dengar sekali dalam penggalan-penggalan, tetapi sejak itu kunyanyikan terus dalam hati. Dia pernah memberiku kenyamanan dia pernah menyakinkanku betapa jalan yang kutempuh salah. Dan mengenai ceritaku di rumah kelabu itu, seseorang telah mengangkatku dari kubangan air selokan yang hitam itu. Bukan
Wira tapi Jimmy. Seseorang merangkulkan tangannya dipundakku ketika aku asyik berkutat dengan laptopku, saat aku tengok kesamping kananku, wajah yang tidak asing bagiku. Wajah yang selalu tersenyum tapi kali ini tidak, dia adalah Wira seragam polisi lengkap dan sebuah pistol tergantung di ikat pinggangnya.
Terkadang aku takut memandang pistol itu membayangkan hal-hal yang menyeramkan.
Wira tapi Jimmy. Seseorang merangkulkan tangannya dipundakku ketika aku asyik berkutat dengan laptopku, saat aku tengok kesamping kananku, wajah yang tidak asing bagiku. Wajah yang selalu tersenyum tapi kali ini tidak, dia adalah Wira seragam polisi lengkap dan sebuah pistol tergantung di ikat pinggangnya.
Terkadang aku takut memandang pistol itu membayangkan hal-hal yang menyeramkan.
“hey, ngapain disini sendiri” sapa nya padaku.
“eh kak Wira, ea sendiri aja nie aku”
“emang mana SAN SING mu?” mendengear pertanyaanya aku terkejut, dan aku lihat wajahnya semakin tampang serius lebih tepatnya kecewa. Dari mana dia tahu, apa semua genggo di rumah kelabu itu yang memberi tahunya.
“heh kok diem, aku menyesal. Aku nyesel aku nggak ada disana saat itu”
“semua sudah terjadi kak, nggak perlu disesali, aku seneng kok”
“syukur kalo kamu seneng, aku sayang sama kamu No. Mungkin belum jodohnya”
Sambil berkata begitu dia berlalu meninggalkan aku, tiba-tiba kesedihan menyelimutiku. Seperti jendela yang membuka atas kemaunnya sendiri, ruangan menjadi dingin, dan kita tak bisa berbuat apapun kecuali gemetar kedinginan.
Malam harinya aku diajak Jimmy ketempat club di kota ku, disitu aku duduk ruang khusus kaum seperti kita. Dan saat aku masuk disana kira-kira sekitar 4 orang ada disana paling ujung aku lihat Wira dengan Roland, aku rasa mereka baru jadian.
Aku senang, didalam ruangan itu banyak kegiatan yang kami lakukan bersama mulai dari karaoke, permainan-permain kecil. Aku lihat Wira banyaj sekali minum bir, sehingga tampak sekali dia mabuk. Dan tiba-tiba dia datang kepadaku dan menarikku keluar dari ruangan, Jimmy mencegah Wira mereka berdua sempat beradu jotos hingga mereka berhenti ketika Wira mengacungkan pistolnya tepat ke arah Jimmy. Secara reflek aku teriak melihatnya, aku berdiri dan melindungi Jimmy.
Malam harinya aku diajak Jimmy ketempat club di kota ku, disitu aku duduk ruang khusus kaum seperti kita. Dan saat aku masuk disana kira-kira sekitar 4 orang ada disana paling ujung aku lihat Wira dengan Roland, aku rasa mereka baru jadian.
Aku senang, didalam ruangan itu banyak kegiatan yang kami lakukan bersama mulai dari karaoke, permainan-permain kecil. Aku lihat Wira banyaj sekali minum bir, sehingga tampak sekali dia mabuk. Dan tiba-tiba dia datang kepadaku dan menarikku keluar dari ruangan, Jimmy mencegah Wira mereka berdua sempat beradu jotos hingga mereka berhenti ketika Wira mengacungkan pistolnya tepat ke arah Jimmy. Secara reflek aku teriak melihatnya, aku berdiri dan melindungi Jimmy.
“minggir No, biar aku mampusin tu anak” teriak Wira wajah bengis yang belum pernah aku lihat sebelumnya dari wajah Wira menambah takut aku, airmataku menetes aku coba merayu Wira agar tidak melakukan hal gila itu. Tapi amarahnya semakin menjadi, dia menarik pelatuk pistol itu, aku kembali memohon untuk tidak melepas penarik pelatuk pistol itu. Roland dari samping Wira mencoba menarik pistol yang ada ditangan Wira namun…
DOOORRR!!!
Peluru pistol itu mengenai Roland tepat di pelipis sebelah kanannya membuat Roland jatuh tersungkur. Wira yang menembakkan peuru itu tertawa-seperti orang gila, melihat kesempatan itu Jimmy menarikku keluar ruangan dan meninggalkan tempat itu sebelum aku menutup pintu mobil terdengar suara tembakan lagi diarah ruangan yang kami tempati tadi.
Keesokan harinya dikoran dikabarkan berita tentang tewasnya Wira dan Roland, aku masih terpukul akan kejadian itu. Jimmy merangkulku, aku menangis dipelukannya.
“sayank,aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu, nggak akan pernah aku lepas kamu melihat perjuanganku mendapatkanmu.”ujarnya sambil memeluk erat tubuhku, menggengam tanganku dan kulihat matanya berkaca-kaca. Rumah kelabu itu akhirnya ditutup, semua yang bernuansa kelabu dihidupku berangsur hilang.
Aku mulai merasa bahwa semua orang yang pernah kukenal, yang telah meninggalkanku, sebetulnya tidak pergi melainkan tetap hidup dalam diriku
—–END—–
“apapun perjuangan dan kemenangan kita, betapapun kita menderita karenanya, segera saja semuanya akan merembes menyatu. Seperti tinta yang tumpah kekertas.”
“Kurasa tak seorang pun dari kita bisa bicara jujur tentang rasa sakit sebelum kita tak menderitanya”
0 komentar:
Posting Komentar