Melawan Dunia -Oneshoot-


By. Dewa Sa
‪#‎adminChoi‬ selamat membaca yah ksh Like and Komentnya.. Salam hangat dan tetap semangat ‪#‎choi‬
“Aku tak tahu sejak kapan kamu sudah berdiam diri dalam hatiku, meski aku sendiri tak menyiapkan pintu untuk siapapun.”
Aku sangat menyukai manga dan anime. Tergabung dalam kelompok kecil pecinta manga dan anime di sekolah tidak membuatku mempunyai banyak teman. Aku hanya bingung. Maksudku aku tak tahu apa yang salah dengan diriku ini. Aku sudah menjadi diriku sendiri yang memang sudah belasan tahun aku tekuni. Tapi mengapa? Tak seorangpun dapat menerima diriku.
Meskipun dalam keadaan “begini” aku tak menyukai beberapa manga atau anime yang bergenre “yaoi”. Aku tak merasakan getar apapun saat menyaksikannya. Pada dasarnya Aku hanya menyukai manga atau anime yang bergenre “fantasy” dan “sci-fict”. Bleach, One Piece, Fairy Tail, dan banyak lagi. Oh iya, jika kamu juga menyukai manga atau anime seperti diriku, aku merekomendasikan “Guilty Crown”. Yah, aku tak bisa memberikan apa yang menarik dengan anime yang berakhir pada episode 22 itu. Aku hanya menyukainya saja.
***
Aku sedang asyik membaca manga yang aku akses secara online malalui hape milikku. Setiap panelnya kau perhatikan hingga kedua kelopak mataku menyipit seperti sedang mengamati epidermis bawang merah.
“Lu nonton bokep sampe segitunya ya?” suara itu mengagetkanku hingga bahuku sedikit terlonjak. Dia teman satu kelasku.
“hmm.. bokep.” Jawabku singkat.
Ia terdiam dan segera beranjak, aku kira ia akan meninggalkanku sendiri. Tapi tidak, ia justru duduk diatas birai meja dibalik punggungku. Hal tersebut malah membuatnya leluasa mengintip apa yang sedang aku baca. Sebenarnya aku merasa tak nyaman dengan sikapnya yang sok “spy-ing”.
“gua tau lu masih liatin gua, gih pergi..” akhirnya ucapku saat merasakan nafasnya sampai ke tengkukku.
“idiiih… gua lagi liatin hape lu nooh. Serius amat bacanya. Bagi dong” jawabnya seraya beralih dari meja ke bangku kosong yang ada disampingku.
Tak sampai disitu, ia berusaha untuk melihat apa yang sedang aku baca. Ia mulai menggeser tubuhnya inci demi inci untuk mendekat kearahku. Aku mengetahui gelagat itu dan buru buru aku menekan tombol power yang juga berfungsi sebagai tombol lock screen. Blam.. layar padam. Segera saja aku berpaling kearahnya dan bermaksud untuk menyunggingkan senyum jail karena sudah berhasil mencegah niatnya. Tapi, tak disangka sangka bibirku malah, ehem aku ulang, ujung bibirku malah menyerempet tipis pipi mulusnya yang berlesung. Tidak. Aku hancur pikirku.
“eits, lu maho ya???” bentaknya, secepat kilat seluruh pasang mata menatap kami heran. Membuatku menjadi pemeran utama yang diperhatikan oleh setiap orang. Bego, dia bego.
“apaan? Elu yang dari tadi ngotot pengen liat hape gua terus lu mepet mepet ke gua. Emang gua suka apa dempet dempetan sama lu? Ha? Lu pikir gua lagi naik angkot!” mungkin aku “sedikit” pendiam. Haha.
“ih, najis ya! Ga sudi gua. Homo najis lu.” Deg. Kalimat itu melukai perasaanku. Bak ratusan peluru yang berdesingan kearahku, namun hanya ada satu yang mengenai maksudku hanya satu yang tepat mengenai jantungku.
Aku malu. Aku memang terlahir seperti ini, tapi tidakkah aku juga punya harga diri? Sama seperti kalian yang tak memiliki kekurangan seperti aku? Rasa rasanya aku menciut hingga ukuranku seperti biji kacang hijau. Sungguh aku memang biasa dihina, di ejek, bahkan dilecehkan tapi kan… arrggghhhh. Aku mebisu, diam, dan tak mengatakan apapun kecuali “maaf, aku gak sengaja” dan langsung berlalu menghambur keluar kelas. Tak jelas akan kubawa kemana langkah kakiku saat itu.
***
Keesokan harinya ia kembali lagi. Kali ini berbeda, ia tak mengenakan tatapan mata penasarannya yang ia gunakan sehari lalu. Ia justru terlihat ‘merasa bersalah’ aku bisa melihat matanya yang memancarka ketulusan seperti itu. Mata coklat yang ber’outline’ hitam kelam tetapi memiliki iris berwarna coklat biji kopi. Bagus sebenarnya.
“gua mau minta maaf, ga seharusnya gua ngebentak elu. Gua yang salah.” Didengar dari nadanya, aku rasa ia memang benar benar tulus. Tapi yah… tapi tetap saja aku masih belum bisa menerima perlakuannya.
“hmmm…”
“hmm..”
“….”
“hhhhh….. woi jawab gua,elu budeg apa bisu sih? Elu mau kemampuan bicara lu diambil sama Tuhan gara gara semua orang gedeg denger jawaban ‘hmm’ elu! Baru tau rasa lu. Jawab selain
‘hmm’” rajuknya, ia sedikit membentak sama seperti kemarin. Aku malas berurusan dengan orang yang seperti dia.
“ohh..” jawabku, tapi aku tak melepaskan pandangan dari hapeku sedikitpun.
Aku melihat gerakan tangannya yang secepat kilat bak copet copet dipasar pasar tradisional. Dengan cepat aku mengelak agar tujuannya tak tercapai yakni mengambil paksa hapeku. Namun aku kalah cepat dengan copet ulung itu.
“nah, lu ga boleh ngacangin orang yang tulus minta maaf kaya gua. Sekarang, maafin gua yak?” ia menyunggingkan senyum dan mengulurkan tangannya.
“deg deg deg deg deg…” bukan itu bukan dialog gua kedia.
“ya,” aku raih tangannya yang masih mengudara menunggu uluran tanganku lalu aku ayun tangannya sebanyak tiga kali.
“senyumnya mana? Gua udah senyum sampe kering ini gigi gigi gua” aku menyunggingkan senyum karena ingin dan karena menahan tawa.
“udah kan? Balikin hape gua” tanpa mendapat persetujan darinya pun aku langsung merabut hapeku yang ia pegang menggunakan tangan kirinya. Tunggu tunggu tunggu. Apa aku sudah menyebutkan tanganku masih ditahan oleh dirinya. Oh shit.
Sebenarnya ini adegan romantis.
“temenan yuk,” aku tak bisa berkata apa apa saat mendengarnya.
Kalimat itu menggantung begitu saja diudara tanpa ada yang hendak menggapainya.
“ngapain? Gak” jawabku.
“tapi gua pengen temenan sama lu,” balasnya, matanya menatap mataku. Tatapan tulus itu lagi, akh… aku kalah. Sambil menghela nafas panjang karena kesal, aku meng-iyakan permintaannya.
Terkadang ia malah seperti anak kecil. Itu hanya pendapat pribadiku.
***
“lu ga malu apa temenan sama gua?”
“emm.. maksudnya?” ia menjawab sembari menyeruput gelas berisi es susu coklat yang barusan saja aku belikan untuknya. Ia berdalih agar pertemanan kami harus dirayakan dan akulah yang harus membayar segala pengeluarannya. Sial, benar benar seperti adikku sendiri.
“emm, gua aja malu sama diri gua sendiri. Maksud gua, elu ga malu punya temen yang di bilang ‘banci’ sama satu sekolah?”
“engg… gak, sama sekali enggak kok.” Tangan kirinya merangkul pundakku yang kemudian aku merasa jika ia juga mengusap usap rambutku lembut.
“kalo lu dikatain maho gara gara deket sama gua gimana?”
“udahlah, ga usah mikirin hal kayak gitu ah. Gua ga suka. Kalo dikatain yaudah di-iya-in aja, apa susahnya? Lagi pula lu juga baik, mau gua porotin pula. Kurang apa?” ia menghiasi wajahnya dengan cengiran khasnya dan tetap menyeruput minumannya tanpa dosa.
“kerongkongan lu pernah keselek kulit duren?”
“idiih, attuut” jawabnya sesukanya.
***
“lu gak join futsalnya? Di lapangan Futsal Satria deket rumah gua. Join yuk, kelas kita masuk final lawan kelas XI IPA 5” oh iya, dia Danny. Orang yang tempo lalu minta ditraktir es susu coklat.
Bulan Februari adalah bulan lomba di sekolahku. Banyak sekali lomba yang diadakan, baik ekstern ataupun intern seperti lomba futsal antar kelas. Tentu saja kelasku berpartisipasi, namun tanpa diriku. Maksudku, mereka membiarkan aku tak mengetahui hal sepenting itu. Aku sempat bingung dengan apa yang ia bicarakan. Maksudku, aku ‘saat itu’ tak mengetahui jika kelasku berpartisipasi dalam futsal tersebut. Aku merasa di khianati oleh ‘teman’ satu kelasku. Untuk alasan apa mereka tak membiarkan aku tahu masalah itu? Rasa panas mulai membakar hatiku, rasa yang kebanyakan adalah rasa tak dihargai. Aku memang menyukai jika aku sendirian, tapi tak dapat dipungkiri jika aku juga ingin dianggap oleh teman temanku. Aku juga mempunyai hati yang menginginkan pertemanan sebagai ornamen ornamennya. Aku rasa aku sakit hati.
Menjadi tak dianggap itu tidak menyenangkan ternyata.
“woi, kok diem aja? Mau gak?”
“emmm, gak ah gua ga ada motor” aku berdalih untuk menyembunyikan fakta bahwa aku tak mengetahui masalah apapun tentang hal itu. Kecewa, rasa itu mulai menyeruak kepermukaan. Aku harus mengakui bahwa aku tak memiliki seorang teman
“ga ada motor? apa elunya aja yang ga dikasih tau?” deg.
Pas, rasanya seperti akulah sasaran utama dalam permainan dart.
Kata kata itulah yang menembus jantungku hingga sesak rasanya bahwa ia mengetahui kenyataan apa yang sedang aku rasakan..
“udah ayok, jangan ngambeg gitu ah. Elu kan punya gua, gua siap kok ngenterin lu kemana aja. Tapi kalo kena tilang yah kita patungan aja. Soalnya gua Cuma bawa satu helm”
Aku masih diam merenungi betapa aku sangat terasing dan sangat kesepian. Saat saat seperti inilah dimana aku membutuhkan teman.
Aku benar benar merindukan sosok teman.
***
Pertandingan berakhir dengan hasil 6-3. Kemenangan ada di pihak kelasku. Tubuh Danny yang di banjiri keringat melambai ringan dan tersenyum kearahku.
“gimana serukan? Makanya, kurangin tuh baca baca kaya gitu.
Cobain temenan sama orang bukan sama panel panel kartunmu itu.” Sebenarnya itu bukan kartun.
Aku masih terdiam memikirkan percakapanku dengannya saat masih berada di atas motor tadi. ‘elu ga bisalah hidup sendiri. Lu pasti sakit hatikan ga dianggep sama satu kelas lu sendiri? Mungkin lu punya alasan buat ga terhubung sama mereka, tapi pada akhirnya lu juga butuh pengakuan dari mereka.” Huhu, sepertinya aku sudah ditakdirkan untuk terkena hujaman kata katanya.
“Nah serukan temenan sama gua?’ aku dapat merasakan ia menyunggingkan senyuman sintingnya dari balik helm. Dia benar, aku harus mempunyai teman.
Setelah itu, kami berjalan menuju kearah parkiran. Sesuai janjinya, dia akan mengantarku pulang.
“lu kerumah gua bentar ya? Gua mau mandi dulu. Ga enaklah kalo gua ngebalikin elu ke bonyok lu tapi guanya malah kaya gelandangan gini. Oke oke oke??” katanya sambil menaik turunkan alisnya.
“baru sadar mirip gelandangan?”
“ehhh.. ngelunjak lu yaa” dengan cepat ia merangkul ku dan menjitak jitak kecil kepalaku. Aku tertawa renyah seraya meninta ampun padanya. Ini ya rasanya mempunyai teman?
Lengannya yang super basah karena keringat rasanya sampai tembus kebalik seragam osisku. Tak dapat dipungkiri, sebagai kaum ‘belok’ aku merasa sedikit terangsang oleh bau kejantanannya. Buru buru aku melepaskan diri dari rangkulannya dan memintanya bergegas karena hari sudah makin gelap.
***
Sekitar pukul 6 sore kami sampai dirumah mewah milik Keluarga Danny, baru aku tahu jika Danny adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Kesemua kakaknya adalah perempuan yang sudah bersuami. Tak ayal jika Danny terkadang berlaku seperti anak kecil. Karena ia sudah terbiasa dimanja oleh kakak kakaknya dan tentu saja oleh keluarganya.
“Lu naik keatas trus belok kiri, cari aja pintu yang ada gantungan nama gua, itu berarti kamar gua. Lu nunggu disana aja ya, gua ada urusan bentar. Oh ya lu masuk aja, gapapa kok”
Aku mengangguk samar dan langsung mlipir ketempat yang di maksud oleh Danny. Tak sulit mencari kamarnya. Pikirku, jika tinggal dirumah mewah seperti ini hidupku akan dipenuhi oleh hal hal rumit seperti ‘letak kamar’ yang acak.
Kamar Danny besaaaar. Mungkin ukurannya tiga kali ukuran kamarku, dengan kamar mandi dalam, game konsol, satu set PC lengkap, AC, dan kasur yang luasnya mungkin bisa dipakai untuk lima orang jika kepepet. Tak lama Danny masuk hanya menggunakan handuk yang menutupi daerah pusar kebawah hingga lututnya saja. Jujur, dia sangat seksi. Tak banyak rambut di tubuhnya, hanya rambut tipis yang tumbuh menghiasi perut dan ketiaknya.
“ape lu ngeliatin gua sampe segitunya?” liriknya dengan mata nakal.
“lu naksir gua ya?”
“haaa….ph”
Aku mulai tergagap gagap dan memilih untuk menyembunyikan wajahku. Tiba tiba ia menyerangku dengan liarnya. Menahan kedua tanganku dengan pahanya, dan pantatnya yang menduduki dadaku.
“udahlah, jangan ngelak. Gua udah tau”
“Dan, udah dan, gua capek. Gua pengen pulang. Jangan kurang ajar sama gua. Gua teriak lho” aku mencoba meronta dan terus meronta hingga akhirnya Danny-lah yang membebaskanku. Aku kalah tenaga karena aku berpostur lebih kecil dari dirinya. Aku megap megap kehabisan nafas dan dia terduduk diatas ranjang miliknya.
“maafin gua, gua Cuma udah sayang sama lu. Gau bingung sama perasaan ini. Gua akuin awalnya gua Cuma disuruh temen temen kelas buat ngedeketin lu. Biar lu ga sendirian terus.”
“jadi lu selama ini kepaksa temanan sama gua? lu ga tulus?” bentakku kearahnya, aku mengampil tasku yang terjatuh dilantai dan sesegera mungkin ingin kelur dari sini. Saat sampai di tepi pintu, aku mempercepat langkahku dan sudah tak menaruh peduli lagi dengan dirinya. Aku pikir ia tulus, aku hanya tak menyangka jika orang sebaik dirinya tega melakukan hal semacam itu. Aku pikir, aku sudah mempunyai teman. Nyatanya, belum.
Seketika itu tubuhku ditarik dan didesak kearah tempok sudut kamar.
“Dan, lepasin!! Gua mau pul…” seketika Danny melumat lembut bibirku, nafasnya terengah engah karena lelahnya yang belum hilang sehabis futsal tadi. Matanya terpejam menikmati momen momen itu. Aku juga akan berusaha menikmatinya dan merasakan kelembuatan yang semakin liar. Cumbuan itu, mebuatku semakin terdesak kesudut ruangan dan membuat bahuku yang terpepet tembok terasa sakit. Aku mengerang kecil karenanya.
“eh, sakit ya? Maaf ya” tuturnya seraya menatapku lekat lekat.
Matanya yang terus sejajar oleh mataku kini mulai menghipnotisku. Jarinya mulai mengusap kecil ujung bibir mungilku hingga keujung yang satunya.
“aku sayang sama kamu, jujur dari dalam hati. Aku sayang kamu.” Ia mulai menangkup wajahku dan mengecup kecil puncak kepalaku.
“kamu mau jadi pacar aku kan? Gua pengen pacaran sama lu, gua sayang elu”
Aku yang sedari tadi pasif kini merasakan getaran yang begitu hebatnya. Perasaan apa ini? Aku tidak seharusnya seperti ini. Ini jauh diluar prinsipku yang menghindari berinteraksi dengan kaum ‘belok’ lain meski Danny sekalipun yang entah bagaimana menjadi
“belok” dan sejak kapan aku sudah menaruh perhatian khusus padanya?.
“emmm ..” saat aku hendak menjawab, Danny malah menghentikanku.
“ga usah dijawab, aku udah tahu jawabannya sayang.” Setelah itu ia menciumi bibir, leher, bahkan tangannya mulai bergerilnya dibalik seragam osisku yang mulai basah karena keringat kami. Tangannya yang menelusup kini sudah memilin milin putingku. Aku merasakan sensasinya, sungguh luar biasa rasanya. Terus, terusa Dan, jangan berhenti. Di terus melakukannya hingga napasnya mulai memburu dan tiba tiba..
JEGLEEK
“ASTAGFIRULLAH DANNY!!!” seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu. Rautnya terlihat kaget dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Benar, wanita tersebut ibu Danny.
***
Setelah kejadian itu, hubunganku dengan Danny semakin memburuk. Tak ada lagi orang yang memaksaku untuk nongkrong nongkrong di kantin bersama teman teman lain. Tak ada lagi orang yang dengan seenaknya merebut Hapeku ketika aku tertangkap basah keasyikan membaca manga. Tak ada lagi orang yang merangkul bahuku sembari mengoceh ngoceh tak karuan. Dan tak adalagi orang yang tak segan merengek demi segelas es susu coklat kepadaku.
Kami sempat bertemu meski hanya berpapasan, aku dapat merasakan semua sikapnya yang sangat berbeda dengan dia yang beberapa hari lalu masih memboncengku. Kami satu kelas, tapi tak banyak interaksi yang terjadi. Karenanya aku juga sudah mempunyai beberapa teman yang layak. Mereka selalu bertanya apa yang terjadi antara kami, tapi aku hanya tersenyum dan tak menggubrisnya. Tak mungkinkan aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi?.
Pernah sekali kami berpapasan saat ia bersama temannya yang lain. Canggung memang. Aku memilih untuk menundukan kepala agar aku tak repot repot melihat mata coklat kopinya. Saat mereka sudah berlalu, aku merasa kelegaan yang begitu meringankan hatiku.
“eh, ada maho-an lu tuh? Kaga lu sapa? Udah putus ya?” kata salah seorang teman Danny dari balik bahuku. Mungkin ia hanya menggoda Danny.
“pacaran aja belum, eh malah dikira putus. Bego.” Batinku.
“enggalah, jijik gua sama orang model kayak dia, gayanya ngondek gitu. Nyesel gua pernah kenal sama dia.” Deg deg..
Aku tak menyangka jika Danny bisa bisanya mengucapkan hal itu. Aku menggenggam kedua tanganku hingga kuku jariku memutih. Rasa tak percaya dan kecewa memenuhi sanubariku. Padahal aku mengharapkan jawaban yang ia janjikan sewaktu dulu. Tak menggubris apa kata orang dan menjalaninya seakan tak terjadi apapun.
Benar, aku sudah terbiasa dengan semua cemoohan yang sudah pernah aku dapat. Aku sudah tahu seluk beluk rasa sakit ynag ditimbulkannya. Tapi, tapi ini berbeda. Bagaimana rasanya dilukai oleh seseorang yang bahkan kau anggap tak sanggup untuk melukaimu? Dan kenyataanya? Mereka melakukannya seperti tak pernah ada yang terjadi antara kalian. Aku tak tahan dan memilih untuk mengambil langkah langkah kecil dan mempercepatnya hingga aku terlihat seperti berlari.
***
Benar, memang Danny menjalani harinya yang berat saat bersamaku. Ia berusaha melawan kodratnya yang tak pernah bisa menjadi kaum seperti aku, aku tahu dia berusa melawan semua perasaanya. Mungkin ia merasakan hal aneh ketika ia menyadari jika ia mulai tertarik denganku. Aku tahu rasanya, rasanya seperti ada sesuatau yang salah denagn diriku tetapi ketika aku mencari apa yang salah, aku tak menemukan jawaban apapun. Mungkin dia juga bingung.
Tak apa, ia tak perlu masuk keduniaku jauh lebih dalam dan lebih dalam lagi. Semua ini sudah terlalu jauh untukku. Aku harap ia memang tak benar benar menyayangiku. Karena kau tahu rasanya menyayangi seseorang yang memang benar benar tak bisa kau sentuh. Cukup aku saja yang menjadi ‘pencinta tunggal’ yang selalu mengamatinya dari kejauhan.
Meski begitu, aku menginginkan dia ada di sampingku, merangkulku, bahkan aku juga ingin membelikannya es susu coklat kesukaannya lagi, mendengar ocehan ocehan bodohnya, menuruti rengekannya, dan mejadi temanku lagi yang rela melawan dunia straight-nya untuk menyangi aku yang seperti ini. Terimakasih. Mungkin hanya itu yang bisa aku beri.
Dan kenyataan pahit lainnya adalah, Aku juga ingin menjadi pacarmu.
“Ruang kosong yang dulu kau diami kini hancur, entah bagaimana rasanya kau telah memaksa dirimu keluar dan menghancurkannya”

0 komentar:

Posting Komentar