LIE



By. Nashrun chan
"Love is pain,
Dedicated to all my broken-hearted people,
One's old a flame, just scream my name,
And I'm so sick of love songs (yeah),
I hate them damn love songs, moment of ours"
‪#‎BigBang‬ - Lie (Intro)
(Habibi's POV)
Lari, lari, dan lari. Hanya itu yang bisa aku lakukan agar terhindar dari kejaran polisi. Berlari melewati
gang2 di perumahan ini. Ku percepat lariku, karna ada sesuatu yg ku cari. Jarakku dengan polisi sudah makin jauh. Ku belokkan diriku ke kiri, dan disana! Itulah yg aku cari, Telepon Umum!!
Ku tekan tombol numerik sehingga menghasilkan kombinasi angka yg terdiri dari 12 digit itu. Tanpa pikir panjang, ku tekan tombol dial. Ku dekatkan gagangan telepon ke telinga kiriku sambil menengok kiri kanan. Aman.
Tuut... Tuut... Tuut... 'Pliss, angkat laaaah' lirihku dalam hati.
Beberapa detik kemudian, sebuah suara terdengar.
"halo?", tanya seseorang diseberang sana.
"Awan.. Hhh.. Hhh..??", tanyaku memastikan.
"Habibi. Knapa suaramu ngos-ngosan gitu??", tanya Awan dengan suara khawatir.
"Akuh.. sedhang... di kejhar... polishi.... Tolonghh.... akuhh... Wanhh...", lirihku. Tempo nafasku masih belum normal.
"Kamu dimana sekarang?", tanyanya lagi.
Saat ingin ku jawab, para polisi datang mengepungku. Shit!!
"Itu dia. Menyerahlah sekarang", kata seorang polisi kepadaku sambil memutarkan tanganku. Gagangan telepon jatuh. Tanpa basa-basi, polisi itupun langsung memborogol kedua tanganku.
Masih terdengar suara Awan samar-samar dari telepon. Aku pasrah. Ini demi kamu Awan.
***
(Awan's POV)
Aku tersentak, Habibi di kejar polisi? Tidak mungkin. Orang sebaik dia yang setahuku tidak pernah terlibat dengan pelangaran2 hukum, kini di kejar polisi??
"Kamu dimana sekarang??"tanyaku panik. Aku gak tau mau bilang apa lagi.
"itu dia. Menyerahlah sekarang", ucap seseorang dengan ucapan lantang.
"haloo?? Haloo??", teriakku. Aku bingung. Aku gak tau mau kemana mencarinya. Bahkan hari sudah gelap. Besok saja aku cari dia.
***
Tok.. Tokk.. Tok..
"Masuk. Pintu gak di kunci kok", ucapku tanpa melihat ke arah pintu. Tatapanku masih ke cermin sambil mengelap rambutku yang basah (baru mandi). Lagian paling Dimas yg datang. Tadi dia sudah menelpon mau datang ke apartemenku.
"Malam sayaang", ucapnya sambil berjalan ke arahku.
"Malam juga. Mau minum apa Dim??", jawabku sambil menjamunya, sedikit bercanda.
"Aku kan pacarmu, bukan tamu", katanya sewot. Dia memilih duduk di pinggir tempat tidur.
"Oh, c'mon, itukan bukan masalah besar"
"Tapi kamu selalu seperti itu, kamu memang gak pernah anggap aku ada. Kamu gak pernah anggap aku pacarmu. Aku hanya bodyguard bagimu", jawabnya dengan nada tinggi.
"Loh? Knapa kamu bilang begitu? Apakah menerima ajakanmu termasuk tidak menganggapmu ada? Termasuk tidak menggapmu sebagai pacar??", bantahku tak mau kalah.
"Bahkan kau tidak mau memberikan 'itu' padaku", tambahnya.
Damn it!! Kalau sudah membahas itu, aku gak bisa jawab. Karna menurutku dalam hubungan percintaan, sex berada di urutan terakhir, bukan seperti yg lainnya yg menempatkan sex di urutan pertama.
"Paling tidak aku mengizinkan kamu menciumku", elakku. Aku tau ini adalah jawaban ter-'idiot' yg pernah ada.
"Apa? Ciuman? Agar kamu tau saja, ciuman itu sudah hal biasa dalam pacaran"
Tiba2 dia menarikku dan menghempaskan tubuhku ke kasur, lalu menduduki perutku. Aku terkunci. Ku coba berontak. Aku belum siap melakukan ini. Aku gak mau!!
Ku dorong tubuhnya sehingga ia bergeser ke samping. Aku mencoba bangun tapi dia menarik tangan kiriku. Aku gak tau mau apa lagi. Ku ambil sebuah patung berbentuk lumba2 yg ada di atas meja & langsung memukulkannya tepat dikepala Dimas. Tarikannya melemah dan badannya pelan2 oleng, lalu... Bruukk!
Tubuhnya ambruk. Darah segar mengalir di lantai kamarku. Kakiku bergetar dan melemah. Aku terduduk menatap wajahnya. Apa aku yg melakukan ini? Apakah ini aku? Tatapanku beralih ke kedua tanganku. 'Aku telah membunuh seseorang yg kusayangi', lirihku.
Tetesan berwarna bening berjatuhan dari kedua mataku. Makin lama makin deras. Sesekali aku terisak di antara tangisanku.
"Apa yg kamu lakukan??"' kata seseorang tiba2 dari belakangku. Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya.
"Bib...", lirihku. Dia berjongkok di hadapanku lalu memelukku. Tangisku makin menjadi di pelukannya.
Tiba2 ia menarik tanganku.
"kamu harus keluar, Wan. Cepat!!"
Tanpa menunggu jawabanku dia dorong tubuhku dengan kuat. Lalu aku jatuh. Jatuh ke dalam lubang hitam kelam.
"Aaa... Aaa... Aaa..."
Aku terduduk. Peluh membasahi badanku. Kutarik kedua kakiku, menempelkannya kedada dan menguncinya dengan kedua tanganku. Mimpi buruk lagi. Aku gak tau sudah yg ke berapa kalinya aku mimpi ini.
Ku raba di sampingku, ternyata Habibi gak ada. Kembali aku teringat dengan kata2nya di telpon tadi. Habibi di kejar polisi dan ia minta tolong padaku. Dua malam terakhir ini, ia gak pernah datang kesini lagi, ke kost-annya.
Aku lirik jam di hp ku, 5.11. Sepertinya lebih baik aku mandi dan solat Subuh karna ada kuliah pagi.
***
Aku duduk di pojok sambil menyantap sarapan pagiku, soalnya aku gak sarapan tadi di kost. Ku lihat Andi menatapku dan mengurungkan niatnya ke Kampus. Mungkin karna dia melihatku disini.
"Dah baikan Wan??", tanya Andi.
"Hah??"
"Kan udah 2 hari kamu gk datang. Kata Habibi kamu sakit", jawabnya dengan nada malas. Mungkin ia kira aku sedang bercanda.
Tapi benarkah ini?? Aku sudah 2 hari gak datang??
"Seperti yg kau lihat lah, hehe", balasku dengan sedikit tertawa. Takut kalau Andi pikir aku lagi hilang ingatan.
"Aku ke kelas dulu ya, ada tugas yg belom siap", katanya sambil berdiri.
"Yang tabah ya. Aku tau cobaan ini berat buat kamu", tambahnya lalu pergi meninggalkan aku. Tabah?? Cobaan?? Apa maksudnya?? Ini semakin gila saja. Ingin ku tanyakan padanya tentang maksud dari perkataannya tadi, tapi dia sudah pergi. Mungkin nanti saja waktu pulang kuliah aku tanya Andi. Soalnya kami beda jurusan.
Materi yg diberi dosen hari ini tidak ada yg masuk ke otakku. Aku lebih banyak melamun, lebih banyak berangan2, lebih banyak bengong. Dari kejadian2 aneh beberapa hari terakhir ini, dua kesimpulan yg aku dapat dan harus aku pecahkan. Pertama, apa masalah Habibi sehingga berhubungan dengan polisi. Dan kedua, memangnya apa cobaan yg aku alami dua hari terakhir ini??
***
Ku lirik lagi jam di hp ku. Sudah 15 menit aku di parkiran ini menunggu Andi. Aku sudah sms dia tadi kalo aku ingin pulang bareng dengan Andi. Nebeng sambil meminta penjelasan akan kalimatnya tadi.
"Awan..", teriak seseorang yang sangat familiar dari arah samping. Langsung ku arahkan pandanganku menuju asal suara tersebut. Andi menghampiriku sambil mengatur napasnya yg ngos-ngosan.
"Gak usah lari2 lah An, aku belum lama nunggu kamu koq"
"Gawat Wan, Gawaaaatt!!", teriaknya lagi sambil menggoncang2 bahuku.
"Gawat gimana An??", tanyaku panik. Ada hal apa lagi ini??
"Habibi, Wan... Habibi..."
"Habibi kenapa??"
"Sekarang ia di kantor polisi Wan"
"Hah?? Kok bisa??", tanyaku lebih panik lagi. Harusnya ini bukan hal yg baru bagiku karna sudah mendengarnya dari Habibi kemarin.
"Aku juga gak tau Wan. Aku pun baru tahu tadi. Katanya, Habibi yg bunuh Dimas beberapa hari yg lalu di apartemen kamu"
Ini persis seperti mimpiku akhir2 ini. Hanya saja pelakunya bukan Habibi, melainkan aku.
"Aku pun tak menyangka, Habibi tega ngelakuin ini ke kamu", sambungnya.
"Tolong antar aku ke apartemen", jawabku.
"Mau ngapain? Bukankah seharusnya kita pergi melihat Habibi??", tanyanya heran.
"Ada yg aneh dengan semua ini. Aku tau betul Habibi itu orangnya seperti apa, dia gak mungkin ngelakuin ini sama aku", bantahku.
"Aku juta tau kalo Habibi itu baik Wan. Tapi waktu kejadian itu, Habibi ada di situ berlumuran darah"
"Terserah. Aku mau ke apartemen"
"Oke. No problem. Ayo naik"
Kami pun brangkat ke apartemenku. Di perjalanan pikiranku kesana kemari. Di satu sisi, aku yakin bukan Habibi pelakunya. Tapi di sisi lain, akkhh!! Aku pusing. Ku pukul2kan kepalaku ke punggungnya.
"Ada masalah??"
"Ohh, maaf. Aku baik2 saja kok An", jawabku.
Akhirnya kami sampai di sebuah gedung bertingkat. Apartemenku berada di lantai 4. Tidak memakan waktu lama untuk mencapai kamarku karna kami naik lift. Setelah pintu lift terbuka, langsung aku arahkan tubuhku menuju pintu kamarku diikuti oleh Andi.
Sebuah plastik panjang berwarna kuning dengan warna hitam sebagai tulisannya ditempelkan di depan pintu secara zig-zang menandakan bahwa ada sesuatu yg sudah terjadi di dalam kamar tersebut. Ku angkatkan sedikit ke atas Garis Polisi tersebut dengan tangan kiriku sedangkan tangan memegang gagang pintu. Langsung aku menuju ke kamarku yg sekarang sudah disulap menjadi TKP.
Tubuhku bergetar melihat sebuah garis putih membentuk bayangan seseorang yg sedang tertidur (gak tau namanya apa, penulisnya o'on). Kakiku gak bisa lagi menopang tubuhku. Aku ambruk dan aku tak bisa lagi menahan air mataku.
Semuanya jelas. Kembali ingatan 2 hari yg lalu masuk ke dalam otakku. Kejadian yg tidak ingin aku ingat itu. Mimpi burukku selama ini adalah kenyataan, bukan hanya sebagai bunga tidur semata. Akulah yg membunuh Dimas. Bukan Habibi.
'Bahkan kamu tak memberikan itu padaku', kata Dimas.
'Apa yg kamu lakukan?', teriak Habibi.
Kata2 mereka waktu itu masih terngiang2 di telingaku. Gerak-gerik mereka pun masih tergambar jelas di pikiranku. Hanya saja setelah Habibi menyuruhku pergi, aku merasa kepalaku sakit, sangat sakit sehingga membuat pandanganku kabur. Makin lama makin kabur sehingga berubah menjadi hitam. Setelah aku bangun, aku mendapati diriku tertidur di kost-an Habibi di temani Andi.
"Kamu gak apa2 Wan?", tanya Andi mengembalikan pikiranku dari masa lalu.
"Bukan Habibi yg salah An. Bukan dia yg membunuh Dimas", jawabku.
"Aku tau Wan"
"Maksudnya?"
"Waktu kejadian itu, Habibi menelponku agar datang kesini karna kamu pingsan. Aku yg membawamu ke kost-an Habibi"
"Jadi kamu tau semuanya?"
"Kurang lebih begitu"
"Kenapa kamu gak bilang padaku? Kenapa kamu bohongin aku?", teriakku.
"Habibi yg menyuruhku supaya tidak bilang apa2"
"Apa ini yg dikatakan teman? Apa kamu tidak menganggapku temanmu lagi??", jawabku masih dengan teriakan.
"Ini bukan masalah persahabatan Wan, ini masalah hati. Habibi cinta sama kamu, sayang sama kamu. Jadia dia tidak ingin orang yg disayanginya masuk penjara", jawabnya.
"Tapi mengapa dia gak bilang sama aku? Kenapa dia bohongi perasaannya selama ini??", tanyaku gak percaya.
"Kamu ingat waktu kita SMA dulu? Kita berkumpul di rumahku memainkan permainan Truth or Dare?", tanya Andi.
Aku ingat. Itu adalah moment yg tak akan terlupakan. Kejadian waktu SMA ketika sudah siap UN. Pertemuan terakhir kami di masa Putih abu2. Karna kami gak tau apa kami akan bertemu lagi di masa Mahasiswa. Ternyata Tuhan mendengar do'a kami, kami masih dipertemukan di Universitas yg sama. Meski beda jurusan.
"Gimana kalo kita main permainan Truth or Dare?", ajak Andi.
"Oke. Kayaknya seru. Kau pasti ikut kan Wan?", tanya Habibi.
"Siapa takut", jawabku.
Aku yg memutar botol duluan. Setelah beberapa detik, ujung botol mengarah ke Andi.
"Truth or dare", tanyaku dengan senyum setan.
"Truth", jawabnya mantap.
"Sejauh mana kamu pacaran dengan cowok?"
"Cuma ML aja"jawabnya enteng. Aku gak salah dengar kan?? Dia bilang 'cuma'?? Sepertinya ML adalah hal biasa baginya.
"Dengan siapa?", tanyaku penasaran.
"Itu udah lebih dari 1 pertanyaan Wan", jawab Habibi. Yaaah, sial banget.
Sekarang Habibi yg memutar botol. Makin lama botol makin lambat lalu ujungnya mengarah padaku.
"Truth or dare", tanya Andi.
"Kan Habibi yg mutar botol. Harusnya Habibi juga yg nanya", bantahku. Aku takut Andi nanya yg aneh2. Wajah Andi jadi manyun sedangkan aku merasa sangat menang.
"Baiklah Wan, truth or dare?", tanya Habibi.
"Truth aja deh"
"Gimana pendapat kamu tentang sahabat jadi cinta?"
"bagi aku, sahabat tetap sahabat. Pacar tetap pacar. Sahabat tidak akan jadi pacar, tidak ada kamus TTM di dalam benakku", jawabku mantap. Habibi hanya mengangguk pelan.
Lalu botol di putar oleh Andi. Dia memutarnya sangat kencang. Mata kami tertuju pada botol. Sangat lama menuggunya diam. Dalam benakku aku terus berdo'a agar tidak aku yg kena. Botolpun mulai diam lalu menunjuk Andi. Haha, dia kena batunya. Aku lega.
"truth or dare?", tanyaku dengan senyum setan lagi.
"Yah, kamu lagi. Kasih sama Habibi kek, kan kamu udah tadi", bantah Andi.
"Ya sudah, kamu aja yg tanya Bib"
"Kalo gitu, truth or dare?"
"Truth"
"Apa yg akan kamu lakukan jika seandainya kamu cinta sama Awan, sedangkan dia sudah bilang tadi kalo sahabat gak bisa jadi cinta, gak ada yg namanya TTM??", tanya Habibi. Panjang banget sih pertanyaannya. Tapi gak bisa di bantah karena meski panjang, pertanyaannya masih satu. Tapi kok aku yg harus jadi sampelnya sih? Barangkali karena jawabanku tadi. Hmm, whatever laah.
Andi berpikir keras, tergambar jelas di raut wajahnya. Sesekali mulutnya komat-kamit. Baca mantra mungkin. Setelah menunggu beberapa menit, ia buka mulut.
"Kayaknya aku pendam saja deh. Soalnya akan rumit kalo di teruskan. Aku pasti canggung kalo aku ungkapin cintaku sama Awan. Yg lebih parah, Sahabat akan jadi musuh", jawabnya panjang lebar.
"Betul sekali", jawabku sambil mengarahkan jari jempol kananku ke mukanya. Matanya melotot menghindari jempolku. Tawa Habibi meledak diikuti tawa kami berdua.
"Sudah2, kita lanjutin permainannya", kata Andi sambil memutar botolnya.
"Heei,, ini giliranku", bantahku.
"Gak apa2, sudah mulai kok", jawab Habibi.
Andi memutar botolnya dengan kecepatan biasa sehingga botol sudah mulai melambat, lalu mengarah ke Habibi.
"Truth or dare", tanya Andi.
"Truth", jawab Habibi tenang.
"Yaaah, truth lagi. Gak bisa, dare kek sesekali. Dari tadi truth trus!!", jawab Andi sewot.
"Loh?? Itukan pilihan dia An!", bantahku gak mau kalah.
"kamu kok dukung dia Wan? Apa jangan2...", jawab Andi menggantung kata2nya sambil menunjuk kami secara bergantian. Damn, Andi sudah gila. Aku hanya bisa memutar bola mataku.
"Oke, dare aja deh", jawab Habibi masih dengan sikap tenangnya. Andi hanya tersenyum menang.
"Coba praktekkan ciuman pertama kamu, anggap saja Awan adalah orangnya", suruh Andi dengan bangga. Kepalanya terangkat sedikit ke atas dengan wajah menahan tawa.
Aku sebagai korban tentu saja mengelak.
"Kamu apa2an sih An. Itu konyol. Aku gak mau. Dari tadi aku terus yg jadi sampel, aku terus yg jadi korban", jawabku panjang lebar.
"Sebagai sahabat, kamu tega aku nyuruh Habibi nyium tiang??", tanya Andi.
"Bukan gitu kali. Kan kamu bisa nyuruh Habibi nyium kamu, bukan aku. Lagian kenapa harus cium2an segala sih? Kurang kerjaan amat", kataku sewot.
"Helllloooww. Ini hanya permainan Wan. Only game. So, relax bro. Atau jangan2...", kata Andi lagi sambil menunjuk kami berdua secara bergantian beberapa kali seperti yg dilakukannya tadi. Hanya saja, ini ditambah dengan alisnya yg naik turun. Oh God! Jika seandainya Andi punya dua nyawa, sudah aku penggal kepalanya. (Apa hubungannya?)
"Bib, kamu kok diam trus sih? Harusnya kamu dukung aku", kataku meminta dukungan.
"Mau gimana lagi Wan, ini permintaan Andi. So, aku harus ngelakuin ini kan?? Lagian ini hanya permainan kok. Jangan ambil hati. Kalo aku gak mau, takutnya Andi nuduh kita yg lain2", jawabnya.
Ohh God. What should I do?? Ciuman pertamaku akan bersarang di bibir Habibi. 'Gak apa2 sih, kan teman sendiri', pikirku. Tapi, ku geleng2kan kepalaku membuang jawaban itu.
"Ready??", tanya Andi.
Huuffhh, aku pasrah. 'Ini hanya permainan, jgn di pikirin Wan. Relax. This is only game', mantapku dalam hati.
"Huffh,, Oke", jawabku dengan hembusan nafas. Aku grogi.
Habibi menatap kedua mataku lekat, perlahan lehernya mendekat yg di iringi dengan tutupan matanya. Aku pun meniru gerakannya, hanya saja kepalaku miring kekanan. Bibirnya sukses mendarat di bibirku. Ia buka bibirnya perlahan sambil melumat bibir atasku yg ku balas dengan melumat bibir bawahnya. Kami melakukannya dengan pelan2. Tadi aku hanya berpikir kalau ini permainan, tapi sekarang tidak. Ini membuatku kecanduan. Aku ingin lebih lama, jadi ku ikatkan tanganku ke lehernya agar ia tidak melepaskan ciumannya. It feel like in heaven.
"Ehhm... Ehhmm...", suara seseorang menyadarkanku kalau ada 'makhluk' ketiga disini. Biasanya makhluk ketiga adalah setan. Dan benar saja, kalau disini ada setan berwajah manusia. Aku hampir lupa kalau andi ada disini dan kami sedang bermain. Shit!! Kenapa bisa aku merasa kenikmatan?? Apa ada yg menghipnotis aku??
Segera ku lepas tanganku dari lehernya kemudian mendorongnya pelan agar dia melepaskan ciumannya. Kuperbaiki dudukku dan mengubah kembali mimik mukaku seperti yg tadi.
"Puas??", tanyaku cuek.
"Puas bangeeett", teriaknya dengan senyum menang. "Tapi sayang aku lupa fotoin kalian waktu ciuman", tambahnya.
"Kalo kamu foto tadi, berarti kamu udah bosan hidup alias memilih ini", ancamku sambil menunjukkan kepalan tangan kananku.
"Sepertinya kita harus akhiri permainan ini. Aku sudah ngantuk", kata Habibi. Aku juga sudah mulai ngantuk. Lelah.
"Iya, kita harus istirahat. Sudah jam 11 lewat", tambah Andi yg kujawab dengan anggukan kepala. Malam yg panjang bagiku.
Tangisku tambah deras setelah mengingat semua kejadian2 yg tlah ku alami slama ini. Aku memang bodoh, bahkan sangat bodoh sampai aku tak tau kalau ada seseorang yg menyayangiku, slalu ada buatku, slalu di sampingku, seorang yg sudah lama ku kenal. Aku minta maaf Bib sudah menghancurkan perasaanmu.
"Maafin aku Bib", lirihku. Tangan Andi mengelus2 pundakku lembut.
"Aku memang bodoh An, tidak sadar kalo ia mencintai aku."
"Katakan itu nanti. Sekarang lebih baik kita menemui Habibi"
***
(Kantor Polisi)
Di tempat ini, banyak juga orang yg datang menemui para tahanan. Aku & Andi duduk di hadapan Habibi.
"Kalian datang kesini mau duduk2 aja atau bertemu denganku?" tanya Habibi memecahkan keheningan. Memang, semenjak Habibi menemui kami disini, tidak ada yg angkat bicara.
"Cuma 15 Menit loh. Tinggal.... 10 menit lagi" Sambungnya sambil menilik jam dinding.
"Maaf", lirihku.
"apa kamu menjatuhkan sesuatu sehingga kamu menghadap kebawah trus?" tanyanya.
Memang, aku gak berani menatap wajahnya. Tapi dari kata2nya, sepertinya dia baik2 saja. Kuberanikan diriku melihat wajahnya yg tepat dihadapanku, dan benar saja, wajahnya seperti biasa. Seperti tidak terjadi sesuatu diantara kami.
"Maaf, harusnya kamu yg di kursi ini sedangkan aku di kursimu". Ku tak bisa membendung air mata ini lagi. Kuremas tanganku kuat. Menyesali semua yg terjadi. Kucoba menahan tangisku, tapi tidak bisa.
"Udah gede tapi masih nangis. Nangisnya di penjara lagi" canda Habibi.
Ku mencoba tegar, mencoba tersenyum. Tapi kembali kuhapus senyuman itu karna aku tidak tega melihatnya yg sudah memakai seragam khas LP.
"Sudahlah Wan, semua sudah terjadi. Aku gak apa2. Lihat, aku baik2 saja kaan?"
"Aku pergi keluar dulu yah, mau merokok sebentar" potong Andi.
"Aku tau kamu tidak merokok An. Ini gak rahasia kok. Aku juga mau minta tolong kepadamu agar menjaga Awan. Gak apa2 kan?" jawab Habibi. Ini orang memang gak profesional amat kalau mau bohong.
"Gak apa2 lah Bib. Kamu gak nyuruh juga bakal aku jaga kok" jawab Andi
"Maaf, waktu saudara sudah habis" kata seorang opsir.
"Jangan sedih. Aku baik2 saja kok. Jangan khawatirkan aku" jawab Habibi sambil berdiri. Pergi menuju 'ruangan'-nya bersama orang2 berseragam serupa, di iringi seorang opsir di belakangnya.
"Yok Wan" ajak Andi. "Ingat kata Habibi ya, jangan sedih dan jangan kwatirkan dia" tambahnya. Aku hanya mengikutinya keluar dari LP ini.
Aku minta maaf Bib. Maaf karna terlalu bodoh sehingga tidak tau kalau kamu mencintai ku.
Aku akan menunggumu disini. Jaga dirimu baik2 ya.
"I'm so sorry but I love you da geojitmal,
Iya mollasseo ijeya arasseo nega piryohae,
I'm so sorry but I love you nalkaroun mal,
Hwatgime nado moreuge neol tteonabona etjiman,
I'm so sorry but I love you da geojitmal,
I'm so sorry (I'm sorry) But I love you (I love you more more)
I'm so sorry but I love you nareul tteona,
Cheoncheonhi ijeojullae, Naega apahal su itge"
#BigBang - Lie (Chorus)
-E N D-

1 komentar:

Kaka_eL24 mengatakan...

serasa nton mv seventeen..
eum ada lagi sih mv model ini cuma lupa...
namanya Habibi, cute deh
udah lupakan maen truth or dare, ujung"nya kacau terus. hahaa

Posting Komentar