Sapporo, Hokkaido
Sapporo adalah sebuah kota di bagian barat daya Dataran Ishikari dan kipas aluvial sungai Toyohira yang berasal dari aliran sungai Ishikari. Jalan – jalan di Distrik perkotaan di bangun mengikuti jaringan rencana jalan. Di bagian barat dan selatan Sapporo terdapat sejumlah gunung, termasuk Gunung Teine, Gunung Maruyama, dan Gunung Moiwa, serta sungai – sungai, termasuk sungai Ishikari, sungai Toyohira, dan sungai Sosei. Sapporo adalah kota taman, termasuk di antaranya Taman Odori yang berada di pusat kota. Di Taman Odori di adakan acara tahunan dan berbagai festival sepanjang tahunnya. Arsitek lanskap Jepang-Amerika Isamu Noguchi mendesign Taman Moerenuma, salah satu taman terbesar di Sapporo. Sapporo memiliki iklim lembap, dengan perbedaan temperatur yang besar antara Musim Panas dan Musim Dingin. Musim Panas umumnya hangat, tetapi tidak lembap dan Musim Dingin menjadi sangat berdingin dan bersalju, dengan curah salju rata – rata 630cm (248inch). Sapporo adalah salah satu dari sedikit kota metropolis di dunia yang memiliki curah salju begitu besar, sehingga dapat mengadakan festival salju setiap tahunnya. Tak terasa ini adalah hari terakhir seorang pemuda manis yang sedang duduk menunggu panggilan boardingnya itu di Sapporo. Dia memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya itu untuk ke Tokyo dan tinggal di sana sekaligus mencari ayah dan saudara kembarnya. Hampir delapan belas tahun lamanya dia sudah berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya tersebut karena perceraian kedua orangtua mereka. Tentu saja kedua orangtua mereka sudah mempunyai kehidupan masing – masing, namun baru tahun ini pemuda manis itu bisa mengunjungi ayahnya karena dia mendapat beasiswa untuk kuliah di salah satu Universitas terbaik di Tokyo itu. Miura Hina, adalah nama pemuda manis tersebut, sejenak orang berpikir nama itu adalah nama untuk seorang wanita, namun tidak, kenyataannya pemuda manis itu memang bernama Miura Hina. Ibunya yang sudah menikah dengan pria asli Hokkaido tidak keberatan anak semata wayangnya tersebut untuk pergi ke Tokyo sendirian, lagipula sebelum dia berangkat, ibunya sudah menghubungi ayahnya agar menjemputnya di bandara Haneda nanti. Walaupun mereka berdua sudah bercerai, hubungan orangtua Hina tidak pudar begitu saja, tatkala ayah dan ibunya sering bertemu dalam perjalanan bisnis dan membawa pasangan mereka masing – masing. Agak sulit dipercaya tapi itulah keadaan keluarganya sekarang, sehingga Hina tidak terlalu sedih ataupun kecewa kepada kedua orangtuanya tersebut. Hanya foto saja yang selama ini membuat Hina tahu seperti apa tampang Hiro Sasaki, kakak kembarnya tersebut. Pasti kalian bingung, kenapa nama marga mereka sudah berbeda ? Betul, ayah baru Hina bermarga Miura dan mantan ayahnya dulu bermarga Sasaki, dan Hiro masih tetap memakainya karena dia tinggal bersama sang ayah. Hina membetulkan letak kacamatanya lalu membaca pengumuman boarding yang berada di depannya sekarang, lima belas menit lagi akan berangkat, batinnya. Tingginya yang hanya 165cm, membuatnya terlihat masih sekolah setingkat Middle School, namun tidak ada yang terlalu istimewa dengan penampilannya. Hina hanya memakai sebuah celana panjang berbahan katun berwarna hitam, dan pakaian lengan panjang berwarna putih dibaluti oleh jas berwarna hitam juga, karena bulan ini masih Januari jadi salju turun cukup deras hari ini, semoga saja penerbangan tidak ada yang terlambat karena hujan salju seperti ini, imbuh Hina lagi dalam hati berdoa.
Pengumuman panggilan boarding sudah bergema di seluruh ruang tunggu yang sejak tadi Hina tempati, langsung saja dia beranjak pergi dan menarik koper yang tidak terlalu besar. Lalu sejenak dia berhenti ketika pemberian tiket sebelum masuk ke dalam pesawat dan melihat sekeliling ruangan yang cukup besar itu.
“Entah kapan aku akan kembali ke sini” gumamnya pelan lalu masuk berjalan menuju pesawat yang akan membawanya ke Tokyo.
Hamparan warna putih menjadi pemandangan yang sudah biasa bagi Hina, dia membuka jendela pesawat dan view dilihatnya makin berubah karena pesawat sudah lepas landas, dan sekarang sudah berada di ketinggian yang masih bisa melihat suasana kota Sapporo tersebut, dan lama – lama menghilang tertutup awan. Hawa putih keluar dari bibir merah Hina, karena sangat dingin di dalam pesawat. Dia berusaha untuk tertidur dan lama kelamaan matanya terpejam dan membawanya ke dalam alam mimpi.
Haneda, Tokyo
Hina mulai meregangkan otot – ototnya karena pramugari sudah mengumumkan bahwa pesawat sudah tiba di bandara Haneda, Tokyo. Selama dalam perjalanan tersebut Hina tertidur lelap, karena beberapa minggu sebelum kepergiannya hari ini, dia selalu belajar tengah malam untuk tes ujian masuk di Universitas barunya tersebut. Walaupun sudah mendapatkan beasiswa, Hina tetap harus menjalankan ujian kelayakan bahwa dia mampu untuk menjadi murid beasiswa di sana. Hina tidak terlalu memperdulikan hal itu, sejak dulu prestasi akademiknya memang membanggakan, jadi dia tidak akan khawatir pada ujian tersebut, walaupun level di Tokyo lebih tinggi daripada di Sapporo.
Prefektur Tokyo di bagi kepada daratan dan kepulauan. Bagian daratan terletak di sebelah barat laut Teluk Tokyo, sekitar 90 km timur ke barat, dan 25 km utara ke selatan. Tokyo berbatasan dengan Prefektur Chiba di timur, Prefektur Yamanashi di barat, dan Prefektur Saitama di utara. Kepulauannya terdiri dari Kepulauan Izu dan Kepulauan Ogasawara, memanjang sekitar 1.000 km ke Samudra Pasifik. Berdasarkan hukum Jepang, Tokyo di tentukan sebagai sebuah kota metropolitan. Struktur pemerintahannya serupa dengan wilayah – wilayah lain di Jepang, di dalam Tokyo letaknya puluhan entitas yang lebih kecil yang sering dianggap sebagai kota, meliputi 23 distrik khusus yang pernah membentuk Tokyo hingga tahun 1943, tetapi saat ini merupakan kotamadya yang terpisah dan memerintah sendiri, dipimpin walikota dan dewan, serta memegang status kota. Pemerintahan Metropolitan Tokyo dipimpin seorang gubernur dan perhimpunan metropolitan yang dipilih masyarakat. Kantornya terletak di Shinjuku, Pemerintah Metropolitan mengatur seluruh wilayah Tokyo, termasuk sungai, bendungan, perkebunan, pulau kecil, dan taman nasional. Distrik – distrik khusus di Tokyo meliputi wilayah yang dulunya merupakan Kota Tokyo. Pada 1 Juli 1943, Kota Tokyo di gabungkan dengan Prefektur Tokyo untuk membentuk “wilayah metropolitan”. Hasilnya berbeda dengan distrik kota lain di Jepang, distrik – distrik khusus di Tokyo ini merupakan munisipalitas dengan walikota dan majelisnya sendiri. Prefektur Tokyo mempunyai 23 distrik khusus yang terdiri dari :
Adachi-Nakano
Arakawa-Nerima
Bunkyo-Ota
Chiyoda-Setagaya
Chuo-Shibuya
Edogawa-Shinagawa
Itabashi-Shinjuku
Katsushika-Suginami
Kita-Sumida
Koto-Toshima
Meguro-Taito
Minato
Arakawa-Nerima
Bunkyo-Ota
Chiyoda-Setagaya
Chuo-Shibuya
Edogawa-Shinagawa
Itabashi-Shinjuku
Katsushika-Suginami
Kita-Sumida
Koto-Toshima
Meguro-Taito
Minato
Hina akan tinggal di Distrik Shinjuku, karena paman dan bibinya tinggal di sana. Setelah mengemasi semua barang bawaannya yang tidak terlalu banyak, Hina langsung keluar dari bandara dan menyetop sebuah taksi dan menunjukkan sebuah alamat kepada supir taksi tersebut dan tak lama kemudian mereka meluncur menuju alamat yang di berikan oleh Hina barusan. Hina tidak memilih untuk tinggal dengan ayahnya, lagipula dia masih belum terbiasa dengan kota Tokyo dan segala macam hiruk – pikuknya. Dia lebih ingin tinggal bersama paman dan bibinya, juga sekaligus jarak ke Universitasnya tidak terlalu jauh dari sana. Di dalam taksi Hina hanya melihat keluar jendela, karena sudah cukup larut malam dia tiba di kota ini. Lampu – lampu terang benderang menerangi jalan utama ibukota Jepang ini, Hina tidak menyangka akan keluar dari kampung halamannya dan merantau sendirian ke daerah yang sama sekali dia belum kenal. Salju terlihat turun pelan dan cukup membuat Hina terkejut, walaupun tidak sederas di Sapporo sebelum dia pergi tadi. Hina masih belum tahu apa keinginannya datang ke Tokyo seperti ini, namun dalam hati kecilnya dia ingin bertemu dengan saudara kembarnya dan ayahnya itu. Sejak mereka lahir Hina dan Hiro memang sudah di pisah, karena itulah perjanjian dari pernikahan bisnis ayah dan ibunya tersebut. Keberuntungan saja, ibunya melahirkan langsung anak kembar, dan batas kontraknya tersebut juga cukup cepat sehingga mereka berdua langsung membawa Hina dan Hiro ke tempat mereka masing – masing setelah urusan bisnis keluarga mereka selesai. Ketika mendengar penjelasan yang cukup rumit dari ibunya, Hina agak shock dan kalut, tapi ibunya berkata,
“Walaupun kami berdua hanya menikah karena perjodohan bisnis saja, kalian berdua lahir dari cinta kami Hina, Hiro juga begitu, jadi kalian tidak perlu meragukan kasih sayang kami kepada kalian berdua” ujar ibunya waktu itu ketika Hina masih duduk di bangku kelas tiga High Schoolnya.
Namun kenyataannya mereka sudah mempunyai pasangan masing – masing yang sangat mereka cintai, jadi Hina tidak bisa berbuat apa – apa lagi, dan mempercayai kata – kata ibunya tersebut. Hina juga tidak tahu apakah Hiro bakal berpikir demikian juga tentang orangtua mereka, atau bahkan tidak mau menemui Hina yang selaku saudara kembarnya sendiri, benak Hina sangat berkecamuk, sampai tidak mendengar panggilan supir taksi yang sedari tadi bahwa mereka sudah di alamat yang dituju tersebut. Dia mengerjapkan matanya dan meminta maaf kepada supir taksi itu, lalu membayar ongkos perjalanannya dan keluar dari taksi, berjalan perlahan menuju rumah paman dan bibinya tersebut. Hina berhenti di depan sebuah pagar besi besar yang berdiri dengan kokoh, dan sekilas melihat papan nama keluarga yang tercetak cukup besar di tembok sebelah kirinya, “Asou”. Hina menarik nafas kuat lalu memencet sebuah bel dan terdengar sebuah suara wanita dari mikrofon kecil yang menyatu dengan bel tersebut,
“Siapa ya ?” tanya wanita dari seberang sana.
“Mmm, ini aku bibi, Miura Hina” jawabnya agak gugup.
Berselang kemudian, keluar seorang wanita paruh baya, namun masih sangat cantik dengan penampilan yang cukup eksotis walaupun sudah larut malam.
“Masuklah, Hina, ayahmu tidak menjemput ?” tanya bibinya lagi sambil membukakan gerbang besarnya dan memeluk Hina erat.
“Tidak bibi Asou, aku sudah mengirimnya pesan agar tidak usah menjemputku, lagipula aku ingin mencoba mandiri agar terbiasa dengan jalan Tokyo” balas Hina tersenyum senang.
“Kau ini, tidak berubah sama sekali, ayo masuk, salju sudah turun kau pasti kedinginan” ujar bibi Asou lagi, dan menarik Hina ke dalam rumahnya.
Keluarga Asou adalah kerabat dari ibu Hina, Asou Haruka adalah adik dari Miura Yuuko, ibunya. Bibinya tersebut cukup dekat dengan Hina karena, seringkali keluarga Asou mengunjungi Hina dan ibunya ke Sapporo. Maka dari itu Hina tidak terlalu takut akan tinggal di Tokyo karena bibinya sangat sayang padanya, dia bisa bertanya apapun dan tidak perlu waswas, jika tersesat nanti di Tokyo.
“Bagaimana kabarmu, sayang ? Kau baik – baik saja ketika di pesawat tadi ?” tanya Haruka ketika mereka sudah duduk di ruang tamu yang cukup luas di dalam rumah itu.
Hina hanya menganggukkan kepala pelan,
“Hanya sedikit bingung ketika keluar dari bandara Haneda, tapi jangan khawatir aku banyak bertanya kepada petugas di sana” lugas Hina mengenggam telapak tangan bibinya itu.
“Maafkan bibi, tidak bisa menjemputmu karena ada urusan bisnis, pamanmu juga belum pulang, mungkin tengah malam nanti, sebaiknya kau istirahat di kamar sekarang Hina” ajak Haruka merangkul Hina dan menuju lantai atas, kamar tamu yang sudah di sediakan untuk keponakan kesayangannya itu.
Desain rumah bibinya tersebut cukup mewah, tidak heran bagi Hina, karena bibinya adalah seorang Designer yang cukup terkenal di Tokyo dan pamannya seorang pebisnis ulung dan mempunyai saham perusahaan sekitar 45% di Bursa Saham Tokyo. Sesampainya di kamarnya, Hina langsung merebahkan diri dan memejamkan mata, hidupnya akan di mulai sekarang. Meskipun banyak tantangan dan halangan yang akan mewarnai kehidupan kuliahnya nanti, Hina akan berjuang mati – matian agar semua keinginannya tercapai. Dia terbangun sebentar dan membuka tas kecil yang selalu di jinjingnya selama perjalanan, mengambil sebuah bola kristal kecil yang di dalamnya terdapat replika rumah kecil dan pohon cemara, jika di tepuk sedikit, akan muncul salju – salju yang turun seakan – akan seperti di dunia nyata. Hina menatap benda itu lekat seiring merasa takjub, salju yang turun di dalam bola kristal itu tak akan pernah berhenti, kenangan yang manis. ***
Suara ketukan keras terdengar dari pintu kamar Hina, namun dia tidak mau bangun dari tempat tidurnya tersebut dan masih menggeliat seperti cacing. Tanpa di duganya, seseorang masuk dan melemparkan handuk dengan kasar kepada Hina yang masih tertidur dan menyahut agak keras,
Suara ketukan keras terdengar dari pintu kamar Hina, namun dia tidak mau bangun dari tempat tidurnya tersebut dan masih menggeliat seperti cacing. Tanpa di duganya, seseorang masuk dan melemparkan handuk dengan kasar kepada Hina yang masih tertidur dan menyahut agak keras,
“Hei bangun ! Semua sudah menunggumu di bawah untuk sarapan pagi” sahut sosok pria tinggi dengan rambut cepak dan berkulit kuning langsat, lalu langsung keluar pergi dari kamar Hina.
Hina hanya mengerang pelan dan menurunkan selimut yang menutupi semua tubuhnya lalu meraba – raba meja kecil di sampingnya, mencari kacamatanya. Setelah semua terlihat jelas oleh penglihatannya, meskipun masih terkantuk – kantuk, Hina mengernyitkan dahinya karena ada handuk di atas selimutnya tersebut, dan seakan berhalusinasi mendengar seseorang yang masuk ke kamarnya sembarangan. Setelah berpakaian rapi dan mengambil sebuah scarf kecil berwarna hitam lalu di lilitkan di lehernya, karena pagi ini masih cukup dingin bagi Hina. Memakai kacamatanya dan mengambil tas selempangnya, lalu turun ke bawah dan mengucapkan selamat pagi kepada dua orangtua yang sudah duduk di meja makan.
“Tidurmu nyenyak Hina ?” tanya seorang pria paruh baya namun, masih terlihat tampan dan berwibawa.
“Terima kasih paman Asou, mohon bantuannya mulai hari ini” jawab Hina membungkukkan badan sebelum duduk di kursinya.
“Jangan sungkan Hina, anggap saja rumahmu sendiri” balas Kento_nama paman Hina_sambil tersenyum.
“Sudah bertemu Kaito, Hina ?” tanya Haruka menyiapkan piring untuk Hina.
Hina kembali mengernyitkan dahinya, dan dia baru ingat bahwa paman dan bibinya ini memiliki seorang anak lelaki, bernama Asou Kaito.
“Kaito-san ?” balas Hina bertanya, lalu menggelengkan kepala.
Sejenak pasangan Asou agak terkejut mendengar ucapan yang di katakan Hina barusan, mereka berdua saling bertatapan dan kembali melirik Hina yang sudah makan dengan lahapnya. Walaupun usia Kaito dan Hina berbeda tujuh tahun, tidak biasanya Hina menggunakan embel – embel di belakang nama sepupu laki – lakinya tersebut. Roda kehidupan berjalan dengan lambat seiring waktu, dan tidak akan tahu apa yang terjadi nantinya, kedua orang itu hanya melihat Hina cemas, atau mungkin hanya perasaan mereka saja yang salah mendengar Hina menyebut nama Kaito dengan embel –san tersebut.
-Bersambung-
0 komentar:
Posting Komentar