Cataleya



By: Randy Faraday

Pagi ini mendung, berselimut dalam kabut yang masih membekas di jendela kamar. Dia masih tidur, Dody. Sedikit membuka matanya. Hingga sinar matahari menyeruak masuk kamar dan bangunlah dia.

“hay, selamat pagi! Hari yang cerah untuk musim hujan ini”, sambil tersenyum dia membuka gorden jendela.

Melihat sekeliling tumbuhan hijau. Menghirup kabut-kabut yang mulai hilang dalam panas surya. Sekitar lima menit dia beranjak dari tempatnya. Menuju kamar mandi. ini hari rabu. Aku hafal betul jadwal kuliahnya. Ya, masuk jam tujuh. Berkilah dalam sebuah kamar kost menghadap jalan yang asri. Dia tak pernah menjadikan hidupnya pengap dalam kamarnya sendiri. Jam tujuh kurang lima belas menit dia telah siap untuk berangkat.

Biasanya dia melihatku dan tersenyum saat meninggalkan kamarnya. Tapi entah dia agak terburu-buru. Dan
sekarang aku sendiri, menunggu Dody kembali pulang.

Jarum jam berjalan semakin cepat hingga pukul sepuluh siang. Kulihat Dody telah pulang dengan temannya.
Atau mungkin teman spesialnya. Berkali-kali kulihat dia membawa teman laki-lakinya dan agak seringnya dia melakukan cinta terhadapnya. Tapi dugaanku salah, seseorang yang dipanggilnya Rudi mengeluarkan buku-
buku. Mungkin itu tugas, seperti kata Dody kepadaku jika dia sering banyak tugas.

“Rud, mana tugasmu yang kemarin. Pinjem dong, belum ngerjain aku”, kata Dody pada temannya itu.

“nih, kamu tuh kebiasaan kalo sama tugas seringnya nyontek aku”.
“maklum lah emang agak susah mata kuliahnya”.

Dan percakapan itu berlanjut. Namun aku tetap memperhatikan dengan pohon-pohon yang berada diluar kamar. Aku tetap melihat teman Dody, Rudi yang asyik memerhatikan buku-bukunya dengan khidmat. Semakin sore akhirnya Rudi keluar dari kamar Dody. Sekarang dia sendiri. Bersandar pada tembok kamar dengan menyembunyikan mukanya. Apa yang dia lakukan. Sedikit waktu. Dia beralih ke jendela, melihat keluar. Membisukan sejenak mulutnya, menulikan sebentar telinganya. Wahai muda, apa yang kau pikirkan.

“Cataleya! Apa aku salah menjadi seperti ini? apa berdosa terlahir seperti ini? apa aku tidak berhak hidup dengan keadaan seperti ini? apakah kau punya jawaban atas semua yang aku tanyakan?” Dody berkata entah pada siapa. Mungkin kepadaku. Kepada setiap air mata yang dia titihkan. Apakah aku harus menjawab setiap yang kau tanyakan, Rudi. Apakah kau berhak untuk hidup dalam keadaan perasaanmu yang salah itu.

Sebentar saja pintu kamar sudah diketuk. Dody mengusap pipinya. Berlari ke daun pintu dan membukanya.
Seorang pria tinggi besar agak tua berdiri dihadapan pintu. Kemarin dia telah datang kesini. Sekarang dia kesini lagi.

“apa maumu?” kata Dody padanya.

“apa mauku? Aku hanya ingin menikmatimu. Aku tidak bisa menahan hasratku untuk bercinta denganmu.”
Jawab lelaki itu sambil masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamar Dody.

“aku tak ingin. Jangan paksa aku”. Beberapa detik saja dia sudah melayangkan ciumannya pada Dody.
Meskipun Dody agak menolak tapi tetap dia melakukannya. Dan akhirnya malam itu menjadi malam yang panjang. Dody sempat berteriak kesakitan karena sentuhan-sentuhan sensitif dair lelaki itu. berakhir. Malam ini berakhir dengan tetesan air mata. Penyesalan, tanpa tau apa yang disesali. Aku melihat Dody yang tidur tanpa pakaian dengan mata yang sembab. Lelaki tadi telah pergi dari kamar. Tanpa sebuah kata dia keluar dan aku berharap tak kembali lagi.

Aku, Dody. Melihat sekitar luar jendela pagi itu. Dody kuliah siang jam satu dan pagi ini dia hanya melamun saja. menyapukan matanya pada pepohonan dalam bangunan-bangunan kota. Dan satu pohon diluar kamar.

“Cataleya! Aku butuh cinta. Aku butuh cinta yang membuatku berubah. Aku butuh cinta yang membimbingku untuk keluar dari lingkaran ini. aku butuh cinta yang menolakku saat aku bergairah. Aku butuh cinta yang menyemangatiku saat aku jatuh. Aku butuh cinta, Cataleya.”
Kau butuh cinta, Dody? Apa cinta yang aku berikan masih kurang? Apa perhatian yang aku lakukan masih belum terpuaskan? Meskipun aku hanya bisa diam dan tak bisa melakukan apa-apa. Tapi tetap aku memperhatikanmu, Dody.

Malam hanya sebatas pembagi Matahari dan Bulan. Malam hanya waktu yang diperlukan oleh bintang untuk bersinar. Dan malam Dony hanya sebuah malam yang penuh dengan penyesalan hidupnya. Malam-malamnya selalu sama. Hanya bintang yang bisu dapat mengerti air matanya. Hanya senyum dari bulan yang dapat menenangkan hatinya. Malam itu, malam senin. Dia yang menyebut dirinya pacar Dody datang ke kamar. Menyelimuti Dody dengan selimut yang paling bagus. Mencium kening Dody dan melihat matanya sampai dia tidur. Dody hanya diam. Dalam kedamaian atau kehancuran. Dalam semangat yang tak kunjung padam atau telah mati tadi pagi. Sebut saja dia Rolan. Rolan yang tengah asyik menanggalkan pakaiannya melihat Dody telah menutup matanya. Dia masuk dalam selimut Dody dan kulihat Rolan bergumul dalam libido yang sangat tinggi. Dody tak menanggapinya hingga Rolan berhasil melepas semua pakaian Dody. Apa yang aku lihat ini, dalam kemesraan yang tak pernah diberikan oleh orang lain pada Dody kini menjadi sebuah boomerang untuknya sendiri. Rolan tengah memasukan miliknya yang agak besar. Sesak mungkin Dody hingga dia agak mringis dalam menerima. Maju mundur dan seterusnya. Aku tak paham dan tak ingin paham dengan apa yang tengah terjadi. Dalam cerminan bulan pada kaca jendela. Aku melihat lampu-lampu kota mulai meremang. Dan biarlah hal itu terjadi layaknya apa yang terjadi dalam kamar ini.
Besok pagi Rolan pergi dari kamar Dody. Tak pamit meninggalkannya yang tengah tidur. Aku mencoba berkata padanya untuk tidak pergi. Tunggu saja Dody bangun. Tapi bagaimana bisa? Dan pagi-pagi berikutnya dody bangun dengan mata sembab. Lagi.
Malam itu bulan purnama. Kembali aku bersama Dody berada dipinggir jendela. Menikmati sinar rembulan yang mencoba merasuk dalam ulu hati. Tapi tak bisa.
“apa ini cinta? Apa sebuah kepuasan? Rolan kemarin telah mempermainkanku. Dan. Apa aku bisa mencintai orang lain lagi? Aku ragu aku bisa menerima orang yang mengatakan cinta padaku dengan apa yang aku alami kemarin. Cataleya! Apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa menjadi diriku sendiri. Aku tak bisa menolak apa yang mereka inginkan padaku. Aku telah menjual diriku dengan harga yang murah. Gratis. Bayangkan Cataleya. Aku telah dikhianati. Dan aku takut hal itu terulang lagi.
Dan malam-malam berikutnya dia masih membawa laki-laki untuk menikmati lekuk tubuhnya. Dia mejual dirinya bahkan pernah dengan harga dua puluh ribu. Dody, sadarlah, itu salah.
“jika memang itu yang mereka butuhkan. Akan aku berikan, cataleya. Walaupun aku adalah orang yang bodoh. Aku telah lelah mencari cinta sejati dalam dunia yang penuh dengan dusta ini. dan saat ini aku hanya mencari kepuasan. Biarlah aku lakukan ini.” kata Dody dalam dekapannya yang dia berikan padaku malam itu.
Hingga akhirnya, pada saat dimana dia telah bermain sembarangan dengan seseorang. Cairan putih itu mengubah dirinya. Ketakutan. Tak bisa mencari jalan keluar. Dia masih ketakutan. Apa yang bisa aku lakukan Dody. Itu pilihanmu.
“Cataleya, apa aku akan mati dengan penyakit yang konyol ini. karena terlalu banyak jajan sembarangan. Apa yang harus aku perbuat wahai cataleya.”
Jika aku bisa berbuat sesuatu akan aku lakukan Dody. Setelah beberapa hari akhirnya Dody sembuh dan dia berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Ini janjimu Dod.
Aku hanya ingin melihatmu bahagia Dody. Bukan aku tak bisa membuatmu seperti itu. tapi lihatlah aku dan katakan. Maka itu akan meringankan bebanmu.
Hingga suatu malam dody telah menemukan orang yang menurutnya pantas. Karena dia bercerita padaku.
“Cataleya! Dia manis, menarik, agak pendiam dan aku merasa dia telah menjadi bagian dari diriku. Tapi apa aku bisa bersamanya. Dia mungkin tak mau berhubungan denganku. Dan aku juga takut dia malu dengan apa adanya aku.”
Apa aku harus menjawab pertanyaanmu, Dody. Lakukan dengan hatimu. Dengan segenap rasa yang telah kau miliki. Melangkahlah dengan jiwamu. Agar kau tak tersesat.
“cataleya! Aku hanya ingin bersamanya. Jika tidak, aku tidak akan memiliki siapapun. Meskipun dia tak bisa menerimaku. Tapi aku hargai itu. aku hanya ingin melihatnya bahagia walau disisi duniaku yang lain. Kesedihan”.
Dan aku hanya bisa melihatmu, memperhatikanmu disini Dody. Dengan daun-daun yang aku punya. Dengan kelopak yang menyanggaku. Dengan segenggam tanah yang menghidupiku. Aku tetap milikmu Dody. Karena aku Bunga Cataleya.
TAMAAAT!! Jgn lupa RCL yaa

0 komentar:

Posting Komentar