Masih Ada Kesempatan



By. Agy Renaldy Putra


“Papa, besok ikut yuk jalan-jalan sama Salwa, sama Mama sama Om Wahyu !” Salwa putri semata wayangku memohon dengan muka memelas.
“Gak bisa sayang, Papa kan musti kerja,” jawabku sedikit tidak tega.
“Ah, papa gak asyik,” Salwa pun cemberut, melihat muka putri kecil ku yang baru berumur tujuh tahun itu muram aku pun merasa tidak tega. Maka kuangkat tubuh kecil nya ke gendonganku. Kutatap wajah nya yang mungil. Dan aku pun berkata “Salwa, besok jalan-jalan nya sama Mama sama Om Wahyu dulu ya, Papa kerja cari uang biar bisa beli boneka buat Salwa. Nanti kapan-kapan kalo Papa libur kita jalan-jalan bareng deh.”
“Janji ya Papa !”
“Iya Salwa yang cantik”, jawabku sambil mencubit kecil hidung mungilnya.
Salwa tertawa lalu menenggelamkan tubuhnya dipangkuanku. Kuelus rambut hitam nya yang pendek itu. Kegetiran seakan mengalir di nadi-nadi darahku.
Namaku Aden, umurku baru saja memasuki kepala tiga, Salwa adalah putri semata wayangku, pernikahanku dengan Mama nya baru saja kandas enam bulan yang lalu. Masalah ekonomi penyebab utama nya. Aku yang hanya seorang buruh pabrik mungkin tidak bisa memberikan hidup mewah untuk keluargaku, tapi kami bisa bertahan hingga delapan tahun kebersamaan. Hingga suatu saat pabrik tempatku bekerja harus tutup. Aku yang hanya lulusan SMA kebingungan mencari cara agar istri dan anakku tetap bisa makan. Pekerjaan tetap agak nya susah di dapat, maka untuk sementara aku pun bekerja serabutan. Mulai dari menjadi tukang parkir, kuli bangunan, penjaga toko, semua kujalani sementara aku mencari pekerjaan tetap.
Namun istriku Siska tidak kuat menjalani hidup seperti itu. Tiga bulan setelah aku menganggur Siska minta diceraikan, dan dia pergi meninggalkan rumah kontrakan kami membawa serta Salwa. Walau begitu aku masih diizinkan bertemu Salwa disaat aku ingin. Seperti saat ini aku baru saja mengajak Salwa makan siang. Namun sebentar lagi Siska akan datang menjemput. Aku dan Salwa menunggu di depan sebuah minimarket.
Tidak berapa lama Siska pun datang. Ia turun dari sebuah sedan hitam yang dibawa oleh seorang pria bernama Wahyu. Ya memang benar, dua bulan setelah kami resmi berpisah Siska telah menemukan penggantiku. Jelas seseorang yang berbeda kelas denganku. Wahyu bekerja di sebuah Bank di Jakarta. Siska tidak akan kesusahan hidup dengan Wahyu. Pria itu tidak ikut turun, Wahyu hanya menunggu di belakang kemudi.
“Mamaaaaa !!!” Salwa langsung meluncur dari gendonganku saat melihat Mama nya.
Siska langsung menggendong Salwa dan ia pun berpamitan.
“Aku duluan yaa Den, makasih udah ngajak Salwa main”
“Iya, makasih ya, besok jadi berangkat ke Bali ?” tanyaku.
“Jadi, kita berangkat naik pesawat pagi,” jawabnya.
“Ya udah, selamat jalan-jalan yaa, jaga Salwa baik-baik, jangan….”
“Iya-iya, kamu gak usah ngajarin aku. Aku bisa koq jaga Salwa, lagian juga ada Wahyu,” Siska menjawab kesal.
“Ya aku kan Cuma ngingetin, Salwa hati-hati ya, sini cium Papa dulu !”
Salwa mencium pipiku, melambaikan tangan padaku dan setelah itu mereka pun pergi. Kulihat sedan hitam milik Wahyu makin menjauh. Ya paling tidak Wahyu bisa membuat Salwa dan Siska bahagia. Bisa membawa mereka jalan-jalan ke Bali, sesuatu yang sangat diidamkan Siska sejak dulu. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa kuberikan pada mereka.
Aku pun pulang, mengendarai motor matic hitamku kerumah kontrakan kecil tempatku berdiam. Mungkin malam ini aku akan tidur cepat, karena esok adalah hari yang lumayan penting untukku.
***
Hari ini aku berdandan rapi, kukenakan kemeja terbaik satu-satunya yang aku punya, pemberian seseorang di masa lalu. Kusisir rambutku rapi, tak lupa kuberi gel agar terlihat lebih mengkilap, aku pun bercukur, dan tak lupa mengenakan sedikit minyak wangi. Sepatu hitam yang telah kusemir pun menambah mantap tampilanku hari ini.
Aku akan melamar kerja hari ini, seorang kawan mengajakku menjadi office boy di sebuah tempat bimbingan belajar. Tawaran itu tanpa ragu aku terima. Paling tidak aku akan bekerja dengan penghasilan yang tetap, tidak lagi kerja serabutan.
Aku sudah berada di tempat bimbel itu pukul tujuh pagi. Pusat Bimbingan Belajar Lentera Ilmu, begitulah plang yang tertulis di depan ruko dengan cat ungu muda ini. Warna yang konyolnya sama persis dengan warna kemeja yang sedang kupakai. Yah, warna yang kebetulan mengingatkanku pada orang yang memberiku kemeja ini.
“Permisi mbak, saya mau interview untuk jadi office boy,” aku berkata pada wanita berjilbab di meja resepsionis.
“Dengan mas siapa ya maaf, sudah ada janji sebelum nya ?” si resepsionis pun bertanya. Aku memperkenalkan diri, memberitahu nya nama temanku dan nama staff HRD yang ingin kutemui. Ia pun menyuruhku menunggu sebentar. Aku pun duduk di sofa beludru warna abu-abu, sebuah sofa yang tampak familiar bagiku. Sama familiar nya dengan nuansa ruang depan tempat bimbel ini.
Tempat ini didominasi warna ungu muda, dengan sedikit aksen putih dan abu-abu. Rangkaian mawar putih berdiri di sudut ruangan. Mawar putih, kembali mengingatkanku pada masa lalu.
Interview ku berjalan lancar, aku pun diterima bekerja disini.
“Selamat ya Mas Aden, kalo saya selaku HRD suka dengan Mas Aden. Bisa langsung kerja hari ini, nanti saya anter ke pantry nya, dan saya kasih seragam nya,” Pak Danu staff HRD itu menjabat tanganku sambil tersenyum. Syukurlah walau hanya sebagai office boy tapi aku tetap bersyukur kepada Tuhan.
“Terima kasih banyak Pak,” aku membalas jabat tangan Pak Danu.
“Oh iya, hampir saya lupa, sebelum kamu saya anter ke pantry kita ke office bos besar dulu, pemilik Bimbel Lentera Ilmu ini, beliau kalo ada karyawan baru harus kenal, tenang aja orang nya baik koq” aku hanya mengangguk mengikuti Pak Danu yang membawaku kesebuah ruangan disudut belakang.
Pak Danu mengetuk pintu kayu berwarna hitam itu, dan kulihat papan nama dari besi yang tertempel di atas nya bertuliskan “REGIE CHANIAGO – OWNER”. Untuk beberapa saat aku terkejut, hampir sedikit takut menduga-duga siapa yang ada dibalik pintu itu. Sebagian hatiku ingin dugaanku salah, namun nampaknya dugaan itu benar.
Saat Pak Danu membuka pintu tampak dari belakang sesosok pria berpakain rapi. Tubuhnya tinggi ramping, saat ia membalikan badan nya terlihat lah mata itu, mata yang kini tertutup oleh lensa dan bingkai kacamata nya. Dan mata itu tepat memandang kearah mataku.
Pandangan yang sudah delapan tahun lebih tidak kulihat. Delapan tahun, tapi pandangan itu masih sama, tajam dan penuh kehangatan. “Permisi Pak Regie, saya ingin memperkenalkan office boy baru,” Pak Danu memperkenalkanku, namun nampaknya hal itu tidak perlu. Karena Pak Regie langsung berkata.
“Aden, kemeja itu masih kamu pake ??”
Pak Danu pun memandang heran bergantian ke arah kami, mungkin beliau heran kenapa Pak Regie mempertanyakan kemeja yang aku kenakan. Namun aku sama sekali tidak heran, karena Pak Regie lah yang memberiku kemeja ini.
***

“Bulan depan aku mau ngelamar Siska.” Akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku.
Air muka Regie seketika berubah, kami sedang bersantai di depan televisi, duduk diatas sofa beludru abu-abu dalam ruangan bercat ungu muda. Satu vas mawar putih segar ada disudut ruangan. Regie tak akan menyangka aku akan membicarakan hal ini “maksud kamu apa Den ??”
“Aku rasa cukup jelas kan Gie, aku dan Siska mau nikah. Dan asal kamu tahu aku dan Siska sudah pacaran selama setahun,” kata-kataku ini membuat Regie meledak.
“Apa ??? Satu tahun ?? Selama ini kamu bilang cuma temenan tapi ternyata kamu udah pacaran setahun ??” “Plaaaakkkkkkk” Regie pun menamparku. Aku berusaha untuk tetap tenang. Aku tahu akan sulit menjelaskan ini semua pada Regie, tapi ini sudah keputusanku dan Regie harus menerimanya.
“Aku gak bisa gini terus Gie, aku juga ingin punya kehidupan normal. Aku pengen bahagiain orang tua aku, “
“Tapi umur kamu baru 23 Den, kamu juga belum mapan, ngapain sih buru-buru mau nikah ?? Cewek itu udah hamil ??” kali ini aku lihat mata Regie mulai berkaca-kaca.
“Sumpah demi Allah Gie, Siska belum hamil. Aku memang berniat nikah umur segini. Bapak udah sakit-sakitan aku gak mau kalo ada apa-apa sama Bapak dan aku belum berkeluarga. Lagipula aku juga beruntung dapet Siska yang siap diajak hidup susah. Asal ada niat aku sama dia untuk ibadah, Allah akan kasih jalan rejeki buat aku.” jawabku
“Bullshit kamu ngomong ibadah-ibadah segala !!!! Emang kamu nya aja sama dia yang udah kebelet kawin !!!! Terus aku kamu anggap apa ??? Hubungan kita selama ini gak ada artinya buat kamu hah ????” suara Regie makin tinggi.
Aku pun terdiam. Aku dan Regie sudah menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman sejak kami duduk di bangku SMU. Awal pertemuan lewat facebook saat aku masuk ke sebuah group khusus pria penyuka sesama jenis. Kulihat profil seorang cowok manis bertubuh kurus, kuberanikan untuk mengirim pesan, berlanjut dengan bertukar nomor telepon, kopi darat, dan akhirnya hubungan kami berlanjut serius saat masing-masing sudah merasa nyaman. Selulus SMA Regie melanjutkan studi nya ke perguruan tinggi, bukanlah hal yang sulit untuk Regie karena walau Ibu nya adalah single parent tapi Regie adalah anak satu-satunya hingga studi nya pun masih bisa diusahakan.
Sementara aku adalah anak pertama dari lima bersaudara, adik-adikku pun masih sekolah, dan keluarga kami bukan keluarga yang berada. Dan aku harus mengubur keinginanku untuk kuliah. Dan memilih untuk bekerja sebagai buruh pabrik, karena memang daerah tempat tinggalku adalah daerah industri yang menjadi lokasi banyak pabrik.
Walau begitu, aku dan Regie memustuskan untuk tinggal bersama di sebuah kontrakan. Orangtua kami mendukung saja, karena tidak ada satu pun yang tahu jika kami adalah sepasang kekasih. Yang mereka tahu, kami adalah sahabat dekat. Kami tinggal bersama dalam waktu yang cukup lama. Aku mencintai Regie, sangat mencintainya. Walau begitu aku juga masih tertarik pada wanita, beberapa kali aku ‘selingkuh’ hanya untuk main-main dengan beberapa wanita. Beberapa kali pula Regie memergoki, tapi dia selalu memaafkanku. Ya Regie memang sangat mencintaiku.
Namun aku sampai ke titik jenuh dan merasa aku harus menjalin hubungan yang normal, agar aku bisa menikah. Dan muncullah Siska teman kerjaku satu pabrik, selama setahun aku bermain cantik berusaha agar Regie dan Siska tidak tahu bahwa aku selingkuh dari mereka. Dan aku pun memutuskan untuk melamar Siska dan meninggalkan Regie.
“Aden kenapa kamu diem ?? Jawab aku den !!”
“Hubungan kita ini gak ada masa depan nya Gie, lebih baik kita udahan. Aku sayang koq sama kamu, tapi aku juga ingin hidup yang normal,” jawabanku ini membuat Regie menangis.
Aku selalu tidak tega melihat nya menangis, biasanya aku akan memeluknya, mencium pipi nya dan mengusap air mata nya yang menetes. Namun saat aku ingin memeluk nya Regie malah menepisnya, ia bangkit dan lari ke kamar tidur.
Malam itu juga Regie pergi dari rumah kontrakan kami. Aku berusaha untuk menghubungi nya, mencari ke rumah nya untuk mengantar undangan pernikahanku, tapi saat itu ia tidak di rumah. Dan pada hari pernikahanku pun ia tidak datang. Nomor handphone nya pun tidak aktif, mungkin telah ia ganti. Akun facebook ku telah diblokirnya. Satu bulan setelah pernikahanku aku mencoba mencari ke rumah nya hanya untuk mendapati rumah tersebut telah berganti penghuni. Mencoba mencari ke teman dekat nya, tapi semua menolak memberi informasi. Dan aku pun tidak pernah bertemu lagi dengan Regie, seseorang yang sebenarnya sangat aku cintai tapi harus aku korbankan karena tuntutan keadaan.
***
“Aden, kamu koq ngelamun ??” Regie melambaikan tangan nya di depan mukaku.
Aku tersentak kaget, terbangun dari lamunan singkatku, lamunan tentang masa lalu ku bersama Regie. Sekarang Regie yang berada dihadapanku sudah jauh berbeda.
Sekarang dia mengenakan kacamata, tubuh nya sudah lebih berisi, tidak kurus kering seperti dulu, kulit nya pun sudah lebih putih. Dan yang jelas Regie yang dihadapanku sekarang adalah seorang pengusaha muda sukses, pemilik Pusat Bimbingan Belajar Lentera Ilmu. Dan dia adalah boss ku, dan aku hanya office boy nya. Namun saat ini boss dan anak buah ini duduk bersama makan malam di sebuah kedai mie aceh.
“Ngelamunin apa sih ?” dia bertanya lagi sambil tersenyum.
“Nggak papa, takjub aja ngeliat kamu sekarang udah sukses, sementara aku masih gini-gini aja,” ucapku yang membuat Regie sedikit merona.
“Ah biasa aja lah,” Regie masih tersenyum, tak berapa lama pesanan mie kami datang, Regie memesan mie goreng dan aku memesan mie rebus.
“Kamu masih suka mie aceh den ?” tanya Regie.
Aku hanya tersenyum, dulu saat masih bersama, saat malam minggu kami selalu menyempatkan untuk mampir di kedai mie aceh ini. “Apa kabar kamu sekarang ?? Siska apa kabar ?? Udah punya anak berapa ??” tanyanya padaku.
“Anakku satu perempuan..” jawabku.
“Wah asik dong,” Regie tersenyum.
“…tapi aku baru saja cerai” lanjutku.
Mata Regie sedikit terbelalak namun ia tidak berkomentar, hanya berkata “Ohhhh….”
“Kamu sendiri apa kabar ? Menghilang gitu aja tau-tau udah jadi wirausaha aja !!!”
Regie tertawa “Ah kamu ini, aku lulus S1 lanjut dapet beasiswa S2 di Jepang, pulang-pulang iseng aja buka bimbel, Alhamdulillah bisa berkembang sampai sekarang.”
“Terus istri kamu ??” aku mencoba menanyakan hal ini, sedikit berharap akan jawaban tertentu, yang ternyata memang Regie menjawab sesuai keinginanku.
“Aku belum nikah Den.”
“Ohh, koq belum emang belum ada calon ?” tanyaku lagi
“Gak ada, lagian kalo ada juga di Indonesia belum boleh nikah sesama jenis,” Regie menjawab dengan nada yang terdengar biasa.
“Emang kamu masih gay ya Gie ??”
“Aku gay, dan akan selalu begitu,” jawabnya santai.
“Gak mau sembuh gitu nikah sama cewek ??” tanyaku lagi.
“Buatku ini bukan penyakit, dan aku gak mau jadi orang munafik yang mengorbankan perasaan hanya untuk pengakuan dari masyarakat,” jawaban nya kali ini terdengar menyindirku.
Aku tak bisa menyalahkan Regie, aku pernah sangat jahat pada nya. Tega meninggalkan nya yang jelas-jelas mencintaiku.
“Gie maafin aku yaa,” aku berkata sambil menatap matanya.
“Maaf buat apa Den ??”
“Buat semua yang dulu aku lakuin, apakah masih ada kesempatan buatku dari kamu”
Regie hanya tersenyum, “Udah makan nya ? Ayo pulang !”
Dan mulai hari itulah aku bersatu lagi dengan cinta lama yang pernah aku buang. Memang tidak sebagai sepasang kekasih. Bahkan posisi nya sekarang Regie adalah bossku. Namun asal dapat bertemu dengan nya tiap hari aku merasa senang.
Jujur selama tahun-tahun pernikahanku bersama Siska aku tidak mampu melupakan Regie, aku merasakan Regie adalah benar-benar cintaku yang sebenarnya. Sementara pernikahanku dengan Siska dapat dibilang hanyalah sebuah kedok, yang membuatku bertahan adalah kehadiran Salwa. Namun di dalam hatiku yang terdalam hanya nama Regie yg terukir dan tidak akan terhapus.
Dan kini Regie sudah ada di dekatku lagi, di tempat bimbel kami memang berusaha tampak wajar sebagaimana atasan dan bawahan. Namun beberapa kali kami menghabiskan waktu diluar bersama. Sekedar menonton film, wisata kuliner atau kadang menghabiskan waktu berdua di rumah nya, melakukan hal yang sudah lama tidak kami lakukan. Walau setiap kali aku bertanya masih adakah kesempatan untukku untuk bersama dia seperti dulu, Regie hanya tersenyum dan tidak pernah menjawab.
Saat aku sedang sendiri aku pun berpikir, jika kami bisa menjalin hubungan seperti dulu, mungkin hidupku akan lebih baik. Regie sekarang sudah hidup mapan, bukan tidak mungkin aku bisa diberi jabatan yang lebih baik jika kami kembali resmi berpacaran. Dan kebahagiaanku sesungguhnya tentu bersama Regie, aku sadar bahwa hanya dia yang benar-benar bisa membuatku tersenyum.
Semenjak bercerai berat badanku turun, namun sejak bekerja di bimbel milik Regie berat badanku berangsur naik. Tinggal selangkah lagi agar aku mendapatkan hidup bahagia bersama Regie.

***
Kulihat ke layar ponselku, hanya untuk mendapati bahwa sms yang kukirim tadi pagi ke nomor Regie tidak terkirim. Sekarang sudah pukul delapan pagi namun belum kulihat Regie datang. Aku duduk di pantry melamun saat teman ku sesame office boy menepuk pundakku.
“Ehh, ayo turun ke bawah. Mau ada briefing !”
“Briefing apaan tumben-tumbenan,” tanyaku heran
“Au dah, katanya masa ada bos baru.”
“Ahhh, ngaco lu, bos baru apaan ??” aku pun bangkit dan turun ke lobby depan dan ternyata memang benar semua karyawan telah berkumpul. Berdiri di depan seorang pria yang umur nya tidak jauh beda denganku. Namun yang aku heran tidak ada pertanda Regie sama sekali.
“Selamat Pagi semua !!!” sapa si bos baru “…perkenalkan saya Akbar Fadillah, mungkin saudara-saudara belum tahu tapi Bapak Regie Chaniago telah mempercayakan cabang ini kepada saya, jadi mulai hari ini saya lah yang bertanggung jawab disini. Sementara Bapak Regie mengelola cabang baru yang dibuka di Kota Padang, beliau telah pindah kemarin. Mungkin beliau memang tidak memberitahu hal ini sebelum nya karena beliau tidak ingin ada kehebohan. Beliau juga minta maaf jika tidak sempat pamit pada karyawan disini….”
Kalimat apa yang selanjutnya diucapkan oleh Pak Akbar tidak begitu bisa kutangkap. Apa yang ada dipikiranku adalah “Regie telah pergi lagi” ia tidak pernah membicarakan ini, aku memang tahu Regie memang berencana membuka cabang bimbel di kota kelahiran nya. Tapi tak pernah kusangka akan seperti ini. Ternyata memang tidak ada lagi kesempatan untukku. Dulu aku membuang Regie begitu saja, maka aku tak berhak merajuk jika aku tidak bisa mengambi Regie untuk kembali ke genggamanku.

-------***--------

0 komentar:

Posting Komentar