By: Ali alvent phoenix
Dear Revan,
Jangan pernah lagi kamu jatuhkan air matamu!!!! Karena air matamu akan jadi air mataku juga.
MR.Blue
Pagi ini Revan sudah dapat surat lagi di dalam lacinya. Sampai saat ini dia belum tau siapa pengirim surat-surat yang ditulis pada selembar kertas berwarna biru itu.
“Bagaimana orang ini tau kalau akhir-akhir ini sering menangis? Pasti pengirimnya orang dalam. Tapi siapa?”gumam Revan kemudian memasukkan selembar kertas biru itu ke dalam tasnya bersama kertas biru lainnya. Kertas biru itu adalah kertas biru yang ke tujuh. “MR.Blue, siapa sebenarnya kamu ini?”
“Woy! Pagi-pagi sudah melamun. Entar kesambet lho,”seru Rio, teman sebangku Revan, membuyarkan lamunan Revan tentang MR.Blue.
“Eh, kamu to, yo. Bikin kaget saja. Kapan kamu datang? Aku kok, enggak tau,”
“Ya jelaslah kamu enggak tau, orang kamu melamun kok. Memangnya kamu itu lagi nglamunin apaan to?”Rio duduk di samping Revan.
“Kalau aku cerita ke kamu, kamu jangan ketawa ya! Apalagi menceritakannya sama orang lain,”Revan menatap Rio.
“Oh….jadi ini rahasia to. Oke, aku janji enggak akan ketawa dan enggak akan nyeritain ini ke orang lain,”mereka pun saling mengaitkan kelingking mereka, tanda bahwa perjanjian sudah dibuat.
“Begini, Yo, akhir-akhir ini aku sering dapat surat kaleng dari seseorang yang tidak aku ketahui siapa dia, tapi dalam suratnya dia menamai dirinya MR.Blue. Nah, ini surat-suratnya,”Revan mengeluarkan semua surat yang pernah dia terima dan dia tunjukkan pada Rio.
“Ini sih, surat cinta, Van,”kata Rio setelah membaca satu per satu surat-surat tersebut. “Dilihat dari kata-kata yang dia pakai untuk mengungkapkan perasaannya, dia ini pasti punya perasaan yang sangat besar sama kamu. Hebat! Kamu punya secret fanatic, Van,”
“Kalau boleh jujur ya, Yo, surat-surat inilah yang selalu membuatku dapat bangkit lagi dari keterpurukanku. Membuatku lebih bersemangat untuk menghadapi hari-hariku. Membuatku tersenyum kembali saat aku sedih. Seandainya saja aku tau siapa pengirimnya, aku akan sangat berterimakasih padanya, karena dia selalu ada untukku di saat apapun,”
“Sepertinya si MR.Blue pecinta biru ya. Kok, semua suratnya ditulis di kertas warna biru. Dan ditambah lagi kertasnya juga bau parfum rasa vanilla,”Rio menciumi satu per satu kertas-kertas biru tersebut.
“Namanya saja MR.Blue, makanya dia pakai kertas biru. Kalau namanya MR.Pink, barulah dia pakai kertas warna pink,”
“Begitu to,”sahut Rio dengan wajah polosnya.
Sekarang kelas sudah ramai. Revan kembali memasukkan kertas-kertas biru itu ke dalam tasnya. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi dan pelajaran pun dimulai. Jam pertama ini adalah jam pelajaran bahasa Indonesia. Karena Bu Ningrum mendadak harus pergi, maka murid-murid diberikan tugas untuk membuat puisi dengan tema bebas.
Revan paling tidak suka kalau ada tugas mengarang puisi atau mengarang apapun itu. Walaupun tidak suka kalau harum mengarang puisi, tapi Revan tetap membuat puisi tersebut. Beberapa kali Revan merobek lembaran kertas dalam bukunya karena puisi yang dia tulis sangat tidak enak untuk dibaca. Selagi Revan sibuk merangkai kata-kata, banyak temannya memilih untuk browsing di internet. Toh, Bu Ningrum enggak akan menanyai mereka satu per satu atau mencocokkan puisi yang mereka buat dengan puisi yang ada di internet. Kalau Bu Ningrum melakukan itu, berarti Bu Ningrum itu orang yang kurang kerjaan. Kenapa? Hari gini kok, masih mau ribet. Selain buang waktu, buang uang juga.
“Yo, kamu sudah selesai?”tanya Revan.
“Sudah dong,”
“Mentang-mentang kamu jagonya bikin puisi,”
“Biasa saja kali, Van,”
“Aku boleh baca puisimu? Siapa tau habis baca puisi kamu nanti aku dapat inspirasi,”Rio pun menyerahkan puisinya pada Revan dan membiarkan Revan membaca puisinya dalam hati.
Kamu sahabat terbaikku….kamu sahabat sejatiku….kamu sahabat setiaku….
Sahabat, sahabat, dan sahabat. Satu kata yang sama yang selalu kamu ucapkan untukku. Sakit hati ini bagai disayat belati, tapi bahagia rasanya kamu masih memandangku dengan mata penuh.
Andai aku bisa membuat sebuah lukisan yang dapat melukiskan perasaanku ini padamu, tapi kurasa takkan ada lukisan yang bisa mewakili perasaanku padamu. Bahkan lukisan-lukisan karya Afandy sekalipun.
Setiap kata yang kurangkai untukmu kurasa belum cukup untuk membuatmu mengerti akan kasihku padamu. Entah harus berapa ribu kata lagi yang harus kurangkai menjadi sebuah ungkapan yang akan membuatmu paham akan rasaku padamu.
Berada di sisimu untuk melihatmu tersenyum adalah hal terindah dalam hidupku. Berada di sisimu untuk menghapus tiap titik-titik embun yang keluar dari matamu adalah harapku. Dapat memelukmu adalah mimpi terindah.
Bila suatu malam kubermimpi memelukmu, maka aku akan memohon pada Tuhan agar aku tak pernah lagi terbangun dan tetap berada dalam mimpiku selamanya, supaya aku tetap bisa memelukmu.
Aku sudah berusaha meraih hatimu dengan perhatianku, tapi rasanya hatimu begitu jauh sehingga aku tak kuasa menjangkaunya. Putus asa terkadang, tapi aku tetap tegar.
Aku bagai iblis yang ingin mencintai malaikat. Aku bagai api yang ingin bersahabat dengan air. Suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam dunia dongeng sekalipun.
‘Sahabat’ itulah anggapanmu untukku. Pahit memang. Pedih sudah pasti. Sakit apalagi. Tapi itu kenyataan yang harus kuterima. Mungkin sampai kapanpun aku hanyalah sahabat bagimu.
“Keren banget, Yo. Tiap katanya memiliki arti yang dalam banget. Aku kagum sama kamu,”puji Revan. Rio hanya tersenyum simpul.
“Gimana sudah dapat inspirasi?”tanya Rio.
“Tetap enggak dapat inspirasi. Huft…aku memang payah. Setelah membaca puisimu aku malah jadi tak bersemangat membuat puisi lagi. Soalnya puisimu bagus banget. Perfect malahan. Aku minder. Sudah pasti kan puisiku itu seperti apa,”Revan membaringkan kepalanya di atas meja.
“Kamu kan belum mencobanya, Van. Lebih baik mencoba dan gagal daripada tidak sama sekali. Dan ingat, Van! Walaupun jelek, tapi hargailah karyamu sendiri! Dan jangan pernah berhenti untuk mencoba dan mencoba! Itulah seniman yang sejati,”
“Yang seniman itu kan kamu, Yo. Aku enggak,”Revan masih merebahkan kepalanya di atas meja.
“Yang seniman itu kan kamu, Yo. Aku enggak,”Revan masih merebahkan kepalanya di atas meja.
“Kamu enggak ingat ya, kalau aku ini payah dalam menyanyi dan kamu unggul dalam hal itu. Setiap orang diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing,”
“Yo, kenapa sih, mendadak kamu menjadi sosok yang dewasa, enggak seperti Rio yang biasa kukenal? Kata-kata yang keluar dari mulutmu itu seperti air hujan yang menghujani tanah yang kering. Terasa sejuk,”tiba-tiba Revan mengangkat kepala dan menatap Rio dalam-dalam dan Rio pun menatap Revan.
“Masa’ sih, Van, aku kayak gitu. Aku ngerasa kok, biasa-biasa saja. Kamu lebay ah,”
Antara Revan dan Rio pun hening, tidak terjadi percakapan. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Rio sibuk dengan gadgetnya, sedangkan Revan sibuk merangkai kata-kata untuk tugas puisinya yang belum selesai.
Pada suatu minggu pagi yang cerah, Revan dikejutkan dengan adanya secarik kertas warna biru yang ada di depan pintu rumahnya. Revan terkejut. Ternyata MR.Blue juga tau dimana dia tinggal. Dalam benak Revan ada tanda tanya yang begitu besar.
Dear Revan,
Selamat pagi my sunshine. Semoga minggumu berseri seperti sang surya pagi. God bless you.
MR.Blue
Revan tersenyum simpul saat membaca surat dari secret fanatic-nya itu. Setiap kata dalam surat yang dikirim oleh MR.Blue padanya telah bertambah manis dan itu membuatnya meleleh. Untungnya dia bukan lilin atau balok es, jadi cukup hatinya saja yang meleleh.
Tiba-tiba Revan mendapati sekelebat bayangan yang ada di balik pintu gerbangnya. Revan berlari menghampirinya, tapi orang misterius tersebut sudah tak berada di tempatnya. ‘Mungkinkah orang itu MR.Blue’ bati Revan dalam hati. Revan kembali masuk ke rumahnya sambil membawa surat dari MR.Blue tadi. Sesampainya di kamar, dia menempelkan surat tersebut di dinding bersama surat-surat dari MR.Blue yang lainnya. Revan memang masih menyimpan surat dari penggemar rahasianya itu. Walaupun Revan tak pernah melihat wajah penggemarnya itu, tapi dia yakin kalau penggemarnya itu adalah orang yang tampan, berhati lembut, dan romantic pastinya. Revan berharap suatu saat nanti dia bisa bertemu dengan penggemarnya itu.
“Aku harus membalas surat MR.Blue. Ya, aku harus melakukannya,”ide itu tiba-tiba muncul dalam otak Revan.
Revan segera mengambil kertas berwarna hijau dan bolpen. Ya. Hijau adalah warna kesukaannya. Revan pun merangkai kata demi kata untuk membalas surat dari MR.Blue. Dia menulisnya dengan penuh perasaan. Satu jam, dua jam sudah berlalu dan surat untuk MR.Blue pun sudah jadi. Memang kata-kata yang dirangkai Revan tak semanis dan seromantis kata-kata yang dirangkai MR.Blue. Tapi itu Revan menulisnya dengan tulus. Revan memandangi surat itu dan kemudian dia pun membaca surat untuk penggemarnya itu.
“Aku tak percaya aku bisa merangkai kata-kata, meski tak seindah kata-kata yang dirangkai MR.Blue-ku tercinta,”gumam Revan.
Sore harinya Rio datang bermain ke rumah Revan. Seperti biasanya, Rio langsung menuju kamar Revan. Saat memasuki kamar Revan, dia dikejutkan oleh kertas biru dengan rangkaian kata yang tertulis di atasnya yang tertempel rapi di atas dinding. Rio membaca satu-satu surat tersebut. Setelah selesai membaca surat-surat tersebut, dia tersenyum simpul.
“Yo, kapan kamu datang?”Revan mengagetkan Rio.
“Damn! Kamu mengagetkanku, Van,”
“Hey! Kamu baru saja mengumpatku ya,”
“Maaf! Aku keceplosan,”
“Tumbenan kamu kesini sore-sore kayak gini. Ada apaan?”tanya Revan sambil duduk di ranjangnya.
“Malam ini aku boleh menginap disini kan?”
“Ada apa? Kamu berantem lagi sama Papa kamu?”
“Kamu bisa baca pikiran ya, sekarang,”
“Kamu bawa baju ganti, tidak?”
“Bawa dong. Aku bawa seragam dan buku pelajaran buat besok juga,”
Revan dan Rio bercanda bersama di dalam kamar. Rio menggelitiki Revan. Dan Revan pun tertawa terpingkal-pingkal. Revan pun tak mau melepaskan Rio. Dia menarik kaos Rio dari belakang saat Rio hendak lari menghindarinya. Karena ditarik secara tiba-tiba, Rio kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpa tubuh Revan. Wajah Rio hampir berbenturan dengan wajah Revan. Sesaat mereka saling mengunci pandangan. Akhirnya mereka sadar dan segera bangkit. Saking asyiknya mereka bercanda, mereka sampai tidak sadar kalau hari sudah mulai gelap dan mereka belum mandi.
“Sudah sore ternyata. Aku mandi duluan ya,”kata Revan. Kemudian dia masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat Revan keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk.
Rio pun juga mandi. Badannya sudah sangat lengket oleh keringat akibat tertawa bersama Revan tadi. Kini mereka berdua berbaring di ranjang sambil menunggu makan malam.
“Kamu beruntung sekali memiliki keluarga yang utuh, Van. Tak sepertiku. Orang tuaku sudah lama bercerai sejak aku masih SMP. Kini aku harus tinggal berpindah-pindah dari rumah Ibuku ke rumah Ayahku. Hari ini Ayahku memarahiku habis-habisan gara-gara aku gunakan uang tabunganku untuk membeli gitar. Apa salahnya sih, kalau uang tabunganku kubelikan gitar? Mungkin Ayahku takut bila gitar itu mengganggu belajarku. Dia memerlakukanku seperti bocah lima tahun. Aku tak suka diperlakukan seperti itu. Aku tak ingin hidupku terlalu diatur seperti ini. Aku ingin menikmati hari-hariku seperti dirimu dan teman-teman lainnya. Berbeda dengan Ayahku, Ibuku malah lebih parah lagi. Kalau aku sedang tinggal di rumahnya, aku tak pernah dianggap ada olehnya. Dia hanya mengurusi suami barunya dan putri mereka. Disana aku bak obat nyamuk. Ada disana, tapi tak pernah dianggap. Terkadang aku bingung harus tinggal bersama siapa?”tanpa sadar Rio meneteskan air mata.
“Aku rasa kamu sangat menyayangi kedua orang tuamu, terutama Ayahmu. Walaupun kalian sering bertengkar, tapi sebenarnya kalian saling menyayangi. Aku bisa melihat itu,”Revan memberikan pelukan untuk Rio.
Keesokan harinya saat pulang sekolah, Revan meninggalkan surat untuk MR.Blue di dalam laci mejanya. Sebelum memasukkan surat itu dalam laci, Revan mencium surat itu terlebih dahulu. Dalam hati Revan berharap MR.Blue juga mau membalas suratnya itu.
“Halo, Yo! Kamu dimana to?”tanya Revan.
“Aduh, Van! Sorry! Aku pulang duluan. Habis kamu kelamaan. Soalnya hari ini adalah hari pertamaku kursus gitar, jadi aku tak mau dinilai buruk jika datang terlambat,”
“Good luck ya, Yo,”
Tuuuttt….percakapan pun terputus seiring dengan matinya hape Revan. Dan Revan pun meninggalkan kelasnya dengan hati penuh harap. Revan tak tau ada sepasang mata yang mengawasinya sedari tadi. Ya. Mata itu adalah milik Rio. Sebenarnya Rio tadi berbohong pada Revan soal kursus gitarnya. Tapi kebohongannya kali ini bukan tanpa alasan.
Setelah sekolah tampak sepi, Rio berjalan menuju kelasnya. Dia mengeluarkan selembar kertas biru dari tasnya kemudian dia meletakkan surat tersebut dalam laci Revan. Saat memasukkan tangannya ke dalam laci Revan, dia merasakan ada sesuatu di dalam sana. Dia menarik benda itu. Ternyata itu sebuah surat yang ditulis di atas sebuah kertas berwarna hijau. Rio pun membaca surat tersebut.
Dear MR.Blue
Maaf! Baru kali ini aku membalas suratmu.
Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu atas kesetiaanmu padaku. Kamu selalu ada untukku di saat apapun. Walaupun aku tak pernah melihat wajahmu, apalagi bertemu denganmu, tapi bagiku kamu sangat berarti untukku.
Kamu bagaikan malaikat yang selalu ada untuk membangkitkanku saat aku terjatuh. Kamu ada saat aku menangis. Kamu ada saat aku tersenyum. Tapi taukah kamu kalau aku berharap kamu benar-benar ada di sisiku saat aku jatuh, saat aku menagis, dan saat aku tersenyum. Yang kuharapkan bukan hanya kehadiran suratmu yang penuh dengan kata-kata yang indah, tapi juga kehadiran sosokmu di hadapanku.
Ingin sekali aku memeluk dirimu, tapi kamu tampak seperti bayangan bagiku. Bayangan yang selalu ada bersamaku.
Aku berharap Tuhan akan mempertemukan kita suatu saat nanti.
Revan
Membaca surat dari Revan tersebut, membuat mata Rio berkaca-kaca dan bulir-bulir air tersebut pun akhirnya jatuh juga ke pipinya.
“Revan, selama ini kita tampak begitu dekat, tapi entah kenapa aku merasa kalau aku begitu jauh darimu sehingga aku harus menulis surat untuk menyatakan apa yang ingin aku nyatakan padamu. Mungkin kamu menyukai MR.Blue, bukan menyukai Rio. Apakah kamu akan menerimaku jika kamu tau kalau aku adalah MR.Blue, orang yang selama ini menjadi bayang-bayangmu. Apa kamu akan mengubah anggapan ‘sahabat’ untukku menjadi ‘kekasihmu’? Aku takut. Apa aku cukup siap menerima kenyataan setelah semua ini terbongkar? Huft….aku yakin serapat-rapatnya seseorang menyimpan bangkai, maka baunya akan tercium juga. Oh, Revan, aku mencintaimu setulus hatiku. Seandainya kamu tau semua perasaanku ini padamu, tapi yang kamu tau hanya perasaan MR.Blue padamu bukannya aku. Dan sepertinya kamu juga mulai jatuh hati pada MR.Blue. Semua itu terlihat dari suratmu ini. Mengetahui ini, entah aku harus bahagia karaena kamu juga ada rasa atau bersedih karena rasa itu bukan untukku, tapi untuk MR.Blue. Untuk saat ini aku tak bisa jujur padamu, Van. Entah aku takut kamu menolakku atau aku hanya belum cukup berani untuk mengatakan kalau aku suka padamu. Untuk saat ini biarlah lembaran-lembaran kertas biru ini yang menyampaikan rasaku padamu. I Love you, Revan,”Rio memasukkan surat dari Revan tadi ke dalam tasnya kemudian keluar dari kelas sambil mengelap pipinya yang basah karena bulir-bulir air matanya yang sedari tadi tak terbendung.
Sampai saat ini Revan tak pernah tau kalau selama ini Rio, teman sebangkunya itu menaruh hati padanya. Dan dialah yang menjadi MR.Blue dan selalu menghiburnya dengan serangkaian kata-kata yang dapat membuat hatinya mencair bagai balok es. Rio sendiri pun belum berniat untuk mengakui semuanya pada Revan. Sekilas hubungan mereka ini tampak aneh. Di luar mereka begitu dekat, namun hanya sebagai sahabat. Ketika mereka bermain dengan kata-kata, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang sedang menjalani hubungan secara LDR.
Revan yang masih belum tau kalau MR.Blue itu adalah Rio, masih sering meninggalkan surat untuk MR.Blue di lacinya. Begitu juga dengan MR.Blue alias Rio. Dia juga selalu membalas surat dari Revan untuknya.
Entah sampai kapan surat-menyurat itu akan berlangsung. Entah sampai kapan Rio akan terus menutupi dirinya dan Revan pun tak akan pernah tau siapa dirinya. Akankah Rio membuka jati dirinya pada Revan? Akankah Revan bisa menerima kenyataan kalau selama ini Rio adalah MR.Blue? Akankah hubungan mereka ini dapat terrealisasikan dalam kehidupan yang nyata, bukan hanya dalam kata-kata semata? Biarkan waktu yang menjawab semua pertanyaan itu. Biarkan waktu yang akan membuka apa yang tertutup, bila memang sudah saatnya untuk dibuka. Birkan waktu juga yang memutuskan untuk menyatukan mereka dalam ikatan sepasang kekasih atau hanya sekedar ikatan persahabatan semata.
*****TAMAT*****
1 komentar:
suka baca cerita tentang secret admirer yang biasanya sih orang terdekat, cuma kadang tokoh utamnya telmi kaya Revan. hahaha
agak jangan ama penulisnya yang pake istilah secret fanatic, kayaknya kurang pas.
nah Rio tenang aja si Revan ada calon jadi pacar lo tuh si Revan ga kaget ya kalau secret admirerenya cowo? ada bakat jadi maho.
Posting Komentar