Stay Part 3



By : Sa-Chan

“Ibu tidak mengatakan kalau yang datang itu Hina” sahut Kaito agak keras di telepon esok harinya.
[“Apakah ibu belum bilang padamu ? Maafkan ibu, tapi kenapa ? Bukankah seharusnya kau senang ?” tanya Haruka lagi balik.]
Kaito sesaat terdiam mendengar jawaban dari ibunya tersebut.
[“Ibu dan ayah akan berangkat ke Seoul hari ini, ada kerabat yang akan menikah di sana, jadi jaga rumah berdua dengan Hina” imbuh ibunya lagi.]
“Aku mengerti, hati – hati di jalan” balas Kaito lalu memutuskan sambungan telepon.
“Ada apa Kai-san ? rapat akan segera di mulai” sahut rekan kerjanya menepuk bahu Kaito pelan, akan tersadar Kaito hanya menganggukkan kepala, lalu kembali ke pekerjaannya.
***
Salju turun lagi pagi ini, Hina makin erat mengikat syal di lehernya, karena dia sudah cukup menggigil. Meskipun di Sapporo curah salju lebih tebal di banding Shinjuku, tetap saja Hina tidak suka dingin. Sesampainya di kampus, Hina langsung ke lokernya dan mengganti sepatunya, juga menyimpan payungnya. Kejadian semalam cukup membuat Hina kaget, ketika ingin menemui sepupunya tersebut, Kaito sedang memegang bola kristal miliknya dan menepuknya perlahan seperti yang biasa dia lakukan.
“Ini milikmu Hina ?” tanya Kaito saat itu.
“Benar, kau baru pulang Kaito-san ? Aku akan segera menyiapkan makan malam, paman dan bibi tidak akan pulang hari ini, jadi aku yang akan mengerjakan pekerjaan rumah mulai sekarang” balas Hina kembali ke dapur.
Suasana malam itu, agak sedikit aneh bagi Hina, bahkan ketika sudah berada di meja makan, mereka berdua sama sekali tidak bicara. Hanya Hina yang akan memulai pembicaraan dan Kaito menjawab seperlunya saja. Hina tidak tahu apa yang di pikirkan oleh sepupunya itu, mungkin dia tidak senang akan kehadirannya di rumah itu ? Entahlah, namun Hina akan berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya tersebut,
“Kenapa melamun seperti itu Miura ?” tanya Akashi tiba – tiba mengagetkan Hina.
“Akashi-senpai ? Kenapa ada di gedung tingkat satu ?” tanya Hina heran melihat tingkah kakak kelasnya itu.
“Tidak boleh ? Aku hanya ingin menemuimu, bagaimana pelajaranmu di sini ? Bisa mengikutinya ?” tanya Akashi lagi duduk di sebelah kanan Hina.
“Tidak ada yang istimewa, masih sibuk dengan tugas yang di berikan oleh dosen seperti biasa, dan coba tebak aku mengikuti klub Drama” jawab Hina riang, sejak pertemuan mereka di kereta kemarin, mereka menjadi agak dekat, tapi Akashi yang memulainya, karena menurutnya Hina berbeda dengan mahasiswa lainnya.
“Benarkah ? Kau menyukai akting ? Kapan – kapan aku bisa melihat pertunjukkanmu ?” tanya Akashi lagi.
“Tentu saja senpai, lalu Akashi-san ikut klub apa ?” tanya Hina balik.
“Aku ? Klub Renang, minggu depan di adakan kompetisi renang, nanti lihat aksiku Miura ?” balas Akashi lagi.
“Baiklah, senpai mau makan siang ? Aku bawa bekal lebih” tawar Hina sambil membuka kotak bentonya dan menaruhnya di samping Akashi, lalu memberinya sumpit.
“Mmmm, kau buat sendiri Miura ?” tanya Akashi dengan mulut yang penuh dengan makanan.
“Iya, karena aku tinggal di rumah bibiku di Shinjuku, jadi aku harus mandiri” jawab Hina, namun akan tersadar sekelilingnya seperti melihat ke arah mereka berdua.
“Jangan hiraukan mereka Miura, kita makan saja, aku akan menghabiskannya” timpal Akashi dengan cepat membalikkan wajah Hina ke arahnya agar kembali makan, sedangkan Akashi hanya mendelik tajam ke arah sekelilingnya dan para mahasiswa yang berlalu lalang di sana, langsung pergi dan Akashi kembali tersenyum seperti malaikat di depan Hina.
“Festival Musim Dingin sebentar lagi akan di laksanakan, kau mau membantuku di Dewan Senat Miura ?” tanya Akashi lagi mengatupkan kedua tangannya menunjukkan rasa terima kasihnya, setelah selesai makan siang yang di berikan oleh Hina.
“Aku adalah ketua Dewan Senat Mahasiswa di Universitas ini, Miura, sekarang sedang kurang anggota jadi, jika kau mempunyai waktu luang datanglah sesekali ke kantor Senat” lanjut Akashi lagi ketika melihat ekspresi Hina yang bertanya – tanya.
“Oh, baiklah Akashi-senpai, tapi aku tidak berjanji yah, aku akan membantu apa yang kubisa” jawab Hina tersenyum pelan. Akashi membalasnya dengan mengelus rambut Hina, lalu beranjak pergi kembali ke kelasnya, karena waktunya pelajaran sudah di mulai, begitupula dengan Hina.
***
Salju masih turun perlahan di luar kampus tersebut, meskipun begitu kehidupan di Tokyo tidak pernah berhenti, orang selalu sibuk dengan setiap pekerjaannya masing – masing. Begitu juga dengan seseorang yang sedang makan siang bersama partner kerjanya. Di sebuah cafe yang terletak tidak jauh dari kantornya Kaito masih memandang lekat melihat kumpulan gambar di dalam file ponselnya, tidak menghiraukan seseorang yang sedang bersamanya.
“Kaito, hei, kau mendengarkan perkataanku barusan ?” teriak wanita muda yang berada di depan Kaito.
“Akh, kenapa Kobayashi-san ? Kau mengatakan sesuatu ?” tanya balik Kaito berhenti menatap ponselnya.
“Dasar kau ini tidak berubah sama sekali, apakah foto seseorang di ponselmu itu lebih penting dari proyek baru kita ini ?” tanya Shinya lagi, nama perempuan itu.
“Maafkan aku, coba ulangi lagi, aku tidak konsentrasi” jawab Kaito menunduk, sambil mengambil pulpennya lagi dan menaruh ponselnya di meja. Tiba – tiba dengan cepat Shinya mengambil ponsel Kaito dan melihat seluruh isi file foto yang dari tadi Kaito lihat. Sedangkan Kaito yang tidak sempat mengambilnya kembali, hanya mendesah pelan, melihat tingkah supervisornya itu.
“Kau tidak berniat mengenalkan “dia” padaku ?” tanya Shinya lagi masih menatap foto – foto yang ada di ponsel Kaito.
“Maksudmu ? Jangan bercanda, aku saja belum berani mengungkapkan semuanya pada “dia” sampai detik ini” jawab Kaito lagi agak ketus.
“Benarkah ? Jadi kau hanya berlaku sebagai pengagum rahasianya saja ?” lanjut Shinya akhirnya memberikan ponsel itu pada Kaito.
“Bukan seperti itu, hanya saja ... “ Kaito tidak melanjutkan pernyataannya, karena ponselnya berdering.
“Ada apa bu ?” tanya Kaito yang setelah melihat siapa yang menghubunginya.
[“Kau masih bekerja Kaito ? Bisakah nanti kau mengajak Hina berkeliling Shinjuku, karena tadi dia menelepon ibu, bahwa bahan makanan di rumah sudah habis, jadi dia ingin membelinya, tapi dia tidak tahu di mana tempat yang cocok” sahut ibunya panjang.]
“Baiklah, nanti aku akan menjemputnya di kampus, ibu sudah sampai Seoul ?” tanya Kaito lagi.
[“Tentu saja, tidak usah khawatir, ayahmu muntah lagi di pesawat, sebaiknya ibu segera membawanya ke rumah sakit terdekat, jangan lupa Kaito” jawab sang ibu langsung mematikan hubungan ponsel.]
“Kenapa ?” sambung Shinya yang sedari tadi memperhatikan Kaito.
“Maaf, Kobayashi-san, bisakah pembicaraan kita tentang proyek ini di tunda sampai besok ? Aku harus menjemput seseorang” pamit Kaito pada supervisornya itu dan beranjak pergi.
“Lakukanlah yang seharusnya kau lakukan, Kaito” senyum Shinya sebelum Kaito pergi. Kaito hanya menggeram kecil, karena tahu maksud dari supervisornya tersebut.
***
Universitas Tokyo atau yang sering di sebut sebagai Universitas Todai, umumnya di peringkatkan sebagai Universitas Negeri paling prestigius di Jepang. Universitas Tokyo mempunyai lima kampus di Hongo, Komaba, Kashiwa, Shirokane, dan Nakano dan fakultas dengan total sekitar 28.000 mahasiswa, 2.100 di antaranya pelajar asing ( jumlah yang besar untuk ukuran Jepang ). Meski hampir segala jenis bidang akademis di ajarkan di sini, ia paling terkenal akan fakultas hukum dan sastranya. Universitas Tokyo telah menghasilkan banyak politikus Jepang hebat meski kekuatan Universitas ini sedang menurun. Rival – rival Universitas Tokyo adalah Universitas Kyoto sebagai Universitas Negeri, Universitas Waseda, Keio, dan Meiji sebagai Universitas Swasta. Dalam bidang sains, Universitas Kyoto telah menghasilkan lebih banyak ilmuwan yang hebat dan peraih Hadiah Nobel.
Universitas Tokyo di dirikan oleh pemerintah Era Meiji pada 1877 dengan menggunakan namanya sekarang setelah penggabungan perguruan – perguruan tinggi negeri dalam bidang kedokteran dan pembelajaran barat. Ia kemudian di namakan ulang menjadi Universitas Kekaisaran ( Teikoku Daigaku ) pada 1886 dan kemudian “Universitas Kekaisaran Tokyo” ( Tokyo Teikoku Daigaku ) pada 1887, ketika sistem Universitas Kekaisaran di ciptakan. Pada 1947, setelah kekalahan Jepang pada perang Dunia II, ia kembali bernama Universitas Tokyo. Todai adalah Universitas nomor satu bukan Cuma di Jepang, tapi juga di Asia, bahkan menurut Global University, Universitas Tokyo adalah terbaik ketiga di dunia.
“Bagaimana laporanmu hari ini Sasaki ?” tanya seorang pria paruh baya memakai kacamata dengan rambut yang tipis.
“Sudah selesai, Mr. Ogawa, terima kasih sudah menjadi tutor saya beberapa minggu ini” jawab Hiro membungkukkan badan.
“Tidak usah sungkan, Sasaki, lain kali jika perlu bantuanku datang saja ke kantorku” balas Mr. Ogawa yang tadi di sebutkan oleh Hiro, dan beranjak pergi.
Hiro Sasaki, kakak kembar Hina, sedang membereskan semua laporan mata kuliahnya untuk segera di serahkan kepada dosen pembimbingnya. Dia memang kuliah di Universitas Tokyo, kejeniusannya cukup berbeda dengan Hina, dan dia sejak kecil memang selalu mendapatkan banyak prestasi di sekolah – sekolah prestigius Jepang. Ayahnya yang seorang bisnisman elit, selalu membantu Hiro akan pembelajarannya. Biarpun dia sudah berpisah dengan Hina sejak kecil, tapi dia tahu mempunyai saudara kembar, karena sudah di beritahu oleh ayahnya, memperlihatkan foto – foto Hina kecil yang imut bagi Hiro. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan adik kembarnya tersebut, perasaan kehilangan selama beberapa tahun itu, sepertinya akan pergi dari benaknya selama ini.
“Hiro-kun, ayo kita pulang, kau sudah selesai bukan ?” tanya Okazaki, sahabat sejak kecil Hiro.
“Aku ingin menghubungi Hina dulu, mungkin kuliahnya juga sudah selesai” jawab Hiro menggendong tasnya dan berjalan keluar kelasnya bersama Okazaki.
“Apakah adik kembarmu itu benar – benar datang ke Tokyo ?” tanya Okazaki lagi setelah mereka sampai di parkiran motor.
“Tentu saja, kata ibu dia sekarang tinggal di rumah pamanku di Shinjuku, ayah juga mengatakan kalau Hina di terima masuk menjadi mahasiswa di Universitas Waseda” balas Hiro masih mengetikkan nomor di ponselnya dan menempelkannya di telinganya, namun nomor yang di tuju sepertinya sedang sibuk.
“Waseda ? Wow, kalian berdua memang sama – sama jenius” cengir Okazaki.
“Kenapa ponselnya sibuk terus dari tadi ?” kesal Hiro berdecak melihat ponselnya.
“Mungkin dia masih sibuk dengan kuliahnya, bagaimana kalau kita pergi ke Shinjuku sekalian ?” tawar Okazaki sudah memakai helmnya dan menyalakan mesin motor besarnya, Hiro langsung menganggukkan kepala dan duduk di belakang Okazaki.
Salju sudah berhenti turun dari beberapa jam yang lalu. Hiro mengambil fakultas History, dan proyeknya barusan adalah laporan yang dia harus selesaikan untuk membuat buku barunya dengan tema sesuai mata kuliah pembelajarannya. Meskipun masih terlihat muda, Hiro sudah menorehkan prestasi yang cukup membanggakan baginya dan ayahnya. Beberapa tahun belakangan ini, Hiro sudah sering muncul di acara talkshow pendidikan di televisi swasta Jepang. Perawakannya memang mirip dengan Hina, hanya saja Hiro masih lebih tinggi dari pada Hina. Kesannya terlihat agak lebih maskulin di banding Hina, yang terlihat innocent, namun Hiro terkadang mempunyai temperamen yang buruk dan tidak suka jika ada seseorang yang menghalanginya untuk menggapai sesuatu.
“Hina !” panggil seseorang dari arah gerbang kampusnya.
“Kaito-san ?” kaget Hina, dia tidak merasa menghubungi sepupunya tersebut untuk menjemputnya.
“Ayo kita pergi, kau ingin membeli bahan makanan untuk makan malam bukan ? Aku akan mengantarmu” ujar Kaito setelah mendekat dengan Hina dan memakaikan jas panjang miliknya. Hina merasakan hawa dingin dari jas milik sepupunya itu, sepertinya Kaito-san sudah menunggu lama dari tadi, batin Hina. Seketika perasaannya menjadi aneh dan hangat, entah kenapa dia bisa merasakan hal itu, namun dia tetap berjalan mengikuti Kaito dari belakang sambil memperhatikan punggung tegap milik Kaito.
“Departemen Store Shinjuku ?” tanya Hiro heran, melihat gedung di depannya lalu menatap Okazaki ketus.
Okazaki menganggukkan kepala mantap dan menarik lengan Hiro masuk ke dalam, namun ketika baru beberapa langkah pandangannya terhenti kepada seseorang.
“Ada apa lagi Masamune ?” tanya Hiro lagi melihat tingkah aneh sahabatnya itu.
Okazaki memandang ke arah Hiro dan mengarahkan jari telunjuknya pada seseorang yang sedang menuju ke atas menaiki eskalator.
“Itu, bukannya .... ?” balas Okazaki, tapi Hiro sudah berlari menuju orang tersebut.
-bersambung-

0 komentar:

Posting Komentar