By. Shin
Udara sejuk, udara pagi hari. enaknya, ku rentangkan tubuhku. Mengeliat dan menguap. Memutarkan kepala dan melihat sekitar.
Kamar rapih dan tertata. Sebenarnya masih malas, tapi sudah pagi. Ayam tetangga sudah berkokok. Aku harus bangun. Ku guncang tubuh yang masih tertidur pulas di sebelahku. Masih enggan untuk bangun. Wajah tampannya terlihat aneh saat tidur seperti ini. Matanya terlihat bengkak, bibir monyong dan bau naga. Rambutnya juga acak-acakan.
“hei, bangun udah pagi”
Tak henti aku mengguncang nya. Ku lihat ia lekat-lekat. Meringkuk asik dalam selimut. Tidur pulas menghadap ke arahku. Ku cubit pipinya. “ehhm” ia mendehem. Ku cubit lagi pipinya. “eehhmm” makin panjang ia mendehem. Aku hanya bisa tertawa. Ku tarik telinganya yang kecil. Ia langsung menyembunyikan diri dalam selimut.
“ih ngumpet, ayo bangun.”
Tak mau kalah dan tak ingin berhenti menjahilinya. Ku colek pinggangnya, ia menjingkut kegelian. Aku senang, bisa menjahilinya seperti ini.
“woy bangun woy”
“HHHmmmeemm”
Lucunya, sangat menggemaskan.
Tingkah jailku pun tak berhenti sampai sini. Rasakan kau.
Selimut tebal yang membalut tubuhnya, kutarik. Tubuhnya sedikit mengguling. Satu, dua, ya- dua kali ia terguling dan sekarang tubuhnya terlentang, kaki terbentang lebar, hanya memakai boxer tanpa baju yang lainnya. Tangannya yang tadi tergeletak di sampingnya, bergerak menggaruk perutnya yang rata. Kau tidur dengan pulas kawan.
Kulitnya yang putih mulus selalu saja ia tunjukkan tanpa ragu padaku. Begitulah tiap dia tidur. Semula lengkap dengan kaos, tapi pasti ia lepas saat malam tiba, saat ia terlelap dan beginilah ia sekarang. Topless.
Tak pernah bosan aku melihatnya yang seperti itu. Tubuh kurus putih dan terlihat enak untuk ku permainkan.
Ku tendang pelan pinggangnya dengan tumitku. Aku duduk memeluk selimut yang ku tarik darinya. Dan memainkan kaki ku terus mencolek pinggangnya.
Ia menghindar kegelian.
“ahhm, ggeeliiii” racaunya tak jelas. Dan aku hanya tertawa saja melihat tingkahnya.
“uuudaaah ddooong, masi ngantuk nih” ia terus menghindar dari seranganku. Merajuk agar tidak di jahili lagi. Tapi itu malah membuatku semakin tergoda untuk terus menjahilinya.
Ia meringkukkan tubuhnya, membelakangiku dan kedua tangganya memeluk bahunya. Bahunya yang putih terlihat lebar itu, ia tunjukkan juga padaku.
Sejenak aku berhenti menjahillinya, hanya sebentar. Sebentar saja memperhatikan tubuhnya. Rambut cepaknya, lehernya, bahunya yang melebar. Punggungnya yang melengkung sekarang. Celana boxernya yang pendek. Kenapa aku memperhatikannya seperti ini?
Stop, ayo kita jahili dia lagi.
Ku tendang pelan punggungnya dan
Gabrug,
ia terjatuh dari ranjang.
Aku kaget dan langsung menghampiri dia. Ku lihat ia yang tersungkur dan menggosok-gosok kepalanya. Kepalanya yang mendarat ke lantai duluan.
“aduh duh, maaf maaf maaf.”
“ah, lo mah” ia membantak dan duduk melihatku. Matanya yang masih asem itu menatapku dengan tajam.
“sakit tau, “
“maaf, Cuma becanda” ucapku pelan. Apa dia bakal marah besar. Aku melihatnya dengan seksama, ia yang memelototkan matanya padaku. Mengusap kepalanya yang sakit. Ku ingin melihat kepalanya. Takut terjadi sesuatu yang buruk karena ulah iseng ku.
Aku tak bermaksud melukainya, aku hanya tak tahan untuk menggodanya seperti itu. Ia terlihat lucu saat tidur apalagi ia tak mau bangun.
Aku lihat kepalanya.
“ngapain lo liat-liat. Pagi-pagi udah bikin kepala orang benjol”
“hah, benjol?” apa aku keterlaluan. Tapi apa mungkin sampe benjol? Dia terjatuh dari ranjang yang tingginya tidak lebih dari 40 cm. nggak setinggi itu untuk membuatnya benjol.
Ku lihat lagi kepalanya. Sejak tadi ia terus saja mengusapkan tangannya dan terlihat meringis. Aku menyakitinya.
Aku ulurkan tanganku, hendak menyetuh kepalanya. Ingin memastikan apa kepalanya benar-benar benjol karena ulahku.
Tanganku di tepis. Aku menatap tak percaya padanya. Apa ia benar-benar meledak???
Ia berdiri, menatapku yang masih duduk. Menarik kerah bajuku tinggi-tinggi.
“ih do, maaf. Gua Cuma becanda. Gitu aja sewot” aku tak tau harus bagaimana? Nggak pernah dia kaya gini sebelumnya.
“lo yang mulai, lo yang tanggung jawab” ia membentak dengan suara keras. Matanya terlihat menyala-nyala lurus menatap mataku. Ya ampun Do. Kok kaya gini sih jadinya.
Dan ia membantingku ke ranjang. Punggungku sedikit terpantul. Dan ranjangpun kembali menampung tubuhku..
“rasain,” senyumnya puas padaku. Kenapa harus tersenyum puas? Kau hanya membantingku.
“apanya yang rasain. Nggak sakit kok”
“apa? Wah wah, mau lebih nih”
“heh?”
“sini lo” senyumnya menyeringai, ia berjalan mendekatiku.
“heh heh, mau ngapain lo?” aku beringsut berjalan mengjauhinya. Dengan posisi tubuh yang masih telentang, menggerakkan siku dan bokongku agar menjauh darinya.
Bermaksud lari, ia malah menarik bahuku dan sekali hentak ia menindihku. Ia duduk di atas perutku dan wajahnya kini ada di bahuku.
“heh, ngapain?”
“hahaha rasain.”
Tangannya berjalan membuka kaos ku dan menggelitik pinggangku. Aku hentakkan kedua kaki ku, tapi tak memberikan efek apapun.
“woy woy, geli woy. Hhhaaa hhaaa”
Tangannya bergerak pelan tapi itu geli sekali. Ku coba mendorong bahunya. Tapi ia menyentuh pinggangku semakin menjadi. Sialan, aku kena sekarang.
Gelinya minta ampun.
“aammmpun Dooo, aadduhh geli do.” Pintaku mengiba. Tapi ia tak melepaskanku juga. Terus menidihku dan wajahnya tak sedikitpun pergi dari bahuku.
Bocah sialan. Dia membalasku dengan telak.
Dia paling pandai menggodaku seperti ini. Mati kutu dan tak bias berbuat lebih.
“hhhaaa hhhaaa”
Aku tertawa tak berhenti. Dan ia terus melakukan itu padaku tanpa bicara. Kau sepertinya puas.
Aku menggeliat berusaha lepas, tapi tak bisa.
Aku tak lagi tertawa, itu bukan geli. Lama-lama jadi sesuatu yang tak bisa aku tahan. Dan linangan hangat keluar dari mataku.
Ia berhenti menggelitiki ku. Mengangkat wajahnya dari bahuku dan menatap dengan puas.
“beuh, nangis.” Ia mengejekku.
Untuk beberapa saat ia tak merubah posisi. Menatapku. Kita saling berpandangan, masih dengan posisi- ia berada di atasku. Aku kernyitkan dahiku dan ia terlihat canggung, kemudian tertawa masam.
Ia berdiri dan meninggalkanku yang masih tersengal. Mengatur nafas. Entahlah. Perutku terasa kaku karena tertawa sejak tadi. Dan di permainkannya tanpa henti.
Dasar, asem.
Aku duduk, menyeka air mataku dan memegangi pingangku yang terasa sakit sekarang. Ia malah asik merenggangkan badan. Merenggangkan tubuhnya yang kurus tapi kencang. Dia, temanku. Kawanku dan sahabatku.
Iya melihat ke arah jendela, tirai yang belum sepenuhnya terbuka. Hanya memberikan celah kecil saja, namun mampu memperlihatkan apa yang ada di luar sana. Tapi, aku rasa- orang yang diluar sana tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sini.
Ia mengintip celah tirai itu.
“wah, udah terang tuh.”
Aneh, kenapa juga harus mengintip? Tinggal buka saja tirainya. Tirai?
Nah, kena kamu sekarang Do.
Aku mendekatinya, dan ku tarik tirai itu dan membukanya lebih lebar. Membuat semua yang ada di sini terlihatat jelas ke luar sana. Aldo pun langsung gelagapan. Menutup tubuhnya yang hanya memakai boxer sebatas paha. Dan menutup tirai itu kembali.
“sialan lo” umpatnya padaku. Dan aku hanya tertawa saja.
“kenapa? Malu, badan tripleknya ketauan orang lain?”
“wah, minta di hajar beneran nih bocah. Sini lo”
Tatapan itu ia tujukan lagi padaku. Serangan fajar, siapa takut. Sini, aku ladenin apapun yang kamu mau.
Dan akhirnya, pagi yang cerah ini di awali oleh kami berdua dengan canda dan sedikit pertengkaran. Sedikit, hanya sedikit.
Selamat pagi dunia, sambutlah keceriaan ini dengan kecerahanmu.
# # #
“heh, lo udah ngerjain tugas yang ini belum???” Tanya Tito sambil menyodorkan buku cetak tebal Bahasa Indonesia itu padaku. aku lirik. Tugas yang itu, aku sudah selesai.
“udah” jawab ku singkat.
“heh, bantuin gah. Aku bingung nih!” bantuin, bingung. Semua tugas juga kamu pasti bingung. Dan pasti juga aku bantuin.
“gampang”
ia tersenyum sumringah. Senyum khasnya yang selalu ia tunjukkan jika merasa senang. Lesung pipit di pipi kanannya membuatnya terlihat jauh lebih manis. Dasar. Selesai menebarkan senyumnya, Tito kembali melihat buku tebal itu. Untuk apa hanya dilihat, kerjakan.
Aku korek tas ku. buku yang ada di dalam tas, buku pelajaran kemarin.
“hari ini, nggak ada tugas kan?”
Tito diam, Nampak mengingat ingat. Dan kemudian ia menggelengkan kepalanya.
“nggak ada”
Okeh bagus. Tak ada tugas, tak bawa buku juga tak masalah.
Tito menarik bahuku . dan melihat bajuku.
“nginep di rumah Aldo ya?” tanyanya padaku.
“kok tau”
Tito kemudian tersenyum dan tertawa lebar. Kenapa juga dia harus seperti itu. Kenapa sih memangnya.
“heh, ngetawain apaan?”
Ia berhenti tertawa dan menyentuh seragamku. Menyentuh label nama bajuku.
“lo ganti nama. ‘Aldo Hermawan’” dan dia kembali tertawa.
Ternyata bajuku tertukar. Aku memakai seragam Aldo.
“aneh lo, baju sendiri nggak sadar.”
Apa aku tidak sadar? Iya juga. Aku memang tak sadar sudah memakai baju Aldo. Ukuran baju kita memang sama. Lebar bahu kita juga sama. Tapi tetap saja, kenapa aku tak sadar dengan baju milik sendiri? Ini sungguh terlalu.
Memang, jika berhubungan dengan Aldo. Aku jadi bingung. Semuanya terasa sama. Hal apapun yang ingin aku lakukan selalu saja aku mengambil sudut pandangnya.
Apakah yang aku pilih bisa sesuai dengannya? Apa yang aku putuskan bisa baik untuknya? Memang aku tak bertanya padanya. Hanya memperkirakan sendiri saja. Toh aku juga sudah mengerti bagaimana dirinya. Aldo temanku yang baik.
Memang benar yang dikatakan Tito. Aku menginap di rumahnya. Lebih suka tidur di rumahnya ketimbang rumah sendiri. Entahlah, berada dekat dengan Aldo terasa menyenangkan. Karena terlalu sering menginap. Malah membuatku terasa aneh, saat tidur di kamar sendiri. Terasa sepi. Sikap jailku padanya, reaksinya yang berlebihan, dan kondisi anehnya saat ia tidur dan bangun tidur. Itu yang terasa hilang saat aku tidur di rumah.
Aku berpikir, jika terus tinggal di rumahnya, pasti itu menarik. Tapi tidak. Aku juga punya rumah sendiri. Paman dan bibiku, juga pastinya takkan setuju.
Mereka tak pernah absen menelfonku jika aku menginap di Rumah Aldo.
Apa yang membuat mereka khawatir? Aku remaja laki-laki yang tak perlu mendapatkan kekhawatiran berlebihan. Tapi, mereka tetap melakukan itu.
Aku hanya merasa bahwa aku harus ada di Samping Aldo. Di rumahnya yang lumayan besar ia hanya tinggal sendirian. Di temani Mbok saja. Orang tuanya jarang pulang. Dan kakak perempuannya kuliah di luar kota. Aku rasa ia kesepian. Aku hanya ingin menemaninya. Aku hanya ingin dia mengerti bahwa ia tidak sendirian. Aku ada untuknya. Aku teman baiknya.
“hei, kamu tuh keseringan nginep di rumah Aldo. Sekalian aja bawa baju sama buku pelajaran kamu.” Aku masih ingat ucapan Kak Dayat waktu itu. Yang tiba-tiba masuk ke kamarku tanpa izin.
“emang boleh?” tanyaku padanya, dan kakak malah menatapku dengan sengit.
“beuh, ‘emang boleh’. Seneng lo. Napa sih lo, seneng amat nginep? Emang nggak betah tinggal di rumah?” tanya sedikit pelan. Raut mukanya sedikit berubah.
“nggak betah? Betah kok.” Jawabku padanya. Kenapa kakak berpikiran seperti itu?
“jangan keseringan deh, kasian kan paman sama bibi. Mereka pikir lo nggak suka tinggal sama mereka.”
Ya, ada benernya juga kata kakak. Aku jadi merasa bersalah pada paman dan bibi. Apa aku sudah menyakiti mereka? Dengan terus menginap dan lebih suka menginap?
Bukan berarti aku tidak betah di rumah. Seperti apa yang aku bilang tadi. Aldo juga tinggal sendirian di rumahnya. Aku tidak tega melihatnya yang terus-terusan sendirian. Aku takut, ia suka keluyuran malam dan mendapatkan teman yang kurang baik. Itu riskan.
Entahlah, mungkin aku terlalu berlebihan khawatir tentang Aldo. Otakku terlalu penuh tentangnya. Aku memang sahabat yang baik.
Baiklah, karena ini juga demi kebaikan hidupku. Aku tetap menginap. Heh? Maaf paman bibi. Lagi pula, jarak rumahku dan rumah Aldo tak begitu jauh. Hanya beda 3 Blok.
Aku bersyukur kalian berdua mau menampungku, mengkhawatirkan ku dan mengurusku seperti anak sendiri. Aku berterimakasih.
Intinya, aku tetap menginap. Maaf paman, maaf bibi.
Waktu 4 jam pelajaran telah usai. Waktunya istirahat. Aku harus ke kelas Aldo, memberitahu dia kija baju kita tertukar. Lagi pula baju yang ku pakai ini baju bersih. Mungkin Aldo memakai bajuku yang kotor. Bocah itu, kasian sekali.
Kelas kita yang terpaut 5 ruang dan satu perpustakaan. Kenapa kelas IPA dan IPS jauh sekali. Mengenaskan.
Tak apalah.
Pesan
Do, gua ke klas lo.
Kirim
Pesan terkirim
Pesan sudah terkirim. Eh, aku lihat ada seorang cewek yang kini berdiri tepat di depanku. Ia melihatku dengan malu-malu, dan seorang temannya.
“kak” ucap anak yang di sampingnya.
“iya, ada apa?” cewek yang berambut panjang itu melihatku dengan wajah yang merah merona.
“temen aku mau ngomong sama kakak.” Setelah mengatakan itu, ia langsung ngacir entah kemana. Meninggalkan kita berdua.
Cewek yang kini berdiri di depanku, diam dan tak berkata apapun, ia hanya menundukkan wajahnya. Ada apa ini?
Tapi, aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
“aku suka sama kakak.”
Benar kan. Apa yang aku pikirkan. Tebakanku jitu.
cewek manis yang kini berdiri tepat di depanku. Berdiri kaku, lekat melihat ke arahku dan wajahnya merah bersemu.
Meskipun sudah biasa, tetap saja membuatku bingung. Tetap saja aku merasa canggung.
Jika dipikir-pikir, Kenal saja tidak. Bagaimana ia bisa mengatakan suka padaku? Aneh.
“aku mau jadi pacar kakak.” Doeng. Ungkapan yang satu itu hampir membuatku tertawa. Tapi aku tahan. Aku tak mau membuatnya malu. Sekarang saja sudah jelas ia berusaha keras menahan malu. Apa aku harus menghancurkan juga keberaniannya? Tidak, aku tak sekejam itu.
“maaf.” Ya hanya kata itu saja yang bisa aku ucapkan. Ia terlihat keget melihatku. Wajahnya yang merona malu berubah jadi lesu.
Entahlah, aku tak tau harus berbuat apa lagi. Berjalan berlalu dan meninggalkannya.
Apa aku kejam? Lalu apa yang harus aku perbuat? Menerimanya? Aku tak menyukainya. Itu akan semakin menyakitinya nanti.
Kenapa aku begitu bodoh. Harusnya aku berbasa-basi tadi. ‘kita berteman saja’. ‘ayo kita berteman’. Ah sial. Kenapa hanya kata maaf yang meluncur dari mulutku dan langsung meninggalkannya pergi?
Mungkin aku harus kembali menemuinya? Atau tidak. Kenapa jadi bingung seperti ini?
Udah deh, aku temuin dia lagi.
Tapi saat ingin berbalik ternyata ada Aldo.
“wuih, elo Do. Bikin kaget aja.” dia hanya cengengesan. “sialan lo.” Umpatku padanya.
“cie, yang baru nolak cewe.” tersenyum lebar, tapi matanya tak terlihat secerah senyumnya. Sedikit sayu.
“weh, lo liat?” ia mengganggukkan kepala. Dan tangannya kemudian menyentuh tengkuknya.
Ia tersenyum ke arahku.
“napa lo nolak dia?” Tanya Aldo langsung padaku.
“kenapa? Gua nggak kenal kok sama tuh cewek. Masa gua trima.” Jawabku cepat. Aldo aneh.
Ia memainkan ujung sepatunya, menggerakkannya menyentuh tanah. Apa ada masalah.
“heh, ada masalah?” tingkahnya yang seperti itu, menunjukkan ada sesuatu yang terjadi.
“kenapa nggak diterima aja. Nanti kan lo kenal, bisa aja lo suka” ia berkata seperti itu, tak menjawab yang aku tanyakan. Ia tak melihat ke arahku. Menunduk dan memainkan sepatunya.
“yee, emangnya lo. Tiap ada cewe nembak lo. Lo pasti trima.”
Tetap menundukkan kepala dan tersenyum.
Tapi, apa yang Aldo bilang. Ehhm, ada benarnya juga. Kenapa aku begitu bodoh.
“iya ya, gua samperin tuh cewe lagi deh” ucapku menimpalinya.
“hah?” ia langsung melihat ke arahku. Wajahnya Nampak terkejut dan aku rasa- ia sedikit kecewa.
“iya, gua samperin aja tuh cewe. Gua yang gentian nembak dia. Gimana?” Ucapku cengengesan. Tapi– Aldo hanya tersenyum kecut dan langsung membuang wajahnya. Melihat ke arah lain. Tak melihat ke arahku.
Sikapnya mencurigakan.
“kenapa? Lo suka sama tuh cewe??”
“hah?” ia tergaket melihat ke arahku. Wajahnya terlihat lucu.
Wajahnya Nampak kaku. Dan bersemu merah. Apa benar, Aldo ada rasa padanya? cewek yang tadi? cewek yang entah aku juga tak tau siapa namanya.
Kenapa ada rasa sesak. Rasanya sesak. Tak terima.
Aku mencoba tersenyum, menepis rasa aneh yang timbul saat melihat ekspresi wajahnya tadi. Apa dia menyukai nya? Kenapa aku merasa . . . tak suka.
Tunggu, apa setelah aku menolaknya. Timbul- cinta- pada pandangan pertama? Apa aku menyukai gadis itu? Aku menyukai gadis yang baru aku temui? Secepat itukah? Jika bukan. Kenapa aku merasa tak nyaman, saat memikirkan kemungkinan Aldo menyukai nya?
Ah, apa yang aku pikirkan? Pemikiran yang aneh.
Aldo masih diam. Wajahnya Nampak lucu. Lucu sekali. Bingo! Kesempatan baik untuk menggodanya.
“Do, lo suka kan sama tuh cewe? Kok nggak pernah bilang sama gua sih??” tanyaku makin mengorek. Rasa jail dan penasaran beriringan hadir dalam diriku. Rasa penasaran apakah kau menyukainya? Berusaha mencari jawaban, untuk menenangkan diri. Menenangkan diri? Kenapa harus menenangkan diri?
“heh, kok diem aja sih?” Aldo benar-benar tak seperti biasanya. Pasti ada sesuatu yang merisaukannya.
“lo temen gua kan? Sahabat baik gua kan?” ih, kok ngelantur gini sih? Kenapa jadi Tanya gitu.
Keinginan untuk mengerjainya luntur. Perkataannya aneh. Tingkahnya aneh. Ia menatapku, terlihat wajahnya yang lesu. Kusut dan ruet.
“iya kita temen. Kenapa sih Do? Ada masalah?”
Ia berjalan mendekatiku. Menatap mataku lurus-lurus. Ada perasaan sakit, saat melihatnya seperti itu. Rasa sakit, karena aku tak tau hal apa yang membuatnya begitu terluka saat ini. Aku balas menatapnya dengan senyumku.
Ia berjalan dan mendekatiku. Sangat dekat. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku. Memelukku. Menaruh dagunya di bahuku. Ia memelukku.
“Do, lo kenapa?” ia memelukku sangat erat. Ku balas mengusap punggungnya. Berusaha menenanggkannya.
“kita temen, Cuma temen. Lo nganggep gua temen kan. Gitu kan.”
Hah, apa sih maksudnya. Ia terus menggumamkan itu, terus berulang-ulang. Dan tak sedikitpun, melepaskan pelukannya.
Kejadian lalu, masih tak aku mengerti. Setelah memelukku dengan erat. Ia hanya melihatku, dan mengumbar senyum seperti biasanya.
“yeee, lo ketipu.” Ucapnya dengan kencang. Terus menepuk-nepuk bahuku. Merapikan bajuku yang sedikit kusut karena pelukannya.
“weh, nama kita sama.”
Ia melihat label nama di bajuku. Label yang membuatku ingin menemuinya saat istirahat. Tapi tidak penting lagi, saat melihatnya seperti ini.
“ada apa?” tanyaku makin menyelidik. Aku tak percaya, yang barusan terjadi itu hanya bercanda. Ada sesuatu yang Aldo sembunyikan dari ku. Aku yakin itu.
“ah, serius. Gua Cuma bercanda aja.” Jawabnya masih cengengesan. “bahu lo lebar juga” ucapnya dengan senyum simpul. Mata yang tadi sayu, sudah tak terlihat, hanya sedikit tersamar- dengan tingkah nya yang seperti biasa.
Aku desak dia, tapi terus saja seperti itu. Mengelak dan berpura-pura.
Sampai saat ini, ia tak mau bicara jika di ungkit hal itu. Ia langsung merubah topic atau berkelit bahwa itu hanya tingkah konyolnya untuk mengerjaiku. Alasan apapun yang kamu buat, aku tau Do. Itu palsu. Ada masalah yang benar-benar merisaukanmu kan? Tapi, masalah apa? Sehingga kau benar-benar berusaha untuk menutupinya.
“heh, ngapain sendirian aja” aku tersentak. Orang yang membuatku kepikiran malah dengan santai mengagetkanku. Itulah dia, datang tak terduga. Dasar menyebalkan.
Ku lihat dia lekat-lekat. Wajahnya yang ia pasang seperti biasanya. Tapi aku tau, itu palsu.
“jujur sama gua, ada masalah apa?”
“lo tuh ya, tiap kita berdua gini, pasti ‘ada masalah apa’, ‘jujur sama gua’.” Dia menghela nafas, setelah mengikuti gaya bertanyaku padanya yang gencar aku berikan akhir-akhir ini.
“hei, aku baik-baik aja. Nggak ada masalah. Ngerti.” Ucapnya tegas, berusaha meyakinkanku. Dan ia tutup dengan senyum lebarnya.
“Oke. Gua trima kalo lo nggak mau cerita sekarang. Tapi, pastinya. Lo kudu, harus dan wajib cerita.”
Aku tak mau berusaha mendesakmu lagi. Baiklah, aku takkan mendesakmu lagi. Aku akan menuggu, menunggu kau mengatakan keriasauanmu padaku. Aku takkan memaksamu untuk mengatakan hal yang tak ingin kau katakan padaku. Aku menunggu, tapi kau harus menjelaskannya suatu hari nanti padaku. Harus.
Apa aku terlalu egois pada mu? Memaksamu untuk menceritakan semua yang kamu risaukan. Aku hanya ingin, kau berbagi. Aku ada di sampingmu. Kau bisa berbagi semuanya padaku. Apapun itu. Kamu tidak sendirian Do. Ada aku.
.
.
Dan benar saja. Awalnya ia bertingkah biasa. Dengan sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Dan sekarang- ia menghindariku??
Kenapa jadi seperti ini? Kenapa kau menghindariku? Ini mulai tak lucu.
kau mengatakan ada acara, saat aku ingin menginap seperti biasanya. kau mengusirku secara halus.
“maaf, gua ada acara.” Kelitmu sore itu. Dengan tas yang kau jinjing. Berusaha menolakku. Tingkahmu tampak canggung.
“weh, kemana? Gua temenin deh” balasku sumringah. Tak mau menanggapi sikap dinginnya.
Aku tak mau menanggapimu yang seperti itu. Aku hanya ingin bersikap seperti biasa padamu. Aku tak peduli kau berusaha menghindariku. Aku pasang muka tebal untukmu.
Kau menolak. Baiklah. Aku terima. Kau menghindariku berbicara terlalu lama, hanya menyapa dengan senyum canggungmu. Aku masih terima. Aku beri waktu yang lebih untukmu. Mungkin untuk menenangkan diri? Menenangkan diri dari apa?
Apa salahku? menghindariku seperti ini. Tanpa kejelasan.
Makin hari kau makin kacau, menolakku untuk menginap. Okeh aku terima, mungkin kau ingin sendiri. Waktu mengobrol berkurang. Aku terima. Mungkin kau masih canggung. Beralih hanya bertegur sapa tanpa mengobrol. Hal ini, mulai tidak masuk akal. Dan pada akhirnya, kau menghindariku sama sekali. Berjalan lurus tak melihatku, seolah kita tak saling kenal.
Maaf Do, ini mulai keterlaluan.
Aku meberimu waktu untuk menenangkan masalah yang kau punya, entahlah itu apa. Dan bukan memberikan waktu untuk menghindariku sepenuhnya. Memberimu waktu sendiri seperti itu terlalu lama, itu pilihan yang buruk. Pilihan yang membuat mu menjauhiku secara utuh.
Ini tak bisa dibiarkan. Aku tak mau semuanya berlarut-larut.
.
.
Ku buka gerbang pintu rumahmu. Tanpa permisi. Kenapa? Apa aku tak boleh? Aku biasa seperti ini, saat kau masih menerimaku. Saat kita masih biasa bermain bersama. Tidak untuk saat ini, di mana kau terus menghindariku.
Ku lihat Mbok Ijah yang tergopoh-gopoh menghampiriku. Wajahnya agak terkejut.
“ada perlu apa den?” tanyanya padaku, dengan senyum nya.
“Aldonya ada mbok.” Aku bertanya padanya, padahal aku yakin Aldo pasti ada di rumah.
Mbok Ijah yang setia menemaninya itu. Ramah dan keibuan.
Wajah Mbok agak tertunduk, ada gurat khawatir dari wajahnya.
“den, ada yang mau Mbok bicariin sama Aden.” Ucapnya pelan, setelah melirik kamar lantai dua yang berbalkon itu, kamar Aldo.
Mbok mengajakku duduk di teras. Ia hendak duduk di lantai, tapi langsung aku papah agar ia duduk dikursi juga sepertiku.
Wanita paruh baya, yang menjaga Aldo seperti keluarganya sendiri. Selalu ada untuknya.
Aku berterimakasih padanya, karena selama ini sudah ada untuk Aldo.
“Den Aldo sudah beberapa hari ini, nggak mau makan. Uring-uringan terus. Di dalem kamer terus, nggak mau keluar. Mbok udah bilang sama tuan, sama nyonya sama Mbak Sonya juga. tapi tetep aja, kaya gitu.
Den Aldo Cuma bilang iya. Tapi nggak pernah di makan makanannya”
Den Aldo Cuma bilang iya. Tapi nggak pernah di makan makanannya”
Aku kaget mendengar ucapan Mbok. Jika sampai seperti itu. Mungkin masalahnya memang benar-benar besar.
.
.
Aku berjalan ke kamarnya, membawa nampan berisi sepiring nasi dengan lauk kesukaannya dan segelas air putih. Ku ketuk pelan pintu kamarnya dan langsung masuk.
“ada apa lo ke sini?” Tanyanya langsung tertuju. Dia tau jika ini aku.
Ia duduk di ranjang, menghadap balkon. Tak membalikkan tubuh untuk melihatku. Aku menghampirinya, duduk di sebelahnya. Ia tak melihatku. Matanya terpaku melihat ke luar sana.
“hei, makan dulu yuk” ucapku juga tanpa basa-basi. Nampan yang kini ada di atas pahaku. Berusaha aku sodorkan padanya.
Aku melihatnya, ku perhatikan wajahnya yang terlihat tirus. Anak ini.
“lo ke sini Cuma mau nyuruh gua makan? Heh, Mbok pasti udah cerita sama lo.” Ucapnya dengan seyum sinis.
“iya,” aku hembuskan nafas dan kupasang senyumku. “sekarang makan dulu.” Ucapku pelan padanya. Ia hanya diam tak menanggapi.
“nanti gua makan, taruh aja di meja.” Ucapnya dingin.
“taruh di meja? Kan gua ke sini Cuma mau liat lo makan.” Ucapku pelan, tak mau menuruti perkataanya.
Ia menatapku, dan langsung membuang muka. Diam cukup lama, aku juga tak berkata apa-apa. Aldo Mengambil sepiring makanan yang sejak tadi ada di pangkuanku.
Kau memakannya, pelan dan lahap. Aku senang, paling tidak kamu makan. Kamu mau makan. Jangan menyiksa diri lagi. Jika melihat kondisimu yang seperti ini. Untuk masalah yang merisaukanmu itu. Aku tak peduli lagi, aku terima jika kau tak mau menceritakannya padaku. Aku terima. Asalkan kita bisa seperti dulu lagi. Asal kan kita bisa bersama lagi.
Aku takkan menuntut banyak padamu. Aku tidak akan. Tapi aku mohon jangan menghindariku lagi.
Memakannya bersih tanpa sisa. Menengguk air di gelas hingga habis. Terimakasih.
“lo udah liat gua makan kan.”
Dia ingin mengusirku sekarang. Aldo Aldo. Tak apalah. Paling tidak, kau sudah makan.
“okeh, gua udah liat lo makan. Gua cabut sekarang.” Aku berdiri, membawa nampan yang telah bersih. Sebenarnya aku tak mau pulang. Tapi, karena kau tak mengharapkanku di sini. Maka, aku harus pergi.
Aku pergi, berjalan dan melihat sekeliling kamar. Masih seperti biasanya. Rapih dan tertata. Ruang tidur yang luas dan nyaman. Hanya saja saat ini, terasa kaku dan berbeda. Suasana yang kaku. Dan terasa sedikit sakit di sini, dadaku terasa sakit. Hatiku terasa sakit.
Karena kau tak menginginkanku ada di sini.
“fan” kau memanggilku. Aku berbalik “iya”.
“kenapa lo nggak pernah terima tiap ada cewe yang nembak lo?” pertanyaan yang seperti ini, kembali ia bahas. Aku melihatnya, bertanya tanpa mau melihat ke arahku.
“kenapa ya? Eehhmm, emang gua nggak tertarik kok sama mereka.”
“kenapa lo nggak tertarik?”
Kenapa? Aku tak tau harus menjawab apa. Aku tak tertarik, ya- aku tak tertarik. Hanya itu saja. Tak ada penjelasan lebih. Aku masih tak mengerti kenapa ia menanyakan hal itu padaku. Kenapa harus menanyakan hal itu.
aku dan Aldo, kita sama. Tipe anak yang menarik di mata perempuan. Ada beberapa anak perempuan yang menyatakan suka padaku, dan itu lumayan. Tak ada satupun dari mereka yang aku terima. Semuanya aku tolak, karena aku merasa meraka itu biasa saja. Tak menyenangkan. Aku lebih baik bersamamu seharian penuh, dari pada harus menerima mereka.
Tapi kau berbeda, semua pernyataan cinta itu. Kau terima. Kau jadikan mereka pacar. Cap plyboy juga kau sandang. Kau memacari mereka tak lebih dari 2 minggu. Membuat mereka menangis dan patah hati. Kau keren sekali. Tapi anehnya. Tak ada yang jera untuk jadi pacarmu.
“kenapa?” kembali ia bertanya. Membuyarkan apa yang sedang aku pikirkan.
Ku lihat ia berdiri, berjalan ke arahku. Kembali menatapku dengan pancaran sendu itu. Kita hanya diam, saling menatap. Lama, ternyata lama.
Ia mengambil nampan yang sejak tadi aku pegang. Menaruhnya di atas meja yang ada di samping ku. Ia kembali berjalan mendekatiku.
Seperti saat itu, melingkarkan tangannya di pinggangku. Mendekap tubuhku erat. Menaruh wajahnya dibahuku.
Bisa kurasakan jantungnya yang berdegup dengan kencang. Nafasnya yang menyapu telingaku. Hangat dan cepat.
“lo nganggep gua Cuma teman kan? Lo nganggep gua Cuma teman kan?”
Kalimat yang keluar berulang-ulang itu kembali muncul. Sama seperti saat itu. Kenapa ia menanyakan itu padaku? Kita teman. Kita sahabat. Kau teman terbaikku.
Ku usap punggungnya seperti saat itu. Ku taruh juga wajahku di bahunya. Kita saling memeluk sekarang.
Peluk aku, seerat yang kau mau. Luapkan semua rasa gundah yang menggelayutimu. Mungkin kau tak mau berkata lebih. Jika sebuah pelukan erat ini bisa meringankanmu, peluk aku selama yang kau mau.
“kita temen, kita emang temen. Gua nganggep lo sebagai temen baik gua.”
Cukup lama ia memelukku, tepanya kita saling memeluk. Ia melepaskan pelukannya. Menatapku lagi.
Menyentuh pelan pipiku. Aku agak canggung sebenarnya. Saat Ia menyentuh pipiku. Menggerakkan ibu jarinya mengusap tulang pipiku.
.
.
Aku merasa canggung. Aku merasa malu melihatmu seperti ini. Tapi aku berusaha untuk tetap tahan. Aku tak mau kau- aku tak tau, aku tak mau kau seperti apa.
Ia mendekatkan wajahnya padaku. Itu membuat jantungku berdegup makin kencang. Dan aku merasa, wajahku memanas? Apa aku marah? Tidak, bukan marah. Rasa malu dan aku merasa gugup. Aku merasa malu? Kenapa?
Untuk beberapa detik, kau terus melakukan itu. Kita diam- saling menatap. Aku tidak menepis atau menampik apa yang kau lakukan sekarang. Aku hanya diam. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda.
Rasa haru dan debaran. Debaran??? Aku berdebar??? Kenapa?
“ini masalahnya.”
Aku tak menggubris apa yang kau katakan. Suaramu terasa begitu pelan. Belum pernah aku merasakan hal ini sebelumnya. Aku hanya bisa berdiri kaku, tak tau harus melakukan apa.
Aku merasa . . . . tak ingin cepat berakhir. Biarkan waktu berhenti dan aku bisa terus menatapmu seperti ini. Tapi kenapa? Kenapa??
Kau menutup matamu, mendekatkan wajahmu jauh lebih dekat. Kurasakan ujung hidungmu menyentuh hidungku. Apa yang terjadi sekarang.
Aldo, apa kau ingin menciumku?
Ku rasakan hidungmu bergerak menyentuh pelan hidungku, menyentuh pipiku dan . . . bibirmu mencium bibirku.
Kau menciumku??
Bibirmu sedikit menekan bibirku. Aku hanya diam.
Dan aku tak menolak??
Kenapa???
Ada apa denganku???
.
.
Aku duduk di tepian ranjang. Kita hanya duduk. Peristiwa tadi sangat mengejutkan.
Aku teguk segelas jus Alpukat yang Mbok bawakan untuk kita. Ku pegang gelas itu dengan erat. Ku mulai berpikir. Itu maksud dari kalimat yang kau ulang-ulang tadi? Saat kau memelukku.
“maaf” kata maaf kau lontarkan.
“untuk apa?” untuk kejadian tadi? Untuk apa kau minta maaf? Aku juga tidak menampik saat kau melakukan itu. Jadi, bukan hanya kau saja yang harus meminta maaf, aku juga. karena hanya diam, tak melakukan apapun.
Ruangan yang sunyi ini, telah melihat apa yang kita lakukan tadi. Dinding bergeming, mungkin ia melihat. Semuanya, jadi saksi bisu. Benar kan?
Mereka bisu, tidak bisa menceritakan apa yang baru saja terjadi. Mereka takkan bercerita pada siapa pun kan??
“ini, alesan lo ngehindarin gua?” aku mencoba mengawali. Karena ia hanya diam.
“gua nggak ngganggep lo Cuma temen. Lo yang selalu ada buat gua. Perhatian lo, tingkah lo -Gua ngerasa kacau. Gua sadar, gua emang nggak beres.” Aldo diam. Menghela nafas panjangnya. Menahan sesuatu. Apa yang kau tahan? “Gua nggak suka, liat lo deket sama cowo lain. Gua selalu lemes, gua takut kalo lo nerima cewe-cewe yang nembak lo. Gua takut, lo nerima salah satu dari mereka. ” Suaranya pelan dan parau, wajahnya memerah.
itu yang ada dalam pikiranmu? Kau yang mengungkapkan perasaanmu padaku. Kau yang kini berada di sampingku dan mengatakan bahwa kau menganggapku lebih dari teman.
“itu, alesan lo ngindarin gua?” kembali aku mengulang pertanyaan itu.
tapi, jika hanya karena takut aku menerima salah satu dari mereka. Ia tak perlu menghindariku, pasti ada alasan lain. Alasannya- karena kamu suka- sama- aku.
“itu karena lo!”
Iya jelas karena ku. Aku tau itu. Tapi kenapa? Belum jelas alasannya kau menjauhiku. Itu bukan jawaban. Atau mungkin, karena kau menyukaiku- kau berusaha menghindariku?
“gua tau, lo juga sama kaya gua.” Ucapnya sambil tersenyum. Tapi untuk apa senyum itu, jika ia sambung dengan tawa yang tak menyenangkan.
“gua sama?” apa aku juga. . . tunggu Do, aku tidak paham.
Pikiranku sekarang tumpang tindih. Tak mengerti dan tak paham. Dengan kondisiku sendiri. Dari reaksiku yang tak menepis saat kau menciumku. Jantungku yang berdebar dengan cepat, rasa malu, gugup rasa canggung, Kekhawatiranku. Pikiranku yang penuh akan dirimu. Bagaimana denganku? Bagaimana denganku?
“lo nggak pernah nyadar, tentang kondisi lo sendiri. Perhatian lo ke gua, itu yang nunjukin kalo lo juga nggak nganggep gua Cuma temen. Dan itu yang bikin gua kacau.”
Tunggu, jadi- aku- . .
Bodoh.
Bagaimana bisa ada orang yang sebodoh diriku? Yang tak mengerti dengan kondisi diri sendiri.
Ia yang kini tertunduk. Memalingkan wajahnya. Melihat ke arahku.
“gua kacau. dan itu semua, gara-gara lo”
Gara-gara aku? Wajahnya yang tadi tertunduk kini tersirat menyalahkanku. Kau menatapku tajam- penuh rasa kesal. Kau menyalahkanku?
Tunggu, setelah membuatku bingung. Dengan rasa sadar yang tertinggal. Kini kau menyalahkanku? Kau yang mengatakan bahwa aku juga menganggapmu lebih dari teman. Kau juga yang menciumku, dan jelas kau menyukaiku.
Sekarang kau menyalahkanku?
Aku. . Aku yang tak peka terhadap diri sendiri? Aku mengenaskan. Oh tuhan, kenapa aku begitu bodoh. Tak mengerti, bahwa selama ini aku menyukainya.
Wajah lesunya kini berubah, ia menggebu merona merah dam marah.
Tapi kenapa do? Kenapa kamu terlihat begitu marah padaku? Gara-gara aku? Apa maksudnya?
“Gua peluk, lo diam. Lo tenang kan? Tapi gua nggak. Karena dalam pikiran lo, lo mikir kita temen. Lo sadar nggak sih, perhatian lo, ambigu di mata gua. Perlakuan lo bikin gua mikir, gua- kalo gua nggak beres. Gua ngerasa tertekan sama perasaan yang gua punya.”
Karena kebodohan ku, karena aku yang tidak peka. Itu yang kau pikir membuatku tenang. Kau berpikir bahwa aku ini orang yang sangat bodoh. Begitu kan?? Ya, tapi kamu benar Do. Kamu benar. Dan maaf sekali, ternyata aku memang- bodoh.
“gua selalu mikir. Apa lo sengaja bikin gua kaya gini? Tapi muka polos lo nunjukin kalo lo tuh emang bego. Lo emang tulus.”
Aku tak tau, kenapa kau berpikiran seperti itu. Sungguh aku tak memiliki maksud lain dalam perhatian yang aku berikan. Tapi jika ternyata kau mengartikan demikian. Aku . . .
“gua bingung, kenapa gua nggak ngerasa seneng dengan perasaan yang gua punya. Kenapa gua ngerasa tertekan. Kenapa gua ngerasa idup gua nggak beres. Lo yang bikin gua kaya gini.”
Lagi, kalimat yang kau lontarkan adalah kalimat yang menyalahkanku. Kau benar-benar menyalahkanku.
“lo tau nggak sih, gua senyam-senyum mikirin lo. Lo lagi apa? Ngapain? Tapi rasa jijik timbul dalam diri gua. Gua cowo dan gua mikirin cowo. Gua nggak terima kondisi gua kaya gini. Kenapa gua harus kaya gini? Tapi mau gua pungkiri segimanapun juga. ternyata ini gua.”
Do, aku tak pernah tau jika ternyata kau benar-benar merasa terbebani. Aku tak pernah tau, jika kamu memikirkanku seperti itu.
‘Aku merasa jijik’? Kenapa?
Tak pernah sekalipun aku merasa jijik pada diri sendiri. Saat aku memikirkanmu, saat aku mengkhawatirkanmu. Aku tak merasa jijik. Karena saat itu aku bodoh, aku yang bodoh tak menyadari bahwa aku, menyukaimu. Apa- jika saat itu aku sadar bahwa aku menyukaimu. Saat aku memberikan perhatian padamu, saat aku terus memikirkanmu. Apa mungkin, aku juga akan merasa jijik pada diriku sendiri?
“gua selalu berpikir, kalo lo harus nggangep gua Cuma temen. Gua nggak mau nyalahin lo. Tapi nyatanya. Lo emang nggak kaya gitu. gua berharap tadi lo nonjok gua. Biar gua nggak nyalahin lo lagi.”
Itu tak mungkin terjadi, tak pernah terpikir sedikitpun aku memukulmu. Melayangkan tinjuku padamu.
“maaf” kata maaf ini, aku lontarkan. Membalas semua kalimat panjang lebarmu.
Kau menatapku tajam, saat aku meminta maaf padamu.
“lo sengaja? Lo bikin gua dalam posisi pecundang. jangan kaya gitu, lo malah bikin gua makin tertekan. Sialan lo. Lo sengaja jadi candu buat gua kan? Lo sengaja biar gua kaya gini kan?”
“maaf Do, gua nggak ada maksud untuk itu.” Aku selalu ada untukmu, bukan bermaksud untuk seperti itu.
“BUAT APA LO MINTA MAAF” kau berteriak kencang padaku.
Kau menatapku dengan penuh benci. Berdiri tepat di depanku. Urat lehermu mengeras. Nafasmu memacu tak menentu. Begitu besarkah rasa tertekan yang kamu miliki, karena menyukaiku?
Tanganmu mengepal. Tak apa, pukul saja aku. Luapkan semuanya saat ini. Tapi- kau duduk kembali. Duduk tepat dihadapanku. Menunduk, tak mau melihatku. Linangan bening itu pun, membasahi pipimu.
“gua pikir, dengan nyalahin lo karena kondisi gua saat ini bakal bikin tenang. Tapi nggak. Jadi gua harus gimana? Gua mau tenang. Gua nggak tahan tertekan.”
“gua pikir, dengan ngindarin lo. Perasaan gua bisa beres lagi. Tapi itu Cuma pikiran gua. Karena ternyata, ngindarin lo malah bikin gua kacau.” Dia tertawa. Mungkin mentertawakan kondisinya.
“gua pikir dengan nyalahin lo,perasaan gua bakal balik. Gua pikir semuanya bakal baik lagi. Tapi ternyata nggak.”
Do, aku sungguh tak mengerti. Kenapa kau begitu tertekan dengan rasa yang kau punya? Karena, suka ya suka. Cinta ya cinta. Kenapa harus ada rasa tertekan di dalamnya.
Aku tak mengerti, kenapa kau harus merasa tertekan.
Dan, apa alasannya kamu tidak mau menerima rasa yang tumbuh dalam hatimu- untukku?
Ya, kau yang membuatku tau bagaimana sebenarnya diriku.
Kau yang kini tertekan, dan kau pikir semuanya terjadi karena ku.
Kau menyalahkan ku, karena pemberian perhatianku padamu. Apa mungkin, aku- sejak dulu menyukaimu? Aku yang meberikan perhaitan ini, atas rasa suka yang kumiliki padamu? Dan aku tidak menyadarinya?
Maaf, jika ternyata. Aku yang membuatmu seperti ini.
Maaf, jika aku telah membuatmu menyukaiku. Maaf, jika ternyata hal itu membebanimu.
Meskipun, aku masih tidak mengerti. Kenapa kau harus merasa tertekan. Kenapa kau harus merasa terbebani? Kenapa kau tidak bisa menerima kondisimu sendiri?
Aku takkan bertanya lebih, karena memang aku yang membuatmu seperti ini. Kondisi yang kau anggap menjijikan.
Baiklah. Aku bisa sadar sekarang. Dan aku katakan, aku mencintai mu. Dan kau juga mencintaku.
Tapi, kenapa ada rasa tertekan dalam dirimu, karena rasa suka yang kau miliki.
Kau yang kini menundukkan wajah. Terus melinangkan bongkahan bening itu.
Kau yang terlihat sangat tertekan. Dan entah tekanan apa itu. Apa mungkin kondisi yang tidak bisa menerima diri sendiri, yang membuatmu tertekan? Begitu mengerikankah saat kau sadar bahwa kau mencintaiku?
Ku peluk tubuhmu erat, dan kau kini menangis dalam pelukanku. Kupeluk kau dengan hangat. Jelas sekarang, pelukanku tidak ambigu lagi. Pelukanku adalah karena aku mencintaimu.
“maaf, aku minta maaf.”
Kau hanya menangis, menaruh kepalamu di dadaku. Kau menangis tanpa henti.
Aku mohon jangan menangis lagi.
1 komentar:
aku nggak maksut dengan ceritanya.
cerita apa sih ini
Posting Komentar