The Promise



By. Zidwar Lie

Aku melihatnya duduk di kursi direksi utama. Setiap yang ia bicarakan menyiratkan kedalaman ilmu dan kharisma seorang berkarakter. Sekali-sekali dia melirikku, tersenyum. Lalu perlahan ia pun kembali berbicara di depan empat orang staffnya dengan mimik serius.
Mengagumkan memang. Siapa pun yang melihatnya, akan mengakui kalau lelaki muda itu, seorang yang pantas menjadi pemimpin. Belum pernah selama aku diterima bekerja di Awraq Publishing, mendengar atau melihat ia mengumpat karyawannya.
Dia orang yang santun. Ramah. Dermawan. Di tambah fisiknya yang menawan. Sulit untukku tidak berandai-andai memiliki kesempatan lebih dekat dengannya. Setiap hari kami selalu bersitatap. Tersenyum. Kadang sekali-sekali ia mengajakku duduk di Dubai Resort. Menunggu sunset menyulam malam.
“Aku sedang ingin mencari jati diri...” ia tersenyum menatapku.
Awal mula yang indah. Bertemu dengannya di depan toko roti. Ia menawariku secangkir frapucino di kedai langanggannya. Ia bertanya banyak hal. Aku tinggal di mana. Berapa bersaudara. Lalu ia pun bertanya di mana aku bekerja.
“Masih nganggur,”
Meski mendapat nilai terbaik tamatan SMA Greenfield Community School, nyatanya aku belum mampu mengajukan ijazah melamar kerja di perusahaan mana pun. Kebanyakan pekerja kasar di Dubai adalah imigran dari India dan Pakistan. Sementara penduduk pribumi yang tamatan SMA, akan bersaing lebih ketat lagi dengan imigran luar negeri yang lulusan strata.
Ketika semua harapanku terpusat dan berpikir akan menjadi seorang buruh kasar. Dia, dialah orang pertama yang memberiku kesempatan itu. Dia datang di saat yang tepat,
“Kebetulan, di tempat kerjaku sedang butuh enam orang karyawan. Ini kartu namaku, datanglah jika kau punya waktu,”
“Tapi... aku hanya tamatan SMA,”
“Datang saja dulu,”
Percakapan yang indah. Mengesankan hatiku yang layu, hingga tiga hari kemudian saat aku mengantar lamaran. Mengetuk pintu ruang personalia, tak sengaja aku melihatnya memegang gagang telefon dan berbicara dengan entah pada siapa di ruang yang tinggi di atas sana. Tersendiri. Batinku mengira dia adalah pemilik perusahaan.
Sebulan kemudian, lepas perusahaan ini mendapat tender membuat iklan dengan budget nilai ratusan juta Emirat. Setelah mengadakan pesta di kantor. Dia mengajakku naik Porsche terbarunya, lalu melesat cepat membuat darahku berdersir hebat. Sekali-sekali dia menatapku, tersenyum.
Dia menawariku es krim yang paling enak di negeri ini. Di Dubai Mal, dia menyilakanku memilih apa saja yang aku mau. Pusing. Terlalu banyak pilihan. Malam itu dia membelikanku Ipod baru. Pakaian baru. Juga membukakan rekening untukku. Air mataku menetes.
Menjelang pukul sembilan. Dia mengajakku ke Jumeira Palm. Itu kawasan rumah pribadinya. Dia tinggal sendiri. Pelayan di rumahnya tidak pernah menginap. Selalu datang jam 5 pagi dan pulang jam 4 sore.
Indah sekali tempat itu. Dari jendela kaca yang menghadap garis putih pantai. Mataku dimanjakan dengan keindahan tubir. Lampu-lampu di sepanjang pantai sungguh memukau. Desir pasir yang lengang menambah eksotis tempat elite itu. Semilir angin menyambutku.
Mungkin lelah. Ia melepas pakaiannya dan menyisakan kaus putih serta celana pendek. Ia terlentang di atas kasur doble spring bed beralaskan seprei biru muda. Sekilas, lebih tepatnya dari balik dinding kaca yang temaram. Aku melihat detil setiap lekuk tubuhnya yang atletis.
Matanya terpejam. Napasnya teratur. Bibirnya, oh Tuhan. Andai bibir itu halal untukku. Kan ku kecup selama-lamanya. Menggoda sekali.
“Zinar,” lirihnya mengejutkanku, “malam ini kau tidur di sini saja. Toh besok hari Minggu. Setahuku kau belum punya kekasih, bukan? Dan itu artinya... tidak ada yang keberatan kalau kau menginap barang semalam di sini. Hmm?”
Aku menelan jelijih. Entah apa yang kupikirkan malam itu. Sebuah musibah kah? Atau berkah kah? Tapi itu malam pertama kali aku memberanikan diri terlelap di samping tubuhnya. Tak ada suara. Tak ada kata-kata. Hanya mata-mata kami saja yang bicara. sayangnya, ia tak menyentuhku barang sedikitpun.
Tapi setelah aku terlelap. Setengah sadar, samar-samar aku merasakan lelaki muda dengan peluh yang wangi menindihku berkali-kali. Suara mendesah itu membuatku buncah. Larut dalam irama seiring desir pasir dan angin malam mendesau syahdu.
***
Tak ada alasan untukku marah kepadanya. Siapalah aku ini? Siapa dirinya? Pagi itu, peluncuran iklan di adakan di hotel Burj Khalifa. Di gedung tertinggi di dunia abad ini. Aku melihat seorang gadis berkebangsaan Emirat-India tampak mencuri perhatiannya. Letya, selalu telihat cekatan dan smart saat mempresentasikan diri di depan khalayak. Tapi entah mengapa dadaku sesak saat Letya merangkul pinggangnya. Aku...
Cemburu?
Ah, sejauh mana aku yakin ia tahu aku cemburu. Kapan kami jadian? Apakah kebaikannya selama ini adalah bukti ia mempunyai perasaan yang sama padaku? Ah, aku tidak ingin munafik. Sakit bila nanti tahu akhirnya, ia tak memandangku lebih. Apalagi memandangku dengan hati atau perasaannya. Tidak tidak, dia normal. Aku saja yang terlalu melambung berharap.
Acara puncak adalah makan malam di lobi hotel. Meski di kantor aku bukanlah seorang yang penting. Malam itu sebelum ke hotel ia memintaku memakai tuxedo yan dibelinya di butik langganannya.
“Aku ingin kau lebih tampan malam ini,”
Pipiku merona. Ia tersenyum menatapku lamat-lamat. Beberapa jenak kami saling bertatapan. Dadaku debar. Buncah ingin melampiaskan. Hasratku meronta-meronta membeludak dan ingin segera berterus terang. Napasku memburu. Ia pun begitu. Pelan. Pelan sekali aku mendekatkan bibir ini. Dia, menatapku seiringi menelan jelijihnya.
Perasaan ini agaknya sama. Matanya menyiratkan ia pun memandangku dengan sebuah perasaan lebih. Aku memejamkan mata. Ia pun memejamkan mata. Bibir ini sudah mulai meraba bibir tipis dan merah di depan sana. Napas kami bertemu. Menderu dan hanya berjarak sepersekian senti bertemu.
Dadaku beguncang. Napasku sengal. Tubuhku memanas. Ia merangkul pundakku. Tangan lembutnya pelan merangkak ke leherku. Mencengkramnya lembut. Pelan, aku mencoba mengimbangi. Aku melakukan apa yang ia lakukan. Bibir kami akan berpagutan. Aku akan merasakan bibir perjaka tampan.
Tiba-tiba suara seorang di luar kamar mengejutkan kami.
Aku mengumpat. Dia cepat-cepat menata hati. Bergegas menjemput suara itu karena sejak tadi orang di luar sana menyebut namanya. Ketika hendak menutup pintu. Ia menatapku sesaat, sayu. Ia tersenyum tipis lalu benar-benar lenyap di balik pintu. Aku menahan napas. Aku benci perempuan itu. Kenapa butik ini tidak menyediakan ruang ‘khusus.’
Syarmuthah!
***
Sebulan kedekatannya dengan Letya membuat kerjaku tak konsentrasi. Sering aku lupa dan salah menaruh berkas atau file atau beberapa bahan di meja orang yang tidak seharusnya. Hal itu membuatnya bertanya-tanya, ada masalah apa. Sore itu ia juga menegurku. Tanpa menjawab aku meninggalkan ruangannya.
Malamnya, ketika aku akan pulang ke Naif, di Deira. Tempat tertua di Dubai ini. Ia sempat mengantarkanku sampai di simpang lampu merah. Aku tahu dia akan mengantar Letya ke hotel di jalan utama Zayed Road. Mungkin dia akan bermalam bersama Letya.
Rasa cemburu ini kian menyiksaku. Pelan, aku tidak bisa menutupi diriku. Dulu, sebelum Letya datang dan menjadi klien. Dia selalu menyempatkan waktu untukku. Mengajakku ke mana pun aku mau. Katanya, semua dilakukan bukan tanpa sebab. Dia sedang mengobati laranya dengan mengajakku jalan-jalan. Katanya, aku lebih baik dari yang sebelumnya. Aku lebih dewasa.
Entahlah. Aku tidak mengerti apa maksudnya.
“Kelak kau akan tahu...”
Aku tidak pernah menganggapnya orang lain. Tapi begitu di kantor, dia atasanku. Sedekat apa pun kami di luar sana. Dia salah seorang petinggi di perusahaan ini. Aku tetap menyanjung dan menghargainya sebagai atasan. Tidak lebih.
***
Seminggu sudah Letya menjadi parasit. Gadis berambut pirang yang sesekali berkerudung itu gencar mencari simpatiknya. Meski ia kadang risih dan melihatku sambil mengedik, artinya ia tidak tahu apa mau gadis itu. Tapi dia selalu melayani. Dan itulah yang membuatku kesal padanya. Apa susahnya sih menolak?
Jadi laki-laki. Harusnya berpendirian. Malam itu aku membiarkannya duduk berdua dengan Letya di depan meja kerjanya. Sambil mengelap kaca dan membereskan meja-meja. Aku serasa dibakar api cemburu. Panasnya sampai ke hati. Dan ia, melirikku serba salah ketika aku melihat Letya mencium pipinya.
***
Segala puji bagi Tuhan. Kekhawatiranku pada Letya tak berlangsung lama. Setelah tender itu selesai. Letya benar-benar pergi dari kehidupannya dan tidak pernah muncul lagi. Akhirnya, benar apa kataku. Letya itu yang telah membuat jarak di antara kami. Semenjak kepergian Letya ke India. Aku kembali memiliki waktu bersamanya. Dan malah semakin erat.
Malam itu, ketika first kiss yang tertunda di butik Arsha membuatku jengah. Malam ini ia memberiku kesempatan sekali lagi. Persis ketika kami pulang dari Dubai Resort, setelah ia mengajakku dinner di sebuah kafe elegan di Dubai Mal.
Di kamarnya. Untuk kedua kalinya ia menawariku tempat tidur di sebelahnya. Meski sekali lagi dia tidak menyentuhku. Malam itu ia membiarkan tanganku saat merangkul dadanya. Dan ia tidak keberatan aku meletakkan kepalaku di atas dadanya. Dan kalian tahu, laki-laki Eksmud Timur Tengah selalu menjaga aroma tubuh bahkan ketika tidur.
Pagi selalu menyambutku dengan senyum mentari. Siang menggelincir dan membawa kabar teduh angin bahagia. Senja mengantarkan pandanganku di pantai Dubai. Di atas balai-balai, aku duduk menatap siluet sunset. Damai bersamanya. Merasakan semilir angin di musim dingin. Menikmati setiap desir pasir putih. Saling merangkul.
“Zinar,” lirihnya menatapku. Aku lekay menatapnya. Seketika dadaku buncah. Lihatlah, senyumnya itu tampan sekali.
“Terima kasih atas semua waktumu untukku,” dia tersenyum, “hmm, kalau kau tidak keberatan, apakah, apakah kau mau menjadi,” ia diam sejenak. Ragu mengucapkan dan sesekali melihat ke kiri dan ke kanan.
Aku menahan napas. Jadi ini yang akan dikatakannya waktu itu. Tanpa melanjutkan kata-katanya, aku mengangguk.
“Aku mau menjadi kekasihmu,” kataku penuh keyakinan. Sontak ia memelukku. Dia membenamkan wajahku persis ke dalam dekapannya. Aku mencium peluhnya yang wangi.
Hingga senja kala itu. Sunset Dubai menjadi saksi dua insan mengikat janji. Seorang kakek berambut pirang yang duduk di bawah payung pantai, menatapku tersenyum. Aku mengedipkan mata.
***
Tidak ada acara penting setelah dua cincin melingkari jari manis. Tidak ada yang tahu tentang perjanjian itu. Baik di kantor, atau pun di komplek Jumeira Palm, semua dibuat seolah biasa-biasa saja. Tidak ada yang mencolok. Sebisa mungkin, janji kami adalah bahwa hubungan ini bukan sesuatu yang diumbarkan. Tetapi tetap dijaga. Bila perlu dunia tidak tahu.
Minggu pertama, aku begitu tersentuh oleh semua kebaikan dan kesetiaannya. Minggu kedua, aku semakin yakin dia orang yang bertanggung jawab dan ia orangnya mesra. Minggu ketiga, cinta kami semakin bersemi. Dialah orang yang benar-benar mengertiku. Tidak ada satu kesempatan kudapati ia ingkar janji. Dia akan menepatinya.
Tapi, bukankah kesetiaan itu ada batasnya. Bukankah semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin meniupnya. Hingga saat itu aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah cinta kami perlu di uji? Apakah tidak ada kesempatan baik di antara hati kami untuk tetap menjalani koridor kebahagiaan tanpa ada kerikil dan duri yang menghadang?
Oh Tuhan. Baru saja Letya pergi. Sekarang Kau datangkan lagi seorang yang menengahi dua hati ini. Baiklah, ketika Letya hadir dan saat itu belum ada pernyataan cinta di antara kami. Aku tak mengapa. Tapi sekarang? Aldif, dia hadir setelah kami yakin untuk memantapkan perasaan ini.
Aku sempat kesal kepadanya saat Aldif, Tuan Muda dari pemilik perusahaan ini diam-diam jatuh hati padanya. Entah apa yang dikatakannya pada Aldif waktu itu. Tapi setelah perkenalan Tuan Muda di depan khalayak. Aldif datang dan bertanya-tanya padaku.
“Aku lihat, kalian dekat sekali. Ada hubungan apa?”
Aku diam. Sulit untuk menjelaskan. Aku tahu Tuan Muda sedang mencari data untuk melengkapi risetnya. Aku terhimpit jika harus bersaing dengan Aldif. Tentu dia akan memilih Aldif dari pada aku.
Janjinya? Sekarang aku meragukan. Kemarin aku melihat ia dan Aldif keluar. Mungkin ke kafe langganan. Pulangnya malam. Karena menunggu terlalu lama. Aku pun memutuskan pulang ke Naif sendirian. Tentu dengan sesal yang menyayat.
Pagi ini, Aldif datang ke pantri. Dengan wajah agak marah ia bertanya padaku. “Aku harap kau bersedia jujur. Sebenarnya ada hubungan apa kau dengan Rasyid?”
Aku diam. Tapi diam pun sama saja akan membuatku bicara. Terlebih Rasyid berdiri di samping Aldif. Inilah, moment yang membuatku lunglai. Tubuhku lemas tak berdaya mendengar penuturan Rasyid.
“Dia adik angkatku, Aldif...” Rasyid diam sejenak, menatapku kikuk.
“Pantas saja kalian dekat. Syukurlah kalau begitu. Tapi aku baru tahu, kau punya adik sepupu...” Aldif pun berlalu ke ruangannya. Rasyid mendekatiku.
“Zinar, aku harap kau mengerti. Posisi kita sama-sama sedang terjepit. Aku mohon, kita bersandiwara tentang semua ini, kau bisa memahaminya kan? Aku sangat mencintaimu. Tapi tidak dengannya. Satu hal yang membuatku seperti lembu di tusuk hidungnya. Aku sudah banyak berhutang budi kepada keluarganya,”
Aku mengangguk. Tersenyum manis walau dipaksakan.
“Aku mencintaimu, Zinar.” Dia mencium bibirku.
***
Seminggu kemudian. Entah dari mana kabarnya. Aku terkejut saat Aldif melabrakku. Ia mengumpat dan memakikku habis-habisan. Aku tidak tahu diri. Pelayan tidak tahu malu. Menjijikkan. Penipu. Anak pelacur. Anak haram. Dan umpatan kasar lainnya. Telingaku panas mendengarnya.
“Pandangi dirimu di depan cermin. Pantaskah kau dengan Rasyid. Heh?” ia mengempas tubuku ke dinding. Punggungku nyeri. “Kalau saja kau tahu apa yang keluarga ini telah berikan pada Rasyid. Tentu kau akan malu sudah berani menyatakan cinta padanya. Dasar anak syarmuthah!”
Aku tak sanggup berkata-kata. Aldif meninggalkan ruang ganti karyawan dengan langkah kesal. Aku melihatnya saja kesal. Kesal karena tidak menyadari diriku ini telah salah jatuh hati kepada seseorang. Oh Rasyid. Kenapa kau tidak mengatakan sejak awal...
Musim dingin membuat hatiku menjadi dingin. Aku berjalan di trotoar sepulang kerja. Sendirian. Musim dingin masih beberapa bulan lagi baru akan berlalu. Dengan sweater pemberian Rasyid yang masih wangi, aku mencoba menghangatkan tubuh dan pikiranku.
Ternyata. Aldif lebih dulu mencintai Rasyid. Rasyid sudah lama tinggal di lingkungan keluarga Aldif Asyakatir. Lama sekali. Keluarga itu adalah keturunan bangsawan Emirat yang memiliki saham hampir di sepanjang pantai Persia. Dan Rasyid, sudah menjadi budak balas budi untuk keluarga itu. Aldif, kau licik sekali.
Waktu demi waktu dibuat Aldif sengaja membuatku jengah. Setiap kali aku menunggu Rasyid pulang. Tuan Muda Aldif sengaja mengulur-ulur waktu. Ia dan Rasyid selalu saja ada tambahan rapat–meski dibuat-buat. Sekarang, Aldif menyabotase semua kehidupan Rasyid. Rumah di Jumeira Palm dijual. Rasyid tinggal sekamar bersama Aldif di apartemen di Burj Khalifa. Apartemen yang terlalu dipaksakan dibuat indah untuk ditinggali dua orang laki-laki.
Suatu sore, Aldif sengaja memamerkan foto-foto mereka ketika senja menatap gedung-gedung di sebelah Utara. Melihat foto itu, aku melihat ada sesuatu yang membuat binar mata Rasyid berwarna. Kedekatan mereka memang terasa kental. Aku cemburu untuk kedua kalinya. Aku cemburu karena melihat foto Aldif dan Rasyid bertelanjang dada lalu mandi bersama di bathtube.
***
Tahun ini ulang tahun perusahaan di rayakan di lobi hotel di Burj Khalifa. Beberapa tamu besar dan duta besar dari empat negara yang masing-masing negara tercakup dalam tender baru pun turut hadir. Sama seperti malam-malam pesta sebelumnya. Rasyid memberikanku seragam yang terbaik. Ia ingin melihatku tetap tampan.
“Aku menunggumu di balkon hotel.” Satu pesan penting dari Rasyid kubaca berulang-ulang. Aku berjalan mencari posisi Rasyid. Setiba di balkon aku melihatnya berdiri menatap gedung-gedung pencakar langit yang ada di sepanjang jalan Zayed Road. Ia selalu tampan dengan tuxedo yang dipakainya.
“Hei,” kataku penuh rasa debar. Rasyid membalikkan badan. Rasyid terpukau dengan tuxedoku (atau juga mungkin diriku). Sontak ia berlari dan langsung memelukku. Aku membalas memeluknya. Bagaimana tidak. Setelah dua bulan ia tinggal bersama Aldif. Sekali pun kami tak punya waktu berdua. Di kantor, Aldif memisahkan kami terang-terangan. Sekarang aku bukan menjadi OB lagi. Tetapi kurir yang tugasnya di lapangan mencari tempat yang tepat untuk di pasangi pamplet iklan. Hal itu dipastikan tak ada kesempatan untukku bertemu dengan Rasyid.
Dan saat ini. Wajarlah ia mencumbuku melepas rindu.
Ketika acara dimulai. Aku dan Rasyid berdiri menatap kota Dubai di malam hari. Kami sama membicarakan rencana kedepannya. Rasyid berjanji. Dia akan tetap mencintaiku. Apa pun yang akan terjadi dia akan menjaga cinta ini.
“Kau yakin?” tanyaku ragu. Aku ragu setelah melihat kedekatannya dengan Aldif.
“Apa selama ini aku pernah ingkar janji padamu? Hmmm,”
Sontak aku memeluk Rasyid. Membenamkan wajahku kesekian kalinya di dadanya. Rasyid selalu wangi. Aku memeluknya erat. Erat sekali. Rasyid pun merangkulku erat. Entah itu gerimis atau apa, aku melihat satu butir air jatuh membasahi lenganku. Malam itu diakhiri dengan kecupan hangat. Basah namun nikmat.
“Aku sangat mencintaimu, Zinar...” Rasyid mengecup bibirku.
***
Seminggu setelah pesta malam itu. Tiba-tiba Aldif memintaku datang ke apartemennya, dari balik pintu aku mendengar suara isak tangis. Seseorang sesengukkan. Aldif? Dia menangis? Untuk apa? Pelan aku mendengar Aldif masih menangis. Mulanya aku enggan masuk ke apartemen itu. Aku tersentak ketika Youseft, pelayan Aldif menyilakanku masuk.
Di depan kursi tamu aku tercenung.
Aldif mengelap matanya yang sembap. Dia membuka cerita. Tentang kali pertama keluarga Aldif mengadobsi Rasyid sepeninggal kedua orang tuannya di Abu Dhabi. Keluarga Asyakatir merawat Rasyid hingga besar di Dubai hingga saat ini. Berharap kelak Rasyid bisa menjadi kakak yang baik bagi Aldif. Lambat laun. Setelah Aldif tumbuh remaja. Mulanya ia menganggap Rasyid adalah kakaknya. Tapi ia tak bisa membohongi perasaannya selama ini. Diam-diam, dia mencintai Rasyid. Sangat mencintainya.
Perasaan itu terhalang karana Aldif tak berani mengatakan perasaanya. Terlebih Aldif harus melanjutkan kuliah di Inggris. Komunikasi mereka terus berjalan. Tapi Aldif menyadari. Seseorang sudah membuat Rasyid berubah. Sepanjang masa kuliah Aldif selalu bertanya-tanya siapa gerangan yang membuat Rasyid berubah. Dan sekembalinya dari Inggris, Aldif sangat terpukul setelah tahu akulah penyebab itu. Ya, aku.
“Zinar, aku mohon kau mengertilah. Kau baru mengenal Rasyid dalam hitungan bulan. Dan aku, sudah sejak kecil. Aku sangat mencintai laki-laki itu. Dia adalah pelita dalam hidupku. Zinar, aku memang lemah. Hatiku rapuh untuk takut kehilangan separuh jiwaku. Aku harap, kau memberiku kesempatan. Maka dengan rasa terima kasih, aku akan memberikan apa pun yang kau minta, berapa pun jumlahnya.”
Aku diam. Aldif menawariku materi? Oh Tidak semudah itu. Rasyid bagiku udara dan darah. Dia yang mengaliri semangatku selama ini. Dia yang sudah mewarnai hari-hariku. Aku sangat mencintai Rasyid.
“Maaf, aku tidak bisa,”
“Tapi, Zinar. Kau tidak tahu bagaimana rasanya hati ini berbicara. Kau tidak mengerti. Aku sudah sekian lama memendamnya. Menahannya dan takut kalau-kalau ada orang lain yang melintasiku. Yang kutakutkan terjadi. Kau, kau adalah orang itu...”
Aku diam. Sulit rasanya untuk menarik napas. Kembali Aldif menceritakan perasaanya yang terdalam. Sekian lama ia menipu dirinya sendiri. Selalu berusaha melakukan apa pun yang Rasyid minta–meski nyatanya Rasyid jarang meminta apa pun darinya. Kedekatan mereka sudah sangat dekat. Seperti darah mengalir ke jantung. Tapi sekarang semua berubah. Jauh sekali perubahan itu.
Aldif menceritakan masa-masa remajanya bersama Rasyid. Berjalan ke taman. Keliling Dubai bersama Youseft. Bermain di Dubai Resort. Bermain ski di Dubai Mal. Melihat akuarium raksasa. Melihat air terjun. Masa-masa kecil itu erat dan membuat Aldif nyaman bersama Rasyid.
Pelan aku mengerti. Perasaan semacam itu telah mendarah daging untuk hati seseorang. Jujur, aku sangat mencintai Rasyid. Tapi ada orang lain yang memiliki perasaan yang lebih besar dariku untuk Rasyid. Dan nyatanya, keluarga Aldif adalah orang yang berjasa atas kesuksesan Rasyid.
Aku orang baru. Baru merasakan jatuh cinta yang sesaat. Tapi Aldif? Dia sudah sangat lama mencintai Rasyid. Aku menarik napas, membuangnya pelan. Lamat-lamat menatap wajah sembap Aldif. Aku tetap tidak ikhlas. Aku sangat mencintai Rasyid.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Atau bagaimana. Jujur, saya sangat mencintai Rasyid. Dia orang yang sangat berarti dalam hidup saya.”
“Zinar! Tolonglah. Berilah aku kesempatan...”
“Maaf, Tuan. Saya tidak bisa. Kalau pun Tuan Muda ingin memiliki Rasyid. Silakan rebut hatinya dengan fair. Rangkullah Rasyid jika Tuan mampu. Karena Rasyid sedang merangkulku. Dan nanti, siapa pun yang menjadi pilihan Rasyid. Saya harap Tuan Muda bisa menerima semua ini dengan lapang dada. Karena saya pun akan berlapang dada.”
“Kau, kau tidak memberiku kesempatan?”
“Ambillah kesempatan itu, Tuan. Jika mampu.”
***
Waktu terus berlalu. Kabar mengejutkan datang dari keluarga bangsawan itu. Aku baru tahu dari Rasyid kalau tuan Aldif jatuh sakit tiga hari yang lalu. Selama Aldif di rawat di rumah sakit Dubai, Rasyid adalah orang yang paling care dan tidak pernah lelah menunggui Aldif. Siang malam ia habiskan waktunya di sebelah ranjang Aldif.
Malam itu tanpa sengaja aku mendengar. Aldif berbisik lirih kepada Rasyid. Ia mengingatkan Rasyid kenangan-kenangan di antara mereka beberapa tahun silam. Kebersamaan mereka. Dan semua canda tawa mereka. Aldif pun mengingatkan janji Rasyid pada keluarganya dulu. Bahwa ia senantiasa akan terus mengabdi.
Terang saja Rasyid bungkam. Dia sudah termakan budi. Ketika hanya ada kami bertiga di kamar inap VVIP itu, Aldif menyatakan cintanya di depan mataku. Dadaku berguncang.
Rasyid kikuk. Sempat melirikku walau hanya sesaat. Aku diam. Aku sudah tahu bagaimana akhir kisah ini. Rasyid akan tetap memilih Aldif. Aku sadar diri. Aku hanya orang ketiga di antara mereka. Dengan lantang dan yakin, Rasyid pun memutuskan memilih Aldif. Yang kutakutkan terjadi sudah. Ketika Rasyid pergi ke toliet sejenak, Aldif mengingatkanku dengan kata-kataku. Siapa yang menang. Yang kalah harus lapang dada.
Aku mengangguk. Tersenyum. Tapi batinku menangis.
Menjelang pukul dua pagi. Untuk terakhir kalinya. Aku mengecup bibir Rasyid seiring menitikkan air mata. Rasyid menggeliat. Tapi karena lelah ia tak bangun dari tidurnya.
“Kupegang janjimu dan sudah kusimpan di dalam hatiku. Terima kasih atas kebikan yang tak ternilai harganya untukku. Aku sangat mencintaimu. Kalau boleh aku meminta. Jagalah laki-laki yang kau jaga itu agar hatinya bahagia. Karena bahagianya. Bahagiaku juga. Selamat tinggal, Rasyid. Aku akan selalu mencintaimu...”
Sekali lagi aku mencium bibirnya. Malam itu juga aku mengepak barang-barangku. Surat pengunduran diri aku masukkan ke dalam kotak pos. Udara dingin kota Dubai tak membuatku luruh dan menyerah menatap masa depan. Biarlah aku pergi membawa kenangan. Meski tak indah, kisah ini tetap menjadi kenangan.
Di bawah lampu merkuri. Di tengah malam yang tak pernah sepi. Aku berjalan seorang diri. Sesekali aku merasakan dinginnya angin Dubai. Rintik-rintik hujan menerpa wajahku. Dalam diam aku menangis. Hatiku masih tak rela. Sejenak aku teringat wajah bersih Rasyid. Ah, dia telah menjadi bagian dari hidupku. Hidup yang paling indah.
Di dalam sebuah bus yang sepi. Aku duduk menatap jendela kaca yang mengembun. Perjalananku mungkin akan jauh. Jauh sekali. Dan mungkin karena terlampau jauh. Aku tak tahu kemana akan pergi.
SEKIAN
Sorry untuk typo dan cerita yang kurang berkenan. Sebenarnya cerpen ini rencananya akan diikut sertakan di Project Antologi Cerpen 2014 (setting luar negeri). Berhubung yang punya project tak serius dengan konfirmasi saya (pun saya yakin takkan mendapat tempat) yah, ketimbang mubazir, saya kirim deh ke FP ini.
Buat saran dan kritikannya saya terima dengan lapang hati, boleh colek saya di Facebook : Zidwar Lie atau mensyen di @zidwar
Trima kasih....
NB: Spesial thanks for keluarga besar @Fukoura
# Life Must Go On...

0 komentar:

Posting Komentar