Stay Part 2



By : Sa-Chan

Sebagai pusat Wilayah Tokyo Raya, Tokyo adalah pusat transportasi kereta api, darat, udara domestik dan internasional di Jepang. Transportasi umum di dalam Tokyo di dominasi oleh jaringan kereta dan kereta bawah tanah yang “bersih dan efisien”, sementara bus, monorel dan trem memainkan peran sekunder. Di Ota, salah satu dari 23 distrik khusus di Tokyo, Bandar Udara Internasional Haneda mewadahi penerbangan domestik dan internasional. Di luar Tokyo, Bandar Udara Internasional Narita, di Provinsi Chiba merupakan gerbang utama untuk perjalanan internasional ke Jepang. Perusahaan – perusahaan penerbangan Japan Airlines, All Nippon Airways, Air Japan dan Delta Airlines semuanya menjadikan Narita sebagai hub penerbangan. Beberapa pulau dalam administrasi Tokyo juga memiliki bandara sendiri. Hachijojima Airport, Miyakejima Airport, dan Izu Oshima Airport menyediakan layanan ke bandara internasional Tokyo dan bandara – bandara lain. Kereta api adalah metode transportasi utama di Tokyo yang memiliki jaringan rel bawah tanah yang paling luas di dunia. JR East memegang jaringan rel terbesar di Tokyo. Jaringan bawah tanah berada di bawah pengawasan dua organisasi terpisah, yaitu Tokyo Metro milik swasta dan Biro Transportasi Metropolitan Tokyo milik pemerintah. Pemerintah Metropolitan dan pengusaha swasta bersama – sama mengoperasikan rute bus. Layanan lokal, regional, dan antarnegara juga tersedia, dengan terminal – terminal utama di stasiun – stasiun kereta api besar seperti Tokyo, Shinagawa, dan Shinjuku.
Expressway menghubungkan ibukota dengan tempat – tempat lain di wilayah Tokyo Raya, Kanto, Kyushu, dan Shikoku. Salah satu metode transportasi lain di Tokyo adalah taksi dan juga ferry yang menghubungkan kepulauan – kepulauan dalam administrasi Tokyo. Tak heran selama dalam perjalanan menuju kampusnya, Hina hanya berhimpit – himpitan dengan kumpulan manusia yang ingin mulai bekerja di pagi hari atau anak sekolah yang akan belajar. Walaupun masih pertengahan Januari, sudah banyak orang yang memulai aktifitasnya, termasuk Hina, karena hari ini adalah ujian kelayakan untuknya agar di terima masuk menjadi mahasiswa beasiswa di sebuah Universitas terkemuka di Shinjuku. Setelah beberapa menit berdesak – desakan di dalam kereta, akhirnya dia sampai di stasiun yang di tujunya. Namun, sebelum keluar dari kereta tersebut, Hina langsung terjatuh karena scarfnya tersangkut dengan seseorang sehingga membuatnya jatuh terjerembab.
“Kau tidak apa – apa ?” tanya seseorang mengulurkan tangannya pada Hina.
“Terima kasih ... akh “ Hina menerima uluran tangan pria tersebut dan mendongakkan kepalanya, sesaat mereka berdua terdiam, namun Hina segera sadar, bahwa kacamatanya tidak ada dan dia melihat orang yang membantunya sangat buram. Hina langsung meraba – raba lantai di bawahnya, berusaha mencari kacamatanya, namun penglihatannya yang kurang makin membuatnya seperti orang bodoh, kegiatannya terhenti ketika seseorang memasangkan kacamatanya langsung tepat di wajahnya. Hina agak terkejut, dan langsung melihat siapa orang yang sudah menolongnya tersebut. Seorang pria muda yang cukup tampan dengan senyum yang mempesona, dan sangat bergaya cara berpakaiannya. Hina membenahi barang bawaannya dan berdiri sambil menepuk – nepuk celananya yang kotor karena jatuh tadi. Ketika sudah berdiri, Hina agak kaget, perbedaan tinggi mereka jauh sekali, sehingga Hina harus mendongakkan kepalanya untuk menatap pria yang menolongnya tersebut.
“Terima kasih atas bantuannya, maaf sudah merepotkan” bungkuk Hina memberikan salam, dan langsung beranjak pergi karena malu sehabis terjatuh tadi.
“Kau baik – baik saja ? Tidak ada yang terluka ?” tanya pria itu lagi menahan tangan Hina sebelum dia beranjak pergi.
“Jangan khawatir, aku baik – baik saja, terima kasih sekali lagi” ucap Hina tidak berbalik menatap pemuda itu, dan langsung pergi berlari meninggalkannya.
Di samping itu, pemuda tinggi itu hanya tersenyum kecil melihat tingkah Hina yang pemalu, ketika dia ingin pergi dari stasiun itu, dia menginjak sesuatu lalu mengambil benda yang di injaknya. Ternyata kartu mahasiswa Hina yang terjatuh,
Name: Miura Hina
Age: 18 Years
Sex: Male
Birth: Hokkaido, Sapporo Prefecture 14 February 1991
University Of Waseda
“Hina .... ?” batin pemuda itu lalu keluar dari stasiun tersebut.
-University OF Waseda-
Universitas Waseda adalah salah satu dari dua Universitas swasta paling prestigius di Jepang (satunya lagi adalah Universitas Keio), sementara dua Universitas Negeri paling prestigius adalah Universitas Tokyo dan Universitas Kyoto. Waseda terletak di daerah Shinjuku, Tokyo. Waseda terkenal dengan kalimat liberalnya yang di simbolkan dengan mottonya “Independence of Learning”. Waseda di dirikan oleh samurai terpelajar bernama Okuma Shigenobu pada 1882, dan menjadi Universitas penuh pada 1902. Hampir sebagian besar dari kampusnya hancur oleh serangan bom pada masa Perang Dunia II namun di bangun dan di buka kembali pada tahun 1949. Waseda juga dikenal sebagai tempat lahirnya politisi Jepang. Enam perdana menteri Jepang pasca-perang adalah lulusan Waseda : Ishibashi Tanzan (1956 – 1957), Takeshita Noboru (1987 – 1989), Kaifu Toshiki (1989 – 1991), Obuchi Keizo (1998 – 2000), Mori Yoshiro (2000 – 2001), dan perdana menteri yang sekarang, Fukuda Yasuo (2007 – sekarang). Hina mengambil Graduate School of Letters, Arts, and Sciences, karena dia menyukai seni, dan memang dia mempunyai banyak prestasi di Sapporo dulu. Arsitektur gedungnya yang mirip sebuah kastil di Inggris, dan mempunyai jam besar seperti Big Ben, membuat Hina cukup excited. Akhirnya dia memasuki gedung kampusnya itu dan menuju ruangan dosen yang letaknya berada di ujung koridor yang cukup panjang dari gedung utama. Setelah sampai dan berbicara dengan dosen pembimbing barunya, Hina melanjutkan ke bagian test ujian kelayakannya, dalam sebuah ruangan kecil yang berada di samping ruangan dosen tersebut.
“Aku mengharapkan banyak darimu Miura-kun” ujar dosen pembimbingnya itu, Hina hanya menganggukkan kepala pelan.
***
Hina menghela nafas pelan, setelah selesai melakukan ujian kelayakannya, tidak ada yang istimewa, dan Hina hampir mampu mengerjakan semua soal yang di berikan padanya tadi. Pikirannya sekarang hanya tertuju pada hilangnya kartu mahasiswanya yang baru dia sadar hilang dari kantong sweaternya. Dosennya mengatakan agar mencari kartu mahasiswa tersebut, karena itu di butuhkan untuk setiap kegiatan di kampusnya.
“Kau mencari ini ?” tanya seseorang yang mengagetkan Hina.
Sontak saja Hina membelakakan matanya melihat kartu mahasiswanya berada di hadapannya. Langsung saja dia ingin mengambil kartunya tersebut dari tangan seseorang, namun orang yang sedang berbicara dengannya tersebut, menarik kembali kartu mahasiswa milik Hina dan mendeham pelan. Hina langsung mendongakkan kepalanya lalu melihat siapa gerangan yang sudah menemukan kartu mahasiswanya tersebut.
“Apa kabar ? Aku tidak menyangka kau mahasiswa di Universitas ini juga ?” tanya Akashi _nama orang tersebut_ tenang.
“Bukankah kau yang di stasiun tadi ? Maaf telah merepotkan” jawab Hina membungkukkan badan berkali – kali, dengan wajah yang merona, tunggu, tadi dia mengatakan “Universitas “ini” juga ?” batin Hina, berarti ....
“Namaku Akashi Tetsuya, aku mengambil Graduate School of Finance, Accounting and Law, tingkat tiga” balas pria yang bernama Akashi itu.
“Namaku Miura Hina, Graduate School of Letters, Art, and Sciences, mahasiswa baru, mohon bantuannya Akashi-senpai” ujar Hina memperkenalkan dirinya.
Akashi menarik dagu Hina ke atas, dan menatap matanya dalam. Di perlakukan seperti itu, Hina tersentak kaget dan langsung menepis tangan Akashi. Suasana menjadi aneh, Akashi hanya tersenyum pelan mendapat perlakuan seperti itu dari Hina, lalu mengulurkan kartu mahasiswa Hina padanya, dengan cepat Hina langsung menyambar benda yang berada pada tangan Akashi lalu berlari pergi meninggalkan Akashi sendiri.
“Kenapa kau bahagia seperti itu Tetsuya ?” sambung seseorang yang cukup mengagetkan Akashi.
“Ehmm, tidak, hanya saja ada kouhai yang cukup lucu” jawab Akashi sedikit tertawa.
“Lucu ? Maksudmu ?” tanya orang itu lagi.
“Kau terlalu banyak bertanya Kuon, ayo kita pergi” balas Akashi yang langsung berbalik pergi menuju dalam kampus di ikuti oleh lelaki yang bernama Kuon tadi.
Setelah perkenalan sekolah dan administrasi, Hina langsung melihat brosur – brosur untuk masuk dalam klub. Bulan ini memang bukan bulan ajaran baru, karena Hina masuk di pertengahan semester, malah ketika ujian tengah semester berlangsung. Hina langsung mengambil salah satu brosur dari klub Drama. Dia langsung beranjak dari tempatnya berdiri dan menuju klub itu berada. Sejak kecil Hina memang sangat menyukai berakting, dan baginya kehidupan yang sekarang adalah bagian dari sebuah drama untuknya. Bahkan dirinya tidak tahu bagaimana sifat asli dirinya, sejak mengenal tentang akting, Hina terbiasa untuk menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya di dalam hati, tidak bisa mengungkapkan hal yang sebenarnya dia inginkan. Dari sejak sekolahnya yang pertama dia sudah mengikuti banyak perlombaan akting di Sapporo, bahkan beberapa majalah di sana pernah memuat wajah Hina, tapi itu ketika dia masih berusia sepuluh tahun. Tentu saja tidak ada yang menyadarinya sekarang, karena Hina sudah memakai kacamata dan gaya rambutnya sudah berubah tidak seperti yang dulu, terlihat lebih macho mungkin. Hina hanya menutupi wajahnya dengan kacamata, agar orang lain tidak terlalu mengenal dirinya di masa lalu. Lagipula, sejak itu pula Hina sudah senang membaca buku, dan membuat penglihatannya kabur. Di Middle dan High Schoolnya, Hina juga selalu mengikuti Klub Drama, dan sering ikut mengambil bagian dalam setiap event – event di acara luar dan dalam sekolah.
“Permisi” sahut Hina pelan sambil mengetuk pintu klub Drama tersebut, lalu ada balasan panggilan untuk menyuruhnya masuk.
“Kau ingin masuk klub ini ?” tanya seorang wanita tinggi berambut ikal panjang lurus menatap Hina dari arah pintu masuk.
“Mmm, apakah masih boleh untuk mendaftar senpai ?” tanya Hina lagi.
Ruangan Klub Drama itu cukup besar, di samping kiri terdapat rak buku kaca yang sangat besar, terdapat bermacam – macam koleksi buku tentunya. Di samping kanannya, terdapat sebuah panggung kecil untuk latihan seperti layaknya panggung di aula pertemuan sekolah. Sedangkan di tengahnya terdapat meja bundar yang agak besar dan sudah di isi oleh beberapa orang di sana.
“Tentu saja, silahkan masuk, aku belum pernah melihatmu sebelumnya ? Apakah kau mahasiswa pindahan ?” tanya wanita tinggi itu lagi.
“Bukan, saya mahasiswa baru, hanya saja baru bulan ini saya bisa datang ke Tokyo, saya berasal dari Sapporo, nama saya Miura Hina” jawab Hina lugas.
“Oh, dari Hokkaido ? Mungkinkah kau mahasiswa beasiswa yang sedang di bicarakan oleh beberapa dosen kita ?” tanya pria yang memakai topi, berdiri sambil mendekat ke arah Hina.
Hina tidak menjawab pertanyaan dari kakak kelasnya itu.
“Kau menakutinya Kishimoto, jangan pedulikan dia Miura-kun, kemarilah kau bisa mengisi formulir ini dulu” lanjut wanita tinggi itu berusaha mencairkan suasana.
“Namaku Minami Tomoyo ketua klub Drama, pria yang bicara denganmu itu tadi, Kishimoto Ikuya, wakilku, Tanaka Souta bendahara, Miyazawa Daiya sekretaris” ujar Tomoyo lagi memperkenalkan diri, sekaligus teman – temannya.
“Salam kenal Miura-kun” sahut Ikuya, Souta, dan Daiya bersamaan.
Hina hanya tersenyum senang, melihat semua kakak kelasnya itu sangat ramah dan baik. Dalam benaknya Hina berpikir bahwa dia akan baik – baik saja di Tokyo ini, walaupun masih belum bertemu Hiro, kakak kembarnya, mungkin waktu yang akan menjawab.
“Baiklah, terima kasih sudah mau join klub kami Miura-kun, jadwal latihan kita akan di adakan setiap hari Rabu dan Sabtu, lalu basecamp kita adalah di aula pertemuan sekolah” ujar Ikuya menerangkan pada Hina, dan dia menganggukkan kepala mengerti.
“Jika ada yang tidak mengerti, tanyakan saja pada kami semua Miura, kami akan membantu sebisa kami” senyum Daiya mengelus kepala Hina pelan.
“Terima kasih, Daiya-senpai, baiklah saya permisi dulu, jadwal kuliah saya yang kedua akan segera di mulai, sampai bertemu besok senpai” sahut Hina memberi salam lalu berlalu dari ruangan itu.
Blam ! Pintu tertutup, Ikuya hanya melambaikan tangan pada Hina yang sudah pergi.
“Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat” sambung Souta yang dari tadi belum bicara sama sekali.
“Siapa ? Miura ?” tanya Ikuya penasaran.
“Aku sependapat dengan Tanaka, tapi aku lupa di mana” balas Tomoyo mengetuk dagunya, lalu melihat profil dari Hina dan tersentak kaget.
“Ada apa Minami ?” tanya Ikuya bingung.
“Aku baru ingat sekarang, dulu majalah Sapporo pernah memuat wajah covernya dan itu sudah sangat lama sekali, kira – kira delapan tahun lalu, majalah Sapporo memang jarang beredar di Shinjuku, jadi aku tidak heran kalian lupa” jawab Tomoyo panjang, dan Souta menjentikkan jarinya ingat membetulkan perkataan sang ketua, lalu mengambil sebuah majalah dari rak buku yang besar di belakangnya, dan memperlihatkannya pada teman – temannya.
“Nama panggungnya adalah Miyagi Ao, ini dia sampul cover dengan wajahnya yang masih berumur sepuluh tahun” jelas Souta.
“Apa ? Kenapa berbeda sekali dengan sekarang ?” teriak Ikuya tidak percaya.
“Ini adalah majalah yang cukup terkenal di Sapporo, dan katanya dia sudah mempunyai bakat sejak kecil, wajahnya yang baby face dan innocent, selalu menimbulkan gosip miring tentang gender aslinya” sambung Tomoyo lagi.
“Aku masih ingat tahi lalatnya yang ada di pelipis kirinya, wajahnya tidak bosan untuk di pandang, dan gendernya memang laki – laki” ujar Souta riang.
“Kenapa bisa menimbulkan gosip gender seperti itu ? Jelas – jelas dia tadi menunjukkan seperti pria pada umumnya” cengir Ikuya.
“Kau tidak mendengar penjelasanku tadi Kishimoto ? umurnya masih sepuluh tahun dan wajahnya dulu masih terlihat innocent, lagipula majalah yang menerbitkan wajahnya itu tidak menyebutkan gender apa Miyagi Ao itu, hanya kesan sebagai “Illusion Phantom” untuk tema majalah itu” ujar Tomoyo sambil mengetuk kepala Ikuya keras dengan majalah yang sedang di pegangnya.
*****
Hina merebahkan tubuhnya ketika sudah sampai kamarnya, membuka tasnya dan mengambil bola kristal yang selalu dia bawa kemana – mana. Entah kenapa, tiap kali melihat bola kristal kaca ini, hatinya sangat rileks dan nyaman, lalu Hina menepuk – nepuknya dua kali. Tampilan bola kristal itu berubah, replika rumah yang tadinya bersih, sekarang berubah menjadi putih karena ada salju yang turun. Hina mengkhayalkan dirinya seolah – olah dia berada dalam replika rumah tersebut, bersama seseorang yang di cintainya. Dalam keadaan yang sunyi dan tenang tidak ada seorangpun yang akan mengganggu, itulah impian Hina nanti, tapi hatinya selalu bertanya – tanya apakah semuanya itu akan terwujud ? . Hina baru ingat bibinya tidak akan pulang malam ini, jadi dia harus menyiapkan makan malam untuk sepupunya tersebut. Paman dan bibinya memang terkadang jarang pulang ke rumah, karena pekerjaan mereka yang selalu padat. Setahu Hina, sepupunya itu sudah bekerja di salah satu perusahaan pamannya yang berada di MidTown Tokyo. Hina tidak terlalu ingat kenangan bersama sepupunya itu, atau entahlah, Hina samar – samar gelisah ketika memikirkan tentang sepupunya tersebut.
Walaupun, paman dan bibinya jarang ada di rumah, mereka tidak pernah mempekerjakan seorang pembantu. Hina bersedia melakukan apa saja untuk sebagai balasan tinggal di rumah mereka. Haruka mengatakan tidak usah berbuat hal itu, karena biasanya sepupunya yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi Hina bersikeras untuk membantu walaupun hanya sekedarnya saja.
“Aku pulang” sahut Kaito dari arah pintu masuk, sambil melepas sepatunya dan masuk ke ruang tamu,
“Ibu ? Kau di dapur ?” tanya Kaito lagi melihat lampu di dapur menyala, namun langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di atas meja ruang tamu itu.
“Makan malam sebentar lagi siap Kaito-san, mau langsung makan atau mandi dulu ?” tanya Hina menuju ruang tamu, tapi kaget karena sepupunya itu sedang memegang bola kristal miliknya yang paling berharga itu.
“Hina ?” kaget Kaito melihat siapa yang berada di depannya sekarang.
Berikan komentar yang membangun yah

0 komentar:

Posting Komentar