Sang Mantan (CERPEN)


Author: Lian48
WARNING: sedikit bau bau adegan dewasa. Yaoi, cerpen, romance.
Happy reading \^0^/
-Reno POV-
“Hei disana ada banyak pohon tumbang, kita cari tempat duduk di sana.” Saran Ari si ketua regu. Kami dari komunitas pecinta alam melakukan camping di hutan, kumunitas kami terdiri dari berbagai mahasiswa di kampus-kampus yang berbeda sehingga memperluas jaringan kami. Tanpa terduga aku bertemu kembali dengan sahabatku saat SMP, Dimas.
Dimas hanya tersenyum ketika dia duduk di seberangku, aku mengangguk. Dia jauh lebih tampan dari pada dulu, bahkan sekarang dia memiliki badan yang atletis. Saat aku asik memperhatikan Dimas mendadak aku dikejutkan oleh siraman air, “Woi!!!” teriakku kasar.
Kulirik di samping ada Gio yang memegang air botol dan dia terjatuh, dia kembali bangkit dengan jalan terpincang, dia berusaha mengelap wajah dan dadaku yang basah, “Gak usah!!” bentakku. Aku tidak suka dia terlihat perhatian di depan umum, memalukan, aku takut karena dia kekasihku.
“Re-Reno.. kau pasti haus...” tanyanya sambil menyodorkan air mineral dengan tangan bergetar, aku menatapnya tajam.
“Gak...” ucapku dingin dan menepis tangannya hingga air tadi tumpah. Dia menghela nafas berat akan jawabanku itu, aku hanya merokok sambil menghembuskan asapnya dengan beban. Rupanya Gio tadi berusaha memberiku minum sehingga dia berjalan tergesa-gesa dan jatuh.
Dia tertunduk dengan wajah suram, aku lirik dia yang mengenakan kaos pendek dan celana putih, membuat luka di sikut dan lututnya bisa aku lihat. Aku jadi merasa sangat bersalah, aku terlalu sering kasar dengannya. “Ikut aku..” perintahku pada Gio. Dia mengangguk antusias.
Aku mengajaknya ke belakang pohon yang cukup besar dan jauh dari kerumunan anak-anak, aku dorong Gio ke pohon itu, dia terlihat tegang akan tindakanku, aku mendekatkan wajah dengannya, hidung kami bersentuhan, aku mengecup lembut pipi chuby-nya kemudian aku membungkuk, aku mengecup lututnya dengan lembut, “Maaf, kau jadi terluka.” Desisku penuh penyesalan.
Gio tersenyum lebar dengan wajah memerah, dia menggeleng, ikut membungkuk kemudian memeluk leherku dengan gemas. Gio tidak banyak bicara, dia pemalu tapi aku sangat menyayanginya, aku suka semua yang ada di dia, tubuhnya yang mungil, wajahnya yang imut, aromanya yang halus meskipun berkeringat seperti sekarang, dia membuatku bergairah, aku menggesekkan hidungku pada pipinya, turun ke lehernya, aku melumat lehernya perlahan tapi aku sangat terkejut saat mendengar suara Dimas, “Ehem... kita harus melanjutkan perjalanan..”
Tubuhku kaku seketika, aku langsung mendorong Gio menjauh, Demas menangkap tubuh Gio sebelum terbanting ke tanah, Gio juga terlihat gugup. “Gio kau duluan ke rombongan, aku mau bicara dengan Dimas.” Perintahku.
Gio hanya mengangguk, tubuhnya masih sedikit bergetar, aku juga menatap bingung tapi Dimas langsung merangkulku, “Bro kau terlihat ketakutan, ada apa?” tanyanya dengan senyuman menyebalkan seolah tak tau apa-apa.
“Kau lihat yang tadi kan? Aku harap kau bisa menyimpannya dan pura-pura gak terjadi apa-apa.” Pintaku, berusaha berkompromi.
“Ummm gimana ya... aku mau saja, tapi ada syaratnya. Bagi Gio dong denganku.” Ucapnya santai.
Aku langsung mencengkram kerah baju Dimas kemudian mendorongnya ke pohon, “Kau jangan macam-macam dengan BF-ku Dim,”
Dimas tertawa dan menepuk-nepuk dadaku, “Kau gak berubah ya, masih jadi sobatku yang tempramen. Berarti Gio cowok yang hebat dong.” Aku menatap mata sinis Dimas, ada yang aneh dari sosok sahabatku ini.
“Kau gay juga, Dimas?” tanyaku.
Dimas menaikkan keningnya, “Begitulah..”
Aku menggeleng, “Kau gak pernah cerita.”
Dimas tertawa mengejek, “Waktu SMP aku belum menyadarinya, kau juga kan. Tapi tanpa sengaja kita pernah melakukan hal menyimpang kan dulu, ingat ciuman pertamamu, Reno..” Dimas mengusap bibirku dengan jempolnya, aku sedikit merinding. Yeah.. aku baru sadar jika dulu aku pernah tertarik dengannya hanya saja dulu aku tidak mengerti tentang perasaanku dan tidak pernah mengakuinya.
“Eniwei, Gio itu hebat.. aku merindukan tubuhnya...” desis Dimas yang sontak membuat mataku membulat, kucengkram lebih kuat kerahnya.
“Maksudmu apa hah?!!!” bentakku kesal.
“Tanyakan saja dengan Gio.” Dimas kembali menatapku dengan tatapan memuakkan. Ada apa dengannya, dia terasa asing di mataku, aku merasa dia sainganku disini.
“Gak usah berbelat-belit!!!” aku meraung muak.
Dimas menarik leherku, “Tampan, berikan aku satu ciuman terlebih dahulu.” Godanya.
Aku langsung mendorongnya dan menjaga jarak, dia terlihat seperti seorang maniak sekarang, aku hanya menggeleng tidak mengerti.
-Gio POV-
Satu kata untuk hari ini, Lelah.. ya bagaimana tidak, Reno memerintahkanku membawa tas besarnya sehingga aku memiliki dua beban di belakang dan juga depan tubuhku. Hari ini Reno lebih sensitif dari pada biasanya, dia terlihat seperti gadis yang kena PMS dan terus membuatku serba salah.
Saat yang lain sibuk membuat tenda, aku tidak bisa lagi menggerakkan tubuhku, aku hanya bersendar di pohon sambil menatap lututku yang terluka karena jatuh tadi, haah aku sangat ceroboh. Obat merah yang aku minta dari ketua tadi segera aku aku oleskan pada lukaku, tapi saat Reno memanggilku, dengan sigap aku berdiri, “Gio! Ambilkan minuman..”
Aku gelabakan mencari minuman, dengan cepat aku berlari ke arah Reno yang sedang membuat tenda. Aku menatapnya lekat, dia sangat sexy dengan keringat yang ada di tubuh coklatnya yang terukir indah, bicepnya membuatku gemas ingin memeluk lengannya. Aku malah melayang dalam hayalanku dan lagi-lagi kena semprot Reno, “Malah bengong lagi! Bantuin bikin tenda kek!”
Aku meremas tanganku, “Ta-tapi.. aku gak bisa..”
“Semuanya aja gak bisa! Bisamu apa sih! Jadi cowok gak berguna.” Ucapannya terlalu tajam, dadaku terasa sesak, sering hal seperti ini aku rasakan tapi aku hanya bisa memasang wajah datar dan mengangguk lemah mingiyakan segala tuduhannya, padahal hatiku menangis.
Tapi dari belakang ada yang merangkulku, “Hei hei.. jangan terlalu kasar, aku tidak suka kekasih yang tidak bisa menghargai kekasihnya. Karena kau akan menyesal sepertiku, suatu hari nanti.” Ternyata suara Dimas.
Padahal suara Dimas pelan seolah berbisik tapi itu cukup membuat Reno gelabakan, “Kau benar-benar ya Dim! Lepasin dia sekarang!”
Dengan suara lantang Dimas menjawab, “Gio kita teman kan, kenapa Reno pelit sekali sih. Memangnya Gio apamu Reno?” ucapan itu sukses membuat anak-anak yang lain mengalihkan perhatian pada kami. Reno hanya bisa terdiam sambil menggenggam tinjunya.
“A-aku mau mandi duluan... kak Ari dimana sungainya?” tanyaku pada ketua.
Aku lihat kini Dimas yang menolong Reno yang membuat tenda, Dimas suka sekali menggodanya. Ini mengkhawatirkanku, “Gak jauh dari sini dek, kamu jalan aja lurus kesana..” ucap kak Ari sambil menunjuk ke arah kanan. Aku mengangguk, mengambil peralatan mandi sebelum akhirnya pergi ke sungai.
Paling nyaman memang mandi di saat sepi seperti ini, aku kurang terbiasa mengekspose badanku di keramaian, aku malu. Aku mengusap badanku dengan sabun meski pun badanku terendam air sungai hingga dada. Airnya sangat sejuk di sore yang panas dan melelahkan, membuatku tenang dan menghayalkan masa lalu.
Waktu itu aku masih kelas dua SMA, salah satu temanku yang kaya raya mengadakan pesta ulang tahun yang sangat mewah di suatu hotel, aku cukup canggung disana karena tidak terlalu akrab dengan mereka. Tapi Tran nama temanku yang sedang berulang tahun itu menarikku, dia mengajakku ke tengah aula, aku benar-benar malu.
Disana dia menghadapkanku dengan seorang pemuda yang lebih dewasa denganku, “Hei aku tantang kalian berdua untuk berlomba minum.” Ucapnya.
Aku mengerutkan kening khawatir saat melihat jejeran gelas di atas meja, ini minuman keras, “Aku gak bisa.”
“Jangan pengecut Gio... kau pasti bisa.” Bujuk Tran sambil merangkulku. “Kamu gak mungkin mempermalukan dirimu di depan umum kan?” bisik Tran.
Aku menatap sekitar, sangat ramai, rasanya kepalaku pusing, aku berada di tengah-tengah keramaian, aku malu.. aku bingung dan dengan mantab aku memutuskan menerima tantangan itu. Aku yang masih polos dan tidak pernah menyentuh minuman keras dibuat mual, dengan menahan nafas aku terus menenggak minuman itu, berusaha mengalahkan lawanku namun hanya lima gelas kemampuanku. Aku benar-benar pusing, aku berjalan tak keruan, mataku berkunang-kunang dan ketika aku sadar aku harus dikejutkan dengan kenyataan bahwa aku tidur di suatu kamar hotel, tanpa mengenakan pakaian dan ada seorang lelaki di sampingku.
Aku histeris, aku ketakutan, apalagi saat merasakan panas dan perih pada anusku aku semakin ketakutan, “Hei tenang... semuanya baik-baik saja..” bujuknya sambil mengusap kepalaku.
“Jangan sentuh!!!” aku benar-benar geli dengan tubuhku sendiri, aku menepisnya berkali-kali saat dia berusaha menyentuhku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi yang pasti tubuhku di penuhi bercak merah dan itu membuatku semakin panik. Tanpa memperdulikan sakitku, aku kabur.
Kupikir saat itu semuanya berakhir, ternyata kami kembali bertemu di sekolah. Dia sangat antusias akan kehadiranku, terus mengejarku setiap saat. Ternyata namanya Dimas, kakak kelasku.
Awalnya aku selalu menepis kehadirannya, dia menakutkan. Tapi lama kelamaan, aku luluh. Dia pemuda yang sangat ramah dan ceria, yang terpenting dia tidak mudah menyerah mendapatkan hatiku. Dia orang pertama yang mengenalkanku akan cinta. Aku terlalu pemalu untuk mendekatkan diri untuk bersosialisasi dengan orang lain sehingga tidak memiliki pengalaman cinta.
Tapi Dimas, dia orang yang membuatku merasa berarti, aku hanya pemuda dengan tampang pas-pasan tapi dia yang tampan mau mendekatiku, aku merasa seperti cinderella dibuatnya. Dia mewarnai hari-hariku, sosoknya yang menyenangkan tidak pernah membuatku bosan dan di dekatnya adalah candu.
Tapi satu yang membuatku lelah dalam hubungan kami, dia maniak sex. Aku benar-benar lelah mengabulkan tiap permintaan bercintanya, pagi, malam bahkan di toilet sekolah pun dia memperkosaku. Saat aku menolak, tidak segan-segan dia memukuliku. Dia bilang eranganku adalah daya tarik yang tidak dimiliki lelaki lain, aku sangat ekspresif.
Aku semakin ketakutan dengan sikap Dimas yang semakin psikopat tiap harinya, dia terlalu posesif, aku tidak boleh mengobrol dengan siapapun, dia akan menghajarku sampai aku sekarat di rumah sakit berkali-kali.
Aku sering memutusinya, tapi dia menangis bahkan tidak segan bersujud di depanku, mengungkapkan betapa dia mencintaiku, dia tidak ingin berpisah, dia bisa gila tanpaku. Aku kembali luluh, tapi dia kembali mengulangi kesalahan yang sama. Sehingga aku tidak lagi memberinya kesempatan, dia sangat murka, dia nyaris membunuhku malam itu, “Kau gila Dimas!!! Bebaskan aku! Aku sudah tidak sanggup..” lirihku dengan air mata yang berkucuran.
Dia meraih sebuah botol, dia pecahkan sehingga membuat ujungnya runcing, dia menatapku dengan wajah datar dan juga air mata yang berlinangan, “Kau tau kan aku tidak bisa hidup tanpamu, Gio... kau segalanya!!!” bentak Dimas.
Aku mundur secara perlahan, “Kau pasti bisa Dimas, aku mohon ayo kita jalani hidup masing-masing.” Bujukku dengan nada lembut.
“Kalau aku gak bisa memilikimu, maka gak akan ada orang lain yang bisa. Ayo kita mati bersama.. haha..” dia tertawa mengerikan.. dia benar-benar mengerikan.
Dia menerjangku, membuat bahuku tergores, aku menendangnya, aku terus berlari berusaha mencari pintu tapi semua terkunci, aku mengambil kursi untuk menghancurkan jendelanya tapi Dimas kembali berteriak, “Gio!!! Kalau kamu pergi aku bakalan bunuh diri!!! Aku serius...” ancamnya. Bukan hanya sekedar ancaman karena dia benar-benar menggores nadinya dengan kaca membuat lantai berlimbahan darah.
Aku panik, tapi aku tidak iba meskipun dia merintih-rintih dalam sekaratnya, aku hanya menelepon ambulans ke alamat ini kemudian melarikan diri. Aku langsung pindah sekolah dan rumah, aku berusaha menghilang dari kehidupan Dimas walaupun sangat menyesakkan. Tapi semua demi keselamatanku. Aku tidak menyangka cinta bisa segila ini.
Sedangkan Reno adalah seniorku di kampus, tidak ada yang special dari pertemuan kami. Dia hanya kaka tingkat yang sangat judes saat ospek, sangat hobi membullyku, tapi dia memanfaatkan kepanitiaan ospeknya untuk mendapatkan nopeku, menghubungiku setiap hari, walaupun saat di depan umum dia sangat galak, tapi jika berduaan dia sangat romantis. Dia hanya terlalu takut akan image gay-nya terbongkar.
Dia menyatakan cinta padaku, aku tidak menolak karena aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Lebih setahun aku kesepian dan kurasa saatnya aku membuka lembaran baru. Tapi melihat perlakuan Reno aku seolah djavu dengan pengalamanku dulu bersama Dimas. Entah sampai kapan tubuhku mampu menerima perlakuan kasarnya, mungkin aku masocist, kali ini aku menikmati perilaku kasarnya dan mampu bertahan lebih setahun dengan keadaan seperti ini.
Tapi aku dan Reno tidak pernah melakukan hubungan sex, aku tidak tau apa alasannya, aku sering menggodanya tapi dia seolah menahan diri walau aku menyadari pedangnya sudah mengacung angkuh. Apapun perlakuannya, aku mencintainya, apapun darinya. Karena dengan bertambahnya kedewasaanku aku belajar bahwa cinta itu bukan sesuatu yang beralasan, aku tidak akan pernah menemukan yang sempurna.
Jika aku mencintai karena rupa, maka cinta itu menghilang ketika kami menua...
Jika aku mencintai karena sikap, maka cinta itu bisa menghilang ketika sikapnya berubah...
Pada kenyataannya, hati dan sikap manusia bisa berubah kapan pun.
Aku mencintai Reno apapun dia.
SPLASSSH!!!
Aku sangat terkejut dan tersadar dari lamunan saat ada seseorang muncul di depanku ketika aku mandi di sungai, “Hei... lama banget mandinya, onani ya..” tanyanya dengan senyum nakal.
“Dimas..” desisku sambil berusaha beranjak bangkit. Dia menahan bahuku.
“Buru-buru banget sih hehe... hei kau tidak merindukanku? Sudah lama kan kita tidak bernostalgia.” Dia merangkulku dan tersenyum hangat, selalu sok manis.
“Aku kedinginan. Bolehkah aku selesaikan mandinya sekarang?” tanyaku sesopan mungkin.
Dimas menatapku nakal, dia meraih pinggangku, “Gak ah.. aku masih kangen.. kamu gak kangen?” Dia menarikku semakin merapat.
Aku merinding, aku terhipnotis akan sosoknya, dadanya yang terbentuk indah, bicepnya yang kokoh, dia memiliki body yang sama sexy dengan Reno, aku bisa merasakan tangan Dimas kini meremas bongkahan pantatku, aku memejamkan mata karena tidak bisa bereaksi sedikit pun, saat bibir lembabnya menyentuh leherku, tamat sudah riwayatku! Aku ereksi.
“Brengsek!!!” aku terhenyak mendengar makian Reno, dia melompat ke sungai dan menghantam Dimas dengan bringas, Dimas tidak melawan. Sepertinya Reno tidak puas menyerang Dimas, kini dia berusaha menyerangku tapi Dimas menahan tangan Reno dengan cepat.
“Aku yang salah, jangan sakiti orang yang pernah aku cintai.” Ucap Dimas dingin.
“Maksudmu!!! Ada apa dengan kalian hah!!!” Reno benar-benar murka, aku hanya bisa menangis ketakutan.
Dimas mengecup tangan Reno yang dia tahan tadi, dengan kasar dia tarik tangannya. Dia menatap kesal Dimas tapi dia tidak merespon lagi, dia mengangkat pinggangku ke daratan dan dia kembali murka saat melihat kejantananku, “Kau ereksi?!!!” bentaknya.
“Ma-maaf.. aku tidak bisa mengendalikan..” ringisku. Reno hanya menggeleng, rahangnya yang maskulin itu mengencang, dia ambil handukku untuk menutupi kejantananku kemudian menyeretku kasar ke tenda.
-Reno POV-
Rasanya mataku panas, dan benar saja aku menangis sekarang. Aku hanya duduk membelakangi Gio saat duduk di dalam tenda, rasanya suaraku tercekat, bahkan sekedar bertanya apa hubungannya dengan Dimas saja aku tidak mampu, aku ingin menggerang dan meraung karena sakit yang menerkam dadaku. Ada rahasia besar antara kekasihku dan sahabatku. Tapi apa?
“Reno...” lirih Gio. Dia memelukku dari belakang, tangannya menempel di dadaku, saat dia menggesek-gesekkan kepalanya di tengkukku aku menjadi lebih tenang, sifat manjanya membuatku kembali mendingin, aku menggenggam tangannya yang ada di dadaku. “Maafkan aku, Reno.. Dimas mantanku, Cuma mantan. Aku sama sekali tidak berniat yang bukan-bukan, aku Cuma mencintaimu. Kau percaya kan?”
“Apa buktinya?” tantangku.
Gio menggeliat ke depanku, duduk di pangkuanku, dia shock saat melihat mataku yang basah. Tangan mungilnya mengusap pipiku dan mengecup kelopak mataku, “Aku akan lakukan apapun yang bisa membuatmu senang..” ucapnya lembut.
Aku hanya mengangkat satu alisku, menatap bingung. Gio memainkan jarinya di dadaku, menatapku dengan mata manisnya, dan kurasa pisangku mulai bereaksi ketika dia menggerakkan bokongnya yang ada di atasku. Gaah!! My naugthy Gio, pertahananku runtuh, aku terpaksa menjamahnya saat itu. Dan benar-benar jadi moodbooster buatku.
Benar kata orang, jika duduk bersama tidak bisa mendinginkan amarah, bagaimana dengan tidur bersama?
Malam yang panas ini sukses membuat tubuhku pegal semua, padahal langit mulai terang, aku juga bisa mendengar banyak krasak-krusuk orang-orang mulai beraktifitas di luar tenda. Tapi rasanya pagi ini aku terlalu nyaman dengan poisisiku, dimana Gio tidur di atas dadaku, tangannya yang mengalung di leherku, sangat hangat. Aku meraih tangannya, kukecup lembut, haha bau amis.
Dia menggeliat, membuat senjataku bergesekan dengan kulitnya, aku sedikit merinding, aku mencium kepalanya gemas, “Aku mencintaimu Gio...” desisku lembut.
“Eenghh.. aku juja...” lirihnya dengan suara halus dan setengah sadar, menbuatku terkekeh.
Camping terus berlanjut, dimana kami melakukan penanaman pohon, penjelajahan, pentas seni, dan juga memberi penghargaan pada peserta camping terbaik. Aku merasa hubungan kami agak diberatkan semenjak kehadiran Dimas, dengan agresif dia selalu menggoda kami. Tapi entah kenapa, hal itu membuatku semakin care dengan Gio. Aku menjaganya sepenuh hati, aku takut kehilangannya, aku berusaha menahan diri bertindak semena-mena dengannya.
Aku berusaha memperbaiki sikapku karena aku tau Dimas orang yang seru dan baik, aku takut Gio membandingkan sikap kami, yang tentu saja aku kalah segala-galanya dari Dimas, aku lakukan apapun yang terbaik sepanjang camping. Aku selalu menggandeng tangan Gio kemana pun, aku sudah tidak perduli dengan ucapan orang, hanya satu yang aku takutkan, kehilangannya.
Dengan derasnya badai yang menerpa hubungan kami, kami semakin memperkokoh hubungan sepanjang camping hingga acara ini selesai. Bus yang mengantar kami pulang sudah sampai ke stasiun, aku terkejut saat keluar dari bus ada seorang pemuda manis berkulit putih sungkem dengan Dimas kemudian mengecup pipinya.
Dimas menatapku dan Gio, “Hei teman-teman!! Sini!’’ sapanya.
Aku menggenggam tangan Gio untuk mendekati Dimas, “Siapa?” tanyaku dingin. Mereka mirip, mungkin saja adik Dimas. Ah gak deh, aku bertahun-tahun menjadi sahabat Dimas tidak tau dia memiliki adik laki-laki.
Bocah ini terlihat masih SMP atau baru masuk SMA, tersenyum manis sambil sungkem kepada kami berdua saat Dimas beri kode, “Kenalkan ini Damar pacarku. Dek, kenalin ini sahabat-sahabat kakak.”
“Salam kenal kak, saya Damar..” sapanya dengan senyuman manis membuat gigi kelincinya terlihat.
Aku menatap tajam, Tceh... sudah punya pacar masih centil, “Oh ya, Gio temani Damar dulu ya bentar. Aku mau bicara empat mata dengan Reno.” Pinta Dimas. Gio hanya mengangguk.
“Maumu apa sekarang?” tanyaku ketus.
“Kau sekarang sudah dewasa, Reno..” desisnya sambil menepuk bahuku.
Aku mengangkat alis, “Terus?”
“Awalnya aku sangat senang saat bertemu kau dan Gio disini. Kalian orang yang baik, sangat serasi untuk bersatu. Tapi sikap kasarmu membuatku terganggu, sehingga aku berpikir keras untuk mencari solusi ini. aku ingin, Gio orang yang sangat aku cintai berada di tangan yang tepat. Aku menggoda kalian, karena biasanya setiap masalah pasti memiliki hikmah tersendiri. Dan bisa dilihat kan? Gangguan yang aku berikan membuatmu lebih lunak dan menyadari betapa pentingnya Gio.” Mendadak suara Dimas serak, dia tertunduk sambil menangis, dia menepuk bahuku, “Gio orang yang sangat special, dia sabar dan tulus. Perlakuanku bodohku di masa lalu membuatku kehilangannya, kau tau bagaimana perasaanku? Hancur.. aku kacau, aku nyaris mati dan gila... butuh bertahun-tahun menyembuhkan rasa sakitku, sosoknya sangat berperan kuat dalam hidupku. Kau sahabatku, orang yang sangat berarti untukku. Aku hanya ingin memberi peringatan, jangan ulangi kebodohanku di masa lalu, jangan kasar dengannya, dia rapuh, reno... dia terlalu banyak berkorban.”
Aku terhenyak, bingung bagaimana harus bereaksi. Aku hanya mengangguk mantab membuat Dimas tersenyum dan menepuk pipiku, Dimas menarikku ke tempat tadi, “Hei Gio!!” panggilnya.
Gio yang tadi asik tertawa-tawa dengan Damar mulai memperhatikan kami, Dimas meraih tangan Gio dan menyatukannya di tanganku, “Aku titip Gio, jaga dia baik-baik.. bye!!!” Dimas yang ceria langsung berlari menggandeng kekasihnya. Aku dan Gio hanya tertawa ringan.
Kutatap matanya yang sayu, dia sangat berharga. Aku pegang janjiku, pasti kujaga Gio baik-baik.
TAMAT

Untitled (ONESHOOT)



Author: tousa‬

Quote: Tak sebanding dengan pengorbananmu akan cinta. Tak lantas membuatmu berputus asa. Hidup tanpa cinta manusia terasa hampa. Namun ingatlah, cinta Tuhan tiada batas untuk umat yang memintanya. ^^
UNTITLED
Tak bisakah kau singgah kembali di hati ini walau hanya sesaat?
Menepis semua rinduku terhadapmu?
Menghapus luka ini?
Luka karena aku selalu berharap pada mu?
Paling tidak, bisakah kau kembali menyebut namaku? Sekali saja. Hanya sekali.
Apakah hal itu berat bagimu?
Semudah itukah kau melupakan masa lalu?
Semudah itukah kau melupakan aku? menghancurkan aku? Dan bahkan kau menganggapku tidak ada?
Aku yang kini rapuh karenamu,
Terseok-seok dalam melangkah,
Kosong dalam kata,
Menangis dalam senyum,
Hina dalam tawa,
Gelap memandang cahaya,
Terkikis oleh sang waktu,
Berdiri pada kelamnya janji,
Telah bersumpah….
Aku akan menebar kehinaan, menebar penderitaan, menebar sakit, dan menebar kepalsuan dalam setiap hembusan nafas ini!
Aku telah bersumpah….
Menebar skenario kelamnya hidup pada setiap tawa bahagia!
Hanya sama seperti yang kau lakukan terhadapku…
===
Kini aku tak tahu lagi apa tujuan hidup. Semua yang aku miliki telah musnah. Tak lagi ku temukan harapan. Tak lagi ku temukan cahaya dalam gelapnya hati ini. Dan mungkin, Tuhan telah menyembunyikan cahaya rapat-rapat, hingga sampai aku menutup mata, aku tak mampu mencarinya. Walau aku telah berlari dan terus berlari keujung dunia. Aku tetap tidak menemukannya.
Kupikir semuanya berjalan dengan indah, seperti cerita dalam dunia dogeng. Kehadirannya memberikan warna dalam hidupku. Memberikan sesuatu yang lebih dari yang aku harapkan. Sampai aku berfikir, aku memiliki dunia seisinya.
Aku bahagia karena kehadirannya. Dia menawarkan keindahan dari yang terindah. Rasa yang tak pernah aku dapatkan dari manusia manapun. Aku begitu mengaguminya. Begitu mencintainya hingga saat itu telah tiba.
***
“TINNNNNNN TINNNNNNN”
“AAAAAAAAAAAAA, BRRRAAAAAAGGGGKKKKK!!!!”
***
Pagi itu adalah hari pertama aku masuk sekolah. Embun pagi yang melekat pada dedaunan, kicauan burung gereja yang saling bersahutan, udara yang sejuk, angin yang berhembus semilir, dan cahaya hangat sang mentari, melukiskan kehidupan yang indah pada ku.
Namun itu semua lenyap seketika.
“Dave, David… Bangun Nak?” terdengar suara Ibu memanggil namaku. Ku coba untuk membuka mata perlahan, namun cahaya matahari terlalu menusuk kedalam mataku.
Aku hanya terdiam bingung dan keheranan. Aku melihat sekitar perlahan. Aku tak mengenali mereka tapi semuanya meneteskan air mata. Aku tak mengerti kenapa. Sepertinya mereka mengkhawatirkanku secara berlebihan.
“A.. aa ..aa..” ku coba untuk mengucapkan kata, namun entah kenapa semuanya terasa begitu berat.
“Kamu istirahat saja yaa Sayang, Ibu akan selalu disini menemani kamu.” Tetesan air mata Ibu memberikan sejuta pertanyaan tersendiri pada ku. Kenapa?
***
Satu minggu telah berlalu. Kini aku telah mulai pulih. Aku sudah bisa mendengar dengan jelas, melihat dengan jernih, dan berbicara lebih lancar dari biasanya. Tubuhku yang sekarang telah kembali menjadi milikku.
“Kak Destan?”
“Ya?”
“Apa yang terjadi sama aku?” tanyaku perlahan. Kak Destan hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaanku.
“Kamu istirahat aja yaa Dik” Jawabnya sambil mengusap-usap kepalaku perlahan.
Setiap kali aku bertanya tentang kondisiku, semuanya tidak memberikan jawaban. Hanya tersenyum dan menyuruhku untuk beristirahat.
Tak lama setelah itu, aku melihat seorang pria menghampiriku. Dia orang yang tak pernah aku temui sebelumnya. Namun sepertinya terlihat akrab dengan keluargaku. Termasuk Destan.
“Eh, Ergi” sapa Destan.”Gak kuliah?”
“Enggak kak, hari ini aku lagi kosong.”
“Oh iya, kalian belum saling kenal sebelumnya. Ergi, ini adik aku, namanya David, David ini Ergi” Ucap Destan memperkenalkan kami.
“Hi Vid, Apa kabar?” tanya Ergi.
“Baik kak” Jawabku pelan dengan senyuman.
“Oh iya Gi, gue mau pergi keluar dulu. Bisa tolong jagain David sebentar?” pinta Destan.
“Oke” Jawab Ergi.
“Vid, kakak pergi dulu ya? Kamu ngobrol-ngobrol aja dulu sama Ergi”
“Pergi kemana kak?” tanyaku lirih.
“Ke supermarket depan, cuma bentar kok”
Destan akhirnya pergi, dan kini tinggal aku dan Ergi. Kamipun akhirnya mengobrol bersama.
“Kakak siapa?” tanyaku.
“Aku Ergi” Jawabnya sambil nyengir.
“Maksud aku, kenapa kakak disini? Sebelumnya juga belum pernah ketemu kan?”
“Huhh” Ergi menghela nafas.
“Kenapa?” tanyaku penasaran
“Aku mau kamu janji satu hal.” Pinta Ergi.
“Apa?”
“Kamu harus kontrol emosi kamu. Dan haram bagi kamu untuk marah. Terus juga kamu gak boleh benci sama aku, Deal?”
“Itu sih bukan satu hal, tapi 3 hal” jawabku menciutkan alis.
“Haha, iya iya 3 hal”
“Ok.” Jawabku singkat.
“Aku menabrakmu waktu kamu pergi sekolah Vid” Jawabnya lirih berbisik.
“Eh?”
“Ya, aku menabrakmu.”
Seketika aku hanya terdiam. Tak tahu lagi harus berkata apa.
“Kamu gak papa kan?” tanya Ergi.
“Aku kesakitan kak.” Jawabku murung.
“Huhh” Ergi kembali menghela nafas. “Maafin aku karena telah membuat kamu seperti ini Vid, terlebih lagi ketika hari pertama mu masuk sekolah. Tapi semua itu terjadi begitu saja. Maafin aku.” Ucap Ergi yang terlihat menyesal.
“Ok, Karena aku pemaaf, maka aku akan maafin kakak” Jawab ku nyengir.
“Yang bener?” tanya Ergi bersemangat.
“Bener gak yah?”
“Eh, kok gitu sih?” Tanya Ergi sambil menggelitik pinggangku. Kami berdua tertawa bersama. Bagiku mungkin ini adalah takdir, sudah menjadi ketetapan Tuhan aku menerima musibah ini. Dari mulai saat itu, kami berbagai cerita dan mengobrol bersama. Hingga saat Destan telah datang dan kami mengakhiri obrolan.
***
Sebulan aku hanya bisa terbaring dan berkeliaran di rumah sakit. Bosan rasanya tidak ada aktivitas. Namun kebosananku sering kali hilang begitu saja ketika Ergi datang. Dia tidak hanya menghiburku, tapi juga membantuku untuk belajar. Sesekali dia datang dengan membawa buku yang aku minta, kemudian kami mempelajarinya bersama. Walaupun dalam belajar banyak bercanda dan tidak serius, namun sepertinya aku bisa menguasai materi yang kami bahas. Sepertinya Ergi bukan hanya teman yang baik, tapi juga guru les yang keren.
“Hooaaammmm.” Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sepertinya aku akan sendiri lagi, karena Ibu dan Ayah sibuk bekerja. Sementara Destan pergi ke Singapore untuk kompetisi Sains di NTU.
Aku adalah anak ke 2 dari dua bersaudara. Ayahku seorang proffessor mengajar di salah satu universitas negeri sementara Ibuku salah satu Deputi Gubernur Bank Swasta di Indonesia, dan Destan adalah Mahasiswa unggulan suatu universitas negeri di Indonesia. Aku sedikit bangga karena terlahir di keluarga intelektual. Namun sayang, hal itu tak lantas membuatku bisa tertawa lepas. Karena kesibukan mereka, aku pun hanya bisa berdiam diri di rumah.
Hidupku sedikit berbeda ketika Ergi datang menyapa. Walaupun aku sedang sakit, Ergi selalu setia menemani aku. Entah itu dia lakukan karena tulus atau memanga hanya untuk menebus rasa bersalahnya, aku tidak tahu dan aku tidak perduli. Yang aku tahu sekarang adalah Ergi selalu disampingku ketika aku sendirian. Dan dia mampu membuatku menjadi lebih bahagia dan tertawa lepas. Aku mulai berpikir, bahwa Ergi mempunyai semua peran yang aku inginkan. Dia mampu menjadi sosok seorang kakak, teman, guru, atau bahkan lebih daripada itu semua.
“Kalo ngantuk istirahat aja Vid” Kata Ergi sambil mengusap rambutku. Aku hanya mengangguk pelan.
Kini akupun bersiap untuk tidur. Ergi membantu memasang selimutku dan dia mulai mengecup keningku.
“Kok pake cium-cium kening?” tanyaku cemberut.
“Emang kenapa?”
“Gak boleh lah” Jawabku ketus. Ergi tertawa kecil dan mengusap-usap rambutku.
“Selamat tidur yaa DD kecil” ucap Ergi.
“What??? DD kecil???”
“Iya”
“Ah, aku udah kelas 1 SMA! Bukan anak kecil lagi!” Hardikku padanya. Kemudian aku tidur miring membelakanginya. Tak kudengar lagi suara yang keluar dari mulut Ergi. Yang di lakukan hanya mengusap-usap kepalaku perlahan dengan lembut. Usapan tangannya yang lembut itu membuat diriku nyaman. Enak sekali rasanya di usap-usap oleh Ergi. Aku belum pernah merasakan hal itu sebelumnya.
***
Pagi hari telah tiba. Ku buka mata ini perlahan. Ku lihat Ergi telah tertidur di sampingku. Tangannya memengang tangan kiriku. Wajahnya yang terkena sorot sinar matahari pagi terlihat begitu menawan. Aku belum pernah melihat pria dengan wajah semenawan itu. Entah kata apa yang tepat untuk melukiskannya, tapi bagiku, pagi itu Ergi terlihat begitu menawan, mungkin bisa di bilang Ergi mempunyai wajah yang tampan. Rambut jambulnya yang berwarna hitam, kulitnya yang putih, alisnya yang hitam tebal, hidungnya yang mancung, telinganya yang bersih, dan bibir tipis merah mudanya, semuanya terbalut sempurna di wajah yang tampan itu.
“Aaaggghhhh” Ergi menguap sambil mengusap-usap matanya. Dia terlihat begitu imut, seperti anak kecil yang baru bangun tidur. Matanya yang masih mengriyip dan bibirnya yang sedikit cemberut membuatnya terlihat lucu.
“Lucu bgt sii kakak” Ucapku padanya sambil tertawa geli.
“Pagi DD kecil” Balas Ergi dengan pamer lesung pipinya. “Kok kamu gak bangunin kakak sih?” tanya Ergi.
“Ngapain amat.” Jawabku ketus.
“Dasar” Jawab Ergi ‘menjitak’ kepalaku.
“Aduhhh sakitt kakak….” Jawabku merintih manja.
“Oouuuuhhh kachiaaannnnn” Balas Ergi mengusap-usap kepalaku lagi. Senyumnya di pagi itu terasa lebih hangat dari cahaya matahari. Terasa begitu menenangkan.
Ku lalui pagi itu dengan canda tawa dengan Ergi. Dia selalu menyuapi aku makanan rumah sakit yang terasa hambar. Walaupun hambar semuanya terasa enak dan lezat jika di bumbui senyuman dan tingkah Ergi yang selalu memanjakan aku.
Dua minggu terkahir ini Ergi selalu bersamaku, selalu menemaniku tidur di rumah sakit, menebus obatku, dan selalu memperhatikanku dengan detail. Dia lebih dari sekedar keluargaku sendiri. Keluargaku yang terus sibuk dengan urusannya kini tak lagi menjadi masalah bagiku. Asal ada Ergi, semuanya beres!
“Kak?” Panggilku pelan pada Ergi yang senang sekali memandangiku dengan tatapan yang lembut menyentuh.
“Em?” jawabnya singkat.
“Gak kuliah?”
“Lagi males”
“Kok gitu?”
“Knp?”
“Gak papa sih, pantes aja negara ancur, mahasiswanya aja meles-malesan gini”
“Perduli amat sama negara”
“Kok gitu?”
“Kakak lebih perduli sama DD” Jawabnya nyengir.
“Woooooyyyyy jaga mataaaa” Ku acak-acak rambut Ergi. Kami kembali tertawa bersama setelah keheningan kala itu.
Semakin lama ku menatap Ergi, semakin dia terlihat begitu sempurna. Tangannya yang lebar selalu terasa hangat di tubuhku. Semua yang diberikan olehnya membuatku merasa bahagia. Senang sekali jika Ergi ada di sampingku.
“Wowowowooo, apa yang kakak lakuin?” tanyaku terkejut, ketika Ergi mulai duduk disampingku dan merangkulku.
“Kakak cuma pengen ngerangkul DD aja. Emang gak boleh?”
“Gak!” Jawabku kasar sambil menatap kearahnya. Ku lihat Ergi mlai cemberut.
“Sekali aja. Kakak lagi sedih nih. Abis putus. Masak adek gak kasian sama kakak?” Pintanya melas.
“Derita Lo itu mah” Jawabku tertawa mengejek.
“Adek jahat banget…” Balasnya terlihat sedih. melihat raut wajahnya yang seperti itu, aku menjadi kasihan terhadapnya. Lalu kulingkarkan tangannya di leherku, dan kini aku bersandar pada bahu Ergi.
Tubuhnya yang tidak terlalu berotot juga memancarkan kehangatan. Bahunya yang lebar terasa enak sekali untuk bersandar, terasa begitu tenang. Melihat diriku yang bersandar di bahunya, Ergi memperkuat rangkulannya, seakan-akan dia gemas terhadapku. Tangannya mendekatkan kepalaku di dadaya. Ku rasakan hembusan nafasnya mengenai rambutku. Sepertinya dia telah mencium kepalaku. Ibu jari tangan kirinya mengusap-usap lembut pipiku. Terasa enak sekali.
Merasakan itu semua aku hanya diam, dan menikmatinya. Cukup lama kami berdiam dalam posisi seperti itu. Kali ini, kedua tangan Ergi mulai menyentuh pipiku dan menghadapkan wajah ku ke wajahnya. Kulihat tatapan mata Ergi yang lembut dan hangat.
Di tempelkan dan digesek-gesakkan hidungnya yang mancung itu dengan hidungku. Hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat. Kami berdua tertawa geli. Dia menatapku dari jarak itu. Sorot matanya yang lembut terasa menusuk di jantungku dan membuatnya berdebar sangat kencang. Di kecupnya bibirku dengan lembut. Bibir tipis warna merah muda miliknya menyedot kecil bibirku. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah keuasakan sebelumnya. Sentuhan bibirnya tak bisa aku lukiskan kenikmatannya. Hal itu di lakukan berulang-ulang oleh Ergi. Hingga aku hanya bisa pasrah dan menikmatinya. Sisa-sisa hari itu, kuhabiskan dengan cumbuan yang di lontarkan Ergi. Kami hanya berbicara dengan bahasa ciuman. Bahasa terbaik yang kami punya untuk menyatakan perasaan. Ergi yang sedang sedih, aku bisa merasakannya dari kecupan bibirnya. Dan Diriku yang selalu kesepian, Ergipun mampu merasakannya dari bibir dan tubuhku yang pasrah dalam pelukannya.
***
Malampun kembali datang. Ergi belum sedikitpun beranjak dari kamarku. Dia hanya mandi di kamar mandi yang terletak di samping pintu ruangan. Kali ini, Ergi berganti pakaian di depanku. Karena dia lupa tidak membawa baju gantinya ke kamar mandi.
Warna kulit tubuhnya terlihat begitu putih dan mulus. Badannya tidak terlalu kekar, namun lekukan tubuhnya terlihat jelas. Perutnya yang sedikit six-pack dan buah dadanya yang telah terbentuk, membuatnya terlihat sangat menarik. Dengan wajahnya yang tampan dan tubuhya yang menarik membuatnya terlihat sempurna. Orang seperti apa yang mau putus dengan Ergi?? Bodoh! Dimana lagi ada laki-laki yang bukan hanya tampan dan menawan tetapi juga baik hati dan perhatian seperti Ergi?? Hanya orang bodoh yang mau membuang Ergi!
Malam itu, Ergi pergi membelikanku cemilan. Karena aku sangat lapar. Makanan di rumah sakit tak lagi kusentuh. Sepertinya perutku mulai menolak makanan di rumah sakit. Sehingga aku meminta Ergi untuk membelikan aku cemilan.
Setelah dia pulang membeli Cemilan, Ergi kembali merangkulku dan akupun bersandar di bahunya dengan nyaman. Kami makan cemilan bersama, sesekali Ergi menyuapiku dan akupun menyuapinya. Kami tertawa dan berbagi cerita bersama. Hingga saat Ergi kembali mengecup bibirku manja. Dia lakukan hal itu berulang-ulang dan akupun makin menikmati ciumannya. Bibirnya yang lembut terus memberikan kenikmatan tersendiri padaku.
Kini Ergi tidak hanya bermain di bibir ku saja, dia telah menelusuri dan mengucup perlahan leherku. Aku sangat menikmati kecupannya. Dekapan tubuhnya yang semakin rapat membuatku semakin melemah dan menikmati setiap pergerakan bibirnya.
Hingga hal itu terjadi. Hal yang masih terlalu dini untukku, namun aku sangat menikmatinya, dan mungkin hal itulah yang sangat aku inginkan di dunia ini. Malam itu, adalah malam pertama aku merasakan surga kenikmatan. Ergi telah menyempunakanku.
***
Terhitung mulai malam itu, Ergi telah resmi menjadi kekasihku. Kami menjalani hari-hari bersama.kami seperti sepasang kekasih yang berbahagia tiada henti. Kami selalu melakukan hubungan intim bersama rumah sakit. Sepertinya bukan hanya diriku yang menikmati hubungan itu, tapi Ergipun juga sangat menikmatinya. Ergi sangat gagah sekali. Permainannya sangat luar biasa hebat, aku sungguh mengaguminya. Permainan ranjangnya membuat aku selalu ketagihan.
Hari-hari di rumah sakit telah berlalu. Kini aku kembali ke rumah dan mulai bisa pergi kesekolah besok lusa. Aku sangat senang, akhirnya aku bisa melalui masa-masa jenuh di rumah sakit.
Meskipun aku telah pulang, Ergi tak pernah sedikitpun melupakan aku. Dia selalu memperhatikanku. Dia selalu mengantar dan menjemputku pulang sekolah. Hubungan kami berjalan sangat indah. Tak pernah sedikitpun ada pertengkaran di antara kami selama 3 bulan terakhir. Semuanya berjalan begitu sempurna. Hingga saat itu tiba.
“Kok DD tadi gak bales telfon kakak? Kenapa?” tanya Ergi sambil menyetir mobil. Hari ini Ergi kembali menjemputku dari sekolah.
“Oh, tadi aku lagi bahas belajar Biologi. Seru banget tau. Makanya aku gak bales sms kakak. Hehe. Maaf yaa kakak ku sayang?” Jawabku riang sambil kekecup pipinya.
“Segitu serunya ya? sampe” kakak tersayang ini di lupkan?” Tanya Ergi cemberut.
‘Iya” Jawab ku singkat sambil nyengir.
“Jahat sekali DDku ini hiks hiks”
“Aku tadi lagi belajar tentang virus. Dan salah satu topik bahasannya adalah HIV dan cara pendektesiannya.” Jelasku.
Mendengar penjelasanku, Ergi hanya diam membisu. Kutatap wajahnya dan seketika dia terlihat murung.
“Kenapa?” tanyaku.
“Eh?” Ergi kaget.
“Kenapa kakak jadi diam gitu?”
“Oh, Gak papa kok. Bentar lagi kamu nyampe rumah. Kakak cuma masih kangen aja sama kamu.”
“Yaa kakak kan bisa mampir kerumah, terus kita bisa lakuin hal itu lagi bersama. Hehe”
“hemm kakak juga pengen banget ngelakin hal itu lagi, cumaaa”
“Cuma kenapa kak?”
“Kakak ada janji sama temen buat ngebahas topik presentasi besok.”
“Oooo. Ok. Lain kali aja kalo begitu.”
Percakapan kami selesai sampai disitu. Ergi hanya menurunkanku di depan pintu gerbang. Kemudian dia bergegas pergi ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas. Tidak seperti biasanya dia menolakku. Hah, kesal sekali hari ini aku di tolak oleh Ergi, biasanya dia yang meminta jatah duluan.
Tapi hal itu tidak lagi ku pikirkan. Aku hanya fokus belajar buat ujian Biologi tentang materi tadi. Sangat asik sekali mempelajari materi tersebut. bagiku, belajar Biologi itu tidak membosankan. Banyak manfaat yang di dapatkan dengan mempelajari Biolagi secara rinci.
***
Malam itu berlalu dengan cepat. Matahari mulai terbit. Seperti biasa Ergi datang menjemputku. Namun setelah sampai disekolah dia melakukan hal yang sangat tidak aku inginkan.
“David?” Panggil Ergi lirih di dalam mobil.
“ya?”
“Maafin kakak.”
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Kita selesai sampai disini saja.”
“Maksud kakak?”
“Kita putus?”
“Putus apa? Emang ada dalam persaudaraan kata putus?” Tanya ku penasaran.
“Kakak gak bisa lagi bersanding disisi adek.”
“Maksudnya?”
“Huhh” Ergi menghela nafas. “Kakak gak bisa lagi ngelanjutin hubungan kita. Kakak gak bisa lagi ada disisi adek. Kakak gak bisa lagi berbagi cinta sama adek. Dan kakak gak bisa lagi ada di deket adek.”
Hatiku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Aku tak mampu berkata apa-apa. Kenapa bisa seperti ini? Hubungan kami berasa baik-baik saja. Kami saling menikmati hubungan ini. tidak pernah sedikitpun kami bertengkar. Namun kenapa hal ini terjadi? Kakak apa yang terjadi pada dirimu? Air mata yang tidak ingin aku keluarkan, kini mengalir deras. Aku tak mampu membendungnya. Aku menangis pilu. Menangis dan terus menangis.
“Maafin kakak David.”
“Iyaaaa, Tapi kenapa?” tanyaku dalam tangis yang semakin tak tertahankan.
“Kakak harus melaksanakan misi”
“Misi apa? Kenapa?”
“Suatu saat nanti, kamu akan merasakan apa yang kakak rasakan. Dan jika hari itu tiba, jangan pernah kau mengingat kakak.”
“Kenapa? Adek gak ngerti maksud kakak. Kenapa kak?? Kenapa???” Tak kuasa aku menahan tangis, jeritan demi jeritan kecil keluar dari mulutku. Aku hanya tertunduk lemah dalam mobil. Tak mampu berfikir rasional. Seakan-akan kiamat telah menyapaku lebih dulu.
“Semuanya sudah berakhir. Selamat tinggal David.” Ucap Ergi tanpa penyesalan.
Mendengarnya berkata seperti itu, aku pergi meninggalkan Ergi dalam tangis. Tak perduli teman-teman melihatku menangis. Namun aku terus berlari menuju kamar mandi sekolah.
Hari itu, hari pertama kehancuranku. Cintaku kandas tanpa alasan. Hatiku hancur tanpa sisa. Hilang semua akal sehatku. Yang tersisa hanya aku dan kenangan.
***
Sudah sebulan aku berpisah dengan Ergi, namun aku masih tak mampu melupakannya. Yang ada, diriku yang sekarang tidak lebih dari sebuah zombie yang tak berakal. Hati, dan jiwaku telah terbawa terbang bersama Ergi. Kini, aku hanyalah sebuah raga yang hampa.
Aku pergi ke mall bersama teman-teman untuk menghibur diri, namun yang terjadi adalah kiamat akan lebih cepat menyambutku. Aku melihat Ergi sedang berjalan dengan laki-laki lain. Mereka terlihat begitu bahagia. Mereka bahkan berpelukan mesra di depan umum. Dengan sedikit keberanian, ku hampiri Ergi.
“Jadi ini yang kakak lakuin ke aku?” Tanyaku sambil menangis.
“Lo siapa?” Tanya Ergi. Mendengar kata-kata itu, hatiku kembali seperti tersambar oleh jutaan petir.
“Apa? Apa kakak bilang?? Aku siapa???”
“Sayang, dia siapa? Kok aneh gitu?” tanya kekasih Ergi yang masih memeluk erat pinggang Ergi.
“Aku gak tau sayang, kita pergi saja dari sini” Ucap Ergi.
“Kakak!! Kakak yang membuat aku jadi seprti ini. Kakak yang membuat aku mati seperti ini. Kenapa kakak tega lakuin hal ini ke aku kak?? Kenapa???” Jeritku yang seketika telah menarik perhatian seluruh pengunjung Mall.
“Gue gak kenal sama lo. Jadi jaga ucapan lo!” Bentak Ergi terhadapku.
“Apa Kakak bilang? Kakak gak kenal aku???” Tanyaku sambil menahan tangis.
“Ya, gue gak kenal lo! Dan jangan panggil gue kakak!!”
“Kak, salah aku apa? Kenapa kakak tega lakuin hal ini ke aku?”
“Lo gak punya salah apa-apa dan gue juga bukan kakak lo! Mending lo pergi dari sini!!!” bentak Ergi sekali lagi yang membuat hatiku terpukul bertubi-tubi.
“Kakak!!!” teriakku memanggil Ergi. Namun sepertinya Ergi tak menghiraukannya. Dia pergi bergegas dengan kekasihnya yang baru. Dan hanya tersisa aku yang seperti orang gila karena berharap pada orang yang salah. Air mata yang tiada artinya kini terus mengalir tanpa penjelasan yang logis. Hatiku sangat sakit, namun aku masih tetap mencintai Ergi. Orang yang selalu menemaniku, orang yang mengrti akan kesepianku, dan orang tempat aku berbagi cinta dan kasih sayang. Namun semuanya berubah tanpa alasan.
***
Hari demi hari ku lalui tanpa Ergi. Tak terasa aku hidup seperti zombie selama 4 bulan. Ayah dan Ibu yang terus menghawatirkanku, membawaku kerumah sakit. Demam, flu, dan batuk yang tiada henti sungguh sangat mengkawatirkan.
Ku turuti kemamuan mereka untuk pergi ke rumah sakit. Namun hanya obat yang ku dapatkan. Kuminum atau tidak ku minum obat tersebut hasilnya sama saja. Tubuhku yang terkikis oleh waktu, kini semakin kurus. Berat badaku menurun dan tubuhku lebih sering merasakan lelah.
Tak jarang juga aku suka pingsan dan terjatuh, hingga tubuhku memiliki banyak bekas luka. Aku yang sekarang seperti manusia tanpa jiwa, kosong. Berulang kali keluargaku melakukan medical check up, hasilnya menunjukkan hal yang sama. Tidak ada penyakit krosnis yang aku derita.
Hingga suatu tes kesehatan terakhir. Tes yang hanya mengambil sample darahku. Hasilnya akan keluar selama 24 jam. Sekali lagi aku tidak perduli dengan tes itu. Yang aku perdulikan hanyalah Ergi. Hanya Ergi yang aku inginkan. Bukan yang lain.
***
Tiba saat hasil tes keluar. Ayah dan ibu pergi ke rumah sakit untuk mengambilnya. Aku sendirian dirumah menunggu kabar mereka. Hingga, aku melihat mobil ayah telah sampai dirumah.
Aku melihat Ayah datang dengan membanting pintu. Ku lihat raut wajahnya penuh dengan amarah. Beliau datang menghampiriku yang sedang berdiri di ruang tamu. Tiba-tiba sebuah tangan dengan kekuatan besar dan penuh dengan angkara murka menghempas pipiku, membuat seluruh tubuhku terpental dan tersungkur di lantai, hingga kepalaku membentur meja.
“DASAR KAMU ANAK TIDAK TAHU DIRI!!!” Bentak Ayahku penuh dengan kemurkaan. Aku tidak tahu kenapa Ayah melakukan hal itu padaku. Ini adalah hal pertama yang di lakukan Ayah padaku, menampar dan menghardikku dengan kejam.
“KURANG APA KAMI MERAWATMU SELAMA INI??? HINGGA KAMI HARUS MENANGGUNG MALU KARENA MU???” Lanjut hardik Ayahku. Aku masih bingung dengan semua hal ini, tak mampu berkata apa-apa dan hanya diam. Ibu yang menghampiriku saat itu hanya bisa menangis pilu dan memelukku yang masih tersungkur di lantai.
“Sudah Ayah! Sudah!!!” Bela ibuku sambil menangis histeris.
“KAMU BENAR-BENAR AIB KELUARGA! PERGI KAMU DARI RUMAH INI! PERGI!!!”
Seperti jutaan petir yang menghantam diriku. Ayah mengusirku dari rumah. Aku masih tak dapat berkata apa-apa, masih tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Sungguh aku seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa.
“SUDAH AYAH! SUDAH!! ini bukan salah david! ayah dengarkan dulu penjelasannya!!” Bela Ibuku yang masih menangis histeris.
“AKU MUAK DENGAN ANAK MENJIJIKKAN SEPERTI DIA!”
“AYAH!!” Ku lihat Destan datang dari kamarnya. “TIDAK SEHARUSNYA AYAH BERKATA SEPERTI ITU!” Bentak Destan membelaku.
“AYAH TIDAK PERNAH MENGAKUINYA SEBAGAI ANAK! PERGI KAMU!!” Ayahku kali ini benar-benar murka. Aku tak tahu sebabnya. Aku tak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi. Apa salah ku? Kenapa Ayah berbicara seperti itu padaku?
“SAYA TIDAK MAU MELIHAT KAMU ADA DI RUMAH INI!! PERGI KAMU!! PERGI!!!” Hardik Ayahku sekali lagi sebelum akhirnya beliau pergi ke kamarnya. Kemurkaan Ayah membuat ibuku menangis histeris. Destan yang melihat kondisiku, menghampiriku dan memelukku.
“Ibu, Kenapa Ayah berbicara seperti itu?” Tanyaku dalam tangis. Ibu tidak menjawab dan hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis sedih.
“Ibu, kenapa?” Tanyaku lagi.
“Ibu, Kenapa Ayah bisa seperti itu?” Tanya Destan yang mulai meneteskan air matanya. Ibuku hanya menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ku lihat tangan Destan mengambil amplop coklat yang ada di sampig ibuku. Dibacanya kertas yang telah diambil dari dalam amplop. Seketika ku lihat reaksi Destan kaget.
“Kenapa kak?” tanyaku menahan isak tangis.
“Ke.. Ke… Kenapa kamu seperti ini Dek?” Tanya Destan yang air matanya mengalir semakin deras.
Ku rebut kertas dari tangan Destan dan ku baca isinya. Perlahan ku pahami setiap kata yang ada di dalamnya. Aku mengerti benar isi dari hasil tes itu. Ya, Kiamat sudah hidupku. Aku positif HIV AIDS. Tak mampu berkat apa-apa. Tak mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi. Yang jelas aku positif HIV.
Terlintas dalam pikirannku, bersedih, menangis, dan menyesal bukan obat dari penyakitku. Aku mencoba untuk tetap tegar. Walay terasa sakit menyesakkan, aku coba untuk tetap tegar. Karena semua ini bukanlah hal yang aku mau, ini mungkin karena kehendak Tuhan. Dan ini mungkin hukuman bagiku, seseorang yang pernah melanggar peringatannya, melakukan hubungan cinta terlarang.
Hari itu, adalah hari kiamat bagi hidupku. Kiamat bagi kebahgiaan keluarga ku. Dan mungkin akan menjadi awal dari hari kiamat bagi orang-orang disekitarku.
Selamat tinggal hidupku. Selamat tinggal masa-masa indahku. Dan aku ucapkan, selamat datang wahai dunia yang kelam……
***
Tak satupun yang tersisa dari kehidupanku yang sempurna. Semuanya hancur. Hingga cahaya matari yang terik dan panas tak mampu menembus gelapnya hati ini. Hanya dendam yang terus membara dalam hati, yang mampu menerangi jalanku. Aku tak ingin menderita sendirian. Aku ingin berbagi penderitaan dengan orang lain. Dengan orang-orang yang mungkin aku sayang untuk sesaat. Menghabiskan sisa-sisa hidupku dengan berbagi kenikmatan sesaat dan penderitaan abadi. Hingga ajal menjemput, aku siap kapanpun engkau mengambil nyawaku, wahai sang malaikat maut.
------ END -------

The November (Oneshoot)


By: Beh
Pernahkah kamu merasa dicampakkan? Ataukah menjadi bagian yang tidak pernah dianggap? Terbuang? Menyendiri? Bahkan terisolasi dari teman teman sekitar?
Aku berjalan terburu buru menyusuri jalan kota Medan yang ramai dipagi hari. Ratusan kendaraan motor lalu lalang di jalanan. Tentu sangat menyulitkan diriku yang 10 menit lagi harus tiba di kantor. Untung saja kosan ku sangat dekat dengan kantorku.
Aku mulai mengisi absen lalu duduk dengan manis di mejaku. Menyalakan komputer dan mengerjakan pekerjaanku segera mungkin. Itulah aktivitas yang sudah aku lakoni selama 2 tahun ini. Sungguh membosankan namun aku tidak punya pilihan lain.
Tak sengaja mataku menangkap kelender, menunjukkan tanggal hari ini, 18 November. Aku tersenyum. lalu rasa itu kembali hadir. Rasa yang benar benar ingin aku lupakan. Mungkin mataku mulai berkaca kaca. Aku segera menghapusnya. Aku tak ingin rekan kerjaku melihatku mewek dipagi hari. Aku lalu melanjutkan pekerjaanku meskipun bayang bayang itu tetap menghantui pikiranku.
***
“Tada...” Ricky mengagetkanku yang tengah melamun memandangi tetesan hujan di jendela. Aku melihat ia membawa satu mapan berisi potongan ayam dan minuman soda. Ya, kami janjian ingin makan malam disalah satu KFC di kota Medan. “Mikirin apa?” tanyanya sambil membagi potongan ayam dan nasi tersebut.
Aku tersenyum. “Hal yang gak penting.” Jawabku seadanya. Aku mulai menikmati makananku tanpa memperdulikan Ricky lagi.
Aku mengenal Ricky dari sebuah broadcast yang dikirim temanku. Awalnya aku hanya menganggapnya biasa saja. Namun seiring berjalannya waktu, aku dan dia menjadi dekat, mungkin disebabkan oleh chatting yang tidak pernah absen dari ponsel kami. Bawaanya cukup dewasa, berkulit putih dan berwajah oriental. Aku, mencintainya. Sangat!
Makan malam itu kami lalui tanpa cerita cerita seperti biasa. Aku sibuk dengan pikiranku begitupun dia. Janggal? Tidak. Kami memang jarang bercerita ketika makan.
Usai makan ia mengajakku ke sebuah mall untuk menghabiskan waktu. Lagi lagi kami saling diam. Hingga ia membuka suara, “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya.
Aku menatapnya. “Aku tak ingin ini semua berlalu.” Jawabku melihatnya yang sedan berkonsentrasi menyetir mobil.
“Emangnya kenapa?” raut wajahnya bingung mentapku.
“Apakah kita akan seperti mereka mereka yang hanya berakhir dengan kesakitan?”
Dia menggenggam tanganku erat. Aku paling suka momen seperti ini. “Kau percaya padaku?”
Aku mengangguk. “Tentu.” Jawabku terus menatapnya.
***
“Happy birthday Honey.” Ujarnya memberi kejutan.
Aku shock ketika melihat kue dengan sebuah lilin kecil yang menyala. “So sweet.” Jawabku terharu. Dia memelukku erat. “Thanks honey.” Ujarku senang. Ini adalah ulang tahun pertama ku diarayakan bersamanya.
“Ayo make a wish sebelum lilinnya meleleh.” Ujarnya.
Aku mengangguk. Aku berdoa kepada Tuhan. Memohon segala sesuatu yang kabarnya bisa terkabul saat hari ulang tahun. Aku tersenyum. Amin. Ujarku. Aku meniup lilin itu hingga padam. Aku tersenyum. ia mengeluarkan sebuah bingkisan kecil. Sepertinya kado untukku.
“Bukalah.” Ujarnya. Aku membukanya. Sebuah jam tangan. Sangat indah sekali. Aku ternganga. Itu pasti mahal namun jujur, aku menyukainya. aku memeluknya dan mengucapkan terima kasih berulang ulang. Dia membalas pelukanku. Lalu wajahnya mendekat ke arahku, aku sudah mengerti akhir dari semua ini dan aku mempersiapkan diriku untuk itu.
***
Suasana mall sungguh ramai. Aku berjalan terburu buru. Kulihat Ricky di ujung koridor. Aku segera menyusulnya. “Hai.” Sapaku sambil terengah-engah. Dia tersenyum lalu merangkulku dan kami berjalan menuju bioskop.
Dia menggenggam tanganku. Entahlah, aku tidak terlalu suka dengan film perperangan dengan alien. Sesekali aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Sesekali dia mengelus elus kepalaku. Aku sangat menyenangi ketika ia melakukan ini. Suasanya bioskop sangat gelap tentu aku sangat leluasa bermanja-ria dengannya di ruang umum.
Usai menonton film, kami bertolak ke sebuah rumah makan. Kami menghabiskan waktu makan malam kami disana. Dia terus membahas hal hal yang tak penting menurutku namun entah kenapa aku sangat tertarik mendengar semuanya.
Diluar restaurant, terdapat sebuah penjaja kaki lima yang menjual aksesoris. Aku tertarik melihat aneka kalung kalung yang unik. Tak lama ponselku berbunyi, dari mama. Aku berjalan menjauh dan mengangkatnya, hanya sekedar menanyakan kabar dan kondisi terkini alias kangen kangenan. Kurasa ada sekitar 10 menit aku menyusul Ricky yang menunggu bosan di depan mobil. Aku berjalan kearahnya. “Yuk.” Ujarku.
Kami masuk ke dalam mobil. “For you...” ujarnya memberikan seutas gelang yang terbuat dari untaian tali dengan berbagai macam warna. Tampaknya biasa saja sih. Aku menerimanya dan mencobanya di tanganku. Namun sepertinya tidak cocok karena warna gelang tali itu bewarna pink, entah dia sengaja memilih warna itu atau memang hanya tersedia warna itu saja.
Aku memindahkannya ke kaki kanan. Tampak sangat cocok. Dia tersenyum lalu kami melanjutkan perjalanan kami menuju rumah masing masing.
***
Sebuah panggilan dari Ricky. Tumben dia telepon malam malam gini. Ujarku membatin. Aku menjawabnya. “Halo...” sapaku.
“Hi. Lagi apa?” ujarnya dari seberang sana. “Aku ganggu ga?”
“Ga kok cuman baring baring aja. Kamu lagi apa?”
“Aku juga baring baring saja.” Ujarnya. “Aku ga bisa bobo. Kangen kamu.”
Aku tersenyum. “Gombal. Kayaknya baru 1 jam ga ketemu Rick.”
“Ya namanya kangen mana bisa ditolak.” Ujarnya seperti terkekeh. “By the way, kenapa kamu memakai gelang itu di kaki?”
“Entahlah aku rasa memang cocok disana. Kenapa kamu mempermasalahkan itu? Kamu ga suka ya?” tanyaku sedikit was-was.
“Ga kok itu cocok. Cuman, tolong, itu jangan dilepas, apapun yang terjadi.”
“Kenapa?” tanyaku aneh. Dia tidak seperti biasanya. “Kamu kenapa?”
“Gak kok. Lepaskan itu ketika kamu sudah benar benar tidak mencintaiku, maka aku akan benar benar pergi dari hidupmu.” Ujarnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung. “Jangan ngawur deh malam malam gini.”
“Tahun baru ini, kamu mau kemana?”
Aku diam berpikir? “Kemana ya? Paling disini saja deh soalnya tanggal 2 nya uda kerja.” Ujarku.
“Gimana kalau kita jalan ke Berastagi?” ajaknya.
“Malas ah, pasti macet.” Ujarku.
“Ayolah...” ujarnya. “Demi aku.”
Aku tersenyum. “Ok lah tapi kita agak cepat berangkatnya.” Kami terdiam sejenak. “Kamu lagi apa sekarang?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Aku sedang berpikir.”
“Apa yang kamu pikirkan?” tanyaku.
“Akankah suatu hari nanti, tanpa diriku kau akan baik baik saja?”
Aku terkejut mendengar kalimat itu. “Apa apaan. Jangan ngaco deh.”
”Aku serius. Aku ingin menjagamu hingga aku menemukan orang yang sanggup melanjutkan perjuanganku.” Ujarnya. Aku bisa mendengar nada suaranya sedikit berat.
“Kamu nangis ya Rick?” tanyaku. “Kamu kenapa bisa bahas begitu?”
“Aku takut kehilanganmu.” Ujarnya.
“Sudahlah, ini sudah malam. Sebaiknya kita bicarakan ini besok ketika ketemu.
“Ok.” Ujarnya.
Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan semua yang diucapkannya.
***
19 November, hari yang paling aku tidak sangka akan menjadi bencana dihidupku. Aku baru tiba dari kantor. Tak lama, aku mendapat sebuah bbm dari teman Ricky, Jhonny, yang mengabarkan bahwa Ricky mengalami kecelakaan kerja dan dia tidak selamat saat perjalanan ke rumah sakit.
Aku tidak percaya. Aku menelepon Ricky namun tidak ada yang mengangkat telepon itu. Entah sudah berapa kali panggilanku tidak terjawab sama sekali, menambah kekhawatiranku. Aku sangat gelisah. Jhonny mengabarkan kalau Ricky sedang dalam perjalanan pulang usai mengaudit laporan dari pabrik kantornya berkerja di Tj. Morawa dan ia mengalami kecelakaan dengan sebuah truk yang mengakibatkan tubuhnya terjepit.
Kakiku lemas membaca pesan itu. Air mataku mengalir. Aku merasa seperti baru saja menerima telepon darinya. Aku sungguh tidak percaya, hingga Jhonny menjemputku dan mengantarku ke tempat rumah duka. Aku terpukul melihat sebuah foto orang yang paling aku cintai di depan sebuah peti. Pihak keluarganya hanya tahu kalau aku adalah sahabatnya. Ia mengizinkan aku melihat jenazahnya. Dia terbujur kaku dengan luka di sekujur wajahnya. Aku tak mampu lagi menahan air mataku.
Keluarganya tampak terpukul. Para sahabat memberikan mereka support. Aku tak kuat. Hatiku hancur. Sakit. Ia berjanji akan menjagaku namun dia telah pergi. Aku bahkan belum melewatkan tahun baru bersamanya, bahkan first anniversary kami. Aku bahkan tidak percaya itu adalah dia. Aku masih mencoba menghubungi teleponnya namun tidak ada yang menjawab. Aku menangis. Masih kuingat pembicaraan kami tadi malam. Dia tidak akan meninggalkanku kalau sebelum ada yang akan menggantikannya untuk membahagiakanku.
Aku kembali menatap fotonya. Aku tidak percaya aku harus memberi doa untuknya. Ricky, panggilku membatin, Honey. Kenapa??? Apakah bahagia itu sangat mahal? Aku rela harus membayar dengan apapun asalkan tubuh dalam peti itu bisa hidup kembali. Aku rela. Kenapa bukan aku saja yang mati? Kenapa harus dia? Ricky. Panggilku lagi. Kepala terlalu berat untuk memikirkan semua ini. Semua gelap. Aku tidak tau apa yang terjadi.
Aku terbangun. Tampak Jhonny dan pacarnya menungguku. Aku tampaknya berada di rumah sakit. Bau obat obatan sangat menyengat. Aku teringat Ricky.
“Ricky mana?” panggilku spontan.
Jhonny menatapku sedih. “Dia akan dimakamkan besok siang. Persiapkan dirimu.” Ujarnya.
Makam? Ricky dimakamkan? Aku tidak percaya akan mendengar kata itu. Sungguh terlalu sakit. Aku menangis. Ricky. Kenapa? Apa kau melihatku sekarang? Bagaimana aku bisa hidup tanpamu?
Aku menatap sebuah nisan berbentuk salib yang tertulis nama Ricky. Aku memandangi gundukan tanah yang baru saja di disusun. Didalamnya terbaring orang yang sangat aku cintai. Aku tersenyum. Aku akan hidup dengan bahagia tanpamu. Dan aku tidak akan melepas gelang yang kau berikan untukku, bahkan tidak untuk sedetikpun. Tidak akan pernah. Karena aku masih mencintaimu. Ujarku membatin. Air mataku tak mampu lagi menetes. Mataku membengkak. Ricky, I LOVE YOU...
Danau toba.
Kami menghabiskan tahun baru masehi bersama rekan kerjaku. Seharusnya aku menghabiskannya bersama di Berastagi. Ledakan kembang api tak mampu menghibur suasana hatiku. Sejak kepergian Ricky aku lebih banyak diam. Aku menutup diri dengan semuanya.
Ricky, selamat tahun baru. Ujarku membatin. Hati kembali merasa seperti tersayat, mataku memanas. Aku berjalan menjauh dari keramaian dan menumpahkan semua air mataku. Tahun baru pertama kami yang seharusnya kami lalui dengan sukacita berubah menjadi dukacita..
Aku memaksa diri menghentikan tangisanku sebelum ada yang menaruh curiga padaku. Aku kembali ke kelompokku dan berpura pura menikmati pesta dengan harapan Ricky hadir disini, bersamaku, menemaniku, memelukku, membelaiku, menggenggam tanganku, seperti yang biasa ia lakukan ketika aku sedang gundah.
Tiba tiba, ada sesuatu yang terjatuh dar tanganku. Jam tangan pemberian Ricky terjatuh. Aku segera meraihnya. Kacanya retak. Hatiku hancur. Kenapa? Batinku. Namun aku tidak akan memperbaikinya karena aku tidak ingin merubah semua pemberian Ricky. Biarlah retakan kaca itu menjadi simbol hatiku yang hancur.
Aku kembali dari kantor. Berbaring di kasurku. 18 November tahun lalu aku mendengar sebuah janji darinya yang akan menjagaku dan tidak ingin meninggalkanku. Aku kembali mentap jam tangan ini. Betapa bahagianya dulu ketika aku menerima jam tangan mahal ini. Namun kini aku hanya menangis sedih melihatnya.
Ricky, kau akan selalu ada di hatiku dan hidupku. Selama gelang ini melekat di kakiku, selama itulah aku akan terus mencintamu. Seperti janjiku padamu.
“Tadi wish kamu apaan hon? Kok lama banget?” ujar Ricky penasaran dengan birthday wish ku.
“Rahasia dong kalau aku kasih tau mana jadi wish lagi.” Jawabku sewot.
Dia tersenyum. “Iya deh.” ujarnya sambil memelukku dan mencumbuiku.
Tuhan. Jika memang kebahagianku hanya ada pada hari ini saja, biarlah aku merasakan bahagia di hari ini, di hari ulang tahunku, tanpa ada sedikitpun yang mengganggu. Tuhan, terima kasih atas orang yang kau utus untuk memberikanku kebahagiaan beberapa bulan terakhir ini. Tuhan, aku bersyukur atas apa yang terjadi kemarin, hari ini dan esok hari. Tuhan, terima kasih...
Amin....
TAMAT!