Kau Tetap Sahabatku


By,,. Shii Bochah Muchil
Di like sebelum baca yah member ingat satu like sangat menghargai cerpen penulis.
Good reading guys…
*****
Perkenalkan namaku Irvan. Lebih tepatnya Muhammad Irvan.
Aku dilahirkan dari 8 bersaudara dan aku anak ke 5. Mungkin hal tersebut sangat berpengaruh bagiku terutama bagi kehidupanku.
Kasih sayang dari orang tua sangat jarang untuk ku dapat apalagi saat aku Menempuh pendidikan di tingkat Mts(sederajat smp),, mereka sibuk mencari Nafkah untuk anak-anak mereka sekolah,,. Dan rasa yang ku derita juga menimpa adik dan kakak kakaku,.. akan tetapi kami memahami dengan keadaan kami ini,,. Dan kami saling mengerti antara satu dengan yang lainnya.
Setelah lulus MTs aku putuskan untuk menempuh pendidikanku selanjutnya di sebuah pondok pesantren yang berlokasi di Martapura, yang artinya sangat jauh dari tempat tinggalku yaitu di Palangkaraya.. Walaupun masih dalam satu pulau, menurutku perjalanan Palangka-Martapura begitu memakan waktu.
Dengan bekal seadanya yang diberikan oleh orang tua ku,. aku mencoba untuk mulai kehidupan yang baru. Walaupun waktu itu usiaku masih tergolong sangat muda yaitu sekitar 16 tahunan, tapi usia tidak menyurutkan niatku untuk hidup mandiri di kota Intan sana,,, menempuh ilmu agama,.. dengan mimpi semoga aku dapat berguna bagi Bangsa terutama Agama islam yang hampir Tergilas akan jaman yang kejam ini.
Oh iya,,, di sini sukurnya aku punya paman dan bibi walaupun hanya sepupu ayahku tapi mereka sudah ku anggap sebagai paman dan bibi saudara ayahku. Mereka punya kost kostan spesial putra yang lebih populer di sini sebagai asrama(pondukan). Dan mulai sejak itu aku resmi menjadi seorang anak pondok.
Keesokan harinya aku mendaftar sekolah di sebuah pondok pesantren terbesar di Martapura yang pastinya ditemani oleh sepupuku (anak dari pamanku). Yang Ia juga sekolah disini kelas 3 wustho(sederajat 3 SMA), kira kira umurnya 18 tahun namanya adalah Zean. Pamuda yang tampan dan sosok kakak yang baik. Akhirnya setelah tiga hari berlalu dan aku telah mengisi beberapa perlengkapan pendaftaran maka pada hari sabtu yang tanggalnya ku lupa aku mulai menempuh pelajaran di bangku kelas 1 wustho lokal f di pesantren tertua di Kalimantan Selatan ini. Santri putra masuk dari jam stengah 8 dan pulang jam 12 tepat. Dan di lanjutkan dengan masuknya santri putri saat jam stengah 1 siang sampai jam 5.
Aku harus bilang waw (Seperti itu),,, satu kelas diisi oleh 60-75 siswa, dan tiga orang siswa duduk pada satu bangku panjang, dan yang lebih waw lagi saat Ustadznya membacakan kitab, harus memakai pengeras suara, agar dapat didengar oleh 60-75 siswa yang ada dalam satu kelas tersebut.
Hari pertama begitu mengasyikan aku berkenalan dengan beberapa orang asli martapura dan sekitarnya, walaupun jujur aku begitu sulit mencerna percakapan mereka, tapi mereka orangnya baik baik.Ustadz ustadz di sinipun ramah semua dan punya ilmu yang sangat tinggi dalam kitab kuning.(kitab arab yang super tebal, tanpa ada baris satu hurufpun.)
Untungnya aku sekolah di Mts, sehingga aku dapat lebih memahami dengan kitab kitab tersebut. Walaupun tidak sehebat dengan teman teman sebangkuku yang belum ku kenal ini.
Sepulang sekolah aku berjalan kaki menuju asrama,walaupun aku punya paman yang punya asrama tapi aku putuskan untuk mandiri untuk tidak menumpang di rumah mereka. Padahal mereka sangat memeksaku untuk tinggal di rumah mereka yang jaraknya sangat dekat dari asrama.Tapi saking baiknya mereka aku diijinkan untuk tinggal 1 bulan tanpa harus bayar, setlah itu aku harus bayar seperti anak yang lain, dengan pastinya di berikan diskon oleh mereka. Walau aku sering tak enak hati dengan mereka akan tetapi di sisi lain aku sangat senang dengan kebaikan mereka.
Oh tidak,,,, betapa terkejutnya aku ada seorang laki laki yang berada di kamar asramaku tepatnya dikamarku.
”kau siapa?” Tanyaku padanya, Sontak diapun terkejut dan menoleh ke arahku, akan tetapi rasa terkejut itu sirna di kala ia telah melihatku.
”Ouuh iya,,,, hai aku Imam kau Irvan kan?” Jawab serta Tanyanya balik.
”ya,,dari mana kau tau nama ku dan sedang apa kau di kamar ku?” Jawwabku dan tanyaku balik.
”aku anak baru di sini dan aku juga baru sampai di tempat ini ,oh iya aku juga sekolah di tempat kau sekolah tapi aku baru dapat masuk besok. Dan aku ada di sini karena aku memeng di tampatkan disini oleh ibu asrama.” Jelasnya yang hanya dapat kata oooo dari mulutku,...
”ouhh,,salam kenal ya, kalau ku boleh tau kamu orang mana?” Tanyaku sambil memberikan tanganku padanya.
“aku orang Samarinda, kalau kamu” Sambutan tanganku di ambilnya dengan hangat.
“oughh kalau aku orang palangka, salam kenal yaa.” Jabatan tangan kamipun berakhir.
“yaa salam kenal juga” balasnya dengan ramah.
Hari itu ialah hari pertama kami bertemu aku dan dia bercerita tentang jutaan kisah hidup kami masing masing.oh iya kami memiliki banyak persamaan dari segi hobi dan makanan kesukaan, kami sama sama menyukai memancing, sepeda serta berenang, dan kami sama sama suka makan nasi goreng karena makanan yang praktis, Iman adalah lulusan pesantren yang ada di kota samarinda sehingga mungkin ia akan lebih ahli di bidang ilmu ini dari pada aku.
***
Adzan subuh sudah sangat keras terdengar di telingaku, maklum di tempat ini (Martapura) penuh dengan mushalla dan Masjid,
Ku lihat ranjang disebelahku sudah sangat rapi
‘kemana imam yaa rapi banget ranjangnya?’ tanyaku dalam hati. Aku pun mulai membawa badanku untuk bengun di pulau kapukku, pulau kapuk yang selama 1 Minggu ini telah menemaniku.
“Hey,, sudah bengun yaa”, tegur Imam,,
“ HAAA Iya nih padahal masih ngantuk banget, oh iya kamu abis dari mana?” tanyaku dengan mulut sambil menguap.
“Aku habis ambil udhu di belakang, oh iya air sungainya seger banget” jawab nya sambil merindingkan badanya keenakan.
“Emang baru ngerasain yaa air sesegar itu?” tanyaku haran.
“bukannya ga pernah ngerasain air segar seperti ini, cuman takjub aza gitu dengan tempat ini, di sini tuuu, tempatnya adem banget sungainya bagus, santrinya juga keliatan baik baik dan relegius malah, oh iya kapan kamu ambil udhunya? kita sholat bareng ajah, ayo cepat nanti keburu Iqamah, lagi” serunya dengan langsung ku sigapi dengan ambil air udhu di belakang asrama kami, yang langsung bersambung dengan Lanting yang mengapung bagus di pinggir sungai sungai.
****
Indah amat indah dan sangat teramat indah,.. dapat mengenal teman-teman yang ada di sini membuatku sangat bahagia,.. Imam yang jadi teman sekamarkupun merupakan teman terbaik yang ku miliki. Hari hari ku lalui bersama Imam memang sungguh menyenangkan suka dan duka kami lewati bersama, pahit dan manisnya hidup di asrama kami nikmati dan kami lalui, saat kami terlambat untuk solat ke musholla, Imam selalu menjadi Imamku saat solat, karena sekali lagi Imam lebih segalanya dari diriku. Imam kau sosok yang sempurna, sahabat terbaik yang pernah aku miliki.
****
Muhammad Ihsan,, Muhammad Ilham, Muhammad Irvan,, Secara bergantian Pak Ustadz yang selaku wali kelas di kelasku menyebutkan nama-nama santri untuk mengambil raport kenaikan kelas mereka masing-masing.
Dan Dammnn, itu namaku aku pun melangkah untuk mengambil hasil raport itu,, dan semoga saja aku dapat naik kelas dan nilaiku lebih tinggi dari semester yang kemaren..
“Bismillahirahmanirrahim” ucapku seraya mulai membuka raport yang bercover tulisan Arab itu,...
“Hufhhhhh,,.. Paling tidak Aku naik” ucapku lega saat aku melihat tulisan tidak naik kelas (sudah di terjemahkan) telah di coret sang ustatdz dan ini berarti aku telah resmi naik kelas. Kami satu kelas yang di diami oleh 65 santri ini merasa sangat senang karena semua santrinya naik kelas, dan tak ada yang tinggal kelas.
“Gimana nilaimu Van??” tanya Imam saat kami bertemu di jalan untuk pulang. Memang wajar Imam berkata demikian karena kelasku dan kelas imam beda lokal. Aku di lokal 4f dan ia di lokal 4h
“Ga bagus-bagus baget sih,, tapi cukup kok untuk membuat aku naik ke kelas 2 Wustho” ucapku bercampur rasa antara senang dan lumayan kecewa.
“Udahlah Van,,, jangan sedih,, masih ada 9 tahun lagi kok, buat memperbaiki nilai” ucap Imam memberi semangat.
“Okee, bagaimana denganmu,.. jangan-jangan kamu tak naik kelas,,..” ucapku menyindir yang langsung di sambut wajah cemberut dari Imam
“Bercanda Ma,,, bercanda,.. Masa Kamu yang pinter ini ga Naik kelas,,,Heee” nyengir kudaku muncul lagi.
“Iya Van,,, Alhamdulillah aku juga naik kelas kok,, yaa, dengan nilai yang lumayan lah” ucapnya yang akhirnya kamipun pulang menuju asrama bersama, dengan jarak yang tidak terlalu jauh kami sampai di asrama dengan sangat cepat.
Yaaa,, satu tahun telah berlalu dengan sangat cepat memikirkannya bagaikan kami melaluinya hanya satu menit,,, tapi menjalaninya membuat kenangan kami tak terlupakan seumur hidup.
Aku dan Imam menjadi sahabat yang sangat dekat,, pergi ke pengajian kami selalu bersama,,, solat berjamaah bersama, dan kadang kami ber2 solat berjamaan jika waktu menghalangi kami ke masjid atau musholla, setahun pula kami sering maka bersama, memasak bersama di dapur kami yang ukurannya tidak seberapa,.. dan kadang membeli makanan di warung jika bulan telah sampai saat masih muda.
Hingga rasa aneh itu muncul,,, rasa aneh yang aku tak tau itu apa,,,.. rasa di mana keganjilan itu menimpa,.. rasa di saat aku bingung jika tak bersamanya dan rasa di mana aku sangat senang jika sedang berdua. Rasa itu kian melekat seiring berjalannya waktu dan rasa itu semakin dalam untuknya,....
*****
Rasa itu ada, bahkan sangat terasa...
Memang rasa itu tak terlihat akan tetapi ia nyata,..
Nyata dalam hatiku yang kian hari kian menyiksa,,,
Menyiksa diri dan relung jiwa...
Oh tuhan rasa apa ini,,,
Aku tak ingin memilikinya,,,
Dan Aku tak ingin salah saat aku memilikinya,,,
Dan Apakah ini ,,,,
Yang di namakan......
JATUH CINTA
*****
“Jadi kau sungguh-sungguh akan pulang kampung tahun ini??” tanyaku pada Imam yang sedang memulai memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas.
“Iya Van aku kangen rumah,, dan ibuku tidak sabar melihat nilaiku,, walaupun tidak bagus-bagus amat,,..” Imam sambil tertawa berbicara dengan pandangan masih terfokus pada ransel yang akan ia bawa,, tak melihat di sini sahabatnya sedang merasa di tinggalkan.
“Vannn,,,..” Tegur imam setelah ia selesai mengemasi barangnya,.. dan aku masih terdiam di kasur yang berseberangan langsung dengan kasurnya,.
“Hmmm, iya mam,..” aku bahagia ia dapat kembali menyapaku, setelah asyik hanya berkutat dengan barang bawaannya.
“Emmmm,, Aku janji Van,, gak bakal lama kok, kan kita liburan cuman dua minggu aja.” Ucap Imam yang mungkin melihat mimik sedih dari mukaku sebelumnya.
“Iya mam,,, ga papa, dan itu juga hak mu kok” jawabku sekenanya,.. kami melihat dan memandang satu sama lain,,, pandangan imam hanya seperti pandangan sahabat yang akan pergi, akan tetapi berbeda dengan pandanganku.
Yaaahhh ulangan kenaikan kelas telah di laksanakan nilai pun telah di bagikan dan liburan telah sampai,..
2 minggu waktu yang di berikan para Ustadz di sekolah sudah sangat cukup untuk para santri di sini pulang ke kampung asal mereka termasuk teman sekamarku ini,.. besok subuh ia akan pergi ke Samarinda pergi ke tempat sang orang tuanya mencari nafkah untuk anaknya sekolah di sini,.. Yaaa, karena Imam adalah anak tunggal yang tidak memiliki saudara.
Sedangkan aku. Hmmmmm,, Orang tuaku mungkin sudah lupa dengan anknya ini, sehingga tak ada niatan aku untuk pulang ke Palangka, dengan memutuskan untuk tetap di Martapura kota yang telah ku diami selama satu tahun ini.
*****
“Jangan lupa oleh-olehnya ya mam,” ucap kak Zean yang mengantarkan imam bersamaku.
“Iya kak, Insya Allah. kakak mau apa. mau batu gunung dari samarinda yaahh, atau mau batu halaman rumahku, itu kan juga oleh-oleh dari Samarinda” ucap imam meledek kak Zean.
“Jika kau mau, yachhh, bawkan aku batunya. tapi batu permata yahhh” Balasan canda kak Zean dapat membuat kami bertiga tertawa. Yaaa. selepas sholat Subuh tadi,, aku di bantu oleh kak Zean mengantarkan imam ke Terminal Bis Kota yang letaknya tak jauh dari Masjid Al-Karomah (Masjid terbesar di Martapura)
Kami masih bercanda bertiga di samping bis yang akan di tumpangi oleh imam,.. mungkin kami datang terlalu pagi sehingga belum banyak orang yang datang baik para penumpang walaupun keluarga yang akan mengantarkan,
“Oh yaaa,,, Kak Zean,
Jaga Irvan baik-baik yah kak, kalau ia nakal rajam ajah kak” Ucap Imam yang seolah-olah meledekku.
“Imaaaammmmmm” Ucapku agak sedikit berteriak sambil mencoba memukul bahu Imam, akan tetapi ia cepat menghindar.
“Iya, iya, aku cuman bercanda kok Van,” ucapnya sambil menghindar, dengan melepas tawa.
Dan kak Zean pun hanya dapat tertawa melihat tingkah laku kami yang sering kami lakukan ini, dan beliau sangat memakluminya.
“kayaknya penumpangnya sudah banyak yang naik dannn, emmm,. Kayaknya aku juga, akan naik. ” ucap Imam setelah kami puas tertawa.
“Jaga diri baik-baik yah Mam,, perlihatkan jika santri Martapura itu adalah santri yang baik dan berakhlak mulia di kota Samarinda sana” Nasehat kak Zean yang hanya di tanggapi dengan anggukan mengerti dari Imam,..
“Akhhh kakak ini, kaya Imam yang mau pergi selamanya saja, kan hanya 2 minggu ka” aku kesal dengan ucapan Kak Zean yang seakan seperti melepas ke pergian imam yang akan lama.
“Irvan,, kak Zean ga bercanda, ini serius. banyak santri sini yang pulang hanya membawa nama buruk kota ini, dan kakak ga mau itu juga terjadi pada Imam” ucap Kak Zean yang berhasil membuatku hanya mengangguk dan menundukkan kepala sama halnya yang di lakukan oleh imam sebelumnya.
“Iya kak, Insya Allah, imam akan memperlihatkan Akhlak dan kebaikan dari santri Martapura, dan emmm. makasih nasehatnya ya Kaa. aku berangkat dulu.” Imam menyalami tangan Kak Zean dan menciumnya. yaaa Ini memang wajar walaupun usia kak Zean hanya terpaut 3 tahun lebih tua dari usia kami, akan tetapi kami telah menganggap beliau orang tua kami karena beliau selalu mengajarkan kami apa yang kami tak ketahui. Dan selalu memberikan teladan yang baik kepada kami.
“Vannn, aku berangkat yah.” Ucap Imam selesai menyalami dan mencium punggung tangan kak Zean, seraya mengulurkan tangannya kepadaku.
“Iya Mam, moga sampai pada tujuan yaaahh” Ucapku mengambil uluran tangan Imam. Dan imam langsung mendorong punggung tangannya agar aku menciumnya sama halnya dengan apa yang ia lakukan terhadap Kak Zean. akan tetapi aku langsung membuang muka, enak saja aku harus mencium tangannya, kamikan masih seumuran.
“Hey aku ini lebih tua darimu” ucap Imam dengan mimik protes.
“cuman 2 bulan kok” jawabku protes pula, Akan tetapi jabatan tangan kami masih sangat melekat. dan kami terdiam sejenak saling memandang
Dan,
dammmmmmn,
“Aku bakalan sangat merindukan kamu di sana Van.“ Ucap Imam memelukku dengan sangat erat.
“aku juga mam, 2 minggu, akan terasa 2 tahun buatku. Jika tak bersamamu mam Sahabatku.” tak kalah erat aku memeluk tubuh imam yang ukurannya hampir sama denganku ini.
“Jaga diri baik-baik ya Van,” ucap Imam di sela pelukannya.
“Kamu juga mam, Jangan terlalu larut malam jika mengaji. walaupun mengaji adalah hobimu. Dan kau jangan lupa untuk menjaga kesehatanmu.” Nasehatku yang selalu ku berikan pada Imam, aku pun berkaca-kaca dan masih dalam pelukannya.
“Iya Van, kau juga, jangan telat makan yahh, aku tak mau jika saat aku datang kau semakin kurus.” Ucap Imam yang sangat tau akan kelakukan ku yang sering telat makan.
“Iya Mam, aku janji” dan pelukan kamipun berakhir. Airmataku menetes entah mengapa, dan kulihat pula Matanya pun berkaca-kaca.
****
“Sudahlah van,,, jangan bersedih, cuman 2 minggu saja, kalian berpisah” ucap kak zean menghiburku setelah sebelumnya melihat mimik sedih di wajahku ketika melihat bis itu telah melaju jauh.
“Iya kak,, cuman 2 minggu, dan emmmm, semoga tak lebih.” Ucapku menundukkan kepala.
“Hey, jangan bersedih dong, kan kalian juga pernah berpisah satu bulan saat bulan puasa kemaren” ucap kak Zean berusaha menghiburku kembali,, yaaah beliau tau sekali akan kedekatan aku dan Imam. Dan bagaimana kami (aku dan Imam) menjalani hari bersama.
“Tapi saat ini beda ka, kenapa yahhh???” ucapku kembali mengangkat kepalaku.
“Hemmm, sudahalah,, untuk menemanimu biar kakak saja yang jadi pengganti Imam, toh teman-teman kakak juga banyak yang pada pulang kampung” ucap Kak Zean sambil menggandeng bahuku.
“Oke kak,” ku berikan satu jempol pada kakak sepupuku ini dengan mengembangkan senyum tipisku sebisa mungkin.
‘Hanya 2 minggu Vann,,, tak lebih dan tak akan lebih,, aku akan menunggunya lagi 2 minggu disini,,, di tempat ini,,, di stasiun bis ini,.... Aku akan menunggumu selalu Mam,,,.. ‘Muhammad Khairul Imam’ Sahabatku,,,,,
Yang kucinta
*****
Author Story Pov :
~12 Years Latter
“sodokollhul Adzim” Seorang pria dalam kamar menutup lembaran kitab suci yang telah ia baca selama satu jam yang lalu.
Mendengar selesai membacakan ayat demi ayat al-Qur’an seorang wanita masuk kedalam kamar tersebut.
“Assalamualaikum” Ketuk wanita nan jelita itu.
“Walaikum salam, masuk Nis” Sang wanitapun membuka pintu dan masuk kedalam serta duduk di samping sajadah sang pria.
“Ada Apa Anisah?” tanya sang pria.
“Ini mas, Tadi ada undangan dari pengurus masjid katanya sore nanti masjid akan mengadakan buka puasa bersama” Jawab wanita yang akrab di panggil Anisah itu.
“Kok dadakan sekali Nis?” Tanya sang Pria heran.
“Anisah Juga gak tau mas, katanya yang akan memberikan tausyiah bisanya datang hari ini, jadi mungkin itu penyebabnya acara ini diselenggarakan secara dadakan.” Jelas Anisah kepada pria yang tak lain dan tak bukan adalah suaminya.
“oh, memangnya siapa Nis, ustadz yang akan memberikan tausyiah nanti.” Sekali lagi Sang suami bertanya.
“Katanya Ustadz dari Kota Palangkaraya yang dulu sekolah di Martapura, em. Sekolah tempat mas dulu menuntut ilmu bukan itu mas?” Tanya sang istri berbalik, akan tetapi sang suami tak menjawabnya dan hanya raut kebingungan dan kegundahan yang menimpa hati sang suami.
‘Ustadz dari Martapura, Asal Palangka? Apakah?’ Hati sang suami masih bertaut kebingungan.
****
Irvan Story Pov :
Aku telah sampai di Kota ini, kota yang semenjak lama aku ingin datangi, berharap suatu harapan yang dulu ku nantikan akan ada disini.
Sesampainya di masjid kota yang paling besar di kota ini, aku berjalan menyusuri beberapa Jama’ah yang telah terlebih dahulu duduk di saff bagian depan. Akupun duduk di tempat yang disediakan panitia sebelum akirnya aku memberikan tausyiahku di bulan ramadhan yang penuh berkah ini.
Untung sekali bagiku mendapatkan undangan memberikan Tausyiah di Kota Samarinda, Kota yang dulu Ku nantikan seseorang pulang dari sana.
Hingga akhirnya pembawa acara mempersilahkanku untuk memberikan tausiyah. Akupun berdiri mengucapkan salam Kepada Jama’ah yang begitu banyak ini. Di bulan puasa memang jama’ah selalu gemar buka di masjid apalagi ada tausiyah dari ustadz yang datang dari luar daerah, dan mungkin termasuk daerah kota yang sedang aku datangi ini.
“Assalamualaiku Warahmatullahi wabarkatuh,..” Ucapan salamku di sambut hangat oleh semua Jama’ah.
“Walaikum salam Warahmatullahi wabarkatuh,..”
Mataku berputar sedikit melihat betapa padatnya jamaah masjid,
‘Tunggu dulu,. iaaa,,, apakah itu dia?’ Hatiku bertaut antara benar atau tidak menerka seseorang yang sedang duduk pada bagian paling pojok belakang masjid.
‘apakah itu dia?’ sekali lagi aku terdiam, akan tetapi deheman dari pembawa acara berhasil membuyarkan diamku dan aku melanjutkan tausyiahku, walau jujur pikiranku sangat tidak konsentrasi.
Setelah tausyiahku selesai, kamipun membaca do’a dan tak lama adjan maghrib pun tiba pertanda kami telah menunaikan ibadah puasa kami hari ini dan menikmati indahnya berbuka.
***
Setelah selesai solat maghrib berjamaah bersama, beberapa jama’ah pulang kerumahnya masing masing dan beberapa lagi masih diam di masjid untuk bersholawat atau diam menunggu azan isya untuk sholat tarawih bersama. Sedangkan aku tengah mengobrol masalah agama dengan beberapa pemuka agama dan para sesepuh di masjid kota ini untuk menantikan tibanya waktu solat isya dan dilanjutkan dengan terawih berjamaah. Sesekali aku mencuri pandang pada seseorang yang semenjak tadi memecahkan konsenterasiku, konsenterasiku sudah mulai buyar, saat menyampaikan tausyi’ah tadi pun aku gugup entah mengapa, akan tetapi aku masih dapat meminimalisir rasa gugupku tersebut.
Aku memberanikan diriku untuk mendatangi orang tersebut, setelah meminta izin kepada para pemuka masjid untuk menemui orang itu dan mulai dengan perlahan aku mendekatinya.
Langkahku semakin dekat semakin lambat, Sebenarnya aku menggunakan celana kain panjang dan bukan sarung. tubuhkupun gontai, pandang ku hanya terfokus pada pria yang duduk di pojok shaff hampir paling belakang dari shaff pria tersebut.
Perlahan demi perlahan aku melangkah, dengan nafas yang sangat sedikit, entah kenapa nafasku seakan habis dengan kejadian ini.
Sekarang,
Aku sudah berada tepat di depannya, aku masih berdiri sedangkan ia masih dengan duduk bersilanya dan hanya menundukkan muka.
Akupun duduk bersila didepannya mengikuti duduk yang ia lakukan.
Ia masih menundukkan muka.
“Ahlan wasahlan ya Akhi” (Apa kabarmu ya saudaraku?) aku mencoba memulai percakapan ini dengan menanyakan kabarnya.
Lama ia terdiam hingga akhirnya ia angkat bicara “Ahlan Biek, Ya Akhi” (kabar baik, ya saudaraku) ia mau menjawab akan tetapi ia masih menundukkan muka.
“wa Anta (dan engkau?)” Pria itu balik bertanya kepadaku.
“Alhamdulillah, Wasyukru Illah (Segala Puji bagi Allah, dan Aku bersyukur Kepada Allah) kabarku juga baik” Ku jawab pertanyaannya dengan senyuman, senyuman yang tak ia lihat karena ia masih tertunduk,. Entah apa alasannya.
Lama kami ditiup angin keheningan, hingga sekali lagi aku mulai untuk membuka percakapan. “Kenapa Mam?” tanyaku to the pount. Tapi ia hanya terdiam dan semakin membenamkan kepalanya menunduk ke bawah.
“Imam Kenapa?” Ku naikan suaraku lebih tinggi berharap orang ini akan menjawab pertanyaanku.
“Aku harus jawab apa Van, pertaanyaanmu masih membingungkanku.” Ia mulai menengadahkan kepalanya dan memperlihatkan mukanya.
Benar ia Imam, Imam yang selama ini membuat aku harus memperjuangkan sebuah kata yaitu penantian.
“kau masih ingat denganku?” tanyaku sambil menaikan alis sedikit meremehkan.
“Aku tak mungkin melupakanmu.” Ucap Imam mulai berkaca kaca.
“Kenapa kau tak tepati janjimu mam. kenapa kau tak kembali ke martapura waktu itu, kenapa mam” Ku goncang sedikit tubuh Imam yang sekarang sudah besar tidak seperti terakhir kali aku melihatnya. Akan tetapi hal itu malah membuat ia sekali lagi menunduk.
“tatap aku mam, tatap aku.” Ku hentikan goncanganku pada tubuhnya dan mulai menenangkan diriku.
“Maaf van, maaf”
“Hufhh” ku hela nafas panjangku merasakan kesejukan malam di masjid ini.
“Maafkan aku Van,.” Sekali lagi Imam meminta maaf padaku.
“Kenapa mam, kenapa kau ingkar janji dengan ku, kau bilang hanya 2 minggu akan pergi, sedangkan ini sudah lebih dari 12 tahun mam, 12 TAHUN, kenapa mam” mataku mulai berkaca-kaca, sekarang aku berada di titik kerapuhanku. Sekarang aku rapuh bahkan sangat rapuh.
“Setiap hari mam aku datang ke terminal untuk menantikan kedatangan bis dari Samarinda ke Martapura, berharap salah satu yang turun itu adalah sahabatku. Berharap sahabatku yang ku nanti datang kembali dan menempati janjinya. Berharap kami akan melalui hari hari bersama untuk bersekolah di Negri santri sana, berharap akan datang sahabat yang selalu menjadi imamku di asarama dan berharap sebuah harapan akan datang,. Akan tetapi mam, harapanku selalu pupus jika penumpang terakhir menuruni bis dan ia bukan orang yang ku harapkan, selama satu bulan mam aku melakukan hal itu, dan selama satu bulan itu pula aku selalu membawa kehampaan harapanku itu.” Aku meracau tak karuan bak kerasukan aku memaki orang yang ada di depan ku ini.
“Tak berhenti disitu mam, aku mencoba memberi jarak pada harapanku itu, hanya satu minggu sekali aku mendatangi terminal, yaitu pada hari jum’at, dimana hari itu hari yang dulu engkau pergi, dan sekali lagi mam, aku berharap kau akan pulang juga di hari itu, akan tetapi apa yang aku dapatkan mam, satu bulan, dua bulan, satu tahun dua tahun hingga akhirnya bertahun-tahun sampai aku lulus di Pondok pesantren itu, aku selalu melakukan hal tersebut mam, hanya satu yang ku minta, yaitu Allah akan mengabulkan harapanku, yaitu membawakan sahabatku untuk pulang, paling tidak memberikan senyumannya padaku.” Tangisanku tak dapat dibendung lagi. Semua telah ku tumpahkan, semua telah ku keluarkan dan semua telah ku luapkan.
“Maaf van, maaf” untuk kesekian kalinya Imam meminta maaf. Masih bersungkur di pahaku iman juga ku rasakan sedang menangis, ku rasakan dengan isakan yang ku dengar darinya. Kamipun beberapa saat terdiam untuk meminimalkan suasana ini. Kurasakan Imam masih menangis di atas pangkuanku.
Ku mulai mengangkat tubuh Iman bangkit dan duduk kembali, dan ku angkat kepala imam, berharap ia memandangku, memandang sahabatnya yang telah lama ia tinggalkan.
“Aku mengalami kecelakaan van,”
“Maksudmu?” Aku terkejut mendengarkan pernyataan dari Imam barusan.
“2 hari setelah kedatanganku ke kampung halamanku ini, musibah besar terjadi padaku dan orang tuaku, ayahku kecelakaan van, dan beliau meninggal” Ucap Imam kemudian tertunduk kembali meresapkan kesedihan yang mungkin kembali terusik dalam hatinya.
“Aku berduka kala itu van, akupun seakan hancur di tinggalkan tulang punggung keluargaku, memang aku anak semata wayang, tapi jika beliau meninggal, siapa juga yang menafkahiku dan ibuku,”
“oleh karena itu, aku putuskan untuk tidak bersekolah lagi di Martapura dan memutuskan untuk melanjutkan usaha berdagang yang ditinggalkan ayahku, berharap dengan hal itu aku dapat menafkahi ibuku dan diriku sendiri” Jelas Imam dengan masih tertunduk.
“Kenapa kau tak menghabariku mam, paling tidak aku bisa kasih suport untukmu dan paling tidak aku tau kabarmu dan sekali lagi paling tidak aku tidak menjadi orang yang bodoh yang setiap minggunya menunggu orang yang tak pasti di terminal bis, kenapa mam?”. Ku naikkan beberapa oktaf suaraku. Seharusnya aku tak melakukan hal yang demikian. Karena saat ini aku juga tau pastinya Imam sedang bersedih mengingat kejadian saat ayahnya kecelakaan.
“Karena tak ada sarana buat aku memberitahumu van, aku juga tak memeliki keluarga di kota Martapura sana. Kau tau sendiri Handphone pun dulu tak ada, bagaimana caranya aku memberi tahumu van, aku juga terlalu sibuk mengurus usaha ayahku dan menafkahi ibuku.” sambil mengeluarkan airmata Imam menatapku dengan sangat lekat.
Sejenak kami terdiam meresapi akan suatu hal yang kami rindukan.
Kami sama sama menatap dan menangis
Kami berdua saat ini sama sama berada dalam posisi yang sangat rapuh.
Hening sejenak menyelimuti kami.
Kami saling pandang dan saling menatap dengan lekat.
Ia Imam, yahhh Imam sahabatku 12 tahun yang lalu ku kenal ia hanya 1 tahun yaitu semenjak kami bersekolah di pondok pesantren yang sama dan di asrama yang sama serta sekamar pula.
Ia adalah Imam, bukan hanya Imam namanya, tapi ia juga sering menjadi Imam saat kami sholat berjamaah dulu di asrama, Imam anak yang cerdas, Imam sahabatku yang baik dan Imam seseorang yang berhasil membuatku menantinya selama 12 tahun.
“Kau kan jadi sahabatku selalu van.” Ucap Imam memecahkan keheningan.
“ya mam, Kau pun adalah sahabat ku selalu mam.” Ku peluk dengan erat tubuh kokoh sahabatku ini.
Teringat aku akan pelukan terakhir kami di 12 tahun yang lalu, pelukan perpisahan dulu juga diiringi dengan tangisan. Akan tetapi pelukan sekarang berbeda ini adallah pelukan pertemuan yang indah sekarang juga di iringi oleh tangisan, akan tetapi tangisan ini adalah tangisan bahagia, tangisan bahagia akan berjumpa dengan sahabat lama, sahabat yang dinanti kedatangnnya, dan Dia tetap sahabatku selamanya.
The End

2 komentar:

Posting Komentar