ONE IN A MILLION part 3


By : Sa-Chan
Berikan Like sebelum baca...
Tenang aja , ini cerita aman kok dibaca saat Ramadhan 
Part 3
“Hey, gerakan *arabesque-mu terlihat pincang sekali” sahut Vina meneriaki salah satu anggota klub baletnya yang sedang latihan. (Arabesque = gerakan berdiri dengan satu kaki di mana kaki yang satunya dibawa lurus sejajar dengan bokong, dan posisi ketinggian lengan dan kaki yang di tinggikan bisa berubah – ubah).
Vina hanya mendesah pelan melihat semua anggota klubnya yang tidak terlihat serius dalam latihannya belakangan ini. Kedisiplinan dan keuletan dalam menari balet seperti sudah menguap dari tubuh mereka masing – masing. Tidak ada keinginan untuk belajar dan menekuni tarian ini dengan sungguh – sungguh. Tanpa sengaja Vina melihat ke arah luar klub dan melihat seseorang yang melewati klub Balet dengan ketidak pedulian.
“Refly !!” sahut Vina langsung keluar dan melihat sosok pria mungil dengan rambut hitamnya yang panjang berdiri dan menengok ke arahnya.
Melihat seseorang yang kemarin mengingatkannya tentang balet, Refly langsung berbalik dan meneruskan perjalanannya, namun langkahnya terhenti karena sudah di tahan oleh Vina.
“Tunggu sih, lo beneran nggak mau menari balet lagi ?” tanya Vina tersengal – sengal karena berlari untuk mengejar Refly.
“Kemarin aku sudah mengatakan jangan sebut balet lagi di hadapanku” jawab Refly tanpa ekspresi menghentakkan tangan Vina yang menggenggam tangannya.
“Tapi kenapa ? Bakat lo itu sangat bagus bisa menjadi teladan untuk semua anggota klub Balet di sekolah ini, gue pengen lo jadi pelatih di klub” tukas Vina lagi tidak mau kalah.
Refly tidak mengindahkan pernyataan Vina dan langsung melengos pergi meninggalkan wanita itu yang terbengong – bengong akan sikapnya yang tidak biasa.
Ruang Kesenian
Bau khas cat air dan beberapa elemen penting lainnya yang sering di gunakan dalam melukis membuat ruangan itu berbeda untuk hari ini. Albert sudah berada di depan kertas kanvas untuk melukis sesuatu namun, kuasnya sama sekali belum bergerak dari tangannya. Sesekali dia menghela nafas dan menggoreskan kuasnya sebentar di kertas kanvasnya, namun langsung menyobekkan lagi dan membuangnya menggantikan dengan yang baru.
“Jangan membuang kertas kanvas seenakmu saja, Albert” ketus Dino_sang ketua klub Melukis, melihat tingkah salah anggota klubnya yang spesial itu.
Albert tidak menanggapi perkataan sang ketua masih menatap papan penopang dengan kertas kanvas di depannya yang masih putih polos.
“Baru kali ini aku melihatmu memegang kuas lagi setelah beberapa bulan lalu kau mengatakan bahwa ingin istirahat sejenak untuk melukis” ujar Dino panjang duduk di sebelah Albert melukis dengan gayanya sendiri.
“Gue udah dapat inspirasi, namun belum mendapatkan gambaran seperti apa yang akan gue lukis nanti” balas Albert masih menatap kanvas putih di depannya.
“Jangan terburu – buru, tidak seperti dirimu saja. Banyak hal yang bisa kau gambarkan dengan sesuai isi hatimu Albert, tidak usah memaksakan sesuatu yang bukan kau pikirkan” tukas Dino lagi, menaruh kuasnya dan menatap Albert memberikannya semangat.
Pikiran Albert tertuju pada Refly, namun mengkhayalkan sesuatu yang belum pernah ia lihat sama sekali pada diri Refly, yaitu menari balet. Sesuatu yang sulit untuk Albert gambarkan, karena ekspresi Refly yang berbeda ketika membicarakan balet seperti seakan – akan ingin mengakhirinya saja. Seperti tersengat sesuatu, Albert mendapatkan sebuah cara agar Refly mau memperlihatkan tarian baletnya kepadanya.
***
“Ref, hari ini mau ngerjain tugasnya di rumah gue ?” tanya Albert mengepakkan buku – bukunya masuk ke dalam tas.
Refly terdiam sebentar menatap Albert, namun tidak ada ekspresi di wajahnya lalu menatap arloji yang berada di tangan kirinya.
“Lebih cepat lebih baik, kita selesain tugasnya, lagipula lo nggak ada acara apa – apa ‘kan ?” tanya Albert lagi sudah siap dengan tas selempangnya dan berdiri di hadapan Refly.
“Aku tidak mengganggu, Al ?” tanya Refly balik.
“Nggak, gue seneng bisa ngajak lo datang ke rumah gue, sekalian mampir” jawab Albert lugas.
Refly hanya mengangguk pelan, lalu mereka berdua keluar dari kelas dan berjalan keluar ke arah parkiran sekolah.
“Albert !! Pulang bareng dong !” sahut seseorang mengagetkan mereka berdua yang sudah siap – siap ingin pergi.
“Sorry Len, gue pengen ngerjain tugas sama Refly di rumah gue, jadi lo balik sendiri aja ya” balas Albert dari helm kacanya dan melajukan motornya meninggalkan area sekolah.
“Aku jadi tidak enak, pacarmu di tinggal seperti itu ?” tanya Refly dari belakang dengan wajah polosnya.
“Apa ? Lena bukan pacar gue, dia teman gue sejak kecil, lagian dia udah punya pacar di sekolah” jawab Albert agak keras karena motor sedang berjalan dengan cepat, Refly tetap terdiam memeluk Albert dari belakang.
Rumah bertingkat dua yang cukup sederhana tanpa kesan mewah namun asri, itulah yang di lihat Refly sekarang. Mirip seperti lukisan yang di buat oleh Albert ketika Refly melihatnya waktu itu di ruang kesenian, mungkin ini inspirasinya saat membuat lukisan tersebut, batin Refly.
“Ayo masuk, orangtua gue masih ada di luar kota jadi sekarang gue cuman tinggal berdua sama kakak perempuan gue” ujar Albert yang sudah memarkirkan motor besarnya di sebuah garasi.
“Kak Shinta, gue pulang !!” sahut Albert dari pintu masuk dan terlihat sebuah ruang tamu yang cukup luas.
Albert berlalu ke atas menuju kamarnya setelah mengatakan pada Refly agar duduk dulu di ruang tamu sebelum mengerjakan tugas. Beberapa menit kemudian, terdengar sayup – sayup sebuah alunan lagu Eine Kleine Nacht karya Mozart dari arah ruangan yang cukup besar di sebelah kanan Refly yang di tutupi oleh jendela berwarna putih dan tidak terlihat dari luar. Refly penasaran dan mulai berjalan ke arah ruangan tersebut, membuka pintunya dan membuatnya sangat terkejut.
Para penari balet di ruangan itu sedang melakukan lima gerakan dasar kaki dalam balet. Pertama, kedua tumit bersentuhan dan ujung kaki mengarah ke luar, posisi kedua, dua tumit terpisah dengan jarak sekitar satu kaki. Berat badan terbagi antara kedua kaki. Ketiga, salah satu kaki berada di depan kaki yang lain, tumit berada di depan dan menyentuh bagian dalam kaki belakang. Posisi keempat, salah satu kaki berada di depan kaki yang lain dengan jarak sekitar satu kaki, dan yang terakhir salah satu kaki berada sejajar di depan kaki lain, tumit kaki depan satu garis dengan ujung jari kaki belakang.
Alunan lagu berikutnya para penari melakukan plié. Pada gerakan plié, berat badan harus selalu di bagi pada kedua kaki. Plié merupakan gerakan yang penting bagi pebalet, karena gerakan ini selalu di gunakan sebelum dan sesudah meloncat maupun melompat. Plié juga memberikan kemampuan untuk mendapatkan ketinggian yang lebih pada saat meloncat. Selain itu, plié juga memberikan kemudahan dan keringanan tubuh. Kenangan masa lalu yang ingin di lupakan oleh Refly kembali menguasai pikirannya, namun lamunannya terhenti karena seseorang memanggil namanya.
“Ref, kenapa ?” tanya Albert yang sudah berdiri di sebelahnya.
Refly masih terdiam menatap ke arah ruangan itu.
“Albert siapa itu ? Eh, bukannya ... ?” kaget Shinta melihat Refly.
“Ini Refly kak teman sekelas, gue ngajak dia buat ngerjain tugas” balas Albert memperkenalkan Refly pada Shinta.
“Refly Hermawan ? Penari balet yang terkenal itu ‘kan ? Kenalin namaku Shinta, kakak perempuan Albert, saya penggemar berat kamu” riang Shinta menyalami tangan Refly yang dingin masih mematung tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Para penari balet yang lain langsung mendekat ketika mendengar nama Refly di sebut dan mengerubunginya. Albert bingung menatap Refly yang tidak bergerak sama sekali dari tempatnya tidak menggubris semua pertanyaan yang meluncur untuknya.
“Ref, lo kenapa ? Sakit ?” tanya Albert khawatir,
“A .... Aku pulang saja” jawab Refly singkat langsung berlalu dari kerumunan orang yang mengelilinginya juga Albert yang terkejut langsung mengejar Refly dan menahan tangannya.
“Tunggu Ref, lo ... ?” kaget Albert yang melihat Refly terduduk tiba – tiba dan tubuhnya bergetar hebat.
***
Kamar yang tidak seberapa luas, namun cukup nyaman juga terdapat banyak gambar – gambar atau sebuah lukisan yang di buat oleh pemilik sang kamar. Albert memberikan sebuah cangkir kecil berisi teh hangat kepada Refly yang terduduk di pinggir ranjangnya. Refly mengambilnya dari tangan Albert masih dengan sedikit gemetar, meniup sebentar hawa panas yang keluar dari cangkir tersebut lalu meminumnya perlahan. Albert duduk di sebuah kursi meja belajar dekat ranjangnya menghadap ke arah Refly yang masih menundukkan kepala.
“Sorry, gue nggak nyangka lo begitu bencinya sama balet” ujar Albert pelan memulai pembicaraan mereka yang terasa hampa.
Refly tersentak sedikit dan menurunkan pelan cangkir yang berada di genggam kedua tangannya.
“Nggak usah minta maaf Al, .... , Chorophobia ( takut menari ), sejak SMP aku sudah mengidap phobia itu, terutama kepada balet” balas Refly pelan dengan jeda sebentar.
“Chorophobia ? Gue baru dengar phobia itu, jadi karena hal ini lo berhenti menari balet ?” tanya Albert penasaran, namun langsung berhenti berbicara ketika tahu sifat Refly yang belum terbuka padanya.
“Sorry lagi, nggak apa – apa kalau lo nggak mau cerita, yang penting lo udah nggak gemetar lagi ‘kan ?” lanjut Albert menyentuh pundak Refly yang sudah agak tenang.
“ .... , Bukannya kamu siswa melukis ya, Al ? Kenapa ada sanggar balet di rumahmu ?” tanya Refly melirik ke arah Albert yang menatapnya balik.
“Kakak perempuan gue seorang balerina jadi sudah jelas ‘kan alasannya kenapa di rumah gue ada tempat latihan balet ? Lagian gue juga sering latihan balet di sana” jawab Albert tenang mencoba mengajak Refly berbicara lebih banyak.
Refly terkejut dan hampir melepas pegangan cangkir teh yang berada di genggamannya, melihat ekspresi pertama dari Refly tersebut membuat Albert senang.
“Gue bukan penari balet, hanya senang menari saja sekaligus melatih badan agar tetap bugar dan sehat daripada ke fitness center. Cuman melukis yang sekarang gue lakukan dan itu adalah talenta gue” jelas Albert mengerti ekspresi dari Refly yang tetap datar namun menunjukkan sebuah pertanyaan.
“Aku minta maaf karena ketidak sopananku tadi di hadapan kakakmu sama murid – muridnya” tukas Refly memberikan cangkir tehnya yang sudah kosong pada Albert.
“Nggak usah di pikirin, kakak gue emang rada norak jadi maklumlah. Selain itu gue berharap bisa melihat lo menari balet lagi, Ref” balas Albert yang membuat Refly menatap Albert terkejut.
“Ngg .... , Sorry gue udah kelewatan, tunggu di sini kita lanjutin tugas kelompok sehabis gue nyuci kedua cangkir ini” lanjut Albert lagi dengan wajah memerah sambil berdiri dan membawa cangkir teh bekas di pakai oleh mereka berdua.
Albert turun ke bawah menuju dapur untuk mencuci cangkir teh yang kotor sehabis di pakai tadi. Namun di depan pintu dapur Shinta berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya, seperti menunggu penjelasan dari sang adik.
“Ada apa kak ? udah selesai latihan baletnya ?” tanya Albert masuk ke dalam dapur tidak menghiraukan kakaknya.
“Setahu kakak Refly tinggal di Bandung, kenapa dia ada di Jakarta ?” tanya balik Shinta berbalik menghadap adiknya yang sedang mencuci cangkir di wastafel.
“Gue nggak tahu, mungkin saja dia punya urusan di sini” jawab Albert acuh tak acuh.
Shinta menghela nafas pelan, melihat sikap adiknya yang selalu tidak peduli. Namun, baru kali ini dia melihat Albert membawa seorang teman ke rumahnya, pasti bagi Albert, Refly adalah orang yang istimewa baginya.
“Aku tidak menyangka kau membawa seorang teman ke rumah, yang aku tahu selama ini hanya Lena yang sering datang ke sini, itupun sudah jarang” ujar Shinta lagi.
Albert tidak menanggapi perkataan kakaknya, dia langsung menaruh cangkir yang sudah bersih ke tempatnya semula dan mengelap tangannya sehabis mencuci tadi, lalu segera beranjak pergi dari dapur, namun langkahnya terhenti ketika mendengar ucapan kakaknya.
“Meskipun kakak sudah tahu orientasi seksualmu yang berbeda, kakak jarang melihatmu bersosialisasi dengan seusiamu. Kakak senang kau sedikit berubah minggu – minggu ini, tidak pernah terpikirkan olehku kau membawa orang terkenal ke rumah. Menurut kakak, Refly adalah orang yang cukup sulit terbuka, mungkin kau bisa mengajaknya sering datang ke rumah seperti saat ini” tukas Shinta panjang sambil menepuk bahu Albert pelan dan kembali ke ruangan latihan baletnya.
Albert hanya mematung mencerna ucapan kakaknya barusan, dia harap bisa melihat Refly menari lagi, sebelum kompetisi melukisnya di akhir tahun nanti.
Bersambung. . .

0 komentar:

Posting Komentar