ONE IN A MILLION part 5


BY : Sa-Chan

Pertemuan pertama Albert dengan Roan cukup singkat, karena hari sudah tengah malam, akhirnya Albert meminta ijin langsung pulang dan berlalu dari apartemen Refly. Roan adalah adik dari ibunya Refly yang sudah meninggal beberapa tahun lalu, seharusnya Refly memanggilnya paman, namun usia Roan yang masih di bilang cukup muda akhirnya Roan meminta kepada Refly agar menganggapnya sebagai kakak saja. Ketika ibunya meninggal, Refly sudah di asuh oleh Roan sedangkan ayah kandungnya sudah meninggal ketika ia di lahirkan. Refly sudah tidak memikirkan tentang ayahnya, sejak lahir Refly memang tidak pernah melihat ayahnya.

“Waktu di telepon kemarin, kakak mengatakan akan datang ketika bulan Desember ?” tanya Refly datang membawa secangkir teh kepada Roan.

“Ternyata pekerjaanku selesai lebih cepat, jadi kukira lebih baik aku langsung menemuimu datang ke Jakarta” jawab Roan menyeruput teh buatan keponakannya tersebut.

Refly hanya mengangguk pelan duduk di samping Roan.

“Kau sudah mempunyai teman di sekolah barumu ?” tanya Roan balik menatap wajah Refly antusias.

Refly terkejut Roan berbicara menanyakan hal itu, kembali Refly hanya menganggukkan kepala.

“Tidak usah malu, aku senang kau bisa beradaptasi dengan lingkungan barumu, lupakan masa lalu ya Ref ?” ujar Roan lagi mengelus rambut Refly yang panjang.

“Aku ikut klub Balet kak” ujar Refly pelan tapi terdengar jelas oleh Roan.

Roan membelakakan matanya sangat terkejut dengan pernyataan Refly barusan.

“Hei, kau tidak apa – apa dengan hal itu ? Bukankah kau mempunyai phobia ? Jangan di paksakan Ref” tukas Roan langsung memeluk Refly erat.

“Aku baik – baik saja, Albert mengatakan akan berusaha menyembuhkan phobiaku jadi aku percaya padanya, meskipun penyebab utamanya dia belum tahu” balas Refly tenang agar Roan tidak khawatir padanya.

Roan kembali di kejutkan dengan perkataan Refly tersebut,

“Aku tidak mengira kalian sudah sedekat itu ? Aku senang kau bisa mengandalkan orang lain selain diriku Ref, ini kemajuan besar” balas Roan riang melepaskan pelukannya dan menatap Refly sumringah.

Wajah Refly memanas mendengar ucapan pamannya itu, Refly belum terlalu sadar bahwa dirinya sudah cukup terikat oleh Albert.

***

Suasana di klub Balet pagi ini sudah cukup ramai, karena Refly dan Albert sudah memulai latihan pertama mereka di klub tersebut. Mayoritas anggota klub Balet memang perempuan semua dan hanya Albert dan Refly siswa pria pertama yang mengikuti klub Balet. Sudah tersebar ke seluruh sekolah juga menjadi bahan gosip untuk para murid – murid lainnya. Namun Albert tidak pernah menanggapinya hanya acuh saja tidak mendengarkan ejekan yang di lemparkan oleh beberapa murid yang tidak tahu akan seni balet. Refly juga tidak mengacuhkan hal itu, bahkan wajahnya selalu terlihat datar ketika ada yang mengatainya, tetapi Albert selalu membelanya dan terkadang adu mulut.

“Kenapa gerakannya di ulang – ulang terus sih Ref ?” keluh Albert menarik nafas setelah selesai melakukan lima gerakan dasar kaki pada balet.

“Iya Ref, bukannya kita mau mulai dengan beberapa gerakan untuk pensi bulan depan ?” sambung Vina mengelap peluhnya yang sudah bercucuran turun.

“So ... Sorry, aku hanya melihat gerakan dasar kaki kalian masih kurang sempurna, itu saja kok” balas Refly menundukkan kepalanya sambil memainkan kuku – kuku jarinya.

Melihat hal itu Albert jadi salah tingkah, lalu mendekat ke arah Refly memegang kedua bahunya.

“Nggak apa – apa, gue bakalan dengerin semua perintah lo kok, jadi jangan kecil hati ya ? Ayo ulang lagi Vin, sampe Refly bilang gerakan kaki kita udah sempurna” sahut Albert kembali ke posisinya dan memulai gerakan tadi berulang – ulang bersama Vina dan beberapa anggota klub Balet lainnya.

Refly melihat Albert seperti bercermin ke arah dirinya saat kecil dahulu, yang sangat terobsesi dengan balet. Namun sekarang semuanya sudah tidak ada artinya lagi, bahkan sebagus apapun dia berusaha dalam balet, pujian yang sering di lontarkan oleh seseorang yang selalu di banggakannya sudah tidak ada lagi.

“Oke itu sudah bagus Al, mau lanjut lagi ?” ujar Refly melihat gerakan Albert yang sudah leluasa dengan irama kakinya.

Albert sama Vina juga beberapa anggota lainnya langsung terduduk di lantai sambil mencoba menarik nafas kuat – kuat, hampir enam jam mereka berlatih dengan gerakan yang sama terus. Kebetulan hari ini hari minggu jadi mereka semua tidak khawatir dengan penjaga sekolah yang selalu ribut akan pemakaian ruangan yang terlalu berlebihan hingga pulang jam sekolah.

“Gila, kaki gue serasa melayang, nggak ada rasanya lagi Vin. Baru kali ini gue latihan, bener – bener balet itu harus menunjang kesempurnaan banget” ujar Albert memijat – mijat kakinya yang di selonjorkan.

Vina hanya tertawa lebar, melihat sikap Albert yang tidak biasanya seperti itu.

“Baru tau lo kesengsaraan seorang balerina belajar balet ?” imbuh Vina melakukan hal yang sama seperti Albert.

Albert hanya menyengir lebar, tidak biasanya dia latihan seberat ini seperti yang selalu dia lakukan di rumahnya. Ternyata Refly benar – benar seorang penari balet profesional tidak heran latihan pertama seberat ini, bagaimana jika ingin mengikuti kompetisi internasional ? Albert tidak bisa membayangkannya.

“Dari tadi ngeliatin Refly aja ?” sahut Vina menepuk bahu Albert yang membuatnya tersontak kaget.

“Ma ... Maksud lo ?” gugup Albert meminum minuman yang tadi di belikan oleh Refly yang sedang membagi – bagikan minuman lainnya pada anggota klub lainnya.

“Nggak usah ngeles, muka lo mupeng gitu lagian gue terbuka soal hubungan yang “cukup terlarang” untuk sebagian besar orang pikir” balas Vina tenang meminum minumannya juga sedikit melirik ke arah Albert yang melotot ke arahnya.

“Kalian berdua lagi ngomongin apa ?” sambung Refly yang membuat Albert terkejut.

“Nggak apa – apa kok Ref, lanjut yuk latihannya” balas Vina berdiri dan menarik Refly ke tengah podium lagi, di ikuti oleh Albert dari belakang.

“Untuk pensi bulan depan, kita hanya akan menampilkan beberapa posisi balet dalam ballet lesson, yaitu kombinasi gerakan dari Fifth Position, Téndéu ke samping, pindahkan kaki ke belakang, Fourth Position, plié, dan terakhir retiré ” ujar Refly menerangkan.

“Kenapa nggak sebuah drama klasik aja Ref ?” tanya Vina menawarkan idenya.

“Kita kekurangan anggota, jadi untuk menampilkan balet klasik cukup susah dan kurasa walaupun hanya ballet lesson yang di tampilkan akan menjadi pertunjukkan yang spektakuler karena Albert akan menjadi pemeran utamanya bersama Vina” jawab Refly lugas menatap Albert yang berada di depannya dan membuat beberapa anggota klub itu bersorak riuh.

“Kenapa lo nggak ikut juga Ref ?” tanya seorang anggota klub mengacungkan tangannya dan membuat semua mata memandang ke arah Refly.

Refly hanya diam mendengar pertanyaan itu tidak tahu harus menjawab apa.

“Udah jangan bahas itu ya, sampai pensi bulan depan Refly hanya akan menjadi pelatih untuk klub ini” sambung Albert maju ke depan berusaha mengurangi atmosfer yang mulai tegang di sana.

“Aku ke kamar mandi dulu, lanjutkan latihannya ya Al” tukas Refly berusaha tersenyum dan langsung meninggalkan auditorium tempat mereka berlatih.

“Memangnya kenapa Refly nggak ikutan nari Al ? Sepertinya ada sesuatu ganjil di sini” selidik Vina menatap Albert.

Albert mengambil nafas sejenak,

“Mumpung orangnya lagi nggak ada di sini gue cuman pengen bilang dia punya phobia menari, itu dia sendiri yang ngomong ke gue. Tapi kalian nggak usah terlalu heboh ya, cukup diam saja dan gue janji bakal bikin dia menari balet lagi” jelas Albert panjang lebar dengan mimik serius.

Semua orang di sana menganggukkan kepala tanpa berkata sepatah katapun pertanda mereka bahwa mengerti dengan penjelasan Albert tersebut.

***

“Kenapa setelah aku kembali dari kamar mandi dan melanjutkan latihan, mereka semua menjadi diam dan tiba – tiba serius latihan bahkan meminta overtime ?” tanya Refly pada Albert ketika dalam perjalanan pulang.

Albert tertawa cukup keras membuat Refly bertanya – tanya,

“Sebagian orang mempunyai semangat untuk memperbaiki dirinya dan mereka semua di sana membuat lo menjadi teladan dalam berlatih balet” jawab Albert turun dari motornya karena sudah sampai di depan apartemen Refly.

“Benarkah ? Kukira mereka semua bosan dengan cara latihanku” ujar Refly lagi polos.

“Bosen darimana ? Latihan lo itu benar – benar efektif, pose semua anggota menjadi lebih sempurna di bandingkan sebelum lo ngajar mereka. Vina benar – benar memuji bakat lo Ref, jadi bersemangatlah” balas Albert mengelus rambut Refly yang panjang.

Refly terdiam menatap Albert ke dalam bola matanya, lalu mendekat ke arahnya lalu memeluk Albert erat. Sedangkan yang di peluk sangat terkejut melihat sikap Refly yang tidak biasa seperti itu.

“Aku berhutang padamu Al, beberapa minggu ini aku sudah tidak terlalu membenci balet lagi, tapi aku masih tidak yakin apakah masih bisa menari lagi apa tidak” ujar Refly pelan.

Albert mendengar hal itu dadanya makin berdebar kencang, keberadaannya di sisi Refly ternyata membuatnya berhasil maju selangkah untuk menghilangkan phobia yang di alami oleh Refly tersebut. Albert merasa pertahanannya runtuh dia tidak bisa membohongi perasaannya lagi, dia benar – benar menyukai Refly dari lubuk hatinya yang paling dalam. Aroma segar yang keluar dari tubuh Refly langsung di hirup kuat – kuat oleh Albert bahkan tidak mau sedetikpun aroma tersebut hilang begitu saja.

“Gue senang bisa berguna buat lo Ref, tapi gue nggak akan maksa lo buat menari lagi atau tidak. Refly tetaplah seorang Refly meskipun tidak menari balet lo tetep diri lo sendiri” balas Albert memeluk tubuh Refly yang kecil erat.

Albert merasa di dadanya Refly sedang menangis sesengukan karena bahunya yang terlihat bergetar dan seragamnya yang serasa basah. Albert tetap memeluk Refly erat berusaha memberikan dirinya untuk Refly menangis sepuasnya agar beban yang selama dia simpan selama ini bisa keluar dengan lega.

Perasaan yang muncul tiba – tiba di benak Albert membuatnya makin ingin mempelajari balet lebih dalam bahkan salah satu impiannya selain melukis adalah bersanding dengan Refly di panggung pentas balet, menari berdua dengan senang tanpa kegelisahan sedikitpun di dalam diri mereka masing – masing.

Bersambung . . .

0 komentar:

Posting Komentar