ONE IN A MILLION Part 10


By : Sa-Chan.

Tak terasa sudah memasuki pertengahan November dan lusa adalah kontes menari balet yang akan di adakan di Bandung. Para member di klub Balet selalu mengambil take overtime dan berusaha mati – matian agar gerakan mereka menjadi sempurna. Latihan eksekusi yang di berikan oleh Refly benar – benar efektif, semua member sudah mempunyai bentuk dan kepribadiannya masing – masing. Program diet yang di kerjakan oleh Vina untuk membuat berat tubuhnya menjadi idealpun berjalan dengan lancar, karena dalam grand pas de deux cukup banyak kombinasi lifting penari balet wanita oleh penari balet prianya.

Sebenarnya Refly tidak mempermasalahkan hal itu, namun Vina yang memintanya sendiri jadi dia tidak bisa berbuat apa – apa.

“Oke latihannya sempurna” sahut Refly setelah alunan lagu terakhir habis di akhiri oleh gerakan ucapan salam dalam balet.

Vina memberikan handuk untuk mengelap keringat Refly yang bercucuran deras dari tubuhnya.

“Gila sumpah keren banget Ref, gue nggak sabar buat kontes lusa” ujar Vina bersemangat masih menggerak – gerakkan tubuhnya.

Refly hanya tersenyum pelan melihat perubahan di dalam klub Balet itu, semua orang menjadi penuh perjuangan dan tidak mau gagal dalam kontes satu ini. Meskipun balet memang masih sangat jarang sekali di minati oleh banyak orang karena latihannya yang memang cukup berat dan cukup menyiksa. Apalagi untuk penari balet pria di Indonesia yang sangat jarang sekali bahkan tidak ada, hanya satu saja penari balet pria dari Indonesia yang sudah mendapat penghargaan internasional, yaitu Michael Halim. Refly sangat mengaguminya, bahkan berniat ingin go international juga seperti Michael.

“Simpan tenagamu untuk lusa Vin, semua akan baik – baik saja” balas Refly meminum air yang tersedia di klub itu.

“Gue tahu karena sekolah kita punya lo, pasti di kontes lusa pada heboh karena lo menari balet lagi Ref” tukas Vina lagi duduk di sebelah Refly.

“Tapi kenapa sih lo nggak mau Albert ngeliat latihan kita ?” tanya Vina penasaran.

“Itu rahasia” jawab singkat Refly, makin membuat Vina bingung.

“Tenang saja Vin, lusa kau akan segera tahu” lanjut Refly tidak menatap Vina masih sibuk dengan minumannya.

***

Suara alunan lagu musik klasik masih terdengar merdu melantun di ruangan klub Balet, langkah kaki yang sunyi dan terampil masih menapaki lantai kayu yang menutupi seluruh ruangan klub Balet tersebut. Sejenak Refly mengambil nafas dan mengulang kembali tarian yang barusan dia lakukan, peluh yang bercucuran tidak membuatnya berhenti untuk menari kembali. Tiba – tiba ada suara tepuk tangan yang memenuhi ruangan klub tersebut. Refly langsung menoleh ke arah suara itu dan cukup terkejut melihat siapa yang datang.

“Endo ?” kaget Refly.

“Lo nari balet lagi ? Nggak nyangka sejak pemberitaan beberapa tahun lalu, gue kira lo bakalan trauma gara – gara kematian nyokap lo” ujar Endo mendekat ke arah Refly yang berdiri mematung mendengar pernyataan dari sahabat lamanya itu.

“Tidak usah ikut campur urusanku” balas Refly datar tetap tenang.

“Kenapa lo berubah secepat itu Ref ? Ada seseorang yang bikin lo menjadi ingin nari balet lagi ? Apa mungkin, ... ?” lanjut Endo tidak melanjutkan ucapannya seperti membayangkan seseorang yang bisa membuat Refly merubah pikirannya tentang balet.

Refly tidak menjawab perkataan dari Endo mematikan musik yang berada dekat dengannya dan bersiap – siap untuk keluar dari ruangan tersebut, tapi Endo langsung menahan tangan Refly.

“Lo nggak takut akan bernasib sama dengan ibumu ? Menelantarkan seseorang yang di cintai hanya untuk balet ?” tanya Endo berbisik di telinga Refly.

“Lepaskan tanganku” ucap Refly berusaha melepaskan genggaman tangan Endo.

“Jangan lari dari kenyataan Ref, gue tahu lo nggak bakalan bisa lepas dari bayangan nyokap lo. Semua hal tentang balet yang lo pelajari itu semuanya dari video nyokap lo, ingat itu Ref” tukas Endo lagi agak keras.

“Albert hanya penganggu yang masuk ke dalam kehidupan lo, dia itu nggak bakalan bisa mengerti tentang diri lo. Meskipun dia tahu tentang balet, itu hanya karena kakaknya saja tidak lebih, sadar Ref kenapa lo pindah dari Bandung ke Jakarta beberapa bulan lalu ?” lanjut Endo lagi membalikkan tubuh Refly ke arahnya.

Refly masih terdiam tidak menjawab hanya menatap Endo datar.

“Sudah selesai, En ?” tanya Refly balik.

Endo mengerutkan keningnya bingung, lalu dengan kasar Refly menarik tangannya dari Endo dan berlalu dari ruang klub Balet meninggalkan Endo sendirian.

“Refly !!” sahut Endo namun bayangan Refly sudah menghilang dari balik pintu klub tersebut.

Refly berlari menuju keluar sekolah untuk menemui Albert yang sudah menunggunya seperti biasa. Endo memang sahabat sejak kecil Refly ketika masih di Bandung dulu. Dia mengetahui semua kehidupan Refly sejak kecil, bagaimana sifat dan kebiasaan dari Refly. Kenangan masa lalu yang hampir di lupakannya beberapa minggu ini kembali muncul karena perkataan Endo barusan. Keraguan dalam hatinya timbul dan mulai merasuki hatinya lagi, masa lalunya bagaikan sebuah duri yang tidak akan pernah hilang. Airmatanya kembali keluar tanpa di sadarinya, Refly mengelap airmatanya supaya tidak terlihat oleh Albert.

“Refly !!” panggil Endo dari arah belakang mengejar Refly.

Refly tidak menoleh malah berjalan cepat menuju Albert yang sudah melihatnya dari gerbang sekolah sambil melambaikan tangan. Dengan cepat Refly langsung memeluk Albert erat dan tidak menghiraukan panggilan – panggilan dari Endo di belakangnya.

“Kenapa Ref ?” tanya Albert bingung dengan muka memerah tapi langsung merubah mimiknya tegang melihat Endo datang.

“Ngapain lo di sini ?” lanjut Albert sinis.

“Gue ada perlu sama Refly, tolong bisa tinggalkan kami berdua ?” jawab Endo tenang.

Albert melihat ke arah Refly yang masih memendam kepalanya di dadanya tidak berkata apa – apa, namun dia merasakan seragamnya yang agak basah dan dia tahu Refly sedang menangis.

“Dia nggak mau, jadi sebaiknya lo pergi” ujar Albert merangkul Refly dan bersiap pergi dari sana.

Tapi Endo langsung berteriak ke arah Albert.

“Lo nggak usah ikut campur kehidupan Refly Al, dia nggak bakalan bisa mengikuti jejak ibunya lagi. Lo nggak bakalan ngerti apa – apa tentang kehidupan Refly !” sahut Endo memperingatkan Albert.

Albert tercengang mendengar perkataan dari Endo tersebut. Melihat ke arah Refly yang tetap menunduk dan memeluk lengan kiri Albert erat masih belum berani menatapnya.

“Lo nggak tahu kehidupan masa lalunya Refly, dia pindah ke Bandung ke Jakarta ini untuk menghindari semua tentang Balet. Lo nggak tahu perjuangannya Refly selama ini untuk melupakan perbuatan ibunya di masa lalu terhadap ayah dan dirinya, tapi lo merusak semua itu, Al” lanjut Endo lagi keras membuat beberapa siswa yang masih belum pulang menjadi memperhatikan mereka.

Refly makin erat memeluk lengan Albert dan berusaha menariknya untuk keluar dari sekolah dan tidak memperdulikan perkataan dari Endo. Albert melihat Refly hanya terdiam dan melepaskan tangan Refly pelan, Refly melihat hal itu heran dan mengelap sisa airmatanya dari pipinya, lalu Albert berbalik ke arah Endo.

Albert berjalan ke arah Endo yang melihatnya terkejut dan mundur selangkah mengira – ngira apa yang akan terjadi.

Dengan gerakan cepat Albert langsung melayangkan tinjunya ke arah wajah Endo yang mulus dan tubuh Endo mendarat dengan kasar ke atas tanah. Albert mengelus kepalan tangannya yang cukup sakit karena tidak pernah memukul dengan lengan kirinya.

“Nggak usah banyak bicara lo, meskipun gue baru kenal Refly beberapa bulan, itu nggak ada urusannya sama lo ngerti ?” ujar Albert lantang sampai membuat kaget Refly dan beberapa siswa yang masih menonton di sana.

“Gue nggak pernah mempermasalahkan masa lalunya Refly atau kehidupan dia dulu. Sekarang gue hanya melihat Refly yang sudah berubah dan menyukai balet karena bukan pengaruh dari ibunya. Meskipun Refly nggak suka sama balet lagi, gue nggak peduli karena gue suka sama dia itu apa adanya, karena kepribadiannya dan bukan juga masa lalunya atau tetek bengek lainnya. Ingat Endo, kalau lo gangguin Refly lagi, gue nggak bakalan ragu – ragu buat bikin lo nyesel” lanjut Albert panjang dan menarik Refly yang masih terbengong – bengong dari sana keluar sekolah.

Di dalam perjalanan pulang Albert tetap terdiam dan Refly menatap Albert intens.

“Kenapa ngeliatin gue terus Ref ?” tanya Albert akhirnya menyerah tidak bersuara sama sekali dari tadi.

Refly tidak berkata apa – apa hanya menarik tangan kiri Albert dan membalikkan telapak tangannya sehabis memukul Endo tadi, mengambil tissue basah yang sering dia bawa dan mengelap tangannya. Albert terdiam melihat sikap Refly yang sama sekali belum berbicara sedari tadi, masih menunggu dengan sabar.

“Maafkan aku yang masih meragukan ketulusan hatimu, Al” ujar Refly agak berbisik, namun Albert mendengarnya dengan jelas.

“Udah pernah gue bilang ‘kan, mau selama apapun itu gue akan tetap menunggu hati lo agar sepenuhnya terbuka buat gue, Ref” balas Albert tenang.

“Nggak usah khawatir, semuanya akan baik – baik saja. Sejak pertama lo emang udah mengisi hati gue bukan karena keinginan gue melihat lo nari balet lagi. Bahkan sekarang gue pengen ngeliat lo tersenyum lagi sama gue kayak waktu itu dan bikin hati gue berdebar kencang” lanjut Albert menggenggam tangan Refly.

Refly tersenyum kembali dan membuat Albert kaget, lalu mencubit pipi Refly gemas.

Why do you spend all your time.
Watching life pass you by.
Hanging on to your pride.
All that you can anticipate.
Hoping all your mistake will somehow fade away.

What are you to do with this.
It’s either hit or miss.
You know the answer now.
Come on, give your heart away.
I know you hurt inside.
I know the reason why.
Don’t wait a moment.
Come on and give your hear away.

Why the hesitation.
You can pick your destination.
And the risk is so worth taking.
Can you hear me.

Refly kembali mengunjungi rumah Albert, karena hari ini semua perban luka yang ada di lengan kanan Albert akan di buka semua. Ketika memasuki pekarangan rumah, Albert cukup terkejut karena ada sebuah mobil yang lumayan dia kenal.

“Kau sudah pulang Al ?” tanya seorang wanita paruh baya yang mengagetkan Albert dan Refly ketika mereka masuk ke dalam rumah.

“Ibu sudah pulang ?” balas Albert menyalami sang ibu dan ayah bergantian yang duduk di sebelah ibunya.

“Maafkan kami yang baru bisa kembali hari ini dan lagipula Shinta mengatakan sesuatu yang cukup membuat kami ingin pulang secepatnya” jawab ibunya.

Albert melirik Shinta yang sudah duduk di sofa lain.

“Apakah ini pacarmu yang di ceritakan oleh Shinta pada kami ?” sambung sang ayah mengagetkan Albert dan Refly.

“Tidak usah kaget begitu, kami sudah tahu semuanya Al, begitu juga dengan Refly” senyum ibunya menatap ke arah Refly yang langsung menundukkan kepalanya takut.

“Kakak menceritakan semuanya ?” imbuh Albert yang menatap galak kakaknya.

Shinta hanya menganggukkan kepala tenang sambil meminum secangkir teh yang sudah tersedia.

“Maaf jika membuat kalian kecewa jika aku seperti ini, tapi aku tidak mau mengelak karena aku sangat mencintai Refly, bu” ujar Albert sambil mengenggam tangan Refly yang berkeringat dingin dan gemetar.

“Lalu ?” balas sang ayah yang makin membuat Albert bingung.

“Bagaimana keadaan tangan kananmu ? Kau sudah bisa melukis lagi ?” lanjut sang ayah mengalihkan pembicaraan.

“Hari ini perbanku akan di buka semua, ayah jangan khawatir aku akan tetap melukis dan tidak akan berubah pikiran” jawab Albert cepat lalu menatap kembali ayahnya menunggu kelanjutan dari ucapan sang ayah.

“Se .... Sebaiknya aku pulang dulu ya, Al” bisik Refly pelan.

“Nggak, lo nggak boleh pulang Ref” balas Albert kencang menahan tangan Refly.

Sejenak suasana hening tidak ada yang berbicara, kemudian sang ibupun angkat suara.

“Apakah ini anak dari keluarga Hermawan ?” tanya ibu Albert berdiri di hadapan Refly menatapnya lembut.

“Kenapa ibu bisa tahu ?” tanya Albert balik.

“Shinta memberitahukan nama lengkap Refly yang membuat kami terkejut, keluarga Hermawan adalah nasabah favorit kami dulu ketika masih bekerja di sebuah bank swasta” jawab sang ibu mengangkat tangan Refly satunya.

“Pak Hermawan adalah seorang pengusaha kecil namun berbakat, tiap bulan dia akan datang ke bank kami untuk menyetor semua pendapatannya. Lalu dia berkata, “anakku akan segera lahir, jadi aku harus menyiapkan banyak uang untuknya” kami sangat terharu mendengarnya dan dia akan selalu membawa bunga kepada semua staff bank ketika datang” lanjut sang ibu.

“Tetapi sehari sebelum istrinya melahirkan, pak Hermawan meninggal karena penyakitnya yang makin memburuk. Beberapa bulan kemudian kami mendengar istrinya meninggalkan sang anak sendiri di sini dan pergi ke Perancis untuk mewujudkan cita – citanya menjadi ballerina terkenal. Tadinya kami ingin mengadopsi anak pak Hermawan, namun sudah di bawa terlebih dahulu oleh kerabat dari istrinya” sambung ayah Albert panjang.

Albert dan Refly tidak menduga akan mendengar semua cerita ini dari mereka.

“Kebahagiaan seseorang itu tidak di ukur dari seberapa banyak dia mengumpulkan kekayaan atau memberikan yang terbaik kepada orang lain. Tapi kebahagiaan itu berasal dari ketulusan hati dan tentu saja hanya kau yang bisa merasakan kebahagiaan itu sendiri, bukan orang lain” tukas sang ibu menatap Albert dan Refly bergantian.

“Tapi ayah masih mengharapkan kau mengikuti jejak ayah Al, menjadi ... ” sambung ayahnya, namun langsung di potong oleh Shinta.

“Ayah, jangan mulai lagi” balas Shinta melihat ayahnya ketus mengulang – ngulang hal tersebut.

“Baiklah, ayah mengerti kau sama galaknya dengan ibumu Shinta” ujar sang ayah menyerah mengangkat tangannya.

Gelak tawa di rumah itu kembali bersuara, Albert dan Refly bertatapan dan bernafas lega. Refly merasa tenang jika berada di dalam keluarga ini. Mungkin tepat baginya memang untuk mencintai Albert dalam kehidupannya.

Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar