Jealous Part 14


By. Kim Hye So

Kunjungan pertama ke rumah mewah itu benar-benar membuat Galih berdebar-debar. Ia dengan membawa mobil barunya datang dengan segenap keberanian dan rasa percaya diri.

Namun ia sungguh tidak menduga sama sekali kalau di rumah itu ia akan mendapat sambutan hangat dari keluarga Lana. Sepertinya Lana telah cerita panjang lebar mengenai kerja samanya dengan Galih. Bahkan diluar dugaannya, ia dijamu makan malam dengan keluarganya.

Baru setelah itu, keluarga Lana menghadiri sebuah konser bersama kakak Lana.

“Om tinggal dulu ya nak Galih? Tidak apa-apa kan?” Pamit ayah Lana, tn Soenarto Djojodihardjo.

“Iya Om, tidak apa-apa. Biar saya dan Lana yang jaga rumah..” Kata Galih.

“Ya sudah, kita pergi dulu ya nak Galih! Titip Lana! Dia soalnya radak penakut kalau di rumah sendirian..” Ungkap Mama Lana, Lana pun mendesis pada sang Mama.

“Apaan sih Ma? Nggak usah didengerin Mas! Mama ini ngada-ada aja kok..” Lana membela diri.

“Iddiiih, sejak kapan adik Mas ini jadi pemberani? Kemaren aja waktu mau ditinggal keluar kota ngrengek, Mas nggak boleh ikut! Suruh nemenin kamu! Hayo, lupa ya?” kakak Lana ikut nimbrung menggoda Lana.

“Iiiihhhss, Mas Arsyl nggak usah ikut-ikut!” Teriak Lana pada sang kakak yang bernama Arsyl Djojodihardjo.

“Sudah-sudah! Ayo kita berangkat! Keburu malam…” Ujar Papa.

“Titip adik Mas yang cerewet ini ya Galih!” ucap kakak Lana yang tidak bosan-bosannya menggoda sang adik sambil mencubiti pipi sang adik. Lanapun hanya bisa menggembungkan pipi.

“Iya Mas, tidak usah khawatir. Pasti Galih jaga baik-baik.” Kata Galih sembari menahan tawa. Ia merasa lucu. Ternyata kekasihnya yang ia kenal cukup pendiam di kampus, rupanya bisa manja juga pada keluarganya.

Tinggal mereka berdua saja yang tinggal di rumah tidak ada yang berani mengganggu tentunya. Karena satpam diminta menutup pagar, menunggu keluarga Lana pulang dari menonton konser. Mereka duduk disofa sambil saling memandang satu sama lain.

“Bagaimana kesan Mas dengan keluargaku?” Tanya Lana serius

“Sebuah kejutan untukku.”

“Benarkah?”

“Mereka seperti mengenal Mas dengan baik, seakan mereka sudah mengetahui semuanya.”

“Ya, bahkan mereka setuju dengan hubungan kita.” Galih tersentak dibuatnya.

“A..apa?”

“Bahkan mereka sudah membicarakan pernikahan kita dengan orang tua Mas..”

“Orang tuaku?” Galih dibuat terkejut lagi. Kapan itu terjadi? Orang tuanya tidak mengatakan apapun piker Galih.

“Iya, orang tua Mas juga setuju. Mereka berencana mau menikahkan kita di Inggris. Apalagi kakakku. Dia yang paling bersemangat. Sampai mau menghadiahi paket honeymoon segala… hahahaha….” Ungkap Lana sambil tertawa. Galih masih shock. Tidak menyangka dengan semua ini. Antara senang, gugup bingung semua rasa itu bercampur menjadi satu. Melihat ekspresi Galih yang masih terlihat kaku, Lana pun mendekatkan tubuhnya.

“Kok diem? Mas masih mencintaiku kan?” Tanya Lana.

“Ya sayang, Mas datang karena cinta. Mas hanya terkejut saja, tidak menyangka. Hal seindah ini bisa dianugerahkan pada Mas. Betapa sangat baik sekali Tuhan..” Ucap Galih tersenyum.

“Syukurlah. Aku bahagia mendengarnya.”

“Jangan khawatir! Mas akan sabar menunggu kamu sampai kamu lulus kuliah. Mas yakin, kamu bisa menyelesaikan kuliah kamu dengan baik.”

“Mas betah? Mas kuat?”

“Iya. Tapi bukan berarti Mas tidak boleh mencium kamu kan?”

“Menjamah yang lain juga boleh. Yang penting hati-hati! Jangan sampai aku hamil sebelum menikah.. hahaha…” Tukas Lana bercanda.

“Mas bukan lelaki serakah. Mas mencintai kamu sayang, dan cinta Mas tulus karena kekaguman Mas kepada kamu.”

“Benarkah?”

“Ya, Mas akan bersabar. Mas akan menunggumu sampai kamu lulus.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Selain itu, apa Om dan Tante tahu usaha kita berdua?” Tanya Galih penasaran.

“Iya, mereka tahu. Tapi yang aku gunakan uang simpananku sendiri. Papa, Mama dan Masku siap meminjamkan modal jika usaha kita mau dibesarkan.”

“Benarkah?”

“Iya, mereka sudah mentransfer sebagian uang. Tapi modal pinjaman itu belum aku butuhkan. Nanti saja kalau kita sudah lulus, wisuda, kita usaha yang lebih besar, baru aku akan mempergunakan modal itu. Aku hanya menerimanya saja, tapi belum mau untuk menggunakannya.” Tandas Lana.

“Jangan tergesa-gesa sayang! Nanti saja langkah awal kita ini kita pastikan dulu! Sambil melihat teman-teman kita matang.” Imbuh Galih.

“Iya, aku juga berpikir demikian Mas. Tapi, ku lihat Irma sudah matang. Tinggal Mas Izham.”

“Sebetulnya Izham sudah cukup matang. Hanya dia masih sibuk mempersiapkan ujian. Tapi ia cukup professional kok. Ia setiap hari membawa pembeli dan penjual mobil. Walau hanya satu orang. Mungkin karena ia merasa digaji.”

“Iya aku tahu…”

“Mas punya usul…!”

“Apa?”

“Amel dan Devi, si kembar ini cukup jujur dan baik. Bagaimana jika kita beri mereka kesempatan untuk kuliah? Jam kerjanya kita kurangi dua jam agar bisa kuliah malam.”

“Tapi mereka kan nggak punya transport Mas…”

“Kita bisa membelikan mereka motor. Biar mereka juga memiliki masa depan yang baik. Bukankah tenaganya juga kita butuhkan empat tahun mendatang?”

“Iya. Tapi kita harus ingat, mereka bekerja untuk keluarganya, bukan untuk diri mereka sendiri.”

“Justru itu. Bukankah kalau sore sudah ada kita, Irma dan Izham?”

“Baiklah, terserah Mas saja. Kalau begitu, satpam juga diberi kesempatan maju sekalian. Bukankah mereka belum ada yang menikah?”

“Iya. Pada saatnya nanti, mereka memang harus masuk sebagai staff kantor.”

“Bagaimana dengan sift mereka?”

“Ada enam orang, ita bagi menjadi tiga sift biar semua bisa kuliah. Jika program ini jalan, kita akan memiliki orang-orang yang loyal kelak.”

“Setuju…”

“Jadi hanya berlaku untuk mereka saja?”
“Itu cukup. Sebab toh kebutuhan untuk mereka sebenarnya empat tahun. Untuk sales, kita bisa rangkap ketika Amel dan Devi kuliah setengah tiga.”

“Okay, Mas setuju saja..”

Mereka terdiam. Namun Galih tidak mau terlena membicarakan pekerjaan yang tak pernah selesai. Bagaimanapun memang menyenangkan kalau mereka sudah membicarakan masa depan usaha mereka. Namun ada tujuan lain Galih datang yakni memastikan agar hati Lana tidak goyah. Calon Presdir itu memang harus ia miliki. Bukan saja untuk memuluskan usahanya semata, akan tetapi ia memang jatuh cinta berat pada pemuda tampan yang tiba-tiba punya perhatian lebih pada keluarganya itu.

Jemari tangan itu segera menggenggam jemari lentik Lana. Mengangkat dan menciumnya mesra.

“Saayaang…!”

“Mas Galih…”

“Mas cinta kamu. Bukan karena kamu bos, tetapi karena prribadimu yang membuat Mas mencintai kamu sepenuh hati.” Lana tersenyum.

“Iya Mas. Lana sudah mendengar suara hati Mas. Mas bersumpah dalam hati saja. Yang penting, asal Mas tahu, Mama, Papa dan kakak sudah setuju hubungan kita. Mereka sudah menyiapkan modal untuk kita mengembangkan usaha yang baru. Ada showroom yang akan kita dapatkan dari Mas Arsyl kalau Mas sudah wisuda nanti.”

“Mas berhutang budi banyak pada kamu sayaaang. Tanpa kamu, Mas belum bisa melihat masa depan Mas…” Kata Galih terharu. Ia kemudian merengkuh Lana dalam peluknya. Dan mengangkat dagu pemuda lugu yang telah memberi gambaran masa depan yang jelas. Ia sungguh tidak menyangka kalau usahanya dipantau dengan baik oleh keluarga Lana.

~BERSAMBUNG.

0 komentar:

Posting Komentar